MAKALAH Metamorfosis
(Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Perkembangan Hewan)
Oleh : Keompok 11 1. Arini dwi L.
(110210103032) (110210103032)
2. Novia yuanita D.
(110210103067) (110210103067)
3. Istiqomah
(1102101030)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER 2012
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang Metamorfosis merupakan suatu proses perubahan bentuk tubuh organisme sehingga
rganisme
tersebut
dapat
mencapai
suatu
kesempurnaan
bentuk.
Metamorfosis merupakan peristiwa perubahan bentuk yang mengacu pada cara bahwa organisme
tertentu
berkembang,
tumbuh,
dan
mengubah
bentuk.
Selama
metamorfosis, terjadi transformasi metamorfik yang dapat mengubah bentuk hewan menjadi lebih besar. Umumnya, metamorfosis dialami oleh hewan-hewan seperti serangga dan amfibi. Contoh Contoh metamorfosis sederhana yang yang dialami serangga adalah kupu-kupu kupu-kupu dan capung. Metamorfosis dibagi menjadi dua, yaitu metamorfosis sempurna & metamorfosis tidak sempurna. Sedangkan contoh metamorfosis sederhana pada amphibi
yang
mengalami
metamorfosis
adalah
katak.
Pertumbuhan
dan
perkembangannya dimulai dari zigot, kemudian menjadi embrio dan terbentuklah larva. Dengan demikian fase – fase metamorfosis pada amphibi dan insecta dapat dibedakan.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1
Apa pengertian metamorfosis ?
1.2.2
Bagaimana mekanisme metamorfosis pada amphibi ( katak)?
1.2.3
Bagaimana mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis pada amphibi?
1.2.4
Bagaimana mekanisme metamorfosis pada insecta?
1.2.5
Bagaimana mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis insecta?
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang Metamorfosis merupakan suatu proses perubahan bentuk tubuh organisme sehingga
rganisme
tersebut
dapat
mencapai
suatu
kesempurnaan
bentuk.
Metamorfosis merupakan peristiwa perubahan bentuk yang mengacu pada cara bahwa organisme
tertentu
berkembang,
tumbuh,
dan
mengubah
bentuk.
Selama
metamorfosis, terjadi transformasi metamorfik yang dapat mengubah bentuk hewan menjadi lebih besar. Umumnya, metamorfosis dialami oleh hewan-hewan seperti serangga dan amfibi. Contoh Contoh metamorfosis sederhana yang yang dialami serangga adalah kupu-kupu kupu-kupu dan capung. Metamorfosis dibagi menjadi dua, yaitu metamorfosis sempurna & metamorfosis tidak sempurna. Sedangkan contoh metamorfosis sederhana pada amphibi
yang
mengalami
metamorfosis
adalah
katak.
Pertumbuhan
dan
perkembangannya dimulai dari zigot, kemudian menjadi embrio dan terbentuklah larva. Dengan demikian fase – fase metamorfosis pada amphibi dan insecta dapat dibedakan.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1
Apa pengertian metamorfosis ?
1.2.2
Bagaimana mekanisme metamorfosis pada amphibi ( katak)?
1.2.3
Bagaimana mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis pada amphibi?
1.2.4
Bagaimana mekanisme metamorfosis pada insecta?
1.2.5
Bagaimana mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis insecta?
1.3 Tujuan 1.3.1
Mengetahui pengertian dari metamorfosis.
1.3.2
Mengetahui mekanisme metamorfosis pada amphibi.
1.3.3
Mengetahui mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis amphibi.
1.3.4
Mengetahui mekanisme metamorfosis pada insecta.
1.3.5
Mengetahui mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis insecta.
BAB II Pembahasan
1. Pengertian metamorfosis
Metamorfosis adalah suatu proses biologi di mana hewan secara fisik mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas, melibatkan perubahan bentuk atau struktur melalui pertumbuhan sel dan differensiasi sel. Metamorphosis berasal dari bahasa Yunani yaitu Greek = meta (diantara, sekitar, setelah), morphe` ( bentuk), osis (bagian dari), jadi metamorphosis merupakan perubahan bentuk selama perkembangan postembrionik. ( Fauziah, 2011 ) Metamorfosis adalah suatu proses perkembangan biologi pada hewan yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Perubahan fisik itu terjadi akibat pertumbuhan sel dan differensiasi sel yang secara radikal berbeda. Pada umumya proses metamorfosis dialami oleh hewan- hewan seperti insecta dan amphibi. Namun ada juga hewan yang daur hidupnya tanpa metamorfosis, bahkan sebagian besar hewan. Artinya, sejak menetas atan dilahirkan hewan itu sudah sama seperti induknya, tanpa melalui tahap-tahap perubahan bentuk. Contohnya dari golongan mamalia ( kucing, kambing, sapi, kerbau, kuda, kelinci, kangkuru dll.). Dari kelompok aves ( ayam, burung, bebek, dll). Metamorfosis sendiri terbagi menjadi dua, yaitu metamorfosis sempurna dan metamorfosis tidak sempurna. ( Arfisekar, 2012 )
2. Mekanisme metamorfosis pada amphibi ( katak)
Metamorfosis
pada
amphibia
termasuk
kedalam
metamorfosis
sempurna,
merupakan metamorfosis yang melewati tahapan-tahapan mulai dari telur-larva-pupaimago (dewasa). Contoh
metamorfosis sempurna terjadi pada katak dan kupu-kupu.
Amphibia mengalami metamorfosis seperti halnya serangga. Kecebong anura memiliki tubuh langsung dengan ekor panjang dan bersirip, gigi serta rahang berzat tanduk dan lipatan operculum yang menutupi ingsang. Kecebong adalah herbivor, mempunyai usus yang panjang dan berliku-liku. Kecebong harus mengalami metamorfosis untuk mencapai bentuk dewasanya. Proses Metamorfosis Sempurna Pada Katak, sebagai berikut:
Katak betina dewasa bertelur kemudian telur tersebut menetas. Setelah 10 hari telur tersebut menetas menjadi berudu. Berudu hidup di air. Setelah berumur 2 hari berudu mempunyai insang luar yang berbulu untuk bernapas. Setelah berumur 3 minggu insang berudu akan tertutup oleh kulit. Menjelang umur 8 minggu kaki belakang berudu akan terbentuk. Kemudian membesar ketika kaki depan mulai muncul. Umur 12 minggu kaki depannya mulai berbentuk, ingsang tak berfungsi lagi ekornya menjadi pendek serta bernapas dengan paru-paru. Maka bentuk dari muka akan lebih jelas. Setelah pertumbuhan anggota badannya sempurna, katak tersebut akan berubah menjadi katak dewasa dan kembali berkembang biak. Lamanya periode larva pada anura berbeda-beda. Pada beberapa spesies, stadium kecebong dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih. Perubahan pertama ditandai dengan munculnya pembengkakan pada kedua sisi ujung posterior tubuh yang merupakan tunas-tunas kaki yang berkembang selama periode pre-metamorfosis sampai mencapai ukuran sepanjang tubuh (Gambar 2). Kemudian terjadilah serangkaian perubahan yang cepat yaitu klimaks metamorfosis dan dalam waktu lebih kurang seminggu, kecebong berubah menjadi katak kecil sempurna. Pada awalnya, katak betina dewasa akan bertelur, kemudian telur tersebut akan menetas setelah 10 hari. Setelah menetas, telur katak tersebut menetas menjadi Berudu. Setelah berumur 2 hari, Berudu mempunyai insang luar yang berbulu untuk bernapas. Setelah berumur 3 minggu insang berudu akan tertutup oleh kulit. Menjelang umur 8 minggu, kaki belakang berudu akan terbentuk kemudian membesar ketika kaki depan mulai muncul. Umur 12 minggu, kaki depannya mulai berbentuk, ekornya menjadi pendek serta bernapas dengan paru-paru. Setelah pertumbuhan anggota badannya sempurna, katak tersebut akan berubah menjadi katak dewasa. Selain pada katak, metamorfosis sempurna juga terjadi pada kupu-kupu. a.
Proses Morfologi Pada amphibi, metamorfosis umumnya digabungkan dengan perubahan persiapan yang mana dari organisme aquatik untuk menjadi organisme daratan. Pada urodela (salamander), perubahan ini meliputi berkurangnya ekor dan rusaknya insang bagian dalam dan berubahnya struktur kulit. Pada anura, perubahan metamorfosis berlangsung secara dramatis dan kebanyakan organ-organnya telah termodifikasi. Perubahan ini meliputi hilangnya gigi dan insang internal pada anak katak, seperti hilangnya ekor, kemudian akan terjadi proses pembentukan seperti berkembangnya anggota tubuh dan morfogenesis kelenjar dermoid. Perubahan lokomosi terjadi dari
pergerakan ekor menjadi terbentuknya lengan depan dan lengan belakang. Gigi yang digunakan untuk mencabik tanaman hilang dan digantikan dengan perubahan bentuk baru dari mulut dan rahangnya, otot dari lidah juga berkembang, insang mengalami degenerasi, paru-paru membesar, otot dan tulang rawan berkembang untuk memompa udara masuk dan keluar pada paru-paru. Mata dan telinga berdiferensiasi. Telinga bangian tengah berkembang dan membran timfani terletak pada bagian telinga luar.
b. Proses Biokimia Penambahan secara nyata pada perubahan morfologi, yang terpenting adalah terjadinya transformasi biokimia selama metamorfosis. Pada berudu, fotopigmen retina yang utama adalah porphyropsin. Selama metamorfosis, pigmen ini merubah karakterisik fotopigmen dari darat dan vertebrata perairan. Pengikatan hemoglobin (Hb) dengan O2 juga mengalami perubahan. Enzim yang terdapat pada hati juga mengalami perubahan, hal ini disebabkan adanya perubahan habitat. Kecebong bersifat ammonotelik yaitu mensekresikan amonia, sedangkan katak dewasa bersifat ureotelic yaitu mensekresikan urea. Selama metamorfosis, hati mensintesis enzim untuk siklus urea agar dapat membentuk atau menghasilkan urea dari CO2 dan amonia.
c. Perubahan spesifik Organ tubuh yang berbeda juga akan merespon beda pada stimulasi hormon. Stimulus yang sama menyebabkan beberapa jaringan degenerasi dan menyebabkan
diferensiasi dan perkembangan yang berbeda. Respon hormon thyroid lebih spesifik pada bagian-bagian tubuh tertentu. Pada ekor, T3 menyebabkan kematian dari sel-sel epidermal. Meskipun terjadi kematian dari sel-sel epidermal pada ekor, kepala dan epidermis tubuh tetap melanjutkan fungsinya.
3. Hormon yang Berperan Dalam Metamorfosis Amphibi
Metamorfosis
ini
dikontrol
hormon
thyroid.
Perubahan
metamorfosis
dari
perkembangan katak dengan mensekresikan hormon thyroxin (T4) dan triiodothronine (T3) dari thyroid selama metamorfosis.
Peranan hormon T3 lebih penting, hal ini disebabkan perubahan metamorfosis pada thyroidectomized berudu memiliki konsentrasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan hormon T4. Koordinasi dari perubahan perkembangan dan r espon molekul hormon thyroid.
Salah
satu
masalah
utama
dari
metamorfosis
adalah
koordinasi
saat
perkembangan. Pada dasarnya, ekor tidak mengalami degenerasi sampai terbentuk dan berkembangnya organ-organ lokomosi. Seperti berkembangnya kaki dan tangan untuk pergerakan dan insang tidak akan mengalami perubahan fungsi sampai berkembang otot
paru-paru. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi metamorfosis yang berbeda pada jaringan dan organ akan memberikan respon yang berbeda pada hormon. Untuk menjamin sistem kerja ini, 2 organ yang sensitif terhadap thyroksin yaitu thyroid dan kelenjar pituitary, akan meregulasi produksi hormon thyroid. Hormon thyroid berfungsi untuk membentuk hubungan timbal balik dengan kelenjar pituitary yang menyebabkan interior pituitary menginduksi thyroid untuk menghasilkan T3 dan T4 lebih banyak. Selain itu, hormon thyroid juga berfungsi untuk transkripsi dan mengaktivasi transkripsi pada beberapa gen. Seperti transkripsi gen untuk albumin, globin dewasa, keratin kulit dewasa diaktivasi oleh hormon thyroid. Respon T3 adalah aktivasi transkripsi gen reseptor hormon thyroid (TR). TR berikatan dengan sisi yang spesifik pada kromatin sebelum hormon thyroid dibentuk. Ketika T3 dan T4 masuk kedalam sel, dan berikatan dengan ikatan reseptor kromatin, hormon reseptor kompleks dirubah dari aktivator transkripsi. Belum diketahui mekanisme dari hormon thyroid dengan respon yang berbeda pada jaringan yang berbeda (proliferasi, diferensiasi, kematian sel). Pembentukan anggota tubuh tidak tergantung hormon thyroid, hal ini terjadi pada pembelahan holoblastic dimana gastrulasi diawali pada posisi subequatorial, pembentukan neural dibagian permukaan dan kuncup anggota tubuh juga terbentuk dibagian permukaan. Pembentukan anggota tubuh tidak tergantung pada hormon thyroid. Menurut
(Gilbert,
2000)
Metamorfosis
pada
Amphibi
pe rub aha nmetamorfik yang terjadi melalui tiga tahapan, antara lain: a. Premetamorfosis yaitu pertumbuhan larva sangat domi nan .
mengalami
b. Prometamorfosis,
pertumbuhan
berlanjut
dan
beberapa
pe rke mba ng an berubah seperti mulai munculnya membra belakang. c. M e t a m o r f i k
klimaks,
dimulainya
perkembangan
membra
depan
d a n merupakan suatu periode perubahan morfologi dan fisiologi yang luasdan dramatik
Menurut Haliday (1994), peran hormon tiroid dapat di peragakan melaluieksperimen yang menunjukkan larva ditiroidektomi yang diberi makan cacahan jaringan tiroid atau hormon kelenjar tiroid segera akan mengalami metamorfosis.Efek langsung hormon kelenjar tiroid pada regresi ekor dapat mudah dilihat dalamlaboratorium dengan menggunakan bl ok ku ltu r jari ng an eko r in vi tro , bi la ho rmo nt iro id di tamb ah ka n pa da mediu m kultu r hi sto lis is yang kara kte rist ik dan redu ksi jaringan terjadi sesudah 3 sampai 4 hari.Awal metamorfosis, diduga tiga peristiwa yang mendorong peningkatan produksi hormon tiroid yaitu:
(1) THR yang selalu ada dalam sel-sel hipotalamus,menjadi lebih dipersiapkan untuk pituitaria. Ini kemungkinan tejadi ketika sistemaliran darah lebih sempurna menghubungkan hipotalamus dengan pituitaria anterior.Tentu saja,
perkembangan
hubungan
sendiridikontrol
tiroksin.
Ini
ditiroidektomi,
tetapidengan
ini
dari
tidak
epithelium
dua
terdiferensiasi
meredam
larva
lapis
pada
yang
sederhana
hewan
yang
ditiroidektomi
p a d a l a r u t a n t i r o k s i n ya n g b e r t a h a p d i n a k k a n k o n s e n t r a s i n y a , terbentuk struktur sirkulasi yang komlikated. ( 2 ) Penambahan hari dan temperatur yang lebih hangat, rupa-rupanya meningkatkan pembebasanTRH. (3)Dikarenakan
hipotalamus
dan
pitiutaria
menyalakan
keresponanmya pada peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah, untuk sewaktuwaktu
tiroksin
lebih
memacu
produksi
pe ngh amba tnya (Brotowidjoyo, 1990).
TRH
dan
TSH
dibanding
4. Mekanisme
metamorfosis insecta
Metamorfosis biasanya terjadi pada fase berbeda-beda. Dimulai dari larva atau nimfa, kadang-kadang melewati fase pupa, dan berakhir sebagai spesies dewasa / imago . Ada dua macam metamorfosis utama pada serangga, hemimetabolisme dan holometabolisme. Fase spesies yang belum dewasa pada metamorfosis biasanya disebut larva. Pada metamorfosis kompleks / sempurna pada kebanyakan spesies serangga, setelah telur menetas fase pertamanya kita sebut larva dan jika tidak sempurna setelah telur disebut Nympa (kehidupan yang habis menetas namun performa bentuknya seperti dewasa hanya berkuran kecil ) Pada hemimetabolisme, perkembangan larva berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabolisme juga dikenal dengan metamorfosis tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak sempurna serangga mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa yang tidak mencolok dalam daur hidupnya. Bentuk larva atau bentuk pradewasanya disebut nimfa. Nimfa memiliki kemiripan dengan bentuk dewasa (imago), kecuali organ reproduksi dan sayap. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang. Baru setelah berubah menjadi serangga dewasa. organ reproduksi berkembang dan serangga dapat bereproduksi. Pada metamorfosis tidal sempurna tidak terbentuk tahap pupa. Pada
metamorfosis tidak sempurna. Perubahan bentuk yaang terjadi adalah sebagai berikut: Telur – nimfa – imago (dewasa). Contoh serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna antara lain belalang, lipas (kecoa), dan jangkrik. Pada holometabolisme, larva sangat berbeda dengan dewasanya. Serangga yang melakukan holometabolisme melalui fase larva, kemudian memasuki fase tidak aktif yang disebut pupa, atau chrysalis, dan akhirnya menjadi dewasa. Holometabolisme juga dikenal dengan metamorfosis sempurna. Sementara di dalam pupa, serangga akan mengeluarkan cairan pencernaan, untuk menghancurkan tubuh larva, menyisakan sebagian sel saja. Sebagian sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari hancuran tubuh larva. Larva umumnya mengalami molting empat kali sehingga terbentuk larva stadium satu hingga larva stadium empat Pada tahap larva, umumnya serangga sangat aktif makan. Cobalah perhatikan tahap larva pada kupu-kups yaitu ulat, yang sangat aktif memakan daun. Larva stadium empat berubah menjadi tahap pupa. Pada tahap pupa, serangga tidak aktif makan, tetapi proses metabolisme tetap terus berlangsung. Setelah mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel, diferensiasi dan organogenesis, maka pupa akan berubah menjadi serangga dewasa (imago). Selama metamorfosis, terjadi pengulangan proses seperti halnya pada pertumbuhan dari perkembangan embrionik hingga akhirnya larva berubah menjadi bentuk dewasa. Contoh serangga yang mengalami metamodosis sempuma antara lain kupu-kupu , lalat, nyamuk, lebah, dan kumbang. ( Dewi, 2011 )
( Gilbert, S.F, 1988 )
5. Mekanisme hormon yang berperan dalam metamorfosis insecta
Juvenile hormone(JH), merangsang perubahan serangga dari bentuk ulat ke larva. Hormon ini tidak dihasilkan ketika serangga mencapai bentuk dewasanya. Ecdysone, merangsang perubahan atau pergantian kulit serangga. Hormon ini bekerja antagonis dengan JH. http://rahmychairil.blogspot.com/2012_10_01_archive.html Hormon menjadi subyek sejumlah besar penelitian,untuk kemungkinan cara yang spesifik dalam mengontrol populasi hama dengan hormon. JH tentu saja merupakan kandidat besar karena merupakan hormon yang mengontrol perkembangan insekta (Gaubard Y,2005), terlibat dalam pengaturan proses fisiologis seperti metamorfosis dan reproduksi pada sebagian besar insekta (Bede et al .,1999), meningkatkan feromon tapi secara simultan menekan fungsi imun. (Rantala et al ., 2003) Juvenile hormone (JH) adalah sebuah hormon sesquiterpenoid dan salah satu dari hormon sebenarnya pada insekta yang disekresikan oleh korpora allata dan hormon ini ditemukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi dalam hemolymph selama tahapan tertentu dari larva insekta, dimana hormon ini berperan dalam pengaturan pertumbuhan dan perkembangan pada insekta, mempertahankan tahapan larva atau mencegah metamorfosis. Jadi juvenile hormone hanya ada ketika “program” genetik dari insekta membutuhkan pertumbuhan tanpa pematangan atau diferensiasi. Pada insekta dewasa, JH berperan dalam menstimulasi dan mengkoordinasikan reproduksi insekta (Wyatt, 1997). Jadi JH meningkatkan semua aspek yang berbeda yang membawa ke reproduksi. Pertama, JH memungkinkan insekta untuk menarik pasangannya atau mendeteksi tanda-tanda seksual ini. Kedua, JH meningkatkan karakter yang berkontribusi pada perkembangan generasi baru seperti produksi vitelogenin. Tetapi pada waktu yang sama, JH juga mengontrol migrasi atau sistem imun. Beberapa substansi dengan aktifitas JH juga ditemukan mempengaruhi embrio. Pada koloni lebah madu, JH menunjukkan keterlibatan dalam pengaturan pembagian kerja berhubungan dengan umur. Juvenile hormone (JH) seperti yang disebutkan diatas memainkan suatu peran yang penting dalam kontrol endokrin dari embriogenesis, molting, metamorfosis dan reproduksi. Hal ini akan dibahas satu persatu dalam artikel ini dan senyawa yang mempunyai aktivitas juvenile hormon sebagai harapan baru dalam pengontrolan insekta.
JH adalah hormon sesquterpenoid, yaitu sebuah terpene yang terdiri dari 3 unit isoprene (5-C), dengan penambahan methyl yang berbeda pada C-1 atau fungsi alkohol/epoksida pada struktur dasar atau mengubah fungsi ester menjadi asam. Molekul
terpenoid dan turunannya sering berfungsi dalam komunikasi di dalam dan di antara organisme. Sesquiterpen, biasanya pada tanaman dan fungi terlibat dalam perlindungan melawan insekta herbivora dan tumbuhan mensintesis berbagai sesquiterpen termasuk JH-III. Secara alami terjadinya bentuk JH 0-III berbeda satu dengan yang lain dalam pola penambahan kelompok ethyl atau methyl menggantikan posisi R1-3. Bagian terminal epoksida tidak sepenuhnya dibutuhkan, karena penggantiannya dengan sebuah methyl ether pada methoprene meningkatkan aktifits. Penggabungan dari cincin aromatik pada berbagai lokasi dalam rantai karbon juga meningkatkan aktifitas, seperti yang digambarkan oleh struktur pyriproxyfen dan phenoxycarb. Slama et al (1968) menggunakan analog sintetik dari juvabione dan dehydrojuvabione dimana cincin alisiklik digantikan dengan cincin aromatik, beberapa menunjukkan peningkatan dari aktifitas juvenile hormone sementara efek spesifik mereka tetap pada insekta dari famili Pyrhocoridae. Karena ketika diperlakukan pada hemiptera lain selain (Neodycsdercus) yaitu pupa coleoptera dan lepidoptera bersifat inaktif.
Biosintesis JH III Pada insekta, JH III disintesis dari Farnesyl diphosphate (FDP) dalam 4 tahap: 1. Phyrophosphate
dari
FDP
dikatalisis
oleh
Phosphatase
atau
pyrophosphatase
menghasilkan farnesol. 2. farnesol dioksidasi menjadi asam karboksil melalui intermediet aldehid (farnesal) 3. diikuti dengan sintesis asam farnesoik 4. dua tahap metilasi dan epoksidasi dibutuhkan untuk menghasilkan JH III
Setelah pelepasan dari korpora alata, JH berikatan dengan protein spesifik pada hemolimph disebut protein pengikat JH (JHBP). Fungsi JHBP diduga sebagai transportasi JH di dalam hemolimph, untuk melindungi JH dari degradasi oleh enzim hemolimph, dan untuk memfasilitasi pengenalan JH dan pengambilan oleh sel target. Kemampuan korpora alata untuk mensintesis JH dikontrol oleh signal stimulasi dan inhibisi yang mencapai kelenjar melalui hemolimph atau melalui saraf penghubung, yaitu allatotropin (sebagai penstimulasi) dan allatotastin (sebagai penghambat).
Molting dan metmorfosis Pada insekta pertumbuhan dan perkembangan diselingi dengan periode molting yang diatur oleh molting hormon (20-hydroxyecdysone) dan JH. Molting adalah suatu proses penggantian eksoskeleton dalam rangka pertumbuhan. Semua perubahan yang melibatkan pertumbuhan, molting dan pematangan dikenal sebagai morfogenesis. Selama proses moulting keberadaan JH mencegah diferensiasi seluler dan pematangan. Tanpa adanya JH
morfogenesis dan pematangan dilanjutkan ke tahap dewasa. Karena itu aplikasi JH pada tahap perkembangan menyebabkan dihasilkannya bentuk intermediet yang tidak dapat berkembang lebih jauh dan mati. Karena itu gagasan klasik dari insektisida JH berdasarkan hanya pada pemberian hormon pada insekta diwaktu ketika secara normal harusnya hormon ini tidak ada. Untuk metamorfosis dari larva ke dewasa atau pupa ke dewasa, periode sensitive biasanya sekitar seperempat dari masa instar. Metamorfosis larva ke pupa lebih komplek instar larva sebelumnya mempunyai masa sensitif yang berbeda untuk bagian tubuh yang berbeda dan organ yang berbeda, dan akibatnya hanya pemberian JH dalam jangka waktu yang lama dapat menghasilkan efek penuh, seperti terbentuknya larva yang sangat besar (Staal, 1971). Fase awal dari perkembangan dewasa berlangsung hanya jika juvenile hormone tidak ada. Jika juvenile hormone diberikan/disuplai dengan mengimplankan korpora alata, maka yang terjadi adalah pemblokan diferensiasi dewasa dan mendukung pembentukan dari instar pupa kedua. Pupa ulat sutera cecropia yang menerima 4 implan korpora alata umumnya menunjukkan penghambatan diferensiasi dewasa, ditandai dengan pembentukan kutikula pupa baru meliputi area yang luas dari kepala, torak dan abdomen. Malahan, beberapa dari binatang ini menggambarkan tahapn pupa kedua yang hanya menyisakan karakteristik dewasa yang telah berdeferensiasi. Tetapi pada pupa yang hanya menerima 1 implan korpora alata tetap berkembang dewasa dengan sedikit abnormalitas (William CM., 1961). Peran JH pada insekta premetamorphik adalah memodulasi sel merespon pada molting hormone, 20-OH-Ecdysone (20E). Paparan dengan JH sendirian rupanya mempunyai sedikit atau tidak berefek pada sel-sel dari larva insekta tetapi ketika JH hadir bersama molting hormon, gen-gen karakteristik dari tahap larva diekspresikan kembali sementara gen-gen karakteristik dari metamorfosis dan dewasa dipertahankan dalam represi. Tetapi ketika instar larva akhir, korpora alata berhenti menghasilkan JH dan JH menghilang dari hemolimph, maka aktifitas puncak dari 20E menginduksi ekspresi gen untuk mengekspresikan pupa dan dewasa (William CM.,1961; Wyatt, 1997). Sintesis ekdisteroid pada serangga sangat tergantung dari steroid yang terdapat dalam tanaman yang menjadi sumber pakannya. Hal tersebut dikarenakan serangga tidak dapat mensintesis sendiri kolesterol yang merupakan precursor primer untuk mensintesis ekdison. Fitosteroid yang terdapat pada tanaman inang serangga merupakan jenis triterpenoid, cycloartenol yang terbentuk dari siklisasi epoksida skualen. Derivasi dari cycloartenol adalah
kolesterol yang menjadi precursor ekdison pada serangga, seperti pada
gambar 1.
Serangga pemakan tanaman (fitofag) akan merubah sterol tanaman C29 menjadi sterol C27 yang menjadi precursor ekdison. Selanjutnya sterol C27 tersebut dirubah menjadi kolesterol dan kemudian menjadi 7-dehidrokolesterol, yang menjadi perkursor 3β,14α-dihidroksi-5βkolest-7-en-6-one. Biosintesis ekdison secara skematik terlihat pada gambar 2 dan bentuk strukturnya
terlihat
pada
gambar
3.
Sintesis hormon ekdison ditriger oleh hormon protorakisotrofik (PTTH) yang dihasilkan oleh sel neurosekretori otak. Hormon ini tidak disimpan di dalam kelenjar protoraks, tetapi akan segera dilepaskan setelah disintesis. PTTH yang berfungsi sebagai triger sintesis hormon ekdison ini efeknya bersifat modulasi melalui penghambatan hormon (inhibitory hormone)
dan melalui regulasi langsung syaraf (direct neural regulation) yang mungkin dalam bentuk stimulasi ( stimulatory) atau penghambatan (inhibitory). Pada gambar 4 terlihat mode of
ection mentriger
sintesis
hormon
ekdison
pada
satu
sel
PTTH
kelenjar
yang
protorak.
Pembuktian bahwa sintesis ekdison ditriger oleh PTTH telah dilakukan oleh Carroll Willaims (1947) menggunakan metode ligasi dan implantasi pada Hyalophora cecropia. Dia menunjukkan bahwa ketika otak aktif, pupa yang diikat pada bagian tengah tubuhnya, bagian depannya akan ganti kulit menjadi imago normal sedangkan bagian belakangnya tidak. Dia kemudian menemukan alasannya bahwa bagian depan tersebut dapat ganti kulit dan
menjadi imago normal hanya jika otak dan kelenjar protoraknya masih aktif.
Kesimpulannya bahwa hormon dari otak akan menstimulasi kelenjar protorak untuk mengsekresikan hormon yang menginduksi proses ganti kulit (Gambar 5).
Sintesis ekdison terjadi pada kelenjar protoraks, yang kemudian disekresikan ke dalam hemolimfa. Ekdison merupakan substansi yang tidak larut dalam air dan diduga ditransportasikan di dalam hemolimfa dengan cara terikat pada molekul protein. Dari hemolimfa ekdison ini akan dirubah oleh badan lemak, epidermis, saluran pencernaan tengah (midgut ) atau jaringan lainnya menjadi ekdison yang lebih aktif yaitu 20-hidroksiekdison. Apabila 20-hidroksiekdison tidak terpakai maka di dalam tabung malpigi berubah menjadi bahan yang akan disekresikan. Variasi hormon ekdison yang bersirkulasi di dalam hemolimfa dapat terukur karena ada perubahan di dalam sintesis, pelepasan, degradasi dan ekskresi. Produksi 20-hidroksiekdison akan diimbangi oleh degradasi dan ekskresi serta konversi dalam bentuk konyugat yang sifatnya tidak aktif. Oleh karena itu periode hormon bentuk aktif di dalam hemolimf sangat terbatas. Konyugat ekdisteroid sering dalam bentuk fosfat atau glukosida. Pada gambar 6 terlihat tahapan produksi, aktifitas dan degradasi dari hormon ekdison.
Kelenjar protorak Kelenjar protoraks yang merupakan tempat disintesisnya hormon ekdison dijumpai pada stadium pradewasa serangga. Pada serangga dewasa hormon ini terdapat pada ovari yang kaitannya dalam mengatur perkembangan embrionik, walaupun hormon tersebut dapat dihasilkan dimana-mana di abdomen yang diduga berasal dari oenosit. Kelenjar protoraks ini degenerasi
saat serangga bermetamorfose menjadi imago, walaupun ada yang tetap
bertahan, misalnya pada serangga Apterygota dan lokusta yang hidupnya soliter.
Kelenjar protoraks adalah sepasang kelenjar yang berbentuk butiran butiran seperti anggur, terletak di belakang kepala atau pada toraks serangga, atau pada pangkal labium Thysanura (Gambar 7). Kelenjar ini banyak disuplai oleh sel syaraf dan trakhe. Syaraf-syaraf ini berasal dari ganglion subesophageal atau beberapa dari ganglion protoraks, pada lipas ada hubungan syaraf yang berasal dari otak, sedang pada serangga Hemiptera tidak ada suplai syaraf sama sekali.
Hormon ekdison akan disintesis pada saat serangga pra dewasa akan ganti kulit atau dalam proses pertumbuhan. Cara kerja hormon ini berkaitan langsung dengan dua hormon lainnya yaitu: PTTH ( prothoracicotropic hormone) dan hormon juvenil (JH). Keberadaan JH akan menghambat produksi hormon ekdison dan dengan stimulasi dari PTTH makan hormon ekdison akan disintesis, tetapi akibat dari kelimpahan hormon ekdison dalam
hemolimfa, kemudian akan menghambat produksi hormon juvenil (JH) (Gambar 8).
Secara umum aktifitas biokimia yang terjadi diantara sel sangat tergantung dari adanya reseptor spesifik untuk kerja hormon tersebut. Respon dari jaringan yang berbeda tergantung pada ada atau tidaknya reseptor spesifik tersebut, sehingga jaringan yang berbeda akan memberi respon pada waktu yang berbeda pula. Apabila hormon tersebut tidak bertemu dengan reseptor spesifik pada waktu yang tepat, maka dengan segera akan didegradasi dalam hemolimfa (Gambar 9).
Pengaturan kinerja ekdisteroid secara detail dari mulai disintesis sampai pada proses aktifasi
dan
respon
sel
epidermis
dapat
dilihat
pada
gambar
10.
Sel target dari kerja ekdisteroid adalah sel epidermis pada proses ganti kulit (molt ) (Gambar 11). Karena ekdisteroid merupakan bahan lipofilik, maka bahan tersebut dapat melewati membran sel apabila terikat pada reseptor protein spesifik di dalam sel epidermis. Ekdisteroid ini kemudian secara langsung akan mengaktivasi atau menginaktivasi gen dan sintesis protein baru.
Konsentrasi hormon ekdison pada hemolimfa sangat menentukan apakah akan dapat mempengaruhi sel target atau tidak. Hal itu tergantung dari konsentrasi reseptor yang ada pada sel target tersebut.
Pada proses pertumbuhan serangga kutikula akan berhenti membesar karena dibatasi oleh berakhirnya pengerasan kutikula yaitu melalui proses sklerotisasi. Dengan demikian kutikula yang mengeras tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan yang baru. Proses pelepasan kulit ini disebut dengan ekdisis. Proses ganti kulit sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan proses ekdisis yang berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis (Gambar 12)
.
Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis dari kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju posterior. Proses ini dimediasi oleh molekul 20hidroksi ekdison. Proses ini terjadi mulai saat instar melepaskan kutikula pada stadium pharate. Saat lepas dari kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan mitosis, sehingga permukaan epidermis menjadi luas yang akan menjadi cetakan kutikula yang lebih meluas/besar. Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia) yang sebenarnya dan dimediasi oleh hormon eksklosi. Proses ganti kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut: a. Awal apolisis sepanjang anteroposterior secara bertahap. Proses apolisis ini dimulai segera setelah terjadinya pengerasan kutikula. Pada periode aktif makan setelah terjadinya ekdisis, kerapatan cel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih). b. Pembelahan mitosis sel-sel epidermis
(terjadi pertambahan sel dan pelipatan
permukaan lapisan epidermis). Pembelahan mitosis mulai terjadi, jumlah
sel
bertambah dan meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi kolumner. Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari kutikula. Mitosis epidermal ini mendahului selesainya apolisis. Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses apolisis. Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan kutikula disebut rongga eksuvial atau rongga subkutikuler. Pada Collembola bagian membran luar dari sel epidermis mengeluarkan vesikel-vesikel membentuk busa
sehingga
mendorong lapisan kutikula terlepas dari epidermis. Lepasnya droplet ke dalam rongga ini dengan cara eksositosis plasma membran. c. Sekresi cairan molting. Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih tidak aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera dikeluarkan dalam bentuk gel. Ruang apolisis berangsur angsur menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan moulting. Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase,
protease
menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari kutikula baru.
d. Formasi epikutikula luar pharate pada permukaan epidermis yang telah mengalami apolisis dan crenulat, yang akan menghasilkan patokan pola permukaan kutikula pharate. e. Sekresi epikutikula saat serangga dalam keadaan pharate. f. Aktivasi enzim cairan molting, terjadi
proses lisis endokutikula dan terjadi
penyerapan (resorpsi) endokutikula lama. Aktivasi enzim dihubungkan dengan terjadinya transport potassium ke dalam ruang eksuvial disertai dengan aliran air. Cairan ini disebut cairan moulting dan mengandung komposisi ion sebagai buffer enzim yang mengatur pH selama pencernaan kutikula. Enzim tersebut akan mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak tersklerotisasi tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap otot-otot atau syaraf yang berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang tercerna ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara langsung melalui integumen itu sendiri. g. Deposisi calon eksokutikula
pharate. Deposisi kutikula baru berangsur-angsur
bertambah seiring dengan pencernaan dan penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini dapat mengkonservasi 90% kutikula lama. h. Ekdisis. Saat cairan molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama makin menipis dan lama kelamaan habis dan meninggalkan epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari prokutikula baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada Schistocerca atau serangga lainnya, terjadi peningkatan volume darah. Persiapan ekdisis diawali dengan menelan udara
atau air, kemudian ditelan ke dalam usus sehingga tekanan hemolimf
meningkat. Darah dipompa ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen yang tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau toraks dahulu kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya. i.
Ekspansi kutikula baru. Setelah selesai ekdisis, instar baru akan mengawali aktivitas makan dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti ekdisis. Kutikula baru yang masih lentur akan mengembang sejalan dengan pertumbuhan dan perbesaran tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti proses tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera akan melakukan moulting berikutnya.
j.
Permulaan tanning. Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula. Enzim ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang mengoksidasi dihidroksifenilalanin (dopa) maupun tirosin (tirosin adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning yang disebut sklerotisasi. Proses ini melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) yang didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase
N-
asetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino di dalam protein kutikula. k. Sekresi endokutikula l.
Sekresi lilin
m. Lanjutan deposisi dan tanifikasi endokutikula n. Formasi membran apolisis untuk molting berikutnya. Urutan proses ganti kulit tersebut di atas dapat digambarkan seperti pada gambar 13.
o. Adapun proses ganti kulit yang diatur oleh hormon ekdison, secara biokimia dalam prosesnya disamping melibatkan beberapa enzim juga akan melibatkan beberapa hormon lain yang bekerja secara simultan. Secara skematik proses biokimia yang terlibat
dalam
proses
ganti
kulit
tersebut
digambarkan
pada gambar
14.
Urutan kejadian dalam pengaturan proses apolisi dan pembentukan kutikula adalah sebagai berikut: -
PTTH ( prothoracicotropic hormone) akan merangsang kelenjar protorak untuk mensintesis dan melepaskan hormon ekdison,
-
Hormon ekdison beredar di dalam hemolimfa,
-
Hormon ekdison akan mengalami hidroksilasi pada jaringan tubuh menjadi 20hidroksiekdison.
-
20-hidroksiekdison mengatur gen yang akan membentuk kutikula.
-
Hormon
pemicu ekdisis (ecdysis trigerring hormone, ETH) merangsang
pelepasan
hormon
eklosi
(eclosion
hormone,
EH)
dari
otak,
ETH juga akan mengaktifkan perilaku pre-eklosi. -
Simpul umpan-balik positif antara ETH dan EH mengakibatkan pelepasan EH dalam jumlah besar.
-
Pelepasan EH terpusat merangsang pelepasan Crustacean cardioactive peptide (CCAP) dari neuron pada ganglion ventral, EH yang bekerja melalui hemolimfa mengakibatkan pengenyalan kutikula.
-
CCAP
mengaktifkan perilaku eklosi dan menghentikan perilaku pre-eklosi
CCAP yang bekerja melalui hemolimfa meningkatkan denyut jantung. -
Bursikon mula-mula merangsang pengenyalan kutikula, kemudian mengaktifkan proses sklerotisasi kutikula. ( Samsudin, 2008 )
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan