BAB I Pendahuluan
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumoia. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakerial dengan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak, terdapat pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan dikenal sebagai pneumonia atipik. Pnemonia atipik terutama disebbakan oleh Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae.
Berdasarkan tempat terjadnya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu; 1. Pneumonia masyarakat, 2. Pneumonia RS. Oleh kerana tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak, diharapkan dengan pembuatan referat ini dapat membantu masyarakat untuk dapat mengenali gejala pneumonia serta penangananya dengan harapan angka mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak dapat menurun.
1
BAB II Isi
Definisi Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll)
Etiologi Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengoatan. Spektrum mikroorganisme penyabab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus gurp B dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dinegara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri virus. (tabel 1) Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).1
Tabel 1. Etiologi pneumonia menurut umur 2
Usia Lahir – 20 hari
Etiologi yang sering Bakteri E. colli Streptococcus grup B Listeria monocytogenes
3 minggu -3 bulan
Bakteri Chalmydia trachomatis Streptococcus pneumonia Virus Virus adeno Virus influenza Respiratory syncytial virus Virus parainfluenza 1,2,3 Bakteri Chalmydia trachomatis Streptococcus pneumonia Mycoplasma pneumoniae Virus Virus adeno Virus influenza Respiratory syncytial virus Virus rinovirus parainfluenza Bakteri Chalmydia trachomatis Streptococcus pneumonia Mycoplasma pneumoniae
4 bulan – 5 tahun
5 tahun- remaja
Etiologi yang jarang Bakteri Bakteri an aerob Haemophillus influenza Streptococcus pneumonia Ureaplasma urealyctims Virus Bakteri Bordetella pertussis Haemophilus influenza tipe B Moraxella cathralis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyctims Virus Virus sitomegalo Bakteri Haemophilus influenza tipe B Moraxella cathralis Staphylococcus aureus Neisseria meningitidis virus Virus varisela-Zoster Bakteri Haemophilus influenza tipe B legionella Staphylococcus aureus virus Virus adeno Virus influenza Respiratory syncytial virus Virus rinovirus parainfluenza Virus Epstein-Barr Virus Varisela Zoster
Epidemiologi Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meningal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional 2001, 27% kematian bayi, 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.1
3
Patofisiologi Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hapatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit, sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada saru lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, pendarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.1
Manifestasi klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yan gberat, mengancam kehidupan, dan mungkinkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS
4
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yag luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbedabeda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1 Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak besar kadang mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.2 Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayibayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan dijumpai adanya nafas cuping hidung.
5
Pada auskultasi, dapa terdengar suara pernapasan menurun. Fine creackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine creakles (ronkhi basah halus) di daerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada; bila berat gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.2
Diagnosis kerja pneumonia pada anaka umunya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara nafas melemah. Tandan bahaya pada anak:1,3 1. usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk 2. tanda bahaya pada aak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah kalsifikasi pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis dari WHO Usia 2bulan – 5 tahun
pneumonia berat: - bila ada sesak nafas - harus dirawat dan diberikan antibiotik pneumonia - bila tidak ada sesak nafas - ada nafas cepat dengan laju nafas: >50x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun >40x/menit untuk anak >1-5 tahun - Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral Bukan pneumonia - Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas - Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simtomatis seperti penurun panas
Usia < 2 bulan
6
Pneumonia - Bila ada nafas cepat (>60x/menit) atau sesak nafas - Harus dirawat dan diberikan antibiotik Bukan pneumonia - Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas - Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.2,3
Diagnosis banding 1. Bronkiolitis Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu diatas 38,5 derajad celcius. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia 6 minggu. Pada rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar dan peningkatan diameter antero-posterior. Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline, atau humanized RSV monoclonal antibody (palivizumab).4 2. Bronkitis 7
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3 minggu, perlu dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi infeksi bakteri sekunder.4
Pemeriksaan penunjang 1. darah perifer lengkap pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia ( >5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (< 3.000/ mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chalmydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofiilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti. 2. C- Reactive Protein (CRP) CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama inteleukin (IL) -6, IL-1, dan TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. 3. Uji serologi
8
Uji serologi untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen 4. Pemeriksaan mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di Rs. Untuk pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan pemebesaran kecil. 5. Rontgen toraks Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya dilakuakan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan. Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih meningkat. Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidari segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. Jika terdapat gambaran retikonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground glass consolidation, serta transient
9
pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi mikoplasma.1
Tatalaksana Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.indikasi perawatan terutama berdasarkan terat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mu makan/minum,
atau
ada
penyakit
dasar
yang
lina,
komplikasi
dan
terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asambasa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, kompilasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikroniologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis (tabel 2).1
Pneumonia rawat jalan Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan 25mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20mg/kgBB sulfametoksazol). Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan
pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumoniae dan bakteri atipik. Pneumonia rawat inap 10
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang optimal. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta laktam/klavulonat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. Pada balita dan anak lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik beta-laktam/klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberika beta laktam/klavulanat dikombinasikan dengna makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan.1 Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol. Tabel 2. Tatalksana pneumonia menurut etiologinya Pathogen Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup A
Rekomendasi terapi
Terapi alternative
Seftriakson, sefoktaksim, Sefuroksimaxetil, penisilin G atau penisilin
eritromisin, klindamisin,
V
atau vaksomisin.
Penisilin G
Sefuroksimaxetil, eritromisin, sefuroksim
Streptococcus grup B Haemophilus influenza tipe B
Penisilin G Seftriekson, sefotaksim,
Sefuroksimaxetil,,sefuroksi
ampisilin-sulbaktam,
m
atau ampisilin Bakteri aerob gram
Sefotaksim dengan
Piperacilin-tazobactam 11
negatif
p. aeroginosa
Staphylococcus aureus
ataupun tanpa
ditambah sediaan
aminoglikosida
aminoglikosid
Seftazidim dengan
Piperacillin-tazobactam
ataupun tanpa
ditambah sediaan
aminoglikosida
aminoglikosida
Nafsilin, sefazolin,
Vankomisin (untuk MRSA)
klindamisin (untuk MRSA) Chel,ydophilis
Eritromisin, azitromisin
Doksisiklin (<9 tahun),
pneumonia
atau klaritomisin
florokuinolon (>18 tahun)
Chalmydia trachomatis
Eritromisin, azitromisin, atau klaritomisin
Herpes simplex virus
asiklovir
Komplikasi komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri Ilten F dkk. Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis yang cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.1
Prognosis Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8 minggu sebelum kembali ke kondisi 12
normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti ini keumgnkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus dinvestigasi lebih lanjut, seperti dengan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan determinasi sub kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelaianan anatomis atau mencari benda asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroeusofageal.5
Pencegahan Vaksin influenza yang diberikan tiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak berusia 6 bulan- 18 tahun. Bayi 6 bulan sampai dengan anak usia 5 tahun memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi dari influenza yang dilemahkan dapat diberikan pada pasien 2-49 tahun. Beberapa vaksin trivalen telah memiliki lisensi untuk digunakan sejak berusia 6 bulan. vaksinasi universal sejak masa kanak-kanak dengan vaksinasi H. Influenza tipe B terkonjungasi dan S.pneumonia telah menurunkan insidens terjadinya pneumonia secara bermakna. Keparahan suatu infeksi RSV dapat dikurangi dengan menggunakan palivisumab pada pasien yang beresiko tinggi.5
Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik dengan bijaksana dapat menurunkan pneumonia akibat ventilator. Tempat tidur pada bagian kepala harus dinaikan setinggi 30-45 derajad pada pasien terintubasi untuk meminimalisasi risiko aspirasi dan semua instrumen penghisap lendir dan cairan saline harus steril. Cuci tangan baik sebelum dan setelah kontak dengan setiap pasien dan menggunakan sarung tangan steril ketika menggunakan prosedur invasif sangat penting untuk mencegah terjadinya penularan infeksi nosokomial. Staf rumah sakit yang mengalami penyakit respiratori atau menjadi pembawa penyakit tertentu seperti MRSA (methicillin-resisten S.aureus) harus mematuhi kebijakan pengendalian infeksi untuk mencegah transmisi penyakit kepada pasien. Sterilisasi peralatan sumber aerosol (misalnya alat pendingin udara) dapat mencegah terjadinya pneumonia Legionella.5 Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau keluarga terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh kebersihan di dalam dan di luar
13
rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk menghindari terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia : 1. Perawatan selama masa kehamilan Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan. 2. Perbaikan gizi balita Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya. 3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. 4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk. Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas. 5. Mengurangi polusi didalam dan diluar rumah Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia. 6. Menjauhkan balita dari penderita batuk. Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit batuk. Udara napas seperti
14
batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena malnutrisi.1,3,5
BAB III Kesimpulan Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. kalsifikasi pneumonia berdasarkan umur, yaitu pada usia kurang dari 2 bulan diklasifikasikan sebagai pneumonia berat dan bukan pneumonia, pada usia 2 bulan sampai 5 tahun pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Penanganan pneumonia yaitu pemberian oksigen, antibiotik serta pengobatan simptomatis. Pneumonia pada umumnya dapat sembuh sempurna jika cepat terdiagnosa serta mendapatkan terapi yang adekuat
15
Daftar Pustaka 1. Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2013 2. Santoso M, Kurniadhi D, Tandean M, Oktavia E, Ciulianto R. Panduan kepanitraan klinik pendidikan dokter. Jakarta: FK Ukrida; 2009 3. Yayasan penyantun anak asma Indonesia. Manajemen kasus respirologi anak dalam praktek sehari-hari. Jakarta: YAPNAS SUDDHAPRANA; 2007 4. Meadow R, Newell S. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga; 2005 5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier; 2014
16