BAB I TINJAUAN KASUS PNEUMONIA I. IDENTITAS PASIEN Nama
: An. FJ
Umur
: 8 Bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Kampung Kemang
Masuk IGD
: 31 May 2015 pukul 00.00
Masuk Bangsal
: 31 May 2015 pukul 09.00
Ruang Rawat
: Bougenvile Atas
II. ANAMNESIS (31 MAY 2015) Berdasarkan Alloanamnesa dari Ibu Pasien Keluhan Utama: Sesak napas yang semakin memberat sejak 4 jam sebelum masuk RS. Keluhan Tambahan : Demam (+), Batuk berdahak (+), Pilek (+) Riwayat Penyakit Sekarang: 1 minggu sebelum masuk RS, pasien mengalami batuk berdahak. Batuk tidak muncul pada waktu tertentu. Pasien sudah berobat ke RS lain tapi tidak ada perubahan. 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam pada malam hari, suhu diukur 38°C. Demam dirasakan naik turun. Demam tidak disertai dengan kejang. Batuk berdahak masih menetap. Batuk berdahak warna putih kehijauan. Riwayat tersedak sebelumnya disangkal. Pilek berwarna putih kehijauan. Saat itu, pasien dibawa berobat ke Puskemas dan mendapatkan obat penurun panas dan obat batuk pilek. Batuk dan pilek tidak berkurang, demam juga hanya turun jika diberi obat penurun panas, setelah itu demam naik kembali. Ibu pasien menyangkal adanya penurunan berat badan drastis dalam tiga bulan ini. Napas berbunyi ngik-ngik juga disangkal.
1
BAK normal, frekuensi ganti pampers 3-4 kali sehari kondisi pampers ¾ penuh. BAB normal, frekuensi ganti pampers 2-3 kali sehari. Satu hari sebelum masuk RS, pasien tampak lemas dan nafsu makan berkurang. Batuk pilek dan demam masih ada. Demam disangkal, tidak disertai dengan kejang. 4 jam sebelum masuk RS, pasien terlihat napasnya cepat dan sesak. Sesak muncul perlahan-lahan. Sesak tidak muncul tiba-tiba karena udara dingin ataupun debu. Pasien menjadi lebih cepat lelah menetek, kira-kira sekitar 5 menit menetek lalu pasien melepas. Berdasarkan pengakuan ibu pasien, pasien tampak biru. Di IGD pasien dipasang selang oksigen dan mendapatkan terapi uap satu kali. Setelah diuap, ibu mengaku pasien batuk-batuk kemudian memuntahkan dahak berlendir, warna putih, tidak berdarah. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat tersedak disangkal. Riwayat alergi obat dan susu formula disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga: Keluhan yang sama seperti pasien di keluarga disangkal. Riwayat kontak dengan penderita TB di keluarga maupun lingkungan sekitar disangkal. Riwayat alergi, asma, penyakit jantung disangkal Riwayat Sosial dan Lingkungan : Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Kebersihan dalam rumah cukup diperhatikan. Ibu rajin membersihkan rumah. Pasien tinggal bersama Ayah, Ibu, dan Nenek pasien. Pasien tidak tinggal dekat jalanan maupun pabrik. Namun ayah pasien adalah perokok dan kadang kadang sering merokok di dalam rumah. Riwayat Antenatal : Kontrol kehamilan rutin di bidan. Demam, batuk-pilek, keputihan, infeksi lain, tekanan darah tinggi disangkal. Diberikan suplemen zat besi mulai trimester ke 2. Kesan : normal
2
Riwayat Persalinan : Pasien merupakan anak pertama, lahir di bidan, cara persalinan pervaginam, cukup bulan (38-39 minggu), berat lahir 3100 gram, panjang lahir 50cm, menangis spontan, kelainan bawaan (-), riwayat kuning maupun biru (-). Kesan : Lahir cukup bulan, sesuai masa kehamilan Riwayat Imunisasi : Imunisasi biasanya dilakukan di puskesmas. Imunisasi yang telah dilakukan BCG, Polio, Hepatitis B, dan DPT. Ibu Pasien lupa waktunya kapan. Imunisasi yang belum dilakukan adalah campak. Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur menurut rekomendasi Depkes. Riwayat Makan : 0 – 6 bulan
: ASI eksklusif
6 – 8 bulan (sekarang)
: ASI + Makanan Pendamping (Bubur cerelac, Buah, Biskuit) frekuensi 3x sehari, 1 porsi = 1 mangkuk kecil
Kesan
: Kualitas baik, kuantitas baik
Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan :
Personal Sosial : saat ini pasien sudah dapat menatap muka, tersenyum, mengamati tangan, berusaha meraih mainan, memegang biskuit sendiri
Motorik Halus : saat ini pasien sudah dapat menoleh ke samping kanan dan kiri, berusaha meraih mainan, memegang biskuit sendiri
Bahasa : saat ini pasien sudah dapat bersuara, berteriak, menoleh ke arah suara, mengoceh
Motorik Kasar : saat ini pasien kepala sudah bisa tegak ketika didudukan, duduk tanpa berpegangan
Kesan : Tumbuh kembang normal
3
III. PEMERIKSAAN FISIK (21 FEBRUARI 2015 PUKUL 22.30) Status Generalis Kesan Umum
:
Tampak sakit sedang, tampak sesak, kesan status gizi cukup
Kesadaran Tanda Vital
Status Antropometri
: :
:
Compos mentis N : 100x/mnt, isi cukup, kuat angkat, reguler RR
: 48x/menit
S
: 37,8’C
SpO2 : 90% (tanpa memakai nasal kanul) BB : 9,2 kg BB/U : 0 < z score < 2 ( normal) PB : 70 cm
PB/U : -2 < z score < 0 (normal) BB/PB : 0
:
Kesan : Gizi Baik Normocephal (Lingkar kepala 45 cm), rambut hitam,
Mata
:
distribusi merata, tidak mudah dicabut Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
Telinga
:
isokor 2mm/2mm Bentuk normal, simetris, otore -/-
Hidung
:
Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (-), bekas
Kepala
sekret mengering +/+ warna kehijauan Mukosa bibir lembab, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-
Mulut Leher
: :
T1 tenang Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Dada
:
Pulmo : I : Normochest, dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi suprasternal (+) retraksi epigastrium (+) P : Ekspansi dinding dada simetris P : Sonor di kedua lapang paru A : Vesikuler (Normal/Normal), ronkhi, Ronkhi Basah Halus)
+
+
+
+
+
+
Cor : I : Tidak tampak ictus cordis P : Iktus cordis teraba di ICS 2-3 linea MCS 4
P : Batas jantung kesan normal A : BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-) Abdomen
:
I : Datar P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba, turgor baik P : Timpani
Alat Kelamin
:
A : Bising usus (+) normal O , Fimosis (-), Eritema (-)
Ekstremitas
:
Edema (-), sianosis (-), capillary refill <2detik, akral hangat (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM TANGGAL 31 MAY 2015 00.20 Pemeriksaan Hematologi Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit MCV MCH MCHC RDW-CV Kimia Klinik Analisa Gas Darah pH pCO2 pO2 HCO3 TCO2 Base Excess
Hasil
Nilai Normal
11.34
5 - 14,5 ribu
30.3 57.6 7.9 1.6 2.6
17 – 60 % 20 – 70 % 1 – 11 % 1–5% 0–1%
4.54 13.3 37 431 81.1 29.4 36.3 12.05
3,87 – 5,39 juta/uL 11,5 – 13,5 g/dL 34 – 40 % 150 – 440 ribu 75 – 87 fL 24 – 30 pg 31 – 37 % 11,5 – 14,5 %
7.301 39.7 112.2 18.7 19.8 -7.1
7,34 – 7,44 35 – 45 mmHg 85 – 95 mmHg 22 – 26 mmol/L 23 – 27 mmol/L -2,5 – 2,5 5
Std HCO3 Saturasi 02 Elektrolit Na K Cl Ureum Kreatinin
18.8 97.7
22 – 26 mmol/L 96 – 97 %
143 5.7 112.0 23 0.2
135 – 145 mmol/L 3.5 – 5.5 mmol/L 98 – 109 mmol/L 20 – 40 mg/dL 0.2 – 1.5 mg/dL
V. DIAGNOSA KERJA Pneumonia VI. DIAGNOSA BANDING Bronkiolitis VII. PENATALAKSANAAN
O2 : Nasal kanul 2 lpm
Diet : ASI ad Libitum
IVFD : KAEN 1B Kebutuhan cairan anak dengan BB = 9,2 kg [9.2 x 100] x 20 = 12,7 ~ 12 tpm makro 24 x 60
Obat : - Antibiotik :
Ampisilin (50 mg/kgBB) diberikan 4x sehari 9,2 kg ~ 9,2 x 50 mg = 460 mg/4x = 115mg/x Ampisilin 4 x 115 mg IV
Kloramfenikol (25 mg/kgBB) diberikan 4x sehari 9,2 kg ~ 9,2 x 25 mg = 230 mg/4x = 57,5mg/x Kloramfenikol 4 x 80mg IV
- Inhalasi Ventolin 1 respul + NS 3cc 3 x sehari (per 8 jam) - Antipiretik :
Paracetamol (10 – 15 mg/kgBB/x) diberikan 4 kali sehari
6
9,2 kg ~ 9,2 x (10 – 15 mg) = 92 – 138 mg ~ 100mg Paracetamol drops 4 x 1 ml * Sediaan drops 100mg/ml
Edukasi : - Bila menyusui, posisi anak harus setengah duduk, tidak boleh sambil ibu berbaring atau anak berbaring - Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka semntara anak dipuasakn telebih dahulu dan dipasang NGT - Bila anak demam, beri minum ASI yang cukup, kompres hangat, dan beri obat penurun panas
VIII. PROGNOSIS Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1
7
II.2 Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia 2. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang 2. II.3. Etiologi Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2. Penyebab utama virus adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di
8
antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.2 Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel. Usia Lahir - 20 hari
Etiologi yang sering Bakteri E.colli Streptococcus grup B Listeria monocytogenes
3 miggu – 3 bulan
Bakteri Clamydia trachomatis Streptococcus
Etiologi yang jarang Bakteri Bakteri anaerob Streptococcus grup D Haemophillus influenza Streptococcus pneumonie Virus CMV HMV Bakteri Bordetella pertusis Haemophillus influenza tipe B
pneumoniae Virus Adenovirus Influenza Parainfluenza 1,2,3 Bakteri Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumoniae Streptococcus
Moraxella catharalis Staphylococcus aureus Virus CMV Bakteri Haemophillus influenza tipe B Moraxella catharalis Staphylococcus aureus
4 bulan – 5 tahun
tahun – remaja
pneumoniae Virus Adenovirus Rinovirus Influenza Parainfluenza Bakteri Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumoniae Streptococcus
Neisseria meningitides Virus Varisela Zoster
Bakteri Haemophillus influenza Legionella sp Staphylococcus aureus
pneumoniae Virus Adenovirus Epstein-Barr Rinovirus Varisela zoster Influenza / Parainfluenza
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.8
II.4. Klasifikasi
9
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria. Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 : Klasifikasi Pneumonia
Anak usia < 2 bulan Kesadaran turun,
Sangat Berat
letargis Tidak mau menetek / minum Kejang Demam atau
Anak usia 2 bulan – 5 tahun Kesadaran turun, letargis Tidak mau minum Kejang Sianosis Malnutrisi
hipotermia Bradipnea atau pernapasan ireguler Napas cepat Retraksi yang berat
Pneumonia Berat Pneumonia Ringan
Retraksi (+) Masih dapat minum Sianosis (-) Takipnea Retraksi (-)
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.2
Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan. Diagnosis Klinis Pneumonia berat (rawat inap) :
Klasifikasi (MTBS)
tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
dengan gejala hipoksemia dengan komplikasi Pneumonia ringan (rawat jalan) Infeksi respiratorik akut atas
(Pneumonia berat) Pneumonia Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS).3
II.5. Patogenesis1,4
10
Dalam
keadaan
sehat
pada
paru
tidak
akan
terjadi
pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain : 1. 2. 3. 4.
Inhalasi langsung dari udara Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari : 1. Susunan anatomis rongga hidung. 2. Jaringan limfoid di nasofaring. 3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. 4. Refleks batuk. 5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. 6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. 7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A. 8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen 11
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak
yang
harus
ditempuh
oleh
oksigen
dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. b. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. c. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. d. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
12
Gambar 1. Patofisiologi4
II.6. Patofisiologi :
Gambar 2 Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia4
13
II.7. Gejala Klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut : -
Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
-
Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
II.8. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut : -
Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
-
pernapasan cuping hidung. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak
14
(tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka. II.9. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan radiologi Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.
15
Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6 Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: -
Infiltrat
interstisial,
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi -
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
-
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. C-Reactive Protein (CRP) Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
16
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru II.10. Diagnosis Pneumonia Ringan Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat. Kriteria napas cepat : - pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit - pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit Pneumonia Berat Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut : Kepala terangguk – angguk Pernapasan cuping hidung Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini : - Napas cepat : o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit Suara merintih (grunting) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar : o Crackles (ronki) o Suara pernapasan menurun o Suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai : -Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya -Kejang, letargis atau tidak sadar - Sianosis
17
-Distres pernapasan berat II.11. Diagnosis Banding Diagnosis Bronkiolitis
Gejala klinis yang ditemukan -
episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun hiperinflasi dinding dada ekspirasi memanjang gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon dengan bronkodilator
Tuberculosis (TB)
-
riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm) pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas batuk kronis (≥ 3 minggu) pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Asma
-
riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan
-
pilek hiperinflasi dinding dada ekspirasi memanjang berespon baik terhadap bronkodilator
Tabel 5. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan bernafas
II.12. Penatalaksanaan Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Bayi Anak Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
18
atau grunting Tidak mau minum/menetek Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Grunting Terdapat tanda dehidrasi Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia2
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan
intravena,
terapi
oksigen,
koreksi
terhadap
gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris
yakni
didasrkan
pada
kemungkinan
etiologi
penyebab
dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta epidemiologis. Pneumonia rawat jalan Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari. Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau menyusu. Ketika anak kembali : -Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
19
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi. -Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di bawah ini. Pneumonia rawat inap Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). Apabila
diduga
pneumonia
stafilokokal,
ganti
antibiotik
dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu. Tatalaksana Umum Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92% -
Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat
-
Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia
20
-
Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
-
Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance
-
Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi -Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang terkecil. -
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
Kriteria pulang: -
Gejala dan tanda pneumonia menghilang - Asupan peroral adekuat - Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral) - Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah. II.13. Komplikasi Komplikasi dari pneumonia adalah :
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang. Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
-
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang. Infeksi sitemik Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
II.14. Prognosis6
21
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. II.15. Pencegahan5 Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain. Vaksinasi pneumokokus Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
22
BAB IV PEMBAHASAN Pasien seorang anak laki-laki usia 8 bulan masuk rumah sakit melalui IGD tanggal 31 May 2015 dengan keluhan utama sesak yang bertambah berat sejak 4 jam sebelum masuk RS. Ibu pasien mengatakan, anak demam sejak 7 hari yang lalu suhu diukur 38°C. Demam muncul disertai dengan batuk dan pilek. Batuk berdahak warna putih kehijauan. Pilek berwarna putih kehijauan.. Batuk dan pilek tidak berkurang dengan obat dari bidan, demam juga hanya turun jika diberi obat penurun panas, setelah itu demam naik kembali. BAK normal, frekuensi ganti pampers 3-4 kali sehari kondisi pampers ¾ penuh. BAB normal, frekuensi ganti pampers 2-3 kali sehari. Ibu pasien menyangkal adanya penurunan berat badan drastis dalam tiga bulan ini. Napas berbunyi ngik-ngik juga disangkal. Kontak TB disangkal. Pasien baru pertama kali MRS, sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini. Dari riwayat penyakit keluarga tidak ada yang menderita asma, kejang maupun riwayat atopi. Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan pneumonia karena pada pasien didapatkan gambaran klinis pneumonia pada anak yang bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum gejala infeksi umum, yaitu didapatkan pada pasien anak ini demam, gelisah, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori juga terjadi pada pasien anak ini, seperti batuk, pilek, sesak napas, takipnea dan napas cuping hidung. Dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara ronkhi basah halus seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan limfosit
23
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang predominan. Diagnosis pada kasus ini ditegakan karena adanya gejala sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada, panas badan, ronki basah halus pada seluruh lapang paru. Dari kasus ini dapatkan peningkatan leukosit dan neutrofil yang perdominan sehingga mengarahkan kecurigaan penyebabnya adalah bakteri. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan sesuai protokol terapi pneumonia berat yakni diberikan kombinasi antibiotik Ampisilin-Kloramfenikol. Ampisilin (50 mg/kgBB) diberikan 4 kali sehari (Ampisilin 4 x 115 mg IV) dan Kloramfenikol (25 mg/kgBB) diberikan 4 kali sehari (Kloramfenikol 4 x 80mg IV). Diberikan pula ß2 agonis berupa inhalasi ventolin yang berguna untuk meningkatkan fungsi mukosilier saluran
pernapasan.
Serta
diberikan
obat
simtomatis
antipiretik-analgetik
paracetamol drops 4x1ml. Prognosis pada pneumonia ini adalah sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. Penyakit pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi.
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD 2. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI. 3. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta : Depkes 4. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC 5. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta : RSCM 6. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI 7. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC. 8. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908
25