BAB I
LATAR BELAKANG
Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang
penderitaan yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana
(Sendai, Fukushima, dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa ini tentunya akan membawa
perasaan pilu yang mendalam bagi seluruh keluarganya. Demikian pula
kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu
yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak hanya itu, selain
kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat
tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah. (Gambar 1:
Kehancuran akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Sendai, Jepang)
Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam
hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada
akhirnya menimbulkan kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan
kejiwaan sebagai buntut bencana.
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup
BAB II
TINJAUAN TEORI
Definisi Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (http://www.bnpb.go.id)
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Fase-fese Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu diantaranya :
Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
Evolusi Pandangan Terhadap Bencana
Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai 'korban' dan 'penerima bantuan' dari pihak luar.
Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.
Pandangan Ilmu Terapan
Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.
Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang 'normal'. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali bencana itu sendiri.
Pandangan Ilmu Sosial
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan masyarak.
Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.
Paradigma-paradigma Penanggulangan Bencana
Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai 'korban' dan 'penerima bantuan' dari pihak luar.
Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.
Pandangan Ilmu Terapan
Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.
Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang 'normal'. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali bencana itu sendiri.
Pandangan Ilmu Sosial
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan masyarak.
Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.
Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana
Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya
Kelompok Rentan Bencana
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan terbagi atas:
Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa.
Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor.
Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial dan kesehatan.
Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.
Trauma Pasca Bencana
Stress
Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon secara sesuai.
Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kadang kita harus tergesa bangun, membereskan pekerjaan rumah kadang hingga lupa atau tidak sempat sarapan, lari mengejar kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli keperluan harian dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan stres.
Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat, frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri sendiri dan dapat berprestasi gemilang.
Trauma
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
Terjadi secara tiba-tiba.
Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan.
Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan takut dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya. Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang, namun umumnya respon yang muncul adalah:
Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram, atau ingatan lainnya tentang traumanya
Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan ingatan tentang peristiwa traumatis.
Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami perubahan perasaan ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang mungkin dialami antara lain:
Cepat sedih
Cepat marah
Ingin menangis
Merasa bersalah
Merasa tidak berdaya
Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya
Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain :
Lebih banyak menyendiri
Gemetar
Tidak mau keluar rumah
Mudah tersinggung
Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
Gelisah
Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan, atau justru terlalu banyak makan
Mudah merasa was-was
Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
Sesak napas
Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila perubahan tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:
Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma)
Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai dengan simptom-simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:
Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).
Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak berdaya).
Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).
Acute stress disorder (ASD)
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam jiwa diri sendiri maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya (horor).
Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan tinggi, mudah kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung dan gelisah.
Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.
Post traumatic stress disorder (PTSD)
Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:
Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan sering tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
Ketidakberdayaan/ke-"tumpul"an emosional dan "menarik diri".
Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.
Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).
Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan post impact.
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:
Mengenali instruksi ancaman bahaya,
Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar.
Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, rs dan ambulans.
Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai).
Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko bencana.
Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana "seleksi" pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari.
Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RS.
Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatan.
Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater.
Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.
Peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan nalge baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi nalge tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21).
Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.
Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan nalgesic, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa peduli bencana, tenaga-tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan penanggulangan bencana.
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat area bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit menular.
Jenis Kegiatan Siaga Bencana
Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana:
Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban bencana.
Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.
Management Bencana
Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:
Respons terhadap bencana
Kesiapsiagaan menghadapi bencana
Mitigasi efek bencana
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:
Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.
Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang disepakati.
Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya.
Pemulihan Korban Pasca Bencana
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, "Matur nuwun, Gusti, kawula tasih dipunparingi keselametan..." (Terima kasih, Tuhan, saya masih diberi keselamatan).
Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman tersebut menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of goals). Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna dalam krisis traumatis dan memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus dilakukan .
Terapi Psiko-Sosial
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual).
Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.
Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.
Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya, setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan. Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk mengembangkan kekuatan psikis seseorang.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata beliau, "Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu."
Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki seseorang harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk "Religion and Spirituality in Coping with Stress" yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, "Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya."
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan makna yang positif
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.
Adapun peran serta mahasiswa keperawatan dalam menolong korban bencana dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
Peran dalam Pencegahan Primer
Peran dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana
Peran dalam fase postimpact
DAFTAR PUSTAKA
http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf
http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-alam/36556
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf
http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-bencana/
http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/
MAKALAH
DISASTER NURSING
PSIKOSOSIAL KORBAN BENCANA
Di Susun Oleh:
BUDI LINDA UTAMI (10.0603.0006)
S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2013