1
2
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, 2001, hal. 2.
Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984, hal. 3
Ibid
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67.
Ibid, hal. 43.
Munawir, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal 3.
Triyani Budianto, Makalah Seminar tax-ina, 30 April 2005, http://lovetya.wordpress.com/2008/05/19
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Loc. Cit.
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002, h.40.
Erly Suandy, Hukum Pajak Salemba Empat, Yogyakarta, 2000, h,34.
Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung : Eresco, 1990, hal.2
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2003, Refika Aditama: Bandung, hlm.30-36.
Rochmat Soemitro, Op, Cit, hal. 51.
Santoso Brotodiharjo, OP, Cit,, hal.1.
Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Jakarta : Rajawali Persada, 1995, hal. 23.
Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6.
Bahari U. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, HIm. 165.
Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 349.
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 4.
Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 114.
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46.
Ali Kadir, Eksistensi Peradilan Pajak di Indonesia Perkembangan Dan Permasalahannya (Makalah disampaikan pada kuliah umum Hukum Pajak FHUI Depok, 12 November 2002), hlm. 21 dikutip dalam Akhmad Riski Rasyid, "Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia," (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2003), hlm. 105.
1
.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.
Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajakyang nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (selanjutnya di sebut SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya di sebut PTUN).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 2004).
RUMUSA MASALAH
Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui pengadilan pajak ?
Bagaimanakah kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK
Pengertian Pajak
Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya di sebut UU KUP), Pasal 1 angka (1), "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Salah satu instrumen yang digunakan dalam negara untuk menjalani fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sedangkan definisi pajak yang dikemukakan oleh Sommerfeld, Anderson dan Brock yang mendifinisikan pajak sebagai berikut :
"A Tax can be definied meaningfully as any non penal yet compulsory transfer of resources from the privat to the public sector, levied on the basis of predetermined criteriaand without receipt of specific benefit of equal value, in order to accomplish some of a nation's economic and social objectives."
Selanjutnya Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak adalah "iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum." Sementara menurut Djajaningrat, pajak adalah "kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah sert dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum".
Menurut P. J. A. Adriani Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Beberapa kata dalam definisi yang telah disampaikan di atas, mempunyai arti sangat penting sebagai unsur-unsur yang memaknai pajak yaitu :
Pungutan dapat dipaksakan
Salah satu hal yang membedakan pajak dengan pungutan atau iuran lainnya adalah sifat memaksa yang melekat di dalamnya. Kata "compulsory" digunakan untuk menunjukan bahwa pemungutan pajak dapat dipaksakan. Dalam memungut pajak, pemerintah memiliki kewenangan penuh atas melakukan pemaksaan agar wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan selalu dapat dipaksakan. Di Indonesia, salah satu instrument paksaan dalam pemungutan pajak adalah Penagijan Pajak dengan Surat Paksa.
Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang;
Unsur definisi pajak yang juga sangat penting adalah bahwa pajak harus ditetapkan berdasarkan undang-undang kata "predetermined criteria" secara implisit menunjukan bahwa pungutan pajak secara implisit menunjukan bahwa pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara serampangan, namun harus ada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh otoritas publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Pembayar pajak tidak mendapat manfaat langsung;
Pajak dipungut bukan untuk special benefit. Artinya pembayar pajak tidak menerima langsung manfaat atas kontribusi pembayaran pajakny. Hal tersebut berbeda dengan pungutan lainnya seperti retribusi. Retribusi dipungut kepada orang yang akan atau ingin mengkonsumsi barang dan jasa tertentu, artinya pembayar retribusi akan mendapat manfaat langsung atas pembayaran yang telah di lakukan.
Penerimaan pajak digunakan untuk menjalankan fungsi negara.
Kalimat in order to accomplish some of a nation's economic and social objectives, artinya penerimaan pajak digunakan untuk tujuan membiayai pengadaan public goods, dan juga untuk tujuan ekonomi dan social yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan tentang karakteristik dan sifat khusus pajak seperti :
Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang.
Sifatnya dapat dipaksakan.
Tidak ada kontraprestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh si pembayar pajak.
Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).
Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Adapun subjek pajak adalah mereka (orang atau badan) yang mematuhi sarat subjektif, yaitu syarat yang melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Sementara itu wajib pajak adalah mereka (orang atau badan) yang selain memenuhi syarat subjektif, juga harus memenuhi syarat objektif misalnya memiliki penghasilan atau memiliki bumi bangunan yang memenuhi syarat untuk dikenai pajak dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek pajak itu belum tentu wajib pajak bila tidak memenuhi syarat objektif, sedangkan wajib pajak dengan sendirinya termasuk objek pajak. Jadi dalam hal ini pihak-pihak yang dapat disebut sebagai wajib pajak adalah :
Wajib pajak pribadi.
Warga negara asing yang berada atau bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan hingga meninggalkan Indonesia.
Wajib pajak badan sejak didirikan hingga bubar.
Adapun yang dimaksud dengan badan adalah bukan semata subjek pajak yang bergerak dalam bidang usaha (komersial) namun juga yang bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan sebagaianya sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang sehingga tidak ada alasan bagi badan (khususnya organisasi) selain yang bergerak di bidang usaha untuk menyatakan bahwa mereka tidak termasuk sebagai subjek pajak.
Utang Pajak
Rochmat Sumitro menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah perikatan (verbintenis). Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum adat.
Utang Pajak menurut faham formal timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, seseorang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Sedangkan menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu 'rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak.
Pada lain pihak teori pemungutan pajak yang lazim dikenal saat ini antara lain adalah: :
Teori Asuransi, menurut teori ini warga negara yang mendapat perlindungan negara membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan perlindungan tersebut.
Teori Kepentingan, dalam teori ini pembagian beban pajak proporsional dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara
Teori daya pikul, menurut teori ini beban pajak disesuaikan dengan daya pikul masing-masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya kebutuhan materi yang harus dipenuhi.
Teori bakti, menurut teori ini sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban
Teori asas daya beli, teori ini menyatakan, bahwa negara mengurangi atau menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara yang selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.
Soemitro menyatakan bahwa pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari segi hukum, lebih menitik beratkan kepada perikatan (verbintenis), pada hak dan kewajiban Wajib pajak, Subyek Pajak dalam hubungannya dengan Subyek Hukum. Hak penguasa untuk mengenakan pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administrasi, maupun sanksi pidana, penyidikan, dan pembukuan. Soemitro mengatakan pajak dilihat dari segi hokum dapat didefinisikan sebagai berikut :Perikatan yang timbul karena Undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam Undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Dari pandangan itu dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah perikatan. Namun perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena beberapa hal, yakni :
Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula lahir karena Undang-undang., sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena Undang-undang, dan tidak lahir karena perjanjian.
Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat sementara perikatan pajak berada dalam hokum public.
Dalam perikatan perdata, hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang sama/sederajat, sementara di dalam perikatan pajak, kedudukan para pihaknya tidak sederajat.
Prestasi yang dilakukan oleh Subjek Pajak untuk membayar pajak itu tidak mendapat imbalan langsung yang dapat ditunjukan. Hal tersebut membedakannya dengan retribusi.
Pengertian Sengketa Utang Pajak
Pasal 29 ayat (1) UU KUP, "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".
Sebagai produk akhir dan pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa menimbulkan sengketa antara Wajib pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib pajak. Menurut ketentuan Pasal I angka (5) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
Upaya Penyelesaian Sengketa Utang Pajak
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian WP.
Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian.
Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain dari pada itu surat keberatan dapat disampaikan oleh Wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam UU KUP Pasal 25 ayat-ayat berikut; (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan; Ayat (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; Ayat (3a) Dalam hal Wajib pajak mengajukan keberatan atas surat etetapan pajak, Wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sejumlah yang telah disetujui Wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, um surat keberatan disampaikan; ayat (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana imaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib pajak. Namun demikian, Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Dalam hal tersebut, apabila WP masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, WP masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 6 yaitu : "Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku".
Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Sedangkan badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Adapun syarat mengajukan banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ;
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.
Dan Pasal 36, yaitu ;
Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
Selanjutnya masih ada upaya lain yang dapat ditempuh oleh WP, yaitu; dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan UU Peradilan Pajak, Pasal 77 Ayat (3) "Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung".
Sedangkan Pasal 91 UU Peradilan Pajak, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.
Selanjutnya dalam Pasal 89 UU Peradilan Pajak, Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
B. KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN
DI INDONESIA
1. Peradilan Pajak
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan beberapa definisi tentang peradilan sebagaimana dibawah ini.
Menurut Apeldoorn:
Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.
Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya. Berdasarkan beberapa pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau tempat yang bernama pengadilan;
Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak melawan Direktur Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang perpajakan.
Sedangkan dalam arti sempit, peradilan pajak adalah proses penyelesaian sengketa pajak oleh badan peradilan pajak yang independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selama ini badan peradilan pajak telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan bentuk dan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu :
Majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997), yang mempunyai kewenangan dalam hal banding pajak;
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), yang mempunyai kewenangan banding pajak dan gugatan pelaksanaan penagihan pajak;
Pengadilan Pajak (2002), yang mempunyai kewenangan banding pajak, gugatan pelaksanaan penagihan pajak, dan gugatan pelaksanaan keputusan perpajakan.
Kemudian Rochmat soemitro merumuskan bahwa, peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberi keadilan dalam sengketa pajak baik kepada Wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah) sesuai ketentuan undang-undang, dimana proses itu merupakan rangkaian perbuatan yang harus dilakukan oleh Wajib pajak atau pemungut pajak dihadapan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa.
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi. Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :
Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan).
2. Kewenangan Pengadilan Pajak Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Kewenangan Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, yaitu :
Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002;
Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak (yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak.
Selanjutnya dala hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal gugatan, yaitu ;
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; dan
Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, "Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak." Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.
Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik, maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan.
Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri. Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.
KASUS DAN ANALISI
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.29663/PP/M.III/15/2011
Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Badan
Tahun Pajak : 2006
Tentang Duduk Perkara :
bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2006 Nomor : 00032/406/06/055/08 tanggal 17 Januari 2008 diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak Nomor : LAP-022/WPJ.07/KP.0305/2008 tanggal 15 Januari 2008 dengan perhitungan sebagai berikut :
Peredaran Usaha :
Rp.
501.677.944.638,00
Harga Pokok Penjualan cfm. SPT :
Rp.
502.605.396.671,00
Koreksi Terbanding :
Rp.
(22.703.470.765,00)
Harga Pokok Penjualan cfm Terbanding :
Rp.
479.901.925.906,00
Laba Bruto :
Rp.
21.776.018.732,00
Pengurang Penghasilan Bruto cfm. SPT :
Rp.
21.679.239.776,00
Koreksi Terbanding :
Rp.
(560.646.430,00)
Pengurang Penghasilan Bruto cfm. Terbanding :
Rp.
21.118.593.346,00
Laba Operasi:
Rp.
657.425.386,00
Penghasilan Neto dari Luar Usaha cfm SPT :
Rp.
27.552.576.366,00
Koreksi Terbanding :
Rp.
46.321.458,00
Penghasilan Neto dari Luar Usaha cfm. Terbanding
Rp.
27.598.897.824,00
Penghasilan Neto :
Rp.
28.256.323.210,00
Penghasilan yang dikenakan PPh Final :
Rp.
612.995.644,00
Penyesuaian Fiskal Positif :
Rp.
4.442.114.046,00
Penyesuaian Fiskal Negatif :
Rp.
690.012.399,00
Kompensasi Kerugian :
Rp.
0,00
Penghasilan Kena Pajak :
Rp.
31.395.429.213,00
PPh yang terutang :
Rp.
9.401.128.700,00
Kredit Pajak :
Rp.
16.915.248.810,00
PPh yang masih harus (lebih) dibayar :
Rp.
(7.514.120.110,00)
bahwa atas ketetapan pajak tersebut Pemohon Banding mengajukan keberatan dengan Surat Nomor : 007/NTC-KPP PMA2/IV/2008 tanggal 15 April 2008 dan dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-1614/WPJ.07/BD.05/2008 tanggal 15 Desember 2008, keberatan tersebut diterima sebagian dengan perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan Neto semula :
Rp.
31.395.429.213,00
ditambah / (dikurangi)
Rp.
(16.489.688,00)
Penghasilan Neto cfm. Keputusan Keberatan :
Rp.
31.378.939.525 ,00
Kompensasi Kerugian :
Rp.
0,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp.
31.378.939.525 ,00
PPh yang terutang :
Rp.
9.396.181.700,00
Kredit Pajak :
Rp.
16.915.248.810,00
PPh yang masih harus (lebih) dibayar :
Rp.
(7.519.067.110,00)
bahwa atas Keputusan Keberatan di atas, Pemohon Banding masih keberatan sehingga dengan Surat Nomor : 004/NTC-BPjk/III/2009, tanggal 11 Maret 2009 mengajukan permohonan banding;
Pokok Sengketa :
bahwa sengketa yang terbukti dalam perkara banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap:
1. Harga Pokok Penjualan (biaya royalti) :
Rp. 22.703.470.765,00
2. Penghasilan Neto dari Luar Usaha :
Rp. 29.831.770,00
Jumlah Koreksi :
Rp. 22.733.302.535,00
bahwa mengenai pembahasan atas koreksi Terbanding adalah sebagai berikut:
Koreksi Harga Pokok Penjualan – biaya royalti sebesar Rp.22.703.470.765,00
Menurut Terbanding :
Menurut Pemeriksa :
bahwa biaya royalti dikoreksi karena adanya indikasi dividen terselubung kepada pemegang saham.
bahwa peredaran usaha Pemohon Banding mengalami penurunan sebesar Rp.161.487.175.164,00 (24,35%) dari jumlah peredaran usaha tahun 2005 sebesar Rp.663.165.119.802,00 menjadi Rp.501.677.944.638,00 di tahun 2006.
bahwa sedangkan biaya royalti mengalami kenaikan sebesar Rp.11.727.389.184,00 (106%) dari jumlah royalti Rp.10.976.081.581,00 di tahun 2005 menjadi Rp.22.703.470.765,00 di tahun 2006;
bahwa selain membayar royalti, Pemohon Banding juga membayar technical fee sebesar Rp.4.542.708.946,00 ke Toyota Iron Works Co. Ltd. Hal ini dinilai tidak sebanding dengan penurunan penjualan;
bahwa atas indikasi tersebut Pemohon Banding memberi penjelasan bahwa :
Dasar perhitungan royalti mengalami perubahan, yaitu :
Sebelum revisi : 5% x Locally Added Value x Sales,
di mana Locally Added Value (LAV) ratio sendiri adalah perhitungan dari :
Harga invoice dari produk yang dihasilkan dikurangi dengan :
Material cost, purchase parts price dan outhouse parts price tetapi di luar harga proses outhouse parts price tersebut;
Tax yang dibebankan pada setiap produk
Sesudah revisi : {(sales part – sales part to licensor) – V to V parts cost)) x 5%
bahwa karena komponen perhitungannya berubah, maka membuat biaya royalti mengalami kenaikan yang sangat signifikan (106%) dibanding tahun 2005, padahal di lain pihak omzet mengalami penurunan yang signifikan (24,35%). Kenaikan royalti tidak sebanding dengan penurunan omzet;
bahwa beberapa ketentuan yang mengatur perihal royalti antara lain :
KEP-542/PJ./2001 tanggal 01 Agustus 2001, mengenai pengertian royalti adalah :
Beban sehubungan dengan penggunaan :
Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merk dagang, formula atau rahasia perusahaan;
Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan;
Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun belum dipatenkan, misalnya pengalaman industri atau bidang usaha lainnya;
Pasal 9 ayat (1) huruf f, UU PPh Tahun 2000 menyebutkan :
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan :
- Huruf a dst
- Huruf f : jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
bahwa dalam memori penjelasan disebutkan :
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya;
Jumlah tersebut dianggap sebagai dividen.
SE-04/PJ.7/1993 tanggal 09 Maret 1993 tentang petunjuk penanganan kasus-kasus transfer pricing, menyebutkan : "……Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurang-wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada :
- No (1) dst.
- No (5) : Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa tehnik dan imbalan atas jasa lainnya;
Pasal 18 ayat (4) UU PPh Tahun 2000 menyebutkan :
bahwa hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat;
bahwa atas dasar hal tersebut Pemeriksa berpendapat bahwa royalti yang diberikan kepada pemegang saham (55,20%), yaitu pihak yang mempunyai hubungan istimewa melebihi kewajaran yang menyebabkan kerugian bagi Pemohon Banding;
bahwa Pemeriksa berkesimpulan bahwa royalti tersebut merupakan adanya indikasi dividen terselubung yang seyogyanya terhutang PPh Pasal 26, dan seharusnya pembebanannya di Harga Pokok Penjualan tidak diakui;
Menurut Risalah Penyelesaian Keberatan :
bahwa Pemeriksa mengoreksi Harga Pokok Penjualan – biaya royalti sebesar Rp.22.703.470.765,00 karena Pemeriksa berpendapat bahwa royalti yang diberikan kepada pemegang saham (55,20%), yaitu pihak yang mempunyai hubungan istimewa melebihi kewajaran yang menyebabkan kerugian bagi Pemohon Banding. royalti tersebut merupakan indikasi adanya dividen terselubung yang terhutang PPh Pasal 26, dan seharusnya pembebanannya di Harga Pokok Penjualan tidak diakui;
bahwa Pemohon Banding keberatan dengan koreksi tersebut dengan alasan perusahaan mempunyai perjanjian royalti dengan LICENSOR sejak tahun 1996. Perjanjian tersebut sepanjang waktu berjalan dilakukan revisi sesuai dengan kondisi yang terjadi pada saat tertentu. royalti yang dibayarkan tidak sebanding dengan penurunan penjualan, karena perubahan formula perhitungan royalti yang tidak ditentukan secara sepihak tetapi harus disetujui oleh kedua belah pihak. Selain itu, perubahan formula royalti tersebut ditentukan sebelum tahun pajak tertentu dimulai. Untuk perhitungan formula royalti tahun 2006 ditetapkan pada tanggal 26 Desember 2005. Sehingga pada saat menentukan formula royalti tahun 2006, belum diketahui sama sekali performance perusahaan sepanjang tahun 2006 tersebut;
bahwa Technical Assistance Agreement antara (Licensor) dengan Pemohon Banding (Licensee) yang dibuat pada tanggal 01 Juli 1996, mengatur antara lain :
Article 2. Grant of License :
Licensor shall grant to Licensee an exclusive license for technical information, know-how, patents and utility models for manufacturing The Products (all parts manufactured through stamping, welding and other processes, dies and jigs) in the territory;
Article 11. Calculation and Payment of royalti :
Licensee shall pay to Licensor a royalty amounting to 2.5% (two point five percent) of the "Locally-Added Value" of each product. Locally-Added Value (LAV) is defined as the invoice price of each of The Products of Licensee after deductions of the following :
Material costs, purchased parts price and outhouse parts price but excluding process price of these Outhouse Parts Price,
Tax to be levied on each of The Products (e.g. Sales Tax, transaction Tax, Excise Tax and other similar taxes) as far as such tax included in the invoice price of The Products of Licensee.
In calculating the amount of royalti, both parties shall decide in advance the LAV ratio which is calculated based on the final price quotations of each of The Products given to Licensee's customers.
LAV ratio shall be decided in advance for a period of every 3 (three) years or at every minor and major model change, whichever comes first.
Thus, royalti = 2.5% x LAV ratio x sales;
Licensee shall submit to a Monthly royalti Statements and remittance of the confirmed amount of royalti to Licensor shall be made by telegraphic transfer within 2 (two) months thereof.
Article 21. Effective Date and Term :
This agreement shall take effect on December 1996, after being signed by the duly authorized representative of each party.
This agreement shall become valid on the date of manufacturing of The products on a commercial basis commences, referred to in writing between the parties hereto, and shall continue in force for period of five (5) years. This agreement shall be automatically renewed for another year at the end of the five (5) years or the renewal year.
Article 28. Unmentioned Items :
Items related to this agreement but not mentioned shall be decided on through discussion between Licensor and licensee, if necessary. The amendment of this agreement shall be made as detailed above.
bahwa perubahan perhitungan royalti yang dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada Licenser berdasarkan History of royalti Agreement Between LICENSOR and PEMOHON BANDING yang ditanda tangani oleh Naomi Kimura selaku Director of Global Business Div. LICENSOR tanpa tanggal adalah sebagai berikut :
Revised
Applied From
Details
Note
Jul-96
Dec-96
Parts sales x LAV Ratio x 2.5%
(LAV Ratio = 35% fixed)
for exclusive licence for technical information, know-how, patents and utility models;
Sep-97
Oct-97
Coefficient 2.5% changed to 3.0%
Dec-01
Jan-02
Coefficient 3.0% changed to 5.0%
Dec-05
Jan-06
(Parts sales - Sales parts to Licensor -
V to V Parts costs) x 5.0%
according to expansion of new business overseas and each subsidiary, LICENSOR's work relating to subsidiaries has been increasing every year. LICENSOR has not been able to cover the cost for it.
Aug-07
Apr-07
V to V parts cost from NHCH is also
deducted from parts sales
In addition, V to V parts from NHCH is also deducted
bahwa berdasarkan Memorandum for Revision of royalty Calculation tanggal 26 Desember 2005 yang ditandatangani oleh Hideomi Miyake selaku Presiden LICENSOR dan Shigenori Tsunezumi selaku Presiden PEMOHON BANDING, diketahui bahwa kedua belah pihak setuju untuk merevisi perhitungan royalti yang berlaku mulai Januari 2006 sebagai berikut :
Licensee shall pay to Licensor a royalty amounting to 5% (five percent) of the amount subtracted the following from Sales Part :
Sales Part to Licensor
VtoV Parts Cost (from Japan and a third country)
Tax to be levied on each of The Products (e.g. Sales Tax, Transaction Tax, Excise Tax and other similar taxes) as far as such tax is included in the invoice price of The Products of Licensee.
Thus, royalti=
{(Sales Parts–Sales Part to Licensor) – V to V Parts Cost} x 5%
bahwa berdasarkan data SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2005 pada Sistem Informasi DJP, diperoleh data bahwa peredaran usaha Pemohon Banding tahun 2005 adalah sebesar Rp.663.165.119.802,00 dan biaya royalti untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp.10.976.081.581,00;
bahwa sedangkan peredaran usaha Pemohon Banding tahun 2006 berdasarkan foto copy SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2006 yang diserahkan Pemohon Banding adalah sebesar Rp.501.677.944.638,00 dan biaya royalti untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.22.703.470.765,00;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap fotokopi invoice tagihan pembayaran royalti dari LICENSOR, bukti pengeluaran bank PEMOHON BANDING dan rekening koran PEMOHON BANDING di The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ, Ltd. diketahui bahwa dalam tahun 2006 Pemohon Banding melakukan pembayaran royalti kepada LICENSOR sebesar Rp.22.703.470.765,00;
bahwa berdasarkan Laporan Keuangan untuk tahun-tahun yang berakhir 31 Desember 2006 dan 31 Desember 2005 yang diaudit oleh Fenny Widjaja, SE dari KAP Osman Ramli Satrio & Rekan, diketahui bahwa :
Peredaran usaha Pemohon Banding tahun 2006 adalah sebesar Rp.501.677.944.638,00 sedangkan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp.663.165.119.802,00;
Harga Pokok Penjualan tahun 2006 adalah sebesar Rp.502.605.396.671,00 sedangkan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp.575.165.709.282,00;
Pembayaran royalti kepada Licensor yang merupakan salah satu unsur Harga Pokok Penjulan, untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.22.703.470.765,00 sedangkan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp.10.976.081.282,00;
Technical Assistance fee kepada Licensor untuk tahun 2006 adalah sebesar Rp.4.733.470.765,00 sedangkan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp.6.689.327.693,00;
bahwa berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa dibandingkan dengan tahun 2005, pada tahun 2006 terjadi penurunan peredaran usaha sebesar Rp.161.487.175.164,00 (24,35%), sedangkan biaya royalti tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar Rp.11.727.389.184,00 (106,84%). Kenaikan pembayaran royalti yang sangat signifikan yaitu sebesar 106,84% sangat tidak sebanding dengan penurunan penjualan;
bahwa Licensor merupakan pemegang saham mayoritas Pemohon Banding yaitu sebesar 55,2%, sehingga terdapat hubungan istimewa. Karena terdapat hubungan istimewa antara Pemohon Banding dengan pihak penerima royalti, maka pembayaran royalti yang peningkatannya tidak sebanding dengan penurunan penjualan dapat diindikasi sebagai dividen terselubung;
bahwa perubahan formula perhitungan royalti yang disetujui oleh kedua belah pihak yang menurut Pemohon Banding merupakan penyebab tidak sebandingnya peningkatan jumlah royalti yang dibayarkan dengan penurunan penjualan, bisa saja terjadi karena penerima royalti merupakan pemegang saham mayoritas yang tentu memiliki pengaruh cukup besar dalam pengambilan suatu keputusan termasuk menentukan disetujui tidaknya perubahan formula perhitungan royalti tersebut;
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan :
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan :
- Huruf f : jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
bahwa dalam memori penjelasan disebutkan :
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya;
Jumlah tersebut dianggap sebagai dividen.
bahwa SE-04/PJ.7/1993 tanggal 09 Maret 1993 tentang petunjuk penanganan kasus-kasus transfer pricing, menyebutkan :
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan.
...Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurang- wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha;
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut;
bahwa kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada :
Harga penjualan;
Harga pembelian;
Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).
..Perlu ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yangmempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas materiil (substance over form rule);
bahwa Pasal 18 ayat (3), ayat (3a) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut:
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat;
bahwa dalam memori penjelasan Pasal 18 tersebut, antara lain disebutkan :
ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Apabila terdapat hubungan istimewa kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
kepemilikan atau penyertaan modal;
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
bahwa berdasarkan uraian dan ketentuan tersebut di atas, maka, Penelaah sependapat dengan Pemeriksa bahwa peningkatan biaya royalti tersebut merupakan indikasi dividen terselubung kepada pemegang saham;
bahwa berdasarkan uraian tersebut, diusulkan untuk menolak keberatan Wajib Pajak dan mempertahankan koreksi Pemeriksa atas Harga Pokok Penjualan–biaya royalti sebesar Rp.22.703.470.765,00;
Tanggapan Terbanding :
bahwa materi surat permohonan banding Pemohon Banding pada dasarnya hanya mengulang isi surat Keberatannya, dengan demikian sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-05/PJ.45/1994 tanggal 21 Februari 1994, hal-hal yang diajukan banding tidak perlu diuraikan lagi. Karena itu diusulkan kepada Majelis untuk menolak permohonan Banding Pemohon Banding jika dalam berkas banding tidak terdapat bukti-bukti pendukung baru yang dapat meyakinkan kebenaran permohonan banding Pemohon Banding;
Menurut Pemohon Banding :
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding;
bahwa perusahaan Pemohon Banding mempunyai perjanjian royalti dengan LICENSOR sejak tahun 1996. Perjanjian tersebut sepanjang waktu berjalan dilakukan revisi sesuai dengan kondisi yang terjadi pada saat tertentu;
bahwa perjanjian royalti tersebut nyata-nyata sangat relevan dan sesuai kebutuhan perusahaan Pemohon Banding dalam hal-hal antara lain :
Pemakaian nama "TOYOTETSU" untuk memberikan trade mark dan impresi bisnis yang positif terhadap perusahaan Pemohon Banding dan produk yang Pemohon Banding hasilkan;
Pemberian informasi yang dibutuhkan, baik secara lisan maupun tulisan mengenai produksi dan produk yang dihasilkan, mengenai know-how dari kontrol manufacturing dan kendali mutu yang berkaitan dengan efisiensi produksi;
bahwa untuk menagih royalti tersebut, dibuat perhitungan royalti terhutang berdasarkan perjanjian royalti dan memorandum revisi perhitungan royalti, kemudian ditagihkan oleh LICENSOR kepada perusahaan Pemohon Banding. Perusahaan Pemohon Banding membayar royalti tersebut kepada LICENSOR dan atas transaksi-transaksi tersebut telah disetorkan pajak secara benar, yaitu PPh Pasal 26 dan PPN Jasa Luar Negeri;
bahwa apabila ditemukan jumlah royalti yang dibayarkan tidak sebanding dengan penurunan penjualan, hal ini disebabkan karena perubahan formula perhitungan royalti tidak ditentukan secara sepihak oleh perusahaan Pemohon Banding, akan tetapi harus disetujui oleh kedua belah pihak;
bahwa selain itu, perubahan formula royalti tersebut ditentukan sebelum tahun pajak tertentu dimulai, misalnya untuk perhitungan formula royalti tahun 2006 ditetapkan pada tanggal 26 Desember 2005. Sehingga pada saat menentukan formula royalti tahun 2006, belum diketahui sama sekali performance perusahaan sepanjang tahun 2006 tersebut;
bahwa selain hal-hal tersebut di atas, Pemohon Banding ingin mengingatkan lagi bahwa pemegang saham perusahaan Pemohon Banding bukan hanya LICENSOR yang juga sebagai penerima royalti. LICENSOR hanya memiliki 55.2%, dan sisanya dimiliki oleh 1 pemegang saham lokal, yaitu PT. Nusa Cendana Harum yang bersifat independen dan tidak mempunyai hubungan istimewa dengan LICENSOR. Pemegang saham lokal akan mempunyai tendensi berusaha menurunkan royalti supaya potensial dividen yang didapat akan lebih besar. Dalam arti kata, pada saat penentuan formula royalti, tidak ada unsur rekayasa atau dividen terselubung, sebab terdapat lebih dari 1 pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 25%;
bahwa dengan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon Banding ingin menegaskan bahwa tidak ada unsur dividen terselubung sesuai dengan dugaan Terbanding, dan Pemohon Banding berpendapat bahwa koreksi Terbanding seharusnya dibatalkan, dan mengembalikan nilai royalti sebesar Rp.22.703.470.765,00 sebagai bagian dari Harga Pokok Penjualan;
Pendapat Majelis:
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data dan keterangan yang ada di dalam berkas banding serta pemeriksaan dalam persidangan, diperoleh petunjuk bahwa Terbanding melakukan koreksi ini karena terdapat ketidakwajaran dalam besarnya pembayaran biaya royalti. Dimana pembayaran royalti pada tahun 2006 naik 106% dari pembayaran royalty pada tahun 2005, padahal penjualan di tahun pajak 2006 terjadi penurunan sebesar 24,35% jika dibandingkan dengan tahun pajak 2005;
bahwa selain membayar royalti, Pemohon Banding juga membayar Technical Fee yang cukup material sebesar Rp.4.542.708.946,00 kepada Toyota Iron Works Co. Ltd, sehingga hal ini dinilai tidak sebanding dengan penurunan penjualan yang terjadi;
bahwa dengan demikian menurut Terbanding terdapat indikasi pembayaran dividen terselubung kepada pemegang saham;
bahwa atas PPh Pasal 26 secara jumlah rupiah tidak ada perubahan, namun objek nya diubah menjadi dividen, namun tetap tidak dapat dibiayakan karena tidak mengajukan banding untuk objek PPh Pasal 26 tersebut sehingga Pemohon Banding dianggap telah setuju dengan koreksi PPh Pasal 26 tersebut;
bahwa Pemohon Banding dalam persidangan mengemukakan bahwa biaya royalti ini memang dibutuhkan oleh Pemohon Banding untuk melakukan operasional perusahaannya;
bahwa royalti ini dibayarkan Pemohon Banding dalam rangka :
melakukan prosedur, kondisi dan informasi mengenai manufacturing product,
memberikan technical information,
mengembangkan, mendesain, dan memberikan bantuan untuk mengevaluasi produk,
bahwa perjanjian dibuat pada tahun 1996, dan di tahun-tahun tertentu terdapat perubahan perjanjian yang salah satunya terjadi pada bulan Desember 2005, dimana terdapat perubahan formula perhitungan besarnya biaya royalty yang harus dibayarkan Pemohon Banding, sehingga terdapat kenaikan pembayaran royalti yang cukup besar;
bahwa pada bulan Desember 2005 tersebut Pemohon Banding belum dapat mengetahui performance Pemohon Banding nantinya pada tahun 2006, apakah akan membaik atau menurun;
bahwa berdasarkan data dari Terbanding, dapat diketahui biaya royalty ini dikoreksi karena diluar batas kewajaran;
bahwa menurut Terbanding terdapat perubahan formula perhitungan besarnya royalti pada Bulan Desember 2005, yang menyebabkan besarnya pembayaran biaya royalti pada tahun 2006 naik 106% dari pembayaran royalty pada tahun 2005, padahal penjualan di tahun pajak 2006 terjadi penurunan sebesar 24,35% jika dibandingakan dengan tahun pajak 2005;
bahwa formula-formula perhitungan tersebut berubah-berubah hampir setiap tahun, dan selalu menyebabkan jumlah pembayaran royalty meningkat dari tahun ke tahun;
bahwa Terbanding minta penjelasan dari Pemohon Banding atas beberapa pertanyaan berikut :
Alasan mengapa jumlah pembayaran royalty selalu meningkat dari tahun ke tahun, bahkan ketika terjadi penurunan peredaran usaha?
Kegiatan / aktifitas apa dari Licensor(pemegang saham), yang menjadi dasar pembayaran royalty tersebut?
Apakah jasa / kegiatan dari pemegang saham ini bisa diperoleh dari pihak lain selain pemegang saham?
Bahwa selain melakukan pembayaran royalty, Pemohon Banding juga melakukan pembayaran Technical Assistance Fee kepada Licensor sebesar Rp.4.542.708.946,00. Apakah dapat diklarifikasi atas jasa/kegiatan apa saja pembayaran Technical Assistance Fee ini? Apakah sama atau berbeda dengan jasa/kegiatan yang menjadi dasar pembayaran royalty?
bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding melakukan pembayaran royalty kepada Toyota Iron Works Co. Ltd sebagai pemegang saham Pemohon Banding sebesar 55,2 %;
bahwa jumlah sebesar Rp.22.703.470.765,00 adalah terdiri dari royalti saja;
bahwa untuk Technical Assistance Fee sebesar Rp.4.542.708.946,00 tidak dikoreksi oleh Terbanding;
bahwa Technical Assistance Fee berupa training / pelatihan-pelatihan dari Toyota Iron Works Co. Ltd kepada pegawai dan teknisi Pemohon Banding, dan biaya ini bisa saja menjadi tidak ada jika sudah tidak diperlukan pelatihan lagi;
bahwa produk Pemohon Banding adalah bermacam-macam spare part mobil untuk kendaraan merk Toyota dan Daihatsu;
bahwa produk Pemohon Banding adalah hanya untuk penjualan di dalam negeri;
bahwa Terbanding setelah mempelajari Perjanjian Technical Assistance Agreement antara Pemohon Banding dengan Toyoda Iron Works Co., Ltd, maka dapat diketahui dasar pembayaran royalti, yaitu dalam Article 10. royalti, yang menyatakan :
"(a). Licensee shall pay running royalty for all The Products sold by Licensee as condideration of the license granted by Licensor to Licensee in accordance with Article 2 of this agreement."
bahwa adapun Article 2. Grant of License Technical Assistance Agreement antara Pemohon Banding dengan Toyoda Iron Works Co., Ltd, menyatakan sebagai berikut:
"(a) Licensor shall grant to License an exclusive license for technical information, know-how, patents, dan utility models for manufacturing The Products in the territory. …";
bahwa terkait dengan pelaksanaan Jasa (service) dari Licensor kepada Pemohon Banding, Pemohon Banding dapat meminta kehadiran Teknisi dari Jepang untuk memberikan pengarahan dan pelatihan lebih lanjut, dimana nantinya biaya dalam menghadirkan Teknisi dari Jepang ini (Technical Assistance Fee) ditagihkan kepada Pemohon Banding;
bahwa Biaya Technical Assistance Fee atas Jasa Pengarahan dan Pelatihan dari teknisi yang berasal dari Jepang inilah yang terlihat jelas ada manfaatnya kepada Pemohon Banding;
bahwa mengenai salah satu alasan Pemohon Banding melakukan pembayaran royalti baik dalam proses keberatan maupun pada saat mengajukan banding bahwa "Pemakaian nama 'TOYOTETSU' untuk memberikan trade mark dan impresi bisnis yang positif terhadap perusahaan Pemohon Banding dan produk yang Pemohon Banding hasilkan" adalah tidak dapat diterima karena setelah Terbanding melakukan penelitian terhadap bukti berupa invoice dan Laporan Keuangan, diketahui lebih dari 95 % penjualan Pemohon Banding adalah kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga mestinya tidak perlu ada pembayaran royalti atas "Brand Images" terhadap penjualan kepada Related Parties;
bahwa mengenai bukti berupa Daftar Riwayat Persentase royalti Anak-anak Perusahaan Licensor, Terbanding meragukan keabsahan dokumen tersebut, karena hanya berupa fotokopi dan tidak ada cap / stempel dari Toyoda Iron Works;
bahwa seharusnya untuk mendukung bukti tersebut, Pemohon Banding harus melampirkan bukti penerimaan/pengiriman surat dari Licensor dan Laporan Konsolidasi;
bahwa Pemohon Banding menyerahkan kepada Majelis dokumen-dokumen sebagai berikut :
1. Daftar Riwayat Persentase royalti Anak-anak Perusahaan Toyoda Iron Works Co., Ltd
2. Company Profile Pemohon Banding;
bahwa dengan dokumen tersebut Pemohon Banding ingin memperlihatkan bahwa perlakuan perhitungan persentase royalti yang berubah-ubah tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga kepada seluruh Anak Perusahaan Licensor di Amerika Serikat, India, China, Canada, dan Turki;
bahwa mengenai turunnya peredaran usaha, namun jumlah pembayaran royalty semakin meningkat, Pemohon Banding memberikan keterangan sebagai berikut :
bahwa perubahan perhitungan persentase pembayaran royalti terjadi pada bulan Desember 2005, sehingga pada saat itu belum dapat diketahui kinerja perusahaan pada tahun 2006 apakah lebih baik atau menurun jika dibandingkan dengan tahun 2005;
bahwa pembayaran royalti ini adalah berdasarkan Article 2. Grant of License Technical Assistance Agreement antara Pemohon Banding dengan Toyoda Iron Works Co., Ltd, yaitu :
"(a) Licensor shall grant to License an exclusive license for technical information, know-how, patents,dan utility models for manufacturing The Products in the territory. …";
bahwa Pemohon Banding meralat pernyataan bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan pembuat spare parts, dan menyatakan bahwa yang sebenarnya Pemohon Banding adalah perusahaan assembly parts, yang merupakan bagian dari kendaraan bermotor yang usia pemakaiannya adalah seumur kendaaran, lebih banyak tidak kasat mata, dan tidak memiliki merek (trade mark);
bahwa Pemohon Banding menunjukkan gambar contoh barang-barang hasil produksi Pemohon Banding;
bahwa Pemohon Banding menyerahkan Laporan Keuangan tahun 2005 dan 2006 yang telah di Audit oleh Akuntan Publik;
bahwa untuk pembayaran royalti adalah merupakan penghasilan yang bersifat pasif bagi Licensor seperti : pemberian Teknikal Informasi dan prosedur-prosedur kepada Pemohon Banding, sementara untuk Technical Assistance Fee adalah penghasilan yang bersifat aktif dalam rangka mengimplementasikan informasi dan prosedur-prosedur tersebut;
bahwa untuk Biaya berupa Technical Assistance Fee hanya terjadi jika memang dibutuhkan Pengarahan dan pelatihan lebih lanjut dari Toyota Iron Works Co. Ltd, sehingga tidak rutin dibayarkan oleh Pemohon Banding;
bahwa terhadap jasa Technical Assistance ini pada dasarnya dapat diberikan atau digantikan oleh pihak lain, namun akan menjadi sangat tidak efektif dari segi waktu dan biaya bagi Pemohon Banding, jika dibandingkan dengan jasa yang langsung diberikan oleh Toyota Iron Works Co. Ltd;
bahwa untuk pembayaran royalti pada Tahun Pajak 2002 dan 2003 tidak dikoreksi sama sekali, dan untuk Tahun Pajak 2007 Terbanding menerima sebagian, yaitu dengan menggunakan formula penghitungan royalti pada Tahun Pajak 2005;
bahwa Terbanding menyerahkan kepada Majelis dokumen berupa Surat Penjelasan Tambahan Nomor : S-4902/PJ.07/2010 tanggal 31 Mei 2010, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
Dasar Hukum dan Kajian Teori
a. bahwa berdasarkan Pasal 18 UU Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) antara lain mengatur :
Pasal 18 ayat (3) :
"Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa."
Penjelasan :
"Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat tedadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak."
Pasal 18 ayat (4) :
"Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat;"
b. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 09 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, mengatur mengenai metode dan langkah-langkah pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
c. bahwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ.7/1993 tanggal 09 Maret 1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing, menyebutkan :
"Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Sedangkan untuk Wajib Pajak Perseorangan hubungan istimewa dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau kesamping satu derajat. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Perseorangan dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak, saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurang-wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
Kekurangwajaran tersebut dapat terjadi pada :
1) Kekurang-wajaran harga penjualan;
2) Kekurang-wajaran harga pembelian;
3) Kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
4) Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham;
5) Kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
6) imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya."
d. bahwa berdasarkan Pasal 9 P3B Indonesia – Jepang diatur bahwa:
"Apabila :
a) suatu perusahaan dari salah satu Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara lainnya, atau
b) orang atau badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari salah satu Negara dan dalam suatu perusahaan dari Negara lainnya,
dan tiap kedua hal itu, diantara kedua perusahaan itu di dalam hubungan dagangan atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazimnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang bebas, maka setiap keuntungan yang seharusnya jatuh pada salah satu perusahaan, tetapi tidak diperolehnya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan ke dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak;"
e. bahwa berdasarkan OECD Transfer Pricing Guidelines dapat diketahui langkah-langkah pengujian atas kewajaran pembebanan biaya royalti atas Intangible Property yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yaitu dengan cara:
"1) Menentukan eksistensi Intangible Property yang dijadikan dasar pembayaran royalti :
- Menunjukkan tipe / jenis dari intangible property dan membuktikan bahwa intangible property tersebut benar-benar ada (Par 6.3);
- Memberikan bukti / dokumen yang menunjukkan kepemilikan atas intangible property dimaksud (Par 6.2 – 6.10);
- Mampu menunjukkan keberadaan nilai dari Intangible Property dimaksud (Valuation of Intangible Property);
2) Menentukan eksistensi / kebenaran adanya transfer intangible property atau hak penggunaan atas intangible property :
- Menguji kelayakan pembayaran royalti – willing to pay test (Par 6.14);
- Menguji manfaat yang diperoleh atas penggunaan IP – economic benefit test (Par 6.15);
- Product life cycle (PLC) consideration (Par 1.50);
- Identifikasi kontrak dan perjanjian transfer Intangible Property (Par 6.16 – 6.19);
3) Menghitung kewajaran (arm's lenght) pembayaran royalty :
Menentukan nilai wajar pembayaran royalti dengan menunjukkan dasar perhitungan royalti, metode penentuan royalti, dan bukti bahwa royalti yang dikenakan adalah wajar."
Tanggapan Terbanding :
a. bahwa berdasarkan Pasal 18 UU PPh diketahui bahwa Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan, menentukan kembali besamya pengurangan, dan menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa;
b. bahwa wewenang yang diberikan oleh Pasal 18 UU PPh di atas tidak memiliki batasan. Penentuan kembali besaran Penghasilan Kena Pajak bisa berupa koreksi biaya / penghasilan sebagian atau seluruhnya;
c. bahwa berdasarkan Laporan Keuangan Wajib Pajak yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan serta Technical Assistance Agreement diketahui bahwa pada tahun 2006 terdapat pembayaran royalti kepada Toyota Iron Works Co. Ltd. sebesar Rp.22.703.470.765,00 dan pembayaran technical assistance fee sebesar Rp.4.733.832.898,00. Dan daftar susunan pemegang saham diketahui bahwa Toyota Iron Works Co. Ltd. adalah pemegang saham mayoritas (55.20%) dari Pemohon Banding sehingga dapat dipastikan dari sisi kepemilikan saham kedua belah pihak yang bertransaksi memiliki hubungan istimewa;
d. bahwa menanggapi bukti-bukti yang disampaikan oleh Pemohon Banding di dalam persidangan, Terbanding dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
1) bahwa dalam rangka menguji kewajaran pembebanan biaya royalti yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa diperlukan prosedur pengujian dengan mendasarkan pada OECD Transfer Pricing Guidelines sebagaimana telah diuraikan dalam uraian di atas;
2) bahwa selama proses persidangan, Pemohon Banding tidak dapat memberikan kepastian dan tidak konsisten dalam menentukan jenis / type intangible property yang digunakan oleh Pemohon Banding. Dalam surat keberatan, surat banding, maupun surat bantahan disebutkan bahwa royalti dibayarkan salah satunya atas penggunaan trade mark "TOYOTETSU" sehubungan dengan produk spare part yang dihasilkan. Namun di dalam proses persidangan, Pemohon Banding gagal dalam menjelaskan penggunaan trade mark tersebut dan menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan informasi yang disampaikan di dalam surat banding maupun surat bantahan. Selanjutnya, Pemohon Banding menyatakan bahwa royalti dibayarkan terkait dengan penggunaan design assembling part yang nantinya digunakan untuk pabrikan mobil diantaranya Daihatsu dan Toyota. Pemohon Banding menunjukkan beberapa foto assembling part yang dihasilkan oleh perusahaan. Dan foto-foto tersebut diketahui bahwa assembling part yang dihasilkan digunakan untuk pabrikan mobil Toyota AVANZA, Daihatsu XENIA, Toyota DYNA, Toyota INNOVA. Sampai dengan persidangan terakhir tanggal 05 Mei 2010, Pemohon Banding tidak dapat membuktikan eksistensi dari intangible property tersebut yang menunjukkan bahwa hak paten atas design assembling part yang digunakan oleh pabrikan Toyota dan Daihatsu merupakan milik dari Toyota Iron Works Co. Ltd. Karena Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan bukti / dokumen terkait eksistensi dan Intangible Property (IP) dimaksud, maka sesungguhnya tidak ada IP yang digunakan sebagai dasar pembayaran royalti sehingga seharusnya tidak ada kewajiban pembayaran royalty;
3) bahwa Pemohon Banding juga tidak dapat menjelaskan keharusan pembayaran royalti (willing to pay) terkait penggunaan IP tersebut mengingat produk yang dihasilkan dijual ke perusahaan afiliasi sehingga pihak yang memperoleh manfaat dari penggunaan IP adalah perusahaan afiliasi dan keharusan penggunaan design tersebut semata-mata untuk kepentingan afiliasi agar produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan / kepentingan afiliasi;
4) bahwa berdasarkan bukti Technical Assistance Agreement dan amandemennya diketahui bahwa selama tahun 1996 s.d tahun 2006 telah terjadi kenaikan formula pengenaan royalty dengan histori sebagai berikut:
Tahun Penerapan
Formula
1996
2.5% x (Parts sales x LAV Ratio); LAV Ratio = 35% Fixed.
1997
3.0% x (Parts sales x LAV Ratio)
2002
5.0% x (Parts sales x LAV Ratio)
2006
5.0% x (Parts sales – Sales parts to Licensor – V to V Parts Cost)
bahwa di dalam persidangan, Pemohon Banding juga tidak dapat menjelaskan mengenai dasar-dasar perubahan formula dan alasan-alasan terjadinya kenaikan formula. Sampai dengan persidangan ini, Pemohon Banding gagal dalam membuktikan bahwa biaya royalti tersebut telah wajar dan lazim, mengingat Pemohon Banding tidak dapat mendemonstrasikan bagaimanakah prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diterapkan dalam menentukan formula biaya royalti maupun dalam menghitung besarnya biaya-biaya royalti;
5) bahwa terkait dengan dokumen perbandingan royalti (daftar persentase pembayaran royalti oleh anak-anak perusahaan LICENSOR) yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penentuan nilai wajar atas pembayaran royalti karena disamping dokumen tersebut masih belum dapat diyakini keabsahan dan kebenaran terhadap data-data yang disajikan, data pembanding yang diberikan juga terkait pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
e. bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berkesimpulan bahwa sampai saat ini Pemohon Banding tidak dapat membuktikan eksistensi / keberadaan dari Intangible Property tersebut nyata-nyata ada dan dimiliki oleh Toyota Iron Works Co. Ltd. serta tidak dapat membuktikan bahwa biaya royalti tersebut telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sehingga koreksi atas pembayaran royalti kepada LICENSOR tetap dipertahankan.;
f. bahwa dalam rangka menerapkan prosedur pengujian sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines dalam menghitung kewajaran atas pembayaran royalti, maka informasi yang harus dapat dijelaskan dan dibuktikan oleh Pemohon Banding adalah sebagai berikut :
1) Penjelasan mengenai jenis / tipe serta nilai dari Intangible Property yang digunakan untuk menunjukkan eksistensi dari Intangible Property dimaksud;
2) Penjelasan mengenai karakter perusahaan apakah termasuk dalam kategori Toll Manufacturer, Contract Manufacturer, Fully Fledged Manufacturer;
3) Tipe kontrak penjualan antara Pemohon Banding dengan LICENSOR;
4) Jenis produk yang dijual baik kepada related parties maupun pihak ketiga;
5) Alasan terjadinya perubahan formula perhitungan royalti dan kondisi-kondisi apa yang dijadikan bahan pertimbangan;
6) Bagaimanakah prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diterapkan dalam menentukan formula dan nilai pembayaran royalty;
bahwa Pemohon Banding dalam persidangan menyerahkan kepada Majelis dokumen-dokumen sebagai berikut :
1. Daftar Riwayat Persentase royalti Anak-anak Perusahaan Licensor yang telah ditandasyahkan oleh Pihak ke tiga;
2. Perhitungan royalti untuk Tahun Pajak 2007;
3. Surat Keberatan untuk Tahun Pajak 2007;
4. Surat Keputusan Keberatan untuk Tahun Pajak 2007;
5. Surat Permohonan Banding Tahun Pajak 2007;
bahwa pada Daftar Riwayat royalti anak-anak perusahaan Licensor yang lainnya telah dibubuhi materai, dan dilengkapi dengan Legalisir dari pihak ketiga yaitu dari Notaris, Jepang dan Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo, Jepang;
bahwa dengan dokumen tersebut Pemohon Banding ingin melihatkan bahwa perlakuan perhitungan persentase royalti yang berubah-ubah tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga kepada seluruh Anak Perusahaan Licensor di Amerika Serikat, India, China, Canada, dan Turki
Kesimpulan Majelis
bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan PMA yg sahamnya dimiliki oleh PT. Nusa Cendana Harum dan Licensor, Japan sebanyak 55,2%;
bahwa bidang usaha Pemohon Banding adalah sebagai produsen automotive parts (body parts, frame parts, assembly parts, suspension parts & engine parts), berupa antara lain: Parking Brake Lever; Brake Support Assy; Radiator Support; Door Impact Beam; Door Hinge; High Deck dan Low Deck Assy;
bahwa pelanggan utama Pemohon Banding adalah PT Toyota Motor Mfg. Indonesia; PT Astra Daihatsu Motor; PT. Denso Indonesia dan PT Abadi Barindo Autotech;
bahwa dengan demikian transaksi yang terjadi antara Pemohon Banding dengan Licensor, Japan, memenuhi kriteria sebagai transaksi yang terjadi antara dua pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan oleh karenanya Dirjen Pajak berwenang menghitung kembali penghasilan sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha;
bahwa sesuai peraturan yang berlaku, pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa seharusnya dilakukan sesuai pedoman yang telah diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak no: KEP-01/PJ.7/1993, tanggal 09 Maret 1993, tentang : "Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;"
bahwa dalam kaitannya bahwa lawan transaksi PB, yaitu Licensor adalah perusahaan asal negara Jepang yang memiliki P3B dengan negara Indonesia, perlakuan atas transaksi antara kedua pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut tunduk pada Pasal 9 P3B tersebut;
bahwa Pasal 9 P3B tersebut lebih lanjut distandardisasi penerapannya dalam OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations;
bahwa pedoman tersebut merupakan rujukan international, yang memuat International Taxation Principles, yang juga digunakan oleh Terbanding dalam memperdalam pemeriksaan transaksi antara pihak yang mempunyai huungan istimewa yang dilakukan sesuai KEP Dirjen No : KEP-01/PJ.7/1993;
bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan diketahui bahwa koreksi dilakukan oleh Terbanding pada pos biaya royalti, yaitu sejumlah Rp.22.703.470.765,00 dengan alasan ketidak-wajaran nilai berdasar kuasa pasal 18 UU PPh yang mengatur tentang perlakuan terhadap transaksi terkait adanya Hubungan Istimewa;
bahwa berdasarkan kuasa pasal tersebut seluruh biaya royalti dikoreksi oleh Pemeriksa Pajak dan tidak diakui sebagai pengurang Penghasilan Bruto. Dilain pihak Pemeriksa Pajak telah melakukan Secondary Adjustment dengan menganggap bahwa biaya royalti yang dikoreksi tersebut dibayarkan kepada Licensor(selaku pemegang saham mayoritas) sebagai dividen terselubung.
bahwa biaya royalti tersebut dibayarkan kepada Toyoda Iron Works Co, Ltd, yang merupakan pemegang saham mayoritas, berdasarkan Technical Assistance Agreement antara Licensor (sebagai Licensor) dengan Pemohon Banding / Pemohon Banding (sebagai Licensee) tertanggal 1 Juli 1996;
bahwa Article 2 Agreement tersebut secara jelas menyebutkan bahwa Pemohon Banding memperoleh hak eksklusif atas "Technical information, know-how, patents and utility models for.manufacturing The Products (all parts manufactured through stamping, welding and other processes, dies and jigs) in the territory;"
bahwa hak eksklusif yang diperoleh oleh Pemohon Banding tersebut di atas dalam OECD Transfer Pricing Guidelines , khususnya dalam Chapter VI tentang "Special Consideration for Intangible Property", termasuk dalam kelompok "Intangible Property" yang sesuai kelaziman usaha, atas penyerahan hak-hak tersebut dapat dibebani biaya "royalti" sebagaimana yang didefinisikan dalam Pasal 12 P3B Indonesia – Jepang;
bahwa berdasarkan Kep Dirjen no: KEP-01/PJ.7/1993, Bab I: "...... Pemeriksa Pajak perlu menentukan harga yang wajar (arm's length price) atas transaksi-transaksi yang dapat dikelompokkan......";
bahwa tidak terdapat ketentuan maupun rujukan lain yang menyatakan bahwa pembebanan biaya terkait adanya hubungan istimewa harus dikoreksi seluruhnya dan tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan tanpa melakukan analisa yang mendalam;
bahwa dalam OECD Transfer Pricing Guidelines paragraph: 6.13 dinyatakan bahwa pedoman umum penerapan Arm's Length Principles" pada Chapter I, "Pemilihan Metoda" yg digunakan di Chapter II, serta "Analisa Kesebandingan" di Chapter III, perlu dilakukan juga untuk "Intangible Property";
bahwa hal tersebut hanya bisa dilakukan setelah Pemeriksa Pajak melakukan berbagai langkah pengumpulan data sampai dengan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi komparabilitas;
bahwa analisa atau evaluasi komparabilitas dimaksud meliputi analisa mendalam tentang karakteristik barang (dalam hal ini adalah Barang Tidak Berwujud); analisa fungsi; analisa persyaratan dalam perjanjian; analisa kondisi ekonomi serta analisa strategi usaha. Sebagaimana yang tertulis di OECD Transfer Pricing Guidelines, Para 4.7. : ".......Transfer pricing cases are fact-intensive and may involve difficult evaluations of comparability, markets, and financial or other industry information......";
bahwa kesimpulan apakah nilai suatu transaksi bisa dianggap wajar dan dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan, sesuai arm's length principles hanya dapat diambil setelah melalui proses evaluasi dan analisa yg komprehensif, yang didukung oleh KKP yang lengkap;
bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan tidak terdapat petunjuk maupun dokumen, termasuk dalam LHP, KKP maupun dalam penelaahan keberatan, yang bisa menunjukkan bahwa Pemeriksa maupun Penelaah Keberatan telah melaksanakan pedoman pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Kep Dirjen No : KEP-01/PJ.7/1993 atau yang terdapat dalam OECD Transfer Pricing Guidelines tersebut di atas yang juga dijadikan referensi oleh Terbanding;
bahwa alasan dilakukannya koreksi oleh pemeriksa serta alasan dipertahankannya koreksi oleh penelaah keberatan hanya didasarkan pada analisa yang sumir dan subyektif;
bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Harga Pokok Penjualan- Biaya royalti sebesar Rp.22.703.470.765,00 (yang kemudian oleh Pemeriksa dianggap sebagai Dividen Terselubung) tersebut dilakukan tidak berdasarkan alasan yang kuat dan karenanya tidak dapat dipertahankan;
Koreksi Penghasilan Neto dari Luar Usaha – Biaya Bunga sebesar Rp.29.831.770,00
Menurut Terbanding :
Menurut Pemeriksa :
bahwa Pemohon Banding terlalu besar membebankan interest expense bank loan. Pemeriksa mengoreksi interest expense sebesar Rp.46.321.458,00 karena tidak ada bukti pendukung;
Menurut Pemohon Banding :
bahwa secara konsisten Pemohon Banding menganut pembukuan dengan metode akrual, di mana transaksi untuk tahun 2006 Pemohon Banding catat di pembukuan 2006 walaupun pembayaran baru dilakukan di tahun 2007;
bahwa demikian pula pencatatan biaya bunga atas pinjaman bank, yang mana jumlah biaya bunga sebesar Rp.46.321.458,00 adalah biaya bunga yang harus dibebankan pada bulan Desember 2006 walaupun pendebetannya (pembayarannya) baru dilakukan pada bulan Januari 2007;
bahwa selain daripada itu, koreksi tersebut tidak tercantum di dalam Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (PHP) Nomor : Pem-901/WPJ.07/KP.0305/ 2007 tanggal 18 Desember 2007;
bahwa sehingga menurut pandangan Pemohon Banding, koreksi atas penghasilan dari luar usaha sebesar Rp.46.321.458,00 seharusnya dibatalkan;
Menurut Penelaah Keberatan :
bahwa Pemeriksa mengoreksi interest expense bank loan sebesar Rp.46.321.458,00 karena tidak ada bukti pendukung, sebagai berikut :
Uraian
Menurut
Koreksi
(Rp)
SPT/WP
(Rp)
Pemeriksa
(Rp)
Biaya Interest expense bank loan
7.158.344.946
7.112.023.488
46.321.458
bahwa Pemohon Banding keberatan dengan koreksi tersebut dengan alasan menganut pembukuan dengan metode akrual, di mana transaksi untuk tahun 2006 dicatat di pembukuan 2006 walaupun pembayaran baru dilakukan di tahun 2007. Biaya bunga atas pinjaman bank sebesar Rp.46.321.458,00 adalah biaya bunga yang harus dibebankan pada bulan Desember 2006 walaupun pendebetannya (pembayarannya) baru dilakukan pada bulan Januari 2007. Selain itu, koreksi tersebut tidak tercantum di dalam Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (PHP) Nomor : Pem-901/WPJ.07/KP.0305/2007 tanggal 18 Desember 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Laporan Keuangan Pemohon Banding yang diaudit oleh Fenny Widjaja, SE dari KAP Oesman Ramli Satrio & Rekan, antara lain diketahui bahwa :
Jumlah interest expense tahun 2006 adalah sebesar Rp.7.158.344.946,00.
Untuk tahun 2006, Wajib Pajak memiliki short-term bank loans sebagai working capital dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch sebesar Rp.43.747.000.000,00 (maximum credit of US$ 13,500,000 in 2006 and US$ 9,000,000 in 2005) dan dari Bank Sumitomo Mitsui Indonesia sebesar Rp.39.237.000.000,00 (maximum credit of US$ 7,800,000 in 2006 and US$ 4,500,000 in 2005) dengan interest rate per annum 4,77% - 5,85%;
bahwa rincian pembebanan interest bank loan sebesar Rp.46.321.458,00 berdasarkan adjustment journal yang ditunjukkan oleh Pemohon Banding adalah sebagai berikut :
Amount
USD
Period
No of
days
Rate Interest
Interest Exp Dec
USD
Rate
Interest Exp Dec
Rp.
Start
Mature
BOTM
1,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.7350%
525.71
9,020
4.741.889
3,750,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.8500%
1,828.13
9,020
16.489.688
21.231.577
SMBC
450,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
287.75
9,020
2.595.505
1,800,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,151.00
9,020
10.382.020
2,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,342.83
9,020
12.112.357
25.089.882
Total
46,321,458
bahwa atas pinjaman sebesar US$ 1,100,000 dan 3,750,000 dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch, Pemohon Banding menyerahkan dokumen / bukti pendukung berupa Facility Agreement tanggal 03 Februari 2006, Credit Agreement tanggal 28 Agustus 2006, Appendix B Repayment Schedule, Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353, Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005355, Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353, Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 008731, invoice J1-00045 tanggal 12 Januari 2007 dan J1-00046 tanggal 29 Januari 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Facility Agreement antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch dengan Pemohon Banding yang ditandatangani tanggal 03 Februari 2006, diketahui hal-hal sebagai berikut :
1.
2.
Type of Facility
Currency
: a. Loan Facility
b. Import Facility
: USD, JPY, IDR
3.
Facility Limit
: USD 9,000,000.00
4.
Availability Periode
: February 3, 2006 – February 3, 2007
5.
Security Documents
: letter of Awareness from Toyoda Iron Works Ltd.
6.
Maximum Period of
: a. Loan : 1 (one) year (as of the Drawdown Date)
b. L/C Opening : 6 months
c. Acceptance : 6 months
d. Local L/C Opening : 6 months
7.
Final Repayment Date
: For loan Facility : February 3, 2008
For Import Facility : August 3, 2007
8.
Interest Rate for Loan
: BTMU SIBOR for the relevant Interest Period plus
Applicable Margin
9.
Applicable Margin
: 0.375% p.a
Article 5.4 : All interest hereunder shall be computed on the basis of year of 360 days and will be payable for the actual number of days elapsed (including the first day but excluding the last day)
10
Fees/Commissions
: L/C Opening commission : 1,16 % per item
Amendment L/C commission : 1,16 % per item
Acceptance commission : 1,0 % p.a
Local L/C Opening commission : 1,16 % per item
11
Insurance
: Not available
12
Purpose
: For loan Facility : For working capital
For import Facility : For import transaction
Karena terdapat kesesuaian nilai pinjaman, tanggal pinjaman dan tingkat bunga yang berlaku untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000 dalam adjustment journal, maka Penelaah dapat meyakini kebenaran bahwa dengan Surat Sanggup (Promissory Note) No. J–008731, Repayment Schedule dan invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00004 tanggal 29 Januari 2007 merupakan dokumen/bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000, sehingga atas sebagian bunganya dapat dibebankan di tahun 2006 dengan Derhitunaan sebagai berikut :
Amount
USD
Period
No of
days
Interest Rate
Interest Exp Dec
USD
Rate
Interest Exp Dec
Rp.
Start
Mature
BOTM
3,750,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.8500%
1,828.13
9,020
16,489,688
16,489,688
bahwa atas pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000 dari PT. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia Pemohon Banding menyerahkan dokumen / bukti berupa Credit Agreement No. BSMI 0076 tanggal 22 Juli 2005, Schedule No. 002, Schedule No. 003, Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, Confirmation of Roll Over tanggal 22 Desember 2006 dan invoice dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia tanggal 15 Januari 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Credit Agreement antara PT. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia dengan Pemohon Banding Nomor : BSMI 0076 yang ditandatangani tanggal 17 Mei 2006 dan Schedule No. 002 to Credit Agreement No. BSMI 0076, diketahui hal-hal sebagai berikut :
Item 2. Credit Facilities
Availability Period : May 2006 – May 2007; Maturity 6 (six) months after the last drawdown date
Approved Purpose : Capital Expenditure (Facility : Loan on Note)
Currency : USD
Amount : USD 3,300,000
Item 4. Interest per annum : SMBC's SIBOR + 0.375 % per annum
Article 3.1 : The Borrower agrees to pay interest to the Bank on the last date of the Interest Period unless otherwise specified in the Schedule (the "Interest Payment Date") (computed on the basis of year of three hundred sixty (360 days and the actual number of days elapsed) on the unpaid principal amount of the Loan from and including the date the Loan was made until the Loan is paid in full, at a rate per-annum was specified in the Schedule;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Schedule Nomor : 003 to Credit Agreement Nomor : BSMI 0076 tanggal 22 Juli 2006 antara PT. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia dengan Pemohon Banding yang ditandatangani tanggal 17 Mei 2006, diketahui hal-hal sebagai berikut :
Item 2. Credit Facilities
Availability Period : July 2006 – May 2007; Maturity 6 (six) months after the last drawdown date
Approved Purpose : Capital Expenditure (Facility : Loan on Note)
Currency : USD
Amount : USD 4,500,000
Item 4. Interest per annum : SMBC's SIBOR + 0.375 % per annum
bahwa hasil penelitian atas dokumen pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000 adalah sebagai berikut :
berdasarkan Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak pada tanggal 28 Desember 2006, diketahui bahwa Wajib Pajak berjanji untuk membayar kepada PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia uang sejumlah US$ 4,350,000 pada tanggal 29 Januari 2007;
berdasarkan Confirmation of Roll Over dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia tanggal 22 Desember 2006 diketahui bahwa untuk pinjaman sebesar US$ 4,350,000 tanggal 28 Desember 2006 tingkat bunga pinjaman yang berlaku adalah sebesar 5.755% p.a. (interest rate = 5.38% (SMBC STBOR) + 0.375 (spread));
Karena menurut adjustment journal atas pinjaman dari PT. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia terdiri dari pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000 sedangkan dokumen/bukti pendukung yang diserahkan Wajib Pajak berupa Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, Confirmation of Roll Over tanggal 22 Desember 2006 dan invoice dari PT Bank Sumitomo Mitsui tanggal 15 Januari 2007, yang semuanya menunjukkan nilai sebesar US$ 4,350,000 tidak dirinci menjadi US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000, maka Penelaah tidak dapat meyakini kebenaran bahwa dokumen tersebut merupakan bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000;
bahwa atas alasan Pemohon Banding yang menyebutkan bahwa koreksi atas penghasilan dari luar usaha sebesar Rp.46.321.458,00 tidak tercantum di dalam Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (PHP) Nomor : Pem901/WPJ.07/KP.0305/2007 tanggal 18 Desember 2007, sehingga seharusnya dibatalkan, Penelaah memberikan pendapat sebagai berikut :
berdasarkan penelitian terhadap Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (PHP) No. Pem-901/WPJ.07/KP.0305/2007 tanggal 18 Desember 2007, diketahui bahwa koreksi atas penghasilan dari luar usaha sebesar Rp.46.321.458,00 memang tidak tercantum di dalam PHP tersebut;
berdasarkan Pembahasan Sengketa Perpajakan dengan Tim Pemeriksa sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Nomor : BA-883/WPJ.07/BD.0502/2008 tanggal 24 September 2008, Pemeriksa memberikan penjelasan sebagai berikut :
Biaya bunga dikoreksi sebesar Rp.46.321.458,00 karena biaya bunga menurut SPT / WP adalah sebesar Rp.7.158.344.946,00 sedangkan sesuai Buku Besar dan bukti pendukung biaya bunga tersebut hanya berjumlah Rp.7.112.023.488,00, akan tetapi Pemeriksa khilaf tidak memasukkan koreksi tersebut dalam SPHP yang disampaikan ke Wajib Pajak. Namun secara perhitungan di SPHP dan SKP sudah benar.
bahwa berdasarkan penjelasan Pemeriksa tersebut, Penelaah melakukan penelitian terhadap dokumen / bukti yang diserahkan Pemohon Banding untuk mendukung keberatan atas biaya bunga sebesar Rp.46.321.458,00 sebagaimana tersebut dalam uraian di atas;
bahwa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karena hanya pinjaman dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. sebesar US$ 3,750,000 saja yang dokumen pendukungnya sesuai, maka atas pinjaman tersebut sebagian bunganya dapat dibebankan di tahun 2005 yaitu sebesar Rp.16.489.688,00, sehingga diusulkan untuk mengurangkan koreksi Pemeriksa dan mengabulkan sebagian keberatan Pemohon Banding atas koreksi Biaya Bunga dari sebesar Rp.46.321.458,00 menjadi sebesar Rp.29.831.770,00 karena biaya bunga sebesar Rp.16.489.688,00 didukung dengan dokumen / bukti pendukung;
Tanggapan Terbanding :
bahwa atas Surat Pemohon Banding tersebut, Terbanding memberikan tanggapan sebagai berikut :
bahwa rincian pembebanan interest Bank Loan sebesar Rp.46.321.458,00 berdasarkan adjustment journal yang ditunjukkan oleh Pemohon Banding adalah sebagai berikut :
Amount
USD
Period
No of
days
Interest Rate
Interest Exp Dec
USD
Rate
Interest Exp Dec
Rp.
Start
Mature
BOTM
1,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.7350%
525.71
9,020
4.741.889
3,750,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.8500%
1,828.13
9,020
16.489.688
21.231.577
SMBC
450,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
287.75
9,020
2.595.505
1,800,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,151.00
9,020
10.382.020
2,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,342.83
9,020
12.112.357
25.089.882
Total
46.321.458
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tanggal 13 Desember 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch uang sejumlah US$ 600,000 pada tanggal 12 Januari 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00045 tanggal 12 Januari 2007 diketahui bahwa atas pinjaman sebesar US$ 600,000 dikenakan tingkat bunga sebesar 5.735% dari tanggal 13 Desember 2006 sampai dengan tanggal 12 Januari 2007;
bahwa karena Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tersebut dikeluarkan oleh Pemohon Banding pada tanggal 13 Desember 2006, sedangkan menurut adjusment journal pinjaman sebesar US$ 1,100,000 (di mana pinjaman sebesar US$ 600,000 merupakan bagian dari total pinjaman sebesar US$ 1,100,000) dimulai tanggal 28 Desember 2006, maka terdapat ketidaksesuaian tanggal dimulainya pinjaman tersebut, sehingga Penelaah tidak meyakini kebenaran bahwa Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tersebut merupakan dokumen pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 1,100,000;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005355 tanggal 28 Desember 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch uang sejumlah US$ 500,000 pada tanggal 29 Januari 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00046 tanggal 29 Januari 2007 diketahui bahwa atas pinjaman sebesar US$ 500,000 dikenakan tingkat bunga sebesar 5.725% dari tanggal 28 Desember 2006 sampai dengan tanggal 29 Januari 2007;
bahwa karena menurut adjustment journal atas pinjaman sebesar US$ 1,100,000 tersebut dikenakan tingkat bunga sebesar 5.735%, sedangkan berdasarkan invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J100046 tanggal 29 Januari 2007, tingkat bunga untuk pinjaman sebesar 500,000 (di mana menurui Wajib Pajak pinjaman sebesar US$ 500,000 merupakan bagian dari total pinjaman sebesar US$ 1,100,000) adalah sebesar 5.725%, maka terdapat ketidaksesuaian tingkat bunga yang dikenakan atas pinjaman tersebut, sehingga Penelaah tidak meyakini kebenaran bahwa Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 dan invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00046 tanggal 29 Januari 2007 tersebut merupakan dokumen pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 1,100,000;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 008731 tanggal 28 Agustus 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch uang sejumlah US$ 4,500,000 pada tanggal 28 Agustus 2007;
bahwa berdasarkan Appendix B Repayment Schedule yang merupakan bagian dari Credit Agreement antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch dengan Pemohon Banding yang ditandatangani tanggal 28 Agustus 2006, diketahui bahwa pinjaman sebesar US$ 3,750,000 merupakan sisa pinjaman yang harus dilunasi pada tanggal 28 Desember 2006 dari total pinjaman sebesar US$ 4,500,000;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00004 tanggal 29 Januari 2007 diketahui bahwa atas pinjaman sebesar US$ 3,750,000 dikenakan tingkat bunga sebesar 5.85% dari tanggal 28 Desember 2006 sampai dengan tanggal 29 Januari 2007;
bahwa karena terdapat kesesuaian nilai pinjaman, tanggal pinjaman dan tingkat bunga yang berlaku untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000 dalam journal adjustment, maka Penelaah dapat meyakini kebenaran bahwa dengan Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 008731, Repayment Schedule dan invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00004 tanggal 29 Januari 2007 merupakan dokumen/bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000, sehingga atas sebagian bunganya dapat dibebankan di tahun 2006;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia uang sejumlah US$ 4,350,000 pada tanggal 29 Januari 2007.
bahwa berdasarkan Confirmation of Roll Over dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia tanggal 22 Desember 2006 diketahui bahwa untuk pinjaman sebesar US$ 4,350,000 tanggal 28 Desember 2006 tingkat bunga pinjaman yang berlaku adalah sebesar 5.755% p.a. (interest rate = 5.38% (SMBC STBOR) + 0.375 (spread));
bahwa karena menurut adjustment journal atas pinjaman dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia terdiri dari pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000 sedangkan dokumen/bukti pendukung yang diserahkan Wajib Pajak berupa Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, Confirmation of Roll Over tanggal 22 Desember 2006 dan invoice dari PT Bank Sumitomo Mitsui tanggal 15 Januari 2007, yang semuanya menunjukkan nilai sebesar US$ 4,350,000 tidak dirinci menjadi US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000, maka Penelaah tidak dapat meyakini kebenaran bahwa dokumen tersebut merupakan bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, diusulkan kepada Majelis Pengadilan Pajak untuk menolak banding Pemohon Banding jika dalam berkas banding tidak terdapat bukti-bukti pendukung baru yang dapat meyakinkan kebenaran permohonan banding Pemohon Banding;
Menurut Pemohon Banding :
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan alasan Terbanding untuk tetap melakukan koreksi sebagian akun Biaya Bunga dengan alasan sebagai berikut :
bahwa koreksi tersebut merupakan audit adjusment yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Osman Ramli Satrio & Rekan yang merupakan Auditor Independen atas Laporan Keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2006;
bahwa jumlah interest expense sebesar Rp.46.321.458,00 yang dibebankan ke dalam tahun 2006 dilakukan berdasarkan audit adjustment. Semula jumlah interest expense tersebut dibebankan ke dalam interest expense bulan Januari 2007. Hal ini dapat dilihat di dalam GL dan voucher-voucher pembayaran pada bulan Januari 2007 terkait dengan interest expense, yang telah Pemohon Banding berikan pada saat proses keberatan;
bahwa pada saat proses keberatan berlangsung, Pemohon Banding telah memberikan dokumen-dokumen pendukung berupa copy voucher, invoice, adjustment journal, surat sanggup (promissory note), confirmation of roll over, credit agreement, dan GL;
bahwa bukti-bukti tersebut menjelaskan pembebanan interest expense bank loan yang telah sesuai dengan jumlah yang Pemohon Banding keluarkan;
Pendapat Majelis:
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data dan keterangan yang ada di dalam berkas banding serta pemeriksaan dalam persidangan diperoleh petunjuk bahwa Terbanding melakukan koreksi dengan alasan bahwa memang terdapat biaya yang dibayarkan oleh Pemohon Banding pada tahun 2007, namun substansinya merupakan biaya pada tahun 2006 (terdapat dalam Audit's Report) yaitu sebesar Rp.46.321.458,00;
bahwa pada proses keberatan Terbanding telah melakukan pengujian terhadap bukti-bukti yang disampaikan oleh Pemohon Banding terkait dokumentasi pembebanan biaya bunga tersebut, namun karena hanya sebagian dokumen pendukung saja yang sesuai, maka keberatan Pemohon Banding hanya diterima sebagian yaitu hanya bunga pinjaman dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd, sebesar Rp.16.489.688,00, sedangkan sisa koreksinya masih dipertahankan;
bahwa Terbanding dalam persidangan mengemukakan bahwa rincian pembebanan interest Bank Loan sebesar Rp.46.321.458,00 berdasarkan adjustment journal yang ditunjukkan oleh Pemohon Banding adalah sebagai berikut :
Amount
USD
Period
No of
days
Interest Rate
Interest Exp Dec
USD
Rate
Interest Exp Dec
Rp.
Start
Mature
BOTM
1,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.7350%
525.71
9,020
4.741.889
3,750,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.8500%
1,828.13
9,020
16.489.688
21.231.577
SMBC
450,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
287.75
9,020
2.595.505
1,800,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,151.00
9,020
10.382.020
2,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,342.83
9,020
12.112.357
25.089.882
Total
46.321.458
bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding telah secara konsisten menganut pembukuan dengan metode akrual, di mana transaksi untuk tahun 2006 Pemohon Banding catat di pembukuan 2006 walaupun pembayaran baru dilakukan di tahun 2007;
bahwa karena hanya pinjaman dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. sebesar US$ 3,750,000 saja yang dokumen pendukungnya sesuai, maka atas pinjaman tersebut sebagian bunganya dapat dibebankan di tahun 2006 yaitu sebesar Rp.16.489.688,00, sehingga pada saat keberatan Terbanding telah mengurangkan koreksi Pemeriksa dan mengabulkan sebagian keberatan Pemohon Banding atas koreksi Biaya Bunga dari sebesar Rp.46.321.458,00 menjadi sebesar Rp.29.831.770,00 karena sebagian biaya bunga sebesar Rp.16.489.688,00 didukung dengan dokumen / bukti pendukung;
bahwa terhadap bukti-bukti yang diserahkan Pemohon Banding dalam persidangan adalah sama dengan yang diberikan pada saat proses keberatan, sehingga menurut Terbanding, Pemohon Banding tetap tidak dapat membuktikan sisa koreksi;
bahwa Pemohon Banding dalam persidangan menyerahkan kepada Majelis bukti-bukti mengenai bunga pinjaman;
bahwa terdapat 5 (lima) pembayaran bunga yang terjadi dalam periode akhir bulan Desember 2006 sampai dengan akhir Bulan Januari 2007;
bahwa koreksi ini merupakan audit adjusment yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Osman Ramli Satrio & Rekan yang merupakan Auditor Independen atas Laporan Keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2006;
bahwa jumlah interest expense sebesar Rp.46.321.458,00 yang dibebankan ke dalam tahun 2006 dilakukan berdasarkan audit adjustment. Semula jumlah interest expense tersebut dibebankan ke dalam interest expense bulan Januari 2007. Hal ini dapat dilihat di dalam GL dan voucher-voucher pembayaran pada bulan Januari 2007 terkait dengan interest expense, yang telah Pemohon Banding berikan pada saat proses keberatan;
bahwa pada saat proses keberatan berlangsung, Pemohon Banding telah memberikan dokumen-dokumen pendukung berupa copy voucher, invoice, adjustment journal, surat sanggup (promissory note), confirmation of roll over, credit agreement, dan GL;
bahwa bukti-bukti tersebut menjelaskan pembebanan interest expense bank loan yang telah sesuai dengan jumlah yang Pemohon Banding keluarkan;
bahwa terhadap bukti-bukti yang diserahkan Pemohon Banding dalam persidangan adalah sama dengan yang diberikan pada saat proses keberatan, sehingga Pemohon Banding tetap tidak dapat membuktikan sisa koreksi;
bahwa untuk pinjaman sebesar USD 1,100.00 dari The Bank of Tokyo – Mitsubishi UFJ, Ltd, Terbanding memberikan keterangan sebagai berikut :
bahwa menurut bukti yang diserahkan oleh Pemohon Banding, pinjaman tersebut dipecah menjadi dua bagian Promissory Note, yaitu menjadi sebesar USD 600.00 dan USD 500.00;
bahwa untuk Promissory Note yang sebesar USD 500.00 terdapat ketidaksesuaian pada tanggal dibuatnya Promissory Note dengan tanggal dimulainya utang berdasarkan Jurnal Interest Loan AJE, yaitu pada Promissory Note tertulis 13 Desember 2006 sedangkan pada Jurnal Interest Loan AJE tertulis 28 Desember 2006, sehingga dengan demikian Terbanding tidak dapat meyakini bukti yang disampaikan oleh Pemohon Banding karena ketidaksesuaian tanggal dimulainya pinjaman tersebut;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tanggal 13 Desember 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch uang sejumlah US$ 600,000 pada tanggal 12 Januari 2007;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00045 tanggal 12 Januari 2007 diketahui bahwa atas pinjaman sebesar US$ 600,000 dikenakan tingkat bunga sebesar 5.735% dari tanggal 13 Desember 2006 sampai dengan tanggal 12 Januari 2007;
bahwa karena Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tersebut dikeluarkan oleh Pemohon Banding pada tanggal 13 Desember 2006, sedangkan menurut adjusment journal pinjaman sebesar US$ 1,100,000 (di mana pinjaman sebesar US$ 600,000 merupakan bagian dari total pinjaman sebesar US$ 1,100,000) dimulai tanggal 28 Desember 2006, maka terdapat ketidaksesuaian tanggal dimulainya pinjaman tersebut, sehingga Penelaah tidak meyakini kebenaran bahwa Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 005353 tersebut merupakan dokumen pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 1,100,000;
bahwa untuk pinjaman dari PT. Bank Sumitomo Mitsui Indonesia sebesar USD 4,350.00 Terbanding memberikan keterangan sebagai berikut :
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 008731 tanggal 28 Agustus 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch uang sejumlah US$ 4,500,000 pada tanggal 28 Agustus 2007;
bahwa berdasarkan Appendix B Repayment Schedule yang merupakan bagian dari Credit Agreement antara The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Jakarta Branch dengan Pemohon Banding yang ditandatangani tanggal 28 Agustus 2006, diketahui bahwa pinjaman sebesar US$ 3,750,000 merupakan sisa pinjaman yang harus dilunasi pada tanggal 28 Desember 2006 dari total pinjaman sebesar US$ 4,500,000;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00004 tanggal 29 Januari 2007 diketahui bahwa atas pinjaman sebesar US$ 3,750,000 dikenakan tingkat bunga sebesar 5.85% dari tanggal 28 Desember 2006 sampai dengan tanggal 29 Januari 2007;
bahwa karena terdapat kesesuaian nilai pinjaman, tanggal pinjaman dan tingkat bunga yang berlaku untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000 dalam journal adjustment, maka Penelaah dapat meyakini kebenaran bahwa dengan Surat Sanggup (Promissory Note) No. J – 008731, Repayment Schedule dan invoice dari The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. J1-00004 tanggal 29 Januari 2007 merupakan dokumen/bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 3,750,000, sehingga atas sebagian bunganya dapat dibebankan di tahun 2006;
bahwa berdasarkan penelitian terhadap Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, diketahui bahwa Pemohon Banding berjanji untuk membayar kepada PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia uang sejumlah US$ 4,350,000 pada tanggal 29 Januari 2007.
bahwa berdasarkan Confirmation of Roll Over dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia tanggal 22 Desember 2006 diketahui bahwa untuk pinjaman sebesar US$ 4,350,000 tanggal 28 Desember 2006 tingkat bunga pinjaman yang berlaku adalah sebesar 5.755% p.a. (interest rate = 5.38% (SMBC STBOR) + 0.375 (spread));
bahwa karena menurut adjustment journal atas pinjaman dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia terdiri dari pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000 sedangkan dokumen/bukti pendukung yang diserahkan Wajib Pajak berupa Surat Sanggup (Aksep/Promes) No. 018529 tanggal 28 Desember 2006, Confirmation of Roll Over tanggal 22 Desember 2006 dan invoice dari PT Bank Sumitomo Mitsui tanggal 15 Januari 2007, yang semuanya menunjukkan nilai sebesar US$ 4,350,000 tidak dirinci menjadi US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000, maka Penelaah tidak dapat meyakini kebenaran bahwa dokumen tersebut merupakan bukti pendukung untuk pinjaman sebesar US$ 450,000, US$ 1,800,000 dan US$ 2,100,000;
bahwa Pemohon Banding menyerahkan kepada Majelis bukti-bukti mengenai bunga pinjaman;
bahwa koreksi ini merupakan audit adjusment yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Osman Ramli Satrio & Rekan yang merupakan Auditor Independen atas Laporan Keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2006, yang memindahkan sebagian biaya bunga di tahun 2007 kepada tahun 2006, karena dianggap ada sedikit porsi tahun 2006, yang berjumlah sebesar Rp.46.321.458,00;
bahwa pada saat proses keberatan berlangsung, Pemohon Banding telah memberikan dokumen-dokumen pendukung berupa copy voucher, invoice, adjustment journal, surat sanggup (promissory note), confirmation of roll over, credit agreement, dan GL;
bahwa mengenai perbedaan tanggal dibuatnya Promissory Note dengan tanggal mulai hutang dalam jurnal penyesuaian AJE, Pemohon Banding memberikan penjelasan sebagai berikut :
bahwa bunga utang dihitung mulai sejak tanggal ketika uang pinjaman sudah masuk kepada Pemohon Banding, bukan dari tanggal Promissory Note dibuat;
bahwa untuk perbedaan suku bunga Pemohon Banding memberikan keterangan sebagai berikut :
bahwa untuk Pinjaman sebesar USD 500.00 dan USD 600.00 memang terdiri dari dua suku bunga, namun Auditor mengambil bunga yang paling besar dan menjadikan sebagai suku bunga pinjaman sebesar USD 1,100.00, namun Pemohon Banding tidak mengetahui alasan auditor mengenai mengapa dijadikan demikan;
bahwa pinjaman sebesar USD 1,100.00 walaupun dalam satu Promissory Note, namun dipisah menjadi dua karena uang pinjaman tersebut masuk dalam dua tahap, yaitu sebesar USD 600.00 dan USD 500.00;
Kesimpulan Majelis:
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis dalam persidangan atas Interest Loan berupa ayat jurnal penyesuaian oleh auditor, invoice dan bukti pembayaran interest diperoleh petunjuk bahwa rincian pembebanan interest Bank Loan sebesar Rp.46.321.458,00 berdasarkan adjustment journal sebagai berikut:
Amount
USD
Period
No of
days
Interest Rate
Interest Exp Dec
USD
Rate
Interest Exp Dec
Rp.
Start
Mature
BOTM
1,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.7350%
525.71
9,020
4.741.889
3,750,000
28-Dec-06
31-Dec-06
3
5.8500%
1,828.13
9,020
16.489.688
21.231.577
SMBC
450,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
287.75
9,020
2.595.505
1,800,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,151.00
9,020
10.382.020
2,100,000
28-Dec-06
31-Dec-06
4
5.7550%
1,342.83
9,020
12.112.357
25.089.882
Total
46.321.458
bahwa berdasarkan atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding sehingga Penghasilan Neto Tahun Pajak 2006 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas bukti-bukti terkait dokumentasi pembebanan biaya bunga yang diserahkan Pemohon Banding serta keterangan Pemohon Banding dalam persidangan, Majelis berkesimpulan bahwa terdapat cukup bukti bagi Majelis bahwa bunga pinjaman sebesar Rp 46.321.458,00 dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2006;
bahwa dengan demikian Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas Koreksi Penghasilan Neto dari Luar Usaha – Biaya Bunga sebesar Rp 29.831.770,00 (Rp.46.321.458,00 - Rp.16.489.688,00) tidak mempunyai dasar dan alasan yang kuat sehingga tidak dapat dipertahankan;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi;
Penghasilan Neto menurut Terbanding :
Rp.31.378.939.525,00
Koreksi yang tidak dapat dipertahankan :
1. Harga Pokok Penjualan -biaya royalti
Rp22.703.470.765,00
2. Penghasilan Neto dari Luar Usaha-Bunga Pinjaman
Rp 29.831.770,00
Jumlah Koreksi yang tidak dapat dipertahankan :
Rp.22.733.302.535,00
Penghasilan Neto menurut Majelis
Rp 8.645.636.990,00
Memperhatikan :
Surat Banding, Surat Uraian Banding, Surat Bantahan, hasil pemeriksaan dan pembuktian di dalam persidangan serta kesimpulan tersebut di atas;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;
Memutuskan :
Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-1614/WPJ.07/BD.05/2008 tanggal 15 Desember 2008 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2006 Nomor : 00032/406/06/055/08 tanggal 17 Januari 2008, sehingga Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2006 menjadi sebagai berikut :
Penghasilan Netto
Rp 8.645.636.990,00
Kompensasi Kerugian
Rp 0,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 8.645.636.990,00
Pajak Penghasilan Terutang
Rp 2.576.190.800,00
Kredit Pajak
Rp 16.915.248.810,00
Pajak Penghasilan yang lebih bayar
Rp 14.339.058.010,00
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1) Bahwa, upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui badan pengadilan pajak sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan.
2) Bahwa, kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia adalah sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.
Saran
Seperti diketahui Sengketa Pajak berawal dan perbedaan pendapat antara Wajib pajak dan Fiskus. Kemudian Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan keberatannya. Dalam penyampaian perbedaan pendapat dan keberatan dimaksud haruslah dilakukan oleh Wajib Pajak secara tertulis sebagai sarana bukti bagi upaya pembuktian selanjutnya
Pengadilan Pajak adalah Pengadilan Banding dan termasuk Gugatan atas tagihan Pajak terutang. Sebelum mengajukan banding Wajib Pajak haruslah memeriksa lebih dahulu keputusan dan keberatan persyaratan banding. Demikian pula persyaratan upaya gugatan atas tagihan pajak terutang.
DAFTRA PUSTAKA
Ali Kadir, Eksistensi Peradilan Pajak di Indonesia Perkembangan Dan Permasalahannya (Makalah disampaikan pada kuliah umum Hukum Pajak FHUI Depok, 12 November 2002), hlm. 21 dikutip dalam Akhmad Riski Rasyid, "Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia," (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2003)
Bahari U. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979.
Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Jakarta : Rajawali Persada, 1995.
Erly Suandy, Hukum Pajak Salemba Empat, Yogyakarta, 2000.
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
Munawir, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992.
Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung : Eresco, 1990.
Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1964.
Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2003, Refika Aditama: Bandung
Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002,
Triyani Budianto, Makalah Seminar tax-ina, 30 April 2005, http://lovetya.wordpress.com/2008/05/19.
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, 2001.
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 22 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.