1
PENGARUH KONFLIK PERAN AUDITOR INTERNAL TERHADAP INDEPENDENSI KERJA
Gusti Ayu Made Firma Pratiwi
1114081101
I Gusti Ayu Tria Andrianti
1114081118
Putu Heny Suryani
1114081105
Universitas Pendidikan Ganesha
ABSTRAK
Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengetahui pengaruh konflik peran auditor internal terhadap independensi kerja auditor internal. Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh kepada etika profesi dan standar auditing yang telah ditetapkan. Tak dipungkiri auditor dihadapkan oleh potensial konflik peran dalam menjalankan setiap tugasnya. Konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang timbul karena adanya dua rangkaian tuntutan yang bertentangan sehingga menyebabkan rasa tidak nyaman dalam bekerja.
Auditor
yang
memiliki
independensi
tinggi
lebih
besar
kemungkinannya untuk menolak permintaan klien yang melanggar kode etik dan standar profesi auditor internal, sedangkan auditor dengan independensi yang rendah akan lebih besar kemungkinannya untuk menerima permintaan klien tersebut. Kata kunci : konflik peran, auditor internal, kode etik, independensi ABSTRACK The main purpose purpose of this this article is to determine the effect of role conflict of internal auditor on the independence of internal auditor's work. Auditors are motivated to be obedient to professional ethics and auditing standards that have been established. The auditor confronted by a potential role conflict in their job. Role conflict is a psychological phenomenon that arises because of two sets of conflicting demands, causing discomfort in the work. Auditors Auditors who have high independence independence are more likely to reject reject
1
2
the clients request who violated the code of ethics and professional standards of internal auditors, while the auditor with a low independence will be more likely to accept the client's request. Keywords : role conflict, internal auditor, code ethics, independence
I.
Pendahuluan
Profesi sebagai audit internal merupakan suatu profesi yang menjadi sorotan masyarakat dan cukup menantang daripada profesi lain pada umumnya dikarenakan sifat pekerjaannya yang sensitif sebagai suatu bagian penting dari pengendalian internal dalam suatu organisasi. Sorotan masyarakat terhadap profesi auditor sangatlah besar sebagai dampak beberapa skandal perusahaan besar dunia yang sempat terjadi. Sorotan tajam diarahkan pada perilaku auditor dalam berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal dalam menjalankan perannya sebagai auditor independen. Auditor internal harus memperoleh kepercayaan diri dari perusahaan dan pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran pada setiap unit kerja, transaksi kegiatan operasional, maupun perumusan dan pelaksanaan kebijakan manajemen suatu organisasi. (Nurmawati Oktaria, dan Rina Tjandrakirana, 2012). Oleh karena itu, dalam memberikan pendapatan maka auditor harus bersikap independen dari aktivitas audit. Namun tak jarang auditor dihadapkan oleh potensial konflik peran dalam menjalankan tugasnya. Konflik peran muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan yang disampaikan pada individual di dalam organisasi dengan orang lain di dalam maupun di luar organisasi. Situasi konflik audit terjadi ketika auditor dan klien tidak sepakat akan beberapa aspek kinerja fungsi atestasi. Dalam situasi ini, klien
berusaha menekan auditor untuk mengambil tindakan yang
melanggar standar auditing. Salah satu diantaranya memaksakan opini
3
yang tidak sesuai dengan kenyataan. (Turban Drijah Herawati dan Sari Atmini, 2010) Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh kepada etika profesi dan standar auditing, dengan kasus tersebut diatas auditor akan menghadapi situasi konflik audit. Jika auditor menuruti permintaan klien tersebut berarti auditor melanggar standar profesional, sedangkan jika tidak menuruti permintaan klien akan menyebabkan klien kemungkinan memutuskan penghentian tugas. Konflik antara auditor dengan klien dapat menimbulkan dilema etis bagi auditor. Karena independensi berlandaskan pada nilai kejujuran dan peran penting dalam pengambilan suatu keputusan. Independensi merupakan landasan utama struktur filosofi profesi. Bagaimana pun kompetennya seorang auditor dalam melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, opini yang mereka berikan hanya akan bernilai rendah bagi pihak-pihak yang mendasarkan diri pada laporan audit kecuali jika auditor bekerja secara independen. Dalam memberikan pelayan, auditor harus bersikap independend in fact , auditor harus bertindak dengan menjunjung tinggi integritas dan objektivitas. Auditor juga harus independend in appearance., auditor sebaiknya tidak mempunyai kepentingan finansial atau hubungan bisnis dengan klien. Auditor harus terus menerus menilai hubungannya dengan klien untuk menghindari situasi yang dapat mengganggu independensinya (Boyton dan Kell, 1996 dalam Herawati dan Sari Atmini, 2008). Melihat dari kasus tersebut diatas mengenai konflik peran auditor internal yang menjalankan profesinya sebagai auditor independen, maka dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai pengaruh konflik peran auditor internal terhadap independensi kerja.
4
II.
Pembahasan 2.1 Pengertian Konflik Peran
Konflik peran biasanya terjadi karena adanya perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan, dan pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Konflik peran dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan bisa menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu-individu seperti timbulnya ketegangan kerja, banyak terjadi perpindahan pekerja, penurunan kepuasan kerja sehingga bisa menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan. (Zaenal Fanani, Rheny Afriana Hanif, dan Bambang Subroto, 2008) Konflik
peran
didefinisikan
sebagai
hasil
dari
ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya (Leigh et al. Dalam Abdul Rohman, 2009). Teori peran menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stress, depresi, merasa tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan tersebut tidak mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik peran dapat memberikan pengaruh negatif terhadap cara berpikir seseorang. Dengan kata lain, konflik peran dapat menurunkan tingkat komitmen independensi seseorang (Ahmad dan Taylor, 2009 dalam Abdul Rohman, 2009). Robbins dan Timothy (2008) menjelaskan ketika seorang individu dihadapkan dengan ekpektasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain.
5
Pada tingkat ekstrim, hal ini dapat meliputi situasi-situasi dimana dua atau lebih ekspektasi peran saling bertentangan. Konflik peran (role conflict) didefinisikan sebagai adanya tekanan dua atau lebih kelompok tekanan secara simultan sehingga kepatuhan pada kelompok yang satu akan menimbulkan kesulitan atau ketidakmungkinan untuk mematuhi yang lainnya (Wolfe, et al, 1962 dalam Abdul Rohman, 2009). Abernethy dan Stoelwinder, 1995 (dalam Abdul Rohman, 2009) menyatakan bahwa tingkat peran dipengaruhi
oleh
seberapa
jauh
para
profesional
ingin
mempertahankan sikap keprofesionalan mereka dalam perusahaan dan seberapa jauh lingkungan pengendalian yang berlaku di perusahaan mengancam otonomi para profesional tersebut. Konflik peran mempunyai dampak yang negatif terhadap perilaku karyawan seperti timbulnya ketegangan kerja, peningkatan perputaran
kerja
(banyaknya
terjadi
perpindahan
pekerja),
penurunan kepuasan kerja, penurunan komitmen pada organisasi dan penurunan kinerja keseluruhan (Wolfe, et. al, 1964 ; Jackson dan Schuler, 1985, dalam Abdul Rohman, 2009). Konflik peran juga berhubungan dengan penyimpangan hasil dan sikap pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti misalnya rendahnya kepuasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan
kecenderungan
meninggalkan
perusahaan
dan
mengurangi komitmen organisasi (Aberethy & Stoelwinder, 1995; Puspa & Riyanto, 1999; Suwandi & Indriantoro, 1999; Jackson & Schuler, 1985; Levin & Stokes, 1989, dalam Abdul Rohman, 2009). Konflik peran didefinisikan oleh Brief et al (dalam Gartiria Hutami dan Anis Chariri, 2008) sebagai “the incongruity of expectations associated
with
a
role”.
Jadi,
konflik
peran
adalah
adanya
ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih spesifik, Leigh et al. (dalam Gartiria Hutami dan
6
Anis Chariri, 2008) menyatakan bahwa: “Role conflict is the result of an employee facing the inconsistent Expectations of various parlies or personal needs, values, etc.” Artinya, konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapanharapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Misalkan yang terjadi pada Bill Patterson seorang kepala rumah tangga dan seorang eksekutif. Dari banyak peran yang harus dihadapi oleh Bill Patterson meliputi beberapa konflik peran misalnya, usaha Bill untuk menyesuaikan diri antara ekspektasiekspektasi yang ditempatkan padanya sebagai seorang suami dan ayah dengan sebagai seorang eksekutif EMM Industries. Yang pertama menekankan stabilitas dan keinginan istri dan anak-anaknya untuk tetap tinggal di Phoenix. EMM sebaliknya, mengharapkan para karyawannya
tanggap
terhadap
kebutuhan
dan
keperluan
perusahaan. Meskipun mungkin berada dalam kepentingan Financial dan Karier Bill untuk menerima relokasi tempat kerja, timbulah konflik untuk memilih antar ekspektasi peran keluarga dan karir. (Robbins dan Timothy, 2008).
2.2 Pengertian Auditor Internal
Pengertian audit internal menurut “Professional Practices Framework”: International Standards for The Professional Practice of
Internal Audit, IIA, 2004 (dalam Arief Efendi, 2007) adalah suatu aktivitas independen, yang memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi (consulting) yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah (to add value) serta meningkatkan (improve) kegiatan operasi organisasi. Internal auditing membantu organisasi dalam usaha
7
mencapai tujuannya dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas
manajemen
risiko
(risk
management) ,
pengendalian
(control) dan proses tata kelola ( governance processes). Profesi audit internal pada awal abad 21 mengalami perkembangan yang cukup berati, sejak munculnya kasus Enron & Worldcom yang menjadi sorotan kalangan dunia usaha. Meskipun reputasi audit internal sempat terpuruk oleh kasus tersebut, namun beberapa perusahaan tetap melibatkan peran auditor internal. Terbukti saaat ini profesi auditor internal turut berperan dalam implementasi Good Corporate Governance (GCG) di perusahaan maupun Good Government Governance (GGG) di pemerintahan. Audit
internal
merupakan
suatu
kegiatan
pemberian
keyakinan (assurance) dan konsultasi yang bersifat independen dan obyektif guna meningkatkan efektifitas perusahaan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bagian audit internal memiliki fungsi untuk memonitor sistem pengendalian yang ada. (Samatha Adisti, 2013). Agar efektif, kegiatan audit internal harus memiliki orangorang yang berkualitas, terampil dan berpengalaman dan dapat bekerja sesuai dengan Kode Etik Auditor Internal dan Standar Internasional untuk Praktik Profesional Auditor Internal (SIPPAI).
2.2.1
Peran Auditor Internal
Auditor internal memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi pengawasan, sebagai penilai kecukupan struktur pengendalian intern, penilai efektivitas struktur pengendalian intern, dan penilai kualitas kerja. Oleh karena itu seorang auditor internal harus mampu menerapkan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman, disamping itu independensi dibutuhkan dalam menghasilkan audit yang
8
berkualitas. Fungsi audit internal akan efektif dan optimum apabila kinerja auditor ditentukan oleh perilaku auditor tersebut. Perilaku auditor tersebut dapat terlihat dari komitmennya pada organisasi dan motivasinya untuk meningkatkan kinerjanya. Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dala SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksaan audit akan penyusunan laporannya auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. (Nurmawari Oktaria dan Rina Tjandrakirana, 2012) Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagi auditor. Salah satu aspek penting dalam kemampuan untuk menciptakan hubungan yang efektif adalah kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal (manajemen konflik). Apalagi profesi auditor merupakan salah satu profesi yang rentan menimbulkan potensi konflik di dalamnya. Terdapat tekanan-tekanan psikis (bahkan mungkin fisik) terhadap auditor dalam pengambilan keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik.
2.2.2
Kode Etik Auditor Internal
Auditor internal sebagai suatu profesi diikat oleh kode etik yang menjadi pedoman untuk berperilaku sesuai dengan standar yang berlaku dan agar melaksanakan tanggung jawabnya secara profesional. Kode etik memberi batasan
9
kriteria perilaku profesional dan mengharapkan para anggota Profesi Auditor Internal Indonesia untuk memelihara standar kompetensi, moralitas dan kehormatannya. (Prayandha, 2010) Profesi audit internal memiliki kode etik profesi yang harus ditaati dan dijalankan oleh segenap auditor internal. Kode etik tersebut memuat standar perilaku sebagai pedoman bagi seluruh auditor internal. Kode etik dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku individu agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
seseorang
dari
anggota
profesi
tertentu
dapat
menyebabkan berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi secara keseluruhan. (Prayandha, 2010) Terdapat 4 (empat) prinsip yang harus dipegang teguh dan
diterapkan
oleh
auditor
internal
menurut
(The Institute of Internal Auditorscode of Ethics)
IIA
yaitu :
Integrity (Integritas), Objectivity (Objektivitas), Confidentiality (Kerahasiaan)
dan Competency
(Kompetensi).
(www.akuntansi.fenaro.narotama.ac.id) 1.
Integritas
:
integritas internal
auditor mendasari
kepercayaan para pengguna terhadap pertimbangannya, sehingga
memiliki
konsistensi
antara
tindakan
dengan nilai dan prinsip. a. Harus melaksanakan pekerjaannya dengan kejujuran, kesungguhan dan tanggung jawab. b. Harus mentaati hukum dan membuat pengungkapan sesuai hukum dan profesinya. c. Tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan yang ilegal atau terlibat dalam tindakanyang dapat mendiskreditkan
profesi
internal
mendiskreditkan organisasinya.
audit
atau
10
d. Harus menghormati dan menyumbang kepada tujuan organisasi yang sah dan etis. 2. Obyektivitas : internal auditor menunjukan obyektivitas yang
tinggi,
tidak
dipengaruhi
oleh
kepentingan
manapun dalam membentuk penilaian. a. Tidak boleh berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat atau patutdiduga dapat mengurangi kemampuannya untuk melakukan assessment secara objektif. Termasuk dalam hal ini adalah kegiatan atau hubungan yang menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya. b. Tidak boleh menerima bentuk apapun yang dapat atau
diduga
dapat
mempengaruhi pertimbangan
profesionalnya. c. Harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkapkan dapat mendistorsi laporan dari kegiatan yang direview. 3. Kerahasiaan : internal auditor menghargai nilai dan kepemilikan
dari
informasi
yang
diterima,tidak
mengungkapkan informasi tanpa otoritas yang tepat kecuali ada kewajiban hukum atau profesional. a. Harus bersikap hati-hati dalam menggunakan dan menjaga informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. b. Tidak
boleh
menggunakan
informasi
untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk hal-hal yang dapat merugikan tujuan organisasi yang sah dan etis.
11
4. Kompetensi : internal auditor menerapkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yangdiperlukan dalam melakukan jasa internal auditing. a. Hanya melakukan jasa yang dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan,keahlian, dan pengalaman yang dimillikinya. b. Melakukan jasa internal auditing dengan standar profesi audit internal. c. Harus senantiasa meningkatkan keahliannya, dan efektivitas serta kualiats dari jasa yang diberikan. Jadi dengan adanya kode etik tersebut maka auditor internal memiliki pedoman untuk melakukan setiap tugasnya. Untuk menyelesaikan tanggung jawab auditor secara profesional juga diperlukan adanya standar audit internal. Standar audit internal tidak hanya menekankan terhadap pentingnya kualitas profesional auditor internal tetapi juga terhadap bagaimana auditor mengambil pertimbangan dan keputusan saat melakukan audit dan pelaporan.
Standar
audit
internal
meliputi
:
a.
independensi, b. kemampuan profesional, c. lingkup pekerjaan audit internal, d. pelaksanaan kegiatan pemeriksaan/penilaaian
sesuai
dengan
SOP,
dan
e.manajemen audit internal. (www.auditorinternal.com)
2.3 Pengertian Independensi
International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (ISPPIA IIA, 2006) mengidentifikasi independensi auditor internal sebagai kriteria paling penting bagi efektivitas fungsi auditor internal. Jadi, dalam setiap kejadian, auditor internal diharapkan untuk mempunyai integritas dan komitmen untuk membuat
12
pendapat yang bebas dari bias atau tidak berpihak. Alvin A. Arens, (2011) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai "Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit". Sedangkan Mulyadi (2002) mendefinisikan independensi
sebagai
"keadaan
bebas
dari
pengaruh,
tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain" dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Arens dan Loebbecke, 2000 dalam Nurmawati Oktari dan Rina
Tjandakirana,
2012
mendefinisikan
independensi
dalam
pengauditan sebagai “pengguna cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dapat pelaporan hasil temuan audit. Hal ini senada dengan America Institute of Certified Public Accountant menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan objektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan. Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya dan sesuai dengan kode etik. Auditor internal yang independen jika diminta untuk melanggar kode etik, pilihan mereka dapat merupakan sesuatu yang tentu saja tidak menyenangkan. Pilihan yang sulit jika para auditor internal tidak memiliki sifat profesional yang utama yaitu independensi. Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi
untuk
memenuhi
kewajiban
profesionalnya.
Bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis seorang auditor, jika ia
13
kehilangan
sikap
tidak
memihak,
maka
ia
tidak
dapat
mempertahankan kebebasan pendapatnya.
2.3.1
Independensi Auditor Internal
Dalam Code of Profesional Conduct disebutkan bahwa salah satu dari enam prinsip auditing adalah objektivitas dan independensi. Anggota profesi harus menjaga objektivitas dan bebas dari pertentangan kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional. Anggota profesi harus bersikap independend in fact dan independend in appearance pada saat memberikan jasa auditing dan jasa atestasi lainnya (Boynton dan Kell, 1996 dalam Herawati dan Sari Atmini, 2008). Independensi merupakan landasan utama struktur filosofi profesi. Bagaimana pun kompetennya seorang auditor dalam melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, opini yang mereka berikan hanya akan bernilai rendah bagi pihakpihak yang mendasarkan diri pada laporan audit kecuali jika auditor bekerja secara independen. Dalam memberikan pelayan, auditor harus bersikap independend in fact , auditor harus bertindak dengan menjunjung tinggi integritas dan objektivitas. Auditor juga harus independend in appearance., auditor sebaiknya tidak mempunyai kepentingan finansial atau hubungan bisnis dengan klien. Auditor harus terus menerus
menilai
menghindari
hubungannya
situasi
yang
dengan
klien
untuk
dapat
mengganggu
independensinya (Boyton dan Kell, 1996 dalam Herawati dan Sari Atmini, 2008). Auditor diharuskan untuk bersikap independen terhadap profesinya dan juga klien tetapi pada saat yang sama kelangsungan hidup auditor tergantung pada klien melalui fee
14
yang dibayarkan oleh klien kepada auditor. Konflik audit terjadi saat auditor meminta manajemen klien untuk mengungkapkan informasi yang tidak ingin diungkapkan manajemen klien kepada publik. Hal ini akan menjadi dilema etika pada saat auditor dihadapkan pada keputusan untuk mengkompromikan
independensi
dan
integritas
bagi
keuntungan ekonomi. Secara teoritis profesi auditing mempunyai pedoman yang jelas bagi auditor untuk selalu mempertahankan independensinya.
Namun
secara
praktik,
pada
saat
menghadapi tekanan dari manajemen klien, seorang auditor mungkin akan memenuhi permintaan manajemen klien dan secara sadar auditor tersebut meninggalkan prinsip objektif dan independen. Dengan kata lain, pada saat auditor memutuskan untuk melakukan kompromi dengan manajemen klien, maka situasi konflik audit mengganggu dan berdampak negatif terhadap independensi auditor. (Abdul Rohman, 2009)
2.4 Hasil Pembahasan
Konflik
peran
didefinisikan
sebagai
hasil
dari
ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya (Leigh et al. Dalam Abdul Rohman, 2009). Konflik peran auditor internal terjadi ketika adanya perbedaan pendapat mengenai beberapa aspek antara manajemen klien dan auditor. Manajemen klien dapat mempengaruhi kinerja auditor bahkan memaksa auditor untuk membuat opini yang tidak sesuai dengan kenyataan agar organisasi yang dimiliki manajemen klien tetap memiliki reputasi yang baik dimata masyarakat.
15
Konflik peran yang dihadapi auditor internal tersebut menguji seberapa besar seorang auditor mampu menjunjung kode etik profesi auditor internal. Terdapat 4 (empat) prinsip yang harus dipegang teguh dan diterapkan oleh auditor internal menurut IIA (The Institute of Internal Auditorscode of Ethics) yaitu : Integrity (Integritas), Objectivity (Objektivitas), Confidentiality (Kerahasiaan) dan Competency (Kompetensi). Auditor yang mengikuti keinginan manajemen klien tersebut diatas dikarenakan beberapa faktor penyebab. Yang pertama auditor tidak memiliki komitmen profesi yang kuat, kedua, auditor tidak ingin kehilangan pekerjaannya karena manajemen klien bisa saja memutuskan untuk memberhentikan auditor sehingga fee yang dibayarkan oleh klien pun jadi tak dibayarkan. Namun, auditor yang memiliki komitmen profesi yang kuat akan menolak keinginan manajemen klien tersebut. Bagaimana
pun
kompetennya
seorang
auditor
dalam
melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, opini yang mereka berikan hanya akan bernilai rendah bagi pihak-pihak yang mendasarkan diri pada laporan audit ketika auditor tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik profesi, kecuali jika auditor bekerja secara independen dan sesuai dengan kode etik.
III.
Simpulan
Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh kepada etika profesi dan standar auditing yang telah ditetapkan. Namun tidak dipungkiri, auditor dihadapkan oleh potensial konflik peran dalam menjalankan setiap tugasnya. Konflik peran auditor internal terjadi ketika manajemen klien memiliki perbedaan pendapat dalam beberapa aspek dengan auditor. Pada saat terjadi konflik, manajemen klien mungkin akan berusaha untuk mempengaruhi pekerjaan audit yang sedang
16
dilaksanakan auditor, dan mungkin manajemen klien akan menekan auditor untuk melakukan tindakan tertentu yang bertentangan dengan standar auditing. Auditor diharuskan bersikap independen terhadap klien tetapi pada saat yang sama kelangsungan hidup auditor tergantung pada klien melalui fee yang dibayarkan oleh klien kepada auditor. Independensi merupakan landasan utama struktur filosofi profesi. Konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap independensi kerja auditor internal. Hal ini menunjukkan bahwa auditor internal yang mengalami konflik peran yang tinggi dalam pekerjaannya akan cenderung memiliki komitmen independensi yang kurang baik, begitu juga sebaliknya. Dapat pula dikatakan, Auditor yang memiliki komitmen profesi tinggi lebih besar kemungkinannya untuk menolak permintaan klien yang melanggar kode etik dan standar profesi auditor internal, sedangkan auditor dengan komitmen profesi yang rendah akan lebih besar kemungkinannya untuk menerima permintaan klien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Herawati , Turban Drijah dan Sari Atmini. 2010. Perbedaan Perilaku Auditor Dalam Situasi Konflik Audit dari Segi Gender: Peran Locus Of Control, Komitmen Profesi, dan Kesadaran Etis. Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 8, No. 2 Fanani , Zaenal, Rheny Afriana Hanif, dan Bambang Subroto. 2008. Pengaruh Struktur Audit, Konflik Peran dan Ketidakjelasan Peran Terhadap Kinerja Auditor. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Volume 5 – Nomor 2 Rohman, Abdul. 2009. Pengaruh Jabatan Organisasi, Budaya Organisasi, dan Konflik Peran Auditor Internal Terhadap Kepuasan Kerja Internal Auditor (Studi pada Badan Urusan Logistik di Indonesia). Jurnal Telaah & Riset Akuntansi, Vol. 2, No. 1
17
Oktaria, Nurmawati dan Rina Tjandrakirana. 2012. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kinerja Audito Internal Bank BUMN di Kanwil Palembang. Akuntanbilitas; Jurnal Penelitian dan Pengembangan Akuntansi, Vol. 6 No. 1 Hutami, Gartiria dan Anis Chariri. Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen Independensi Auditor Internal Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Inspektorat Kota Semarang) Ekasiwi, Samatha Adisti. 2013. Peran Audit Internal Dalam Pengungkapan Kelemahan Material Sebagai Penunjang Tata Kelola Perusahaan yang Baik, Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang, 1 Robbins, Stephen, dan Timhoty A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Edisi 12, Buku 1. Jakarta: Salemba Empat Arens, Alvin A., dkk. 2011. Jasa Audit dan Assurance Pendekatan Terpadu . Jakarta: Salemba Empat Effendi, Muh. Arif. 2007. Tantangan Untuk Menjadi Seseorang Auditor Internal yang Profesional (Challenge To Be The Profesional Internal Auditor). Jakarta Mulyadi. 2002. Auditing Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Empat www.na.theiia.org www.auditorinternal.com www.iia.org.uk www.akuntansi.fenaro.narotama.ac.id www.universitas-galuh.ac.id