L apor apor an K asus asus
CEDERA KEPALA BERAT GCS (E2 V2 M3) DENGAN INTRASEREBRAL HEMATOM (ICH) BIFRONTAL
Oleh: Ririn Setianingrum I1A009015
Pembimbing: dr. Agus Suhendar, Sp.BS
BAGIAN/SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN September, 2014
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................... ................................................................. ..................................... ...............
i
DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ .......................... ....
ii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................... ................................................................. ......................
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
A. Definisi cidera kepala ........................................... ...................................................... ...........
3
B. Patofisiologi cidera kepala ........................................... ............................................... ....
5
C. Klasifikasi cidera kepala .......................................... .................................................. ........
7
D. Anatomi cidera kepala ........................................... ...................................................... ...........
9
E. Etiologi Cidera kepala ............................................ ....................................................... ...........
9
F. Tanda dan gejala cidera kepala craniotomy ......................
10
LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien ............................................ .................................................................. ......................
13
B. Anamnesis ........................................... ................................................................. .............................. ........
13
C. Pemeriksaan Fisik ........................................... .............................................................. ...................
14
D. Pemeriksaan Penunjang .......................................... ..................................................... ...........
16
E. Diagnosis .......................................... ................................................................ ................................. ...........
17
F. Penatalaksanaan ........................................... ................................................................. ......................
18
G. Follow Up ............................................ .................................................................. .............................. ........
18
BAB IV
PEMBAHASAN .......................................... ................................................................ .......................... ....
22
BAB V
PENUTUP ............................................ ................................................................... .................................. ...........
24
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I PENDAHULUAN
Di negara-negara berkembang, trauma merupakan penyebab kematian terbanyak pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun. Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Cedera kepala juga merupakan penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kecacatan permanen setelah kecelakaan dan kecacatan tersebut dapat terjadi meskipun pada pasien dengan cedera kepala derajat ringan.1 Tiap tahunnya, di Amerika angka kematian mendekati
52000 orang
diakibatkan oleh cedera kepala (20/100,000 population). Insidensi cedera kepala berat (GCS kurang atau sama dengan 8) adalah 100/100,000 populasi dan prevalensi adalah 2.5-5.6 juta. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan semakin tingginya angka kecelakaan di jalan raya. 2 Di Indonesia, sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda motor dengan golongan umur 15-55 tahun, dan cedera kepala merupakan urutan pertama dari semua jenis cedera yang dialami korban kecelakaan. Proporsi disabilitas (ketidakmampuan) dan angka kematian karena kecelakaan masih cukup tinggi yaitu sebesar 25%. Kejadian ini terjadi seiring meningkat pesatnya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.3
1
Cidera kepala merupakan trauma pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak dengan pembuluh darahnya, dan jaringan otak itu sendiri.6 Cidera kepala tertutup (intrakranial) jika otak tidak berhubungan
dengan dunia
luar,
seperti
pada
hematoma (pembekuan darah/perdarahan) epidural, subdural, subaraknoid, intraserebral, dan fraktur kranii terbuka. Pada Cidera kepala intrakranial ini sering dilakukan tindakan pembedahan craniotomy. 4,5 Akan dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 19 tahun dengan diagnosis cidera kepala berat GCS E2V1M5 dengan intraserebral hematom (ICH) bifrontal.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi cidera kepala
Cidera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (kulit kepala) hingga bagian terdalam (otak). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme cedera kepala yang terjadi. Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan. 6 Hematoma yang semakin membesar, maka seluruh isi dalam otak akan terdorong kearah yang berlawanan menyebabkan tekanan intrakranial yang membesar sehingga menimbulkan gangguan tanda-tanda vital dan gangguan fungsi pernafasan. Sewaktu terkena benturan yang hebat di kepala, pergerakan dari otak akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan duramater, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang disebut dengan hematoma epidural.7,8 Hematoma epidural yang progresif membesar memerlukan operasi craniotomy untuk mengeluarkan hematoma dan menghentikan perdarahan. Bila hematoma tidak membesar dalam keadaan baik, maka operasi tidak perlu dilakukan karena bekuan darah akan mencair dan diserap, dan perlu dilakukan
3
pemeriksaan CT-Scan.5 Berbagai macam kriteria dan istilah digunakan dalam penilaian derajat kesadaran. Salah satu diantaranya dengan mengunakan metode Glasgow Coma Scale (GCS). Skala ini dibuat oleh Jennet dan Teasdale (1974). GCS dapat menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita cedera kepala dengan melakukan pemeriksaan terhadap kemampuan membuka mata, motorik dan verbal dengan nilai masing-masing 4, 6, dan 5. GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam diskripsi beratnya penderita cedera kepala. Berdasarkan GCS, nilai cedera kepala dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (14-15), cedera kepala sedang (9-13), dan cedera kepala berat (3-8). Table.Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jennett, 1974)
Assesment area *Eye Opening (E) Spontaneous To speech To pain None *Motor Respon (M) Obey command Localize pain Normal flexion (withdrowal to pain) Abnormal flexion (decorticate) Abnormal extension (decerebrate) None (flaccid) *Verbal Respon (V) Oriented Confused conversation Inappropriate word Incomprehensible sounds None
Score 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
4
B. Patofisiologi cidera kepala
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium. Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi. Volume total intrakranial harus tetap konsta (Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya CSS dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding
5
tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema.9 Cedera otak dapat kita dibedakan atas kerusakan primer dan kerusakan sekunder. Kerusakan otak primer adalah yang timbul saat terjadi cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal dapat berupa kontusio cerebri, laserasi otak, perdarahan intradural dan ekstradural.10 Kerusakan otak sekunder merupakan komplikasi dari kerusakan primer, termasuk kerusakan akibat hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, peninggian tekanan intarakranial, dan infeksi. Walaupun kerusakan sekunder dapat dicegah, tetapi bila penanganannya dilakukan dengan baik, kerusakannya dapat bersifat sementara.10 Pada saat autoregulasi cairan darah otak intak, viscositas hanya berpengaruh sedikit terhadap Aliran Darah Otak (ADO), yang secara primer dipengaruhi oleh diameter pembuluh darah. Pada keadaan Autoregulasi hilang (Saat cedera kepala), pembuluh darah dilatasi maksimal, dan viscositas menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap ADO. 11 Fungsi Autoregulasi cairan darah otak disesuaikan oleh radius pembuluh darah untuk mengkompensasi perubahan tekanan dan viscositas darah, pada situasi dimana fungsi autoregulasi hilang dan radius pembuluh darah maksimal, viscositas menjadi sangat penting dalam menetukan cairan darah otak. Sehinga hematokrit menjadi sangat menentukan viscositas darah. 11
6
Setelah terjadi cedera kepala, mengenai kapan waktu tepatnya terjadi perubahan Aliran Darah Otak masih sedikit informasi yang didapat. Penurunan Aliran Darah Otak Terjadi akibat iskemia atau menurunnya metabolisme dan ini terjadi terutama pada penderita dengan cedera kepala berat. 12 Penurunan Aliran Darah Otak sering terlihat setelah cedera kepala berat. Ini terutama disebabkan oleh turunnya metabolisme dibanding oleh adanya tanda iskemik serebral.12 Banyak studi telah menunjukkan bahwa Aliran Darah Otak akan turun secara bermakna dalam beberapa jam pertama setelah mendapat cedera kepala berat baik pada manusia dan model hewan.13 6,14
C. Klasifikasi Cidera kepala
Berdasarkan lokasi anatomi Cidera kepala digolongkan dalam dua bagian yaitu, cidera kepala yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy dan Cidera kepala yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy. 1. Cidera kepala yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy
Cidera kepala yang tidak membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah:
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan
oleh
cidera
kepala
tanpa
menunjukkan
kelainan
makroskopis jaringan otak
Kontusio
serebri
(memar
otak)
yaitu
cidera
kepala
yang
menimbulkan lesi perdarahan intersinial pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan otak dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap
7
2. Cidera kepala yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy
Cidera kepala yang membutuhkan tindakan operasi craniotomy adalah :
Hematoma epidural adalah perdarahan dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater. Pada anak-anak duramater melekat pada
dinding
periosteum
kranium
sedangkan
pada
dewasa
duramater paling lemah di daerah temporal
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal,
pariental dan temporal. Hematoma subdural ini sering bersamaan dengan kontusio serebri
Hematom epidural
Hematoma intraserebral adalah perdarahan dalam jaringan otak karena
pecahnya arteri
yang besar
di dalam jaringan
otak,
sebagai akibat dari cidera kepala berat dan jika pada hasil CT scan didapatkan perdarahan > 30cc.
Fraktur kranii terbuka adalah fraktur pada dasar tengkorak dan jaringan otak yang biasanya disebabkan oleh cidera kepala berat. Penderita biasanya masuk
rumah
sakit
dengan
kesadaran
menurun, bahkan sering dalam keadaan koma dalam beberapa hari dan bila penderita siuman sering terjadi amnesia
8
D. Anatomi Cidera kepala Anatomi Tauma kapitis secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1. Anatomi Cidera kepala berdasarkan Lokasi Anatomik
E. Etiologi Cidera kepala 8
Cidera kepala yang dilakukan tindakan craniotomy dapat disebabkan oleh benturan di dalam rongga otak kepala yang menyebabkan perdarahan, dan biasanya terjadi pada kecelakaan bermotor lalu lintas jalan raya, jatuh, kecelakaan pada saat berolah raga, dan cedera kekerasan. Klasifikasi Cidera kepala yang dilakukan tindakan craniotomy sebagai berikut :
Hematoma epidural (EDH) Penyebab akibat Cidera kepala yang biasanya berhubungan dengan perdarahan tulang tengkorak, laserasi pembuluh darah, perdarahan akibat
9
dari robeknya salah satu cabang arteri meningea media dan sinus venosus duramater
Hematoma subdural (SDH) Penyebab akibat Cidera kepala yang terjadi karena geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang terletak antara duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah
Hematoma intraserebral ICH Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat Cidera kepala berat, dan kontusio berat. Pada gamabaran CT-Scan ICH cenderung terjadi pada lokasi karakteristik, dengan hipertensi, ICH paling sering terletak di basal ganglia, thalamus, pons (batang otak), dan otak kecil. Asal usul hematoma biasanya terbukti dari CT scan awal, dan lokasi menentukan hasil dan pengobatan.
F. Tanda dan Gejala Cidera kepala craniotomy 115
Cidera
kepala
yang
dilakukan
craniotomy
dapat
menimbulkan bermacam macam tanda dan gejala seperti : 1. Gejala dari Hematoma epidural a. Penurunan kesadaran (koma) b. Bingung dan gelisah sehingga tekanan darah meningkat dan tekanan nadi menurun c. Sindrom Weber, yaitu midriasis (pembesaran pupil) pada sisi yang
10
sama dari garis fraktur dan hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh) pada sisi yang berlawanan d. Fundoskopi dapat memperlihatkan papilledema (pembengkakan mata) setelah 6 jam dari kejadian 2. Gejala dari Hematoma subdural a. Penderita mengeluh sakit kepala yang bertambah hebat b. Tampak adanya gangguan psikis c. Setelah beberapa lama tampak kesadaran penderita semakin menurun d. Kelainan neurologis seperti : hemiparesis (kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dan bangkitan epilepsi 3. Gejala dari Hematoma intraserebral a. Hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh) b. Papilledema
(pembengkakan mata) serta gejala-gejala lain
dari tekanan intrakranium yang meningkat c. Arteriografi karotis dapat memperlihatkan suatu pergeseran dari arteri perikalosa ke sisi berlawanan serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal 4. Gejala dari Fraktura basis kranii terbuka a. Kesadaran menurun (koma) b. Setelah siuman sering terjadi amnesia retrograd (amnesia tentang halhal yang terjadi beberapa saat sampai beberapa hari sebelum dan sesudah terjadi trauma kapitis) yang cukup panjang c. Fraktur basis kranii media : keluar darah dari telinga dan liquorhe
11
d. Fraktur basis kranii anterior
: perdarahan melalui hidung dan
liquorhe biasanya jarang sembuh e. Fraktur basis kranii posterior : kesadaran menurun, tampak belakang telinga bewarna biru
12
BAB III LAPORAN KASUS
A.
B.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn.Maulana
Umur
: 19 tahun
No. RMK
: 1.12.08.43
Bangsa
: Indonesia
Suku
: Banjar
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Jl. Rajawali VI Palangkaraya
MRS
: 20 September 2014
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
: Penurunan Kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Alloanamnesis 3. Pasien merupakan rujukan dari RS Doris Sylvanus Palangkaraya dengan diagnosis CKB. ± 2 hari yang lalu pukul 01.00 WIB. Pasien mengalami KLLD saat mengendarai sepeda motor dan ditabrak mobil. Mekanisme kecelakaan tidak diketahui. Pingsan (-) perdarahan telinga (-) Hidung (-) Mulut (-), muntah (-). Pasien saat itu langsung dibawa ke RS oleh warga ke RS. Datang dengan GCS 15 pasien hanya mengeluh pusing dan nyeri
13
kepala. ± 9 jam SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran. Dilakukan CT-Scan oleh Sp.S. Pasien di rujuk ke ulin untuk pemeriksaan lanjutan. Dalam perjalanan pasien sempat kejang ± 5x selama ± 10 menit. 4. Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (-), DM (-) 5. Riwayat Penyakit Keluarga : Penyakit serupa (-), hipertensi (-), DM (-)
C.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey Keadaan Umum : Tampak sakit berat A : Clear B : Respirasi rate: 28 x/menit Ronki (-/-), Wheezing (-/-) C : Tekanan darah :140/90 Nadi : 120 x/menit
T : 36,5 oC
D : Stupor, GCS : E2 V2 M3 B. Status generalis Pemeriksaan Kepala dan Leher Umum
: Bentuk mesosefali
Rambut
: Warna hitam, tipis, distribusi merata
Mata
: -
eksoftalmus (-/-)
-
konjungtiva pucat (-/-)
14
-
sklera ikterik (-/-)
-
refleks cahaya (+/+)
Mulut
: mukosa pucat (-)
Leher
: -
tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
-
kaku kuduk tidak ada
-
Jugular venous pressure tidak meningkat
C. Pemeriksaan Thoraks Paru Inspeksi
: Gerakan nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi
: Fremitus vokal simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi
: Sonor (+/+), nyeri ketuk tidak ada
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
: Iktus dan pulsasi tidak terlihat
Palpasi
: Apeks teraba pada ICS V LMK kiri, Thrill (-)
Perkusi
: Batas kanan ICS II-IV LPS Dextra Batas kiri ICS II-IV LMK Sinistra
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II tunggal Murmur tidak ada
D. Pemeriksaan Abdomen Inspeksi
: Tampak datar, vena kolateral (-), scar (-), distensi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
15
Palpasi
: Hepar, lien, massa tidak teraba,
Perkusi
: Timpani
E. Pemeriksaan Ekstrimitas
D.
Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Hasil Laboratorium tgl 20/9/2014 Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Hemoglobin
14.3
g/dl
Leukosit
15.0
ribu/ul
Eritrosit
5.19
juta/ul
Hematokrit
42.2
vol%
Trombosit
192
ribu/ul
PT
13.0
Detik
APTT
22.9
Detik
GDS
77
mg/dl
SGOT
84
U/l
SGPT
30
U/l
Ureum
55
mg/dL
Creatinin
1.2
mg/dL
16
b. CT-Scan Kepala dengan kontras (19/9/2014)
Gambaran intraserebral hematom (ICH) bifrontal Dengan perdarahan sinistra 51cc dan dextra 40cc
E.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
: Cidera Kepala Berat GCS E2 V2 M3
Diagnosis etiologi
: intraserebral hematom (ICH) bifrontal
Diagnosis komplikasi
: Peningkatan TIK
Diagnosis penyerta
:-
17
F.
PENATALAKSANAAN
Obs. Tanda vital Head Up 30 o Inj. Ranitidin 2x50 mg Ketorolac 3x30 mg Konsul ke Bagian bedah saraf: Rencana craniotomy evakuasi. G.
FOLLOW UP
21/9/2014 jam 21.50
Instruksi Post OP - Rawat ICU - Observasi KU, TTV - Inj. Ketorolac 3x30mg - Inj. Ceftriaxone 2x1gr - Inj. Ranitidin 3x1amp - Cek DR Post post OP - Puasa sampai BU (+) - Inf. NS 30 Tpm Jam 22.00 HP: 1 POD:0
S) Penurunan kesadaran (+) O) GCS : E2 V1 M1 TD: 129/63
RR: 18x/m
N: 89x/m
T: 36,2oC
18
Ekstremitas: Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
A) Post Craniotomy evakuasi ICH bifrontal P)
- Observasi KU, TTV - Inj. Ketorolac 3x30mg - Inj. Ceftriaxone 2x1gr - Inj. Ranitidin 3x1amp - Cek DR Post post OP - Puasa sampai BU (+) - Inf. NS 30 Tpm - O2 nasal canul 4 lpm
22/9/2014 HP: 2 POD:1
S) Penurunan kesadaran (-) Mual/muntah (-/-) nyeri kepala (-) O) GCS : E4 V5 M6 TD: 120/70
RR: 20x/m
N: 84x/m
T: 36,5oC
Ekstremitas: Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
A) Post Craniotomy evakuasi ICH bifrontal
19
P)
- Observasi KU, TTV - Inj. Ketorolac 3x30mg - Inj. Ceftriaxone 2x1gr - Inj. Ranitidin 3x1amp - Inf. NS 30 Tpm
23/9/2014 HP: 3 POD:2
S) Penurunan kesadaran (+) Mual/muntah (-/-) nyeri kepala (-) O) GCS : E4 V5 M6 TD: 120/80
RR: 18x/m
N: 86x/m
T: 36,5oC
Ekstremitas: Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
A) Post Craniotomy evakuasi ICH bifrontal P)
- Observasi KU, TTV - Inj. Ketorolac 3x30mg - Inj. Ceftriaxone 2x1gr - Inj. Ranitidin 3x1amp - Inf. NS 30 Tpm - ACC pindah ruangan
20
24/9/2014 HP: 4 POD:3
S) Penurunan kesadaran (+) Mual/muntah (-/-) nyeri kepala (-) O) GCS : E4 V5 M6 TD: 120/80
RR: 18x/m
N: 86x/m
T: 36,5oC
Ekstremitas: Atas
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
Bawah
: Akral hangat, edem (-/-), parese (-/-)
A) Post Craniotomy evakuasi ICH bifrontal P)
- Inj. Ketorolac 3x30mg - Inj. Ceftriaxone 2x1gr - Inj. Ranitidin 3x1amp - Inj. Antrain 3x1amp - Inf. NS 30 Tpm - Balder training - Aff dc
21
BAB IV PEMBAHASAN
Cedera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak.Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan. Hematoma yang semakin membesar, maka seluruh isi dalam otak akan terdorong kearah yang berlawanan menyebabkan tekanan intrakranial yang membesar sehingga menimbulkan gangguan tanda-tanda vital dan gangguan fungsi pernafasan Pada kasus ini Pasien mengalami KLLD saat mengendarai sepeda motor dan ditabrak mobil. Mekanisme kecelakaan tidak diketahui. Pingsan (-) perdarahan telinga (-) Hidung (-) Mulut (-), muntah (-). Datang dengan GCS 15 pasien hanya mengeluh pusing dan nyeri kepala. ± 9 jam SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran. Dalam perjalanan pasien sempat kejang ± 5x selama ± 10 menit. Sewaktu terkena benturan yang hebat di kepala, pergerakan dari otak
akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang
mengelilingi otak dan duramater, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak,
22
keadaan inilah yang disebut dengan hematoma epidural yang menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada kasus ini pasien dilakukan pemeriksaan CT-Scan dan didapatkan intraserebral hematom (ICH) bifrontal dengan perdarahan di bagian sinistra 51cc dan dextra 40cc dari temuan ini semakin menegaskan bahwa penyebab terjadinya penurunan kesadaran pada pasien karena cidera kepala yang menyebabkan perdarahan di intraserebral dan terapinya ialah harus dilakukan craniotomy evakuasi agar perdarahan tidak lagi mendesak otak yang bisa menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial.
23
BAB V PENUTUP
Telah dilaporkan kasus Cidera kepala berat GCS E2 V2 M3 dengan Intraserebral hematom (ICH) pada seorang laki-laki berusia 19 tahun dengan penurunan kesadaran, dan peningkatan TIK. Pada anamnesis juga didapatkan pasien riwayat KLLD Dari pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesandan dengan GCS E2 V2 M3dan pemeriksaan penunjang CT Scan kepala didapatkan adanya intraserebral hematom (ICH) bifrontal dengan perdarahan sinistra 51cc dan dexra 40cc dan telah dilakukan operasi craniotomy evakuasi.
24
Daftar Pustaka
1. Selladurai B, Reilly P. Epidemiology of Acute Head Injury. in : Initial Management of Head Injury, a Comprehensive guide. Australia : McGraw Hill, 2007:3-7 2. Marshall LF. Head injury: recent past, present, and future. Neurosurgery 2000;47:546 – 61. 3. Yusherman, Jasni. Epidemiologi Bandung, 2008.
Kecelakaan
Lalu
Lintas.Rineka
Cipta,
4. Hamilton, Bailey, Hugh, A,F, Dudley. Ilmu Bedah Gawat Darurat .Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta,1992. 5. Markam, S. Cedera Kepala Tertutup. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1999. 6. Fearnside, R.M.. Peter Reilly. Head Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury, Champman and Hall, London, 365-78.1997. 7. 7Anderson, S.McCarty L. Cedera Susunan Saraf Pusat , Pathologist edisi 4, Penerbit Anugrah P.EGC, Jakarta, 1995. 8. Anonym. Epidural hematoma, http://www.braininjury.com/pmr/topic. 2014 9. Chesnut RM. Bullock R. Guidelines for the management of severe head injury. Brain trauma foundation, America Associatinon Of Neurological Surgeons Joint Section on Neutrauma and Critical Care. J Nueurotrauma 1996; 13:641-734 10. Japardi,I..Cedera Kepala, Memahami aspek-aspek Penting dalam pengelolaan penderita cedera kepala, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 333.2004 11. Deutsch, H, Ullman, J.S.What is the optimal hematocrit and hemoglobin for head injury patients ?, Neurotrauma, Thieme: 88-90.2005. 12. Zauner A, Muizelaar JP. Brain Metabolism and cerebral blood flow. In: Head Injury Patophysiology and Management of Severe Closed Injury. London : Chapman & Hall Medical ; 1997 : 89 – 99.
13. Bauma, GT, Muizellar, JP. Cerebral blood flow, cerebral blood volume, and cerebrovascular reactivity after severe head injury. Journal Neurotrauma, 9, 333- 348. 1992. 14. Charles M.A, Edward C.J, Claude H.J. Emergency Neurogical Life Support: Intracerebral Hemorrhage. Neurocritical Care Society 17, 37-38: 2012 15. Ngoerah, G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.Marjono, M.N, 1994.