BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang
Suppositoria
merupakan
salah
satu
sediaan
farmasi
yang
penggunaannya melalui lubang atau celah pada tubuh. Menurut Ansel, Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rectal,vaginal atau uretra .Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan kejanggalan begitu masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu. Sediaan suppostoria biasanya digunakan dalam keadaan-keadaan tertentu saja misalnya untuk orang yang sedang pingsan, atau pasien yang tidak memungkinkan untuk sediaan oral maupun injeksi. Sediaan dapat bekerja secara sistemik maupun lokal. Untuk suppositoria dengan efek sistemik yaitu sediaan akan masuk ke pembuluh-pembuluh darah melalui mukosa yang terdapat pada rectum ataupun vagina. Sedangkan untuk efek lokal sediaan akan ditahan pada bagian dalam rektum atau vagina dan dibiarkan meleleh atau melunak untuk mencapai efek lokal yang diinginkan. Adapun metode-metode yang digunakan dalam pembuatan suppositoria yaitu dengan tangan, cetak tuang, dan kompresi. Dalam formulasi ini, zat aktif aminofilin dibuat dalam bentuk suppositoria yang diindikasikan sebagai obat anti asma, yang digunakan melalui rektum. Pembuatan suppositoria dengan zat aktif aminofilin dipilih berdasarkan sifat dari zat aktif yang dapat menginfeksi saluran cerna apabila dibuat dalam sediaan tablet, menginfeksi saluran nafas apabila dibuat dalam bentuk aerosol, dan mempengaruhi kestabilan zat aktif apabila dibuat dalam larutan injeksi. I.2
Maksud dan Tujuan
I.2.1
Maksud Percobaan Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui cara pembuatan suppositoria dengan metode tertentu.
I.2.2
Tujuan Percobaan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah membuat sediaan suppositoria dengan metode cetak tuang.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Teori Umum II.1.1 Pengertian Suppositoria
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Suppositoria umumnya dimasukkan melalui rektum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang melalui telinga dan hidung (Ansel, 2008). Suppositoria adalah sediaan sediaan padat, melunak, melumer, dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rektum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo (Formularium Nasional, 1979). Bentuk dan ukuran suppositoria harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam
lubang atau celah yang diinginkan tanpa
menimbulkan kejanggalan saat menggunakan. Selain itu, suppositoria merupakan bentuk sediaan obat padat yang umumnya dimaksudkan untuk dimasukkan ke dalam rektum, vagina, dan jarang digunakan untuk uretra. Suppositoria rektal dan uretral biasanya menggunakan pembawa yang meleleh atau melunak pada temperatur tubuh, sedangkan suppositoria vaginal kadang-kadang disebut pessaries, juga dibuat sebagai tablet kompresi yang hancur dalam cairan tubuh (Lachman, 2008). Suppositoria dapat memberikan efek lokal dan efek sistemik yaitu utuk mendapatkan efek lokal basis suppositoria meleleh, melunak, dan melarut menyebarkan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat yang dimaksudkan untuk ditahan dalam ruangan tersebut a gar mendapatkan keja lokal. Sedangkan untuk efek sistemik membran mukosa
3
rektum dan vagina memungkinkan absorpsi dari kebanyakan obat dapat larut. II.I.2 Macam-Macam Suppositoria
macam suppositoria dapat dibagi sesuai penggunaannya yaitu (Ansel,2008): a.
Suppositoria untuk rectum (rectal) Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal) Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao. c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra) Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya. II.1.3 Beberapa Faktor Absorbsi Obat dari Suppositoria Rektum
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Absorbsi Obat dari Suppositoria Rektum yaitu (Ansel, 2008): 1. Faktor Fisiologi Pada waktu isi kolon kosong, rektum hanya berisi 2- 3 mL. Cairan mukosa yang inert. Dalam keadaan istirahat rektum tidak ada gerakan, tidak ada villi dan mikrovilli pada mukosa rektum. Akan
4
tetapi terdapat vaskularisasi yang berlebihan dari bagian sub mukosa dinding rektum dengan darah dan kelenjar limfe. Diantara faktor fisiologi yang mempengaruhi faktor absorbsi obat dari rektum adalah kandungan kolo, jalur sirkulasi, dan pH serta tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rektum. 2. Faktor Fisika Kimia dari Obat dan Basis Suppositoria Faktorfisika kimia mencakup sifat-sifat seperti kelarutan relatif obat dalam lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang menyebar. Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Kemampuannya melepaskan obat dan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya. II.1.4 Bahan Dasar Suppositoria
Klasifikasi Basis Suppositoria yaitu (Ansel,2008): 1. Basis berminyak/ berlemak Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai karena pada dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini. Diantara bahan bahan yang bisa digunakan yaitu: macam-macam asam lemakyang dihigrogenasi dari minyak dari minyak palem dan minyak biji kapas. 2. Basis yang larut dalam air dan basis bercampur dengan air Komponen yang penting dari basis yang larut dalam air dan basis bercampur dengan air adalah gelatin gliserin dan basis PEG. Dimana basis gliserin paling sering digunakan dalam pembuatan suppositoria vagiana dimana memang diharapkan efek setempar yang cukup lama dari unsur obatnya. 3. Basis Lainnya Dalam kelompok ini termasuk campuran bahan bersifat lemak dan yang larut dalam air atau bercampur dengan air. Bahan-bahan ini mungkin berbentuk zat kimia atau cmpuran fisika.
5
II.1.5 Metode Pembuatan Suppositoria
Metode yang bisa digunakan dalam pembuatan suppositoria yaitu: a. Dengan tangan Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan. II.2 Rancangan Formula
Tiap suppositoria (2 gram) Mengandung : Aminofilin
250 mg
Oleum cacao
85,914 %
Cera alba
4%
α-Tokferol
0,05 %
II.3 Alasan Penambahan
II.3.1 Alasan Formulasi
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk yang diberikn melalui rektal, vagina atau uretra umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh (Dirjen POM, 16).
Aminofilin dibuat dalam bentuk suppositoria karena zat aktif ini dapat mengiritasi saluran cerna karena dapat meningkatkan sekresi asam lambung, sehingga dengan dibuat dalam bentuk suppositoria maka dapat menghindari kontak langsung dengan saluran cerna (Rusdi, 9).
Zat aktif ini tidak dibuat dalam bentuk sediaan inhaler atau aerosol seperti obat asma pada umumnya karena, sediaan aerosol diperlukan alat dan metode khusus, sukar mengatur dosis, sering
6
mengiritasi epitel paru-paru, sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung.
Oleh
karena
itu
dibuat
dalam
bentuk
sediaan
suppositoria, karena sediaan suppositoria tidak melalui saluran pernafasan sehingga suppositoria tidak akan mngiritasi saluran pernafasan (Sanjoyo, 15).
Zat aktif aminofilin ini tidak dibuat dalam bentuk injeksi, karena aminofilin dalam larutan apabila terpapar dengan cahaya matahari dan oksigen, maka akan terurai menjadi 2,3 dimetillalantoin, N.Ndimetil-oksiamida- dan amonia (Hadyanti, 16).
Aminofilin suppositoria ini dibuat dalam bentuk torpedo, karena cara penggunaannya melalui atau secara rektal. Penggunaan rektal ini ditujukan untuk mempercepat kerja obat seta sifatnya lokal dan sistemik. Selain itu, suppositoria ini tidak dibuat untuk penggunaan vagina dalam bnetuk ovula, karena sediaan ovula umumnya untuk keputihan atau infeksi jamur (Sanjoyo, 15).
Pembuatan suppositoria ini dibuat dengan metode cetak tuang, karena metode ini yang paling umum digunakan untuk membuat suppositoria skala kecil dan skala besar. Selain itu, metode ini juga, lebih mudah dibandingkan dengan metode tangan dan mencetak kompresi (Lachman, 1180).
Suppositoria ini dibuat dengan kandungan zat aktif sebesar 250 mg dalam setiap suppositoria karena menurut fornas kekuatan zat aktif aminoilin dalam bentuk suppositoria adalah 250 mg (Dirjen POM, 19).
Suppositoria ini dibuat dengan aturan pakai 2 kali 1 karena menurut literatur dosis untuk orang dewasa 3 kali 1 dengan zar aktif sebesar 200 mg, tetapi menurut literatur lain dengan kadar zat aktif 250 mg dipakai 1 sampai 2 kali sehari. Hal ini juga disesuaikan dengan pernyataan literatur lain, dimana aminofilin baik oral, rektal, maupun intravena diberikan tiap 6 – 8 jam (IAI, 49; Fornas, 19; Dirjen POM, 82).
7
Aksi sistemik Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tida seperti yang di absorpsi setelah pemberian secara pemberian secara oral, tidak melalui sirkulasi portal sewaktu perjalanan pertamanya dalam sirkulasi
yang
lazim,
dengan
cara
demikian
obat
yang
dimungkinkan untuk tidak dihancurkan dalam hati untuk memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian bawah yang mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorpsi lalu mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati. Sirkulasi melalui getah bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan melalui rektum (Ansel, 579).
Bentuk-bentuk kristal oleum cacao (Lachman, 1169): Minyak coklat diperkirakan mampu berada dalam empat keadaan kristal : 1. Bentuk α meleleh pada 24 oC, diperoleh dengan pendinginan secara tiba-tiba minyak coklat yang sedang meleleh sampai suhu 0oC. 2. Bentuk β1, diperoleh dari minyak coklat yang dicairkan dan diaduk aduk pada 18 – 23oC, titik lelehnya terletak antara 28 – 31oC. 3. Bentuk β1 secara perlahan lahan menjadi bentuk β yang stabil, yang mencair antara 34 dan 35 oC, perubahan ini disertai oleh penyusutan volume. 4. Bentuk γ, meleleh pada 18 oC, diperoleh dengan menuang minyak coklat dingin (20 oC), sebelum minyak coklat memadat, ke dalam suatu wadah yang telah didinginkan pada temperatur sangat dingin.
Suppositoria dengan basis minyak coklat pada penyimpanan, diisimpan pada temperatur lemari pendingin atau temperatur sejuk yang sama. Suhu lemari pendingin 2 - 8 oC (Lachman, 1195).
8
Suhu peleburan waterbath untuk oleum cacao pada suhu 30 – 35oC atau 35oC (Parrot, 264; Scovile’s, 337).
Berat tiap suppositoria yang digunakan adalah 2 gram, dimana hal ini sesuai dengan tetapan USP menyataan berat suppositoria untuk orang dewasa dengan basis oleum cacao adalah 2 gram (Ansel, 576).
Obat yang digunakan memalui rektum dalam bentuk suppositoria untuk mendapatkan efek sistemiknya antara lain terdiri dari aminofilin, dan teofilin dipakai untuk meghilangkan asma (Ansel, 578).
Cara kalibrasi cetakan (Baviskar, 22): 1. Dibuat dan dicetak suppositoria dari basis saja. 2. Dikeluarkan hasil cetakan dari cetakan rata-ratanya (bagi pemakaian basis tertentu). 3. Suppositoria dilebur dengan hati-hati dalam gelas ukur untuk menentukan volume cetakan. 4. Volume leburan ditentukan untuk keseluruhan dan rata-rata.
Perbedaan cera alba dan cera flava (Dirjen POM, 140-141): - Cera alba (malam putih) dibuat dengan memutihkan malam yang diperoleh dari sarang lebah ( Apis merllifer . L) atau spesies Apis lain. Sedangkan cera flava diperoleh dari sarang ( Apis merllifer . L) atau spesies Apis lainnya. - Cera alba pemeriannya berupa zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan, bau khas lemah. Sedangkan cera flava pemeriannya berupa zat padat, coklat kekuningan, bau enak seperti madu, agak rapuh jika dingin dan menjadi elastik jika hangat. - Suhu lebur cera alba dari 62 – 64 oC, sedangkan cera flava dari 62 – 65oC. - Cera alba agak sukar larut dalam etanol 95 % sedangkan cera flava larut dalam etanol 95 %.
9
Alasan kontra indikasi dan efek samping aminofilin (Mardjono, 252-257). Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan theobromin ialah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan. Zat aktif dalam formulasi ini yaitu aminofilin yang merupakan garam dari teofilin. Efek samping teofilin 250 mg atau lebih pada pengobatan asma bronkial mirip dengan gejala perngsangan kafein terhadap SSP. Bila dosis metil xantin ditinggikan akan menyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor, hiperostesia, kejang lokal atau kejang umum. Kejang akibat teofilin ternyata lebih kuat dibandingkan akibat kafein. Kejang sering terjadi bila kadar teofilin darah 50 % lebih tinggi daripada kadar terapi (10 – 20 µg/ mL. Dosis sedang pada kucing dan manusia menyebabkan kenaikan sekresi lambung yang berlangsung lama. Kombinasi histamin dan kafein memperoleh efek potensiasi pada peninggian sekresi pepsin dan asam. Pada hewan coba didapati perubahan patologis dan pembentuan ulkus pada saluran cerna akibat pemberian kafein dosis tunggal yang tinggi atau dosis kecil berulang. Xantin dapat menyebabkan toleransi terutama terhadap efek diuresis dan gangguan tidur. Terhadap perangsangan SSP hanya sedikit terjadi toleransi, juga terdapat toleransi silang antar derivat xantin. Teofilin juga banyak digunakan pada penyakit ini denga tujuan yang sama dengan pengobatan penyakit asma. Tetapi, gejala lain yang mengangkat sistem kardiovaskular akibat penyakit paru obstruktif kronik ini misalnya hipertensi pulmonal, payah jantung kanan pada con pulmonale, tidak diperbaiki oleh teofilin.
10
II.3.2 Alasan Penambahan Zat Tambahan 1. Oleum cacao - Oleum cacao merupakan basis suppositoria yang larut dalam lemak. - Penggunaan oleum cacao ini berdasarkan kelarutan zat aktif yang lebih larut dalam air dibandingkan etanol dan pelarut non polar lainnya. Karena manurut lachman dalam suppositoria untuk efek sistemik dijelaskan bahwa obat harus didispersikan secara homogen didalamnya, tetapi obat tersebut dapat dilepaskan dengan laju yang dikehendaki pada cairan-cairan tubuh yang encer disekitar suppositoria tersebut. Oleh karena itu kelarutan bahan-bahan aktif dalam air atau pelarut lainnya harus diketahui. Jika obat larut dalam air, maka basis lemak dengan angka air kecil yang dipilih ataupun sebaliknya (Lachman, 1184). - Minyak coklat (oleum cacao) merupakan basis suppositoria yang paling banyak digunakan. Selain itu sebagian besar sifat minyak coklat memenuhi persyaratan basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya, lunak dan reaktif, serta meleleh pada temperatur tubuh (Lachman, 1168) 2. Cera alba - Berdasarkan basis yang digunakan yaitu olem cacao, maka dalam formula ini menggunakan cera alba karena menurut ansel oleum cacao dapat menunjukkan sifat polimerfisme atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Jika titik lebur menurun sedemikian rupa maka tidak mungkin lagi dijadikan suppositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras seperti cera alba kurang lebih 4 % dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi
pengaruh
ditambahkan (Ansel, 583).
11
pelunakan
dari
bahan
yang
- Penggunaan cera alba dalam suppositoria dengan basis oleum cacao digunakan konsentrasi 4% karena dapat memberikan suhu lebur yang paling mendekati persyaratan farmasetik (Nursal, 1). 3. α-Tokoferol - α-Tokoferol digunakan sebagai antioksidan - Berdasarkan basis yang digunakan yaitu oleum cacao memiliki ketengikan yang disebabkan oleh antioksidasi dan penguraian berturut-turut dari lemak tidak semua menjadi aldehid jenuh, agar tidak terjadi autooksidasi maka digunakan antioksidan (Lachman, 1191) - Penggunaan
anti
oksidan
ini
untuk
mengurangi
atau
meminimalisir timbulnya bau tengik dari basis oleum cacao karena menurut lachman oleum cacao mempunyai kelemahan dapat menjadi tengik (Lachman, 1191; Rowe, 31) - Konsentrasi yang digunakan adalah 0,05 % (Rowe, 31). II.4 Uraian Bahan
1. Aminofilin (Dirjen POM, 90; Martindale, 114; Walter, 722) Nama resmi
: Aminophyllinum
Nama lain
: Aminofilin, Teofilin, Etilendiamin
RM/BM
: C16H24 N10O6/ 420,43
Rumus struktur
:
Pemerian
: Butir atau serbuk putih atau agak kekuningan , bau amonia lemah, rasa pahit, jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilendiamina dan menyerap karbondioksida dengan melepaskan
12
teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus. Kelarutan
: Tidak larut dalam etanol, dan dalam eter, larutan 1 gram dalam 25 mL air menghasilkan larutan jernih larutan dalam 1 gram dalam 5 mL air menghablur jika didiamkan dan larut kembali jika ditambahkan sedikit etilendiamin
Stabilitas
: Aminofilin dapat menyerap karbondioksida dari udara yang mengakibatkan terjadinya pembebasan teofilin. Dalam bentuk larutan akan menyerap karbon dioksida dari udara. Dalam solitan terkena sinar dan oksigen, aminofilin telah ditemukan untuk menurunkan 1,3- dimethyllalatoin, N.Ndimetil- oxamide, dan amonia
Inkompatibilitas
: Aminofilin
seharusnya
tidak
diperbolehkan
bersentuhan dengan logam. Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan
: Sebagai zat aktif
DM
: 250 mg/ 1500 mg
2. Oleum cacao (Dirjen POM, 456; Rowe, 725) Nama Resmi
: Oleum cocos
Nama Lain
: Lemak coklat
Pemerian
: Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik rasa khas lemak, agak rapuh
Kelarutan
: Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform, dalam eter, dan dalam eter minyak tanah
Stabilitas
: Pemanasan oleum cacao diatas suhu tubuh 360C selama
dalam
persiapan
mengakibatkan
penurunan
13
suppositoria titik
beku
dapat karena
terbentuknya metastabil, hal ini dapat mempersulit dalam pembuatan suppositoria Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup rapat
Konsentrasi
: 77, 571%
3. Cera alba (Dirjen POM, 186) Nama Resmi
: Cera alba
Nama Lain
: Malam putih kekuningan, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapisan tipis; bau khas lemah dan bebas bau tengik
Kelarutan
: Tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol dingin
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik
Konsentrasi
: 4%
4. α-Tokoferol (Dirjen POM, 796; Rowe, 32) Nama resmi
: Tocopherolum
Nama lain
: α-Tokoferol
RM/BM
: C29H50O2/ 430
Rumus struktur
:
Pemerian
: Praktis tidak berbau dan tidak berasa, bentuk αTokoferol asetat berupa minyak kental jernih, warna kuning atau kuning kehijauan
Kelarutan
: α-Tokoferol asam suksinat tidak larut dalam air, etanol, dalam eter, dalam aseton, dan dalam minyak
nabati,
sangat
mudah
larut
dalam
kloroform Stabilitas
: Tokoferol teroksidasi oleh oksigen dan garam berisi serta perak. Tokoferol ester lebih stabil untuk
14
yang mudah teroksidasi, tokoferol bebas yang biasanya digunakan untuk bahan yang stabil. Inkompatibilitas
: Tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam, terutama zat besi, tembaga dan perak.
Konsentrasi
: 0,05 %
15
BAB III METODE KERJA III. 1 Perhitungan bahan
- Aminofilin tiap suppositoria = 250 mg = 250 mg x banyaknya suppositoria = 250 mg x 20 = 5000 mg = 5 g Nilai tukar
= 0,86 x 250 mg = 215 mg =0,215 gram
-α-Tokoferol = 0,05 % = Per batch
0,05 100
x 2 g = 0,001 g
= 0,001 x 20 = 2 x 10
-3
= 0,002 gram - Cera alba
=4% =
4 100
x 2 g
= 0,008 gram Per batch
= 0,008 x 20 = 1,6 gram
- Bobot suppositoria
= 2,1 x 20 = 42 gram
- Oleum cacao
= 2,1- (0,215 g + 0,001 g + 0,08 g) = 2,1 – 0,296 = 1,804 g
Per batch
= 1,804 x 20 = 36, 08 gram
- Persentase
=
1,804 2,1
x 100 %
= 85,914 % III. 2 Perhitungan α-Tokoferol
Dik : 1 mg α-Tokoferol = 1,29 iu dalam 1 kapsul
16
= 100 iu
α
-Tokoferol = 0,02 gram
= 20 gram Dit :
jumlah α-Tokoferol yang di gunakan ?
peny :
100
x 1 mg
1,49
= 67, 11 mg - α-Tokoferol dilarutkan dalam 4 ml minyak jarak, maka : -
20 67,11
x 4 ml = 1,19 ml
1 mg = 20 tetes 1 20
=
1,19
x = 1,19 x 20 = 23, 8 atau 24 tetes III. 3
Alat dan Bahan
III. 3.1 Alat
1.
Alu
2.
Aluminium foil
3.
Batang pengaduk
4.
Cawan porselin
5.
Cetakan suppositoria
6.
Lap halus
7.
Lap kasar
8.
Lemari pendingin
9.
Lumpang
10. Plastik Obat 11. Sendok tanduk 12. Sudip 13. Water bath III. 3. 2 Bahan
1.
Aminofilin
2.
Cera alba
17
III. 4
3.
Oleum cacao
4.
α
-Tokoferol
Cara kerja
1.
Ditimbang Aminofilin, Oleum cacao, α-Tokoferol, dan Cera alba sesuai yang dibutuhkan
2.
Dikalibrasi cetakan dan dibasahi dengan paraffin cair
3.
Diletakkan cera alba ke dalam cawan porselin dan dipanaskan diatas waterbath pada suhu 350 C
4.
Ditambahkan Oleum cacao dan dileburkan
5.
Ditambahkan α-Tokoferol dan diaduk hingga homogeny
6.
Ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit dalam leburan tersebut dan diaduk hingga homogen
7.
Dimasukkan leburan tersebut dalam cetakan yang telah dikalibrasi
8.
Didiamkan selama 5-10 menit
9.
Didinginkan dalam lemari pendingin pada suhu 2-8 0 C selama ± 15 menit
10. Dikeluarkan suppositoria dari cetakan 11. Dibungkus dengan aluminium foil dan dikemas dalam plastic obat 12. Diberi etiket dan brosur
18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1
Hasil Pengamatan Berdasarkan evaluasi penampilan umum, dimana suppositoria dibelah
menjadi dua yaitu Nampak bagian dalam dan bagian luar dari suppositoria yang homogen. Jadi dapat disimpulkan bahwa sediaan suppositoria dengan zat aktif aminofilin memenuhi syarat penampilan umum. IV.2
Pembahasan
Pada praktikum teknologi sediaan padat ini dibuat rancangan formula suppositoria dengan zat aktif aminofilin 250 mg dengan bahan tambahan berupa oleum cacao 5 % sebagai basis, cera alba 4 % untuk menaikkan titik lebur, dan α-tokoferol 0,05 % sebagai anti oksidan (Sweetman, 2009). Zat aktif aminofilin suppositoria dibuat 2 mg setiap tablet, hal ini telah berdasarkan literature (Lachman, 2008). Dimana sediaan suppositoria ini memiliki keunggulan dibandingkan sediaan yang lain yaitu dapat menutupi kelemahan dari zat aktif aminofilin yang dapat mengiritasi saluran cerna karena dapat meningkatkan sekresi asam lambung (IAI, 2012). Sediaan suppositoria dengan zat aktif aminofilin diindikasikan untuk mengurangi dan mengobati penyakit asma. Cara kerjanya yaitu dalam system cAMP hormone atau obat-obatan akan berperan sebagai first messenger yang akan membawa pesan pertama ke ekstra seluler. Yang selanjutnya hormone atau obat-obatan tersebut akan masuk ke dalam reseptor serta akan mengaktifkan adenilsiklase yang terdapat di membrane sel. Dengan adanya ion magnesium, adenilsiklase akan menghambat perubahan
dari
cAMP
menjadi
AMP.
Inhibisi
terhadap
enzim
fosfidiesterase oleh aminofilin akan mengakibatkan peningkatan kadar cAMP dan mengakibatkan terjadinya respon fisiologis yaitu bronkodilatasi (Karmini, 1998). Pada proses pembuatan sediaan suppositoria akan membutuhkan keterampilan yang cukup khusus, dimana suppositoria ini dibuat dalam
19
bentuk torpedo, dimana hal ini sesuai cara penggunaannya melalui dubur atau secara rektal. Penggunaan rektal ini ditujukan untuk mempercepat kerja obat secara sistemik sesuai indikasinya yaitu untuk mengurangi dan mengobati asma (Sanjoyo, 2007). Dalam tahap pembuatan digunakan metode cetak tuang, karena metode cetak tuang merupakan metode paling umum digunakan untuk membuat suppositoria skala kecil dan skala besar, serta metode ini lebih mudah dibandingkan dengan metode mencetak dengan tangan dan mencetak kompresi (Lachman, 2008). Langkah awal yang dilakukan yaitu membersihkan alat dengan alcohol 70%. Hal ini bertujuan untuk mensterilkan alat, sehingga bebas dari mikroba (Dirjen POM, 1979). Selanjutnya ditimbang aminofilin, oleum cacao, α-tokoferol dan cera alba sesuai perhitungan bahan. Dikalibrasi cetakan dan dibasahi dengan paraffin cair. Kemudian diletakkan α-tokoferol ke dalam cawan porselin dan dipanaskan diatas water bath pada suhu 35 o C. Dileburkan satu pesatu oleum cacao, cera alba dan ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit dalam leburan tersebut, serta diaduk hingga homogen. Apabila telah homogeny, dimasukkan hasil leburan tersebut ke dalam cetakan. Didiamkan selama 5 menit, hal ini untuk mengindari bentuk meta stabil dari oleum cacao. Didinginkan dalam lemari pendingin pada suhu 2 – 8o C selama kurang lebih 15 menit sampai suppositoria siap dikeluarkan dari cetakan (Lachman, 2008). Setelah sediaan suppositoria telah terbentuk, maka sediaan ini siap dibungkus dalam aluminium foil dan dikemas dalam plastik obat, serta diberi etiket dan brosur. Apabila semua proses pencetakan telah selesai, dilanjutkan evaluasi suppositoria. Evaluasi suppositoria yang dilakukan yaitu uji penampilan umum yang dilakukan dengan menggunakan membelah dua suppositoria dari bagian atas sampai bawah sehingga Nampak bagian dalam dan bagian luar suppositoria. Hasil yang nampak yaitu bagian dalam dan luar suppositoria
adalah tampak homogeny. Jadi dapat disimpulkan bahwa
20
sediaan suppositoria yang dibuat memenuhi syarat penampilan umum (Voigt, 1994).
21
BAB V PENUTUP V.1
Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulakan bahwa metode yang cocok digunakan dalam pembuatan suppositoria dengan zat aktif aminofilin yaitu metode cetak tuang. V.2
Saran
Diharapkan
dalam
penimbangan
dan
pencampuran
bahan,
praktikan harus lebih terampil dan teliti, sehingga dapat mengurangi kesalahan dalam praktikum dan dapat menghasilkan evaluasi yang akurat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Ke empat . Diterjemahkan oleh Ibrahim Farida. Jakarta: UI-Press Baviskar, P.dkk. 2013. Formularium and Evaluation Of Lornoxicam Suppositoria Vol. 2 No. 7 . Jakarta: The Pharma Innovation Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke Tiga. Jakarta: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Dirjen POM. 1989. Formularium Nasional Edisi Ke dua. Jakarta: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi ke empat . Jakarta: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Hadyanti. 2008. Pengaruh Tretinoin. Jakarta: FMIPA UI-Press I.A.I. 2012. Infomasi Spesialite Obat Indonesia Vol. 47 . Jakarta: ISFI penerbitan Karmini. 1998. Respon Faal Paru Setelah Pemberian Aminofilin. Semarang: Universitas Diponegoro Lachman, L. Lieberman, H.A dan Kaning, J.I. Teori Dan Praktek Farmasi industri Edisi III . Diterjemahkan oleh : Siti Suyatmi. Jakarta: UI-Press Mardjono, M. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Lima . Jakarta: UI-Press Nursal, F.K. 2012. Formulasi Sediaan Suppositoria Ekstrak Etanol Daun Handeuleum (Graptophylumpictum. L) Dalam Basis Oleum Cacao. Jakarta: FMIPA Universitas Muhammadiyah Parrot, F.I. 1971. Pharmaceutical Teknologi Fundamental : Pharmaceutical Mineapoin. Burgers Publishing Company Rowe, R.C..dkk. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipient Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press And America Sanjoyo, R .
2007. Obat (Biomedik Farmakologi). Yogyakarta: FMIPA Universitas Gadjah Mada
Scoville’s. 1957. The art Of Compounding Edisi 19. New york: McGraw_hill Book Company
23
Sweetman, S.C. 2009. Martindale. USA: Pharmaceutical Press Walter,L. 1994. The Pharmaceutical Codex edisi XII . London: Pharmaceutical Press
24
LAMPIRAN a. Cara Kerja
Aminofilin, oleum cacao, cera alba, α-Tokoferol
Cetakan
-
Dikalibrasi Dibasahi dengan parafin cair
- Diletakkan cera alba kedalam cawan porselin dan dilebur pda suhu 35°C - Ditambahkan oleum cacao - Ditambahkan α-tokoferol, diaduk hingga homogen - Ditambahkan zat aktif aminofilin sedikit demi sedikit ke dalam leburan - Dimasukkan leburan ke dalam cetakan - Didiamkan selama 5 – 10 menit - Didinginkan dalam lemari pendingin - Dibungkus dengan aluminium foil - Diberi etiket dan brosur
Aminofilin suppo
25
b. Etiket
Aminofann Suppo®
Aminofilin suppositoria Komposisi tiap suppositoria mengandung: aminofilin
250 mg
zat tambahan q.s Indikasi
Untuk mengurangi dan mengobati penyakit asma Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap xantin, ulkus peptikum dan gangguan kejang Efek samping
Insomnia dan gangguan pencernaan Dosis
Untuk dewasa; 2x1 atau atas petunjuk dokter Perhatian dan peringatan
Digunakan dengan hati-hati pada penderita kerusakan fungsi hati dan penderita paru-paru kronik. Dimasukkan dalam dubur. Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan ditempat yang sejuk No. Reg
: DKL 14 808 212 53 A1
No. Batch : E4 808 212 Diproduksi oleh PT. Abdi Farma Gorontalo-Indonesia
26
c. Brosur
Aminofann Suppo® •
•
Tiap suppositoria mengandung:
Aminofilin
250 mg
Zat tambahan
q.s
Farmakologi
Aminofilin merupakan garam dari teofilin, menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang SSp, otot jantung dan meningkatkan diuresis. Sehingga merupakan obat yang terpilih untuk terapi pada penderita gangguan napas akibat dari bronkokonstriksi. •
Indikasi
Untuk mengurangi dan mengobati penyakit asma •
Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap xantin, ulkus peptikum dan gangguan kejang •
Efek samping
Insomnia dan gangguan pencernaan •
Dosis
Untuk dewasa; 2x1 atau atas petunjuk dokter •
Perhatian dan peringatan
Digunakan dengan hati-hati pada penderita kerusakan fungsi hati dan
penderita
paru-paru kronik. dimasukkan dalam dubur. •
Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan ditempat yang sejuk No. reg
: dkl 14 808 212 53 a1
No. batch : e4 808 212 Diproduksi oleh Pt. abdi farma Gorontalo-Indonesia
27