BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Ide ini muncul karena adanya peningkatan kebutuhan pelayanan publik yang memadai serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana yang layak. Salah satu media peningkatan pendapatan negara adalah melalui penerimaan pajak.
Pajak dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Sistem perpajakan Indonesia mengalami perubahan pada tahun 1983 dari Official Assessment System menjadi System menjadi
Self Assessment System. System. Self Assessment System adalah suatu sistem dimana pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (fiskus), sesuai dengan fungsinya berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Self
Assessment
System
memungkinkan potensi adanya wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik akibat dari kelalaian, kesengajaan atau mungkin ketidaktahuan para wajib pajak atas
1
kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peran yang aktif dari fiskus untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasannya. Self Assessment System ini dapat berjalan secara efektif melalui keterbukaan dan pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement ) yang merupakan hal yang paling utama. Kepercayaan yang sangat besar dari pemerintah kepada wajib pajak untuk
kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peran yang aktif dari fiskus untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasannya. Self Assessment System ini dapat berjalan secara efektif melalui keterbukaan dan pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement ) yang merupakan hal yang paling utama. Kepercayaan yang sangat besar dari pemerintah kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajak yang harus dibayarnya harus diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan atau penyidikan pajak dan penagihan pajak. Penagihan pajak yang efektif merupakan sarana yang tepat untuk mencapai target penerimaan pajak yang maksimal. Dalam kegiatan penagihan pajak tidak semua wajib pajak taat dan mematuhi semua peraturan perpajakan. Dikarenakan kegiatan penagihan bukan pekerjaan mudah, pelaksanaanya sangat sulit di lapangan, karena harus berhadapan langsung dengan wajib pajak yang karakternya beraneka ragam. Optimalisasi penerimaan pajak masih terbentur pada berbagai kendala, salah satu kendalanya adalah tingginya angka tunggakan pajak, baik yang murni penghindaran pajak (tax avoidance) dari masyarakat karena masyarakat merasa rugi bila membayar pajak maupun ketidakmampuan masyarakat dalam membayar utang pajak. Peran fiskus dalam penerimaan pajak mempunyai andil besar sebagai pengawas wajib pajak dalam melaporkan
dan
membayar
kewajiban
2
perpajakannya guna mengurangi jumlah tunggakan pajak yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengamankan penerimaan negara dan meminimalisir wajib pajak menunggak dalam pembayaran pajaknya, pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak melakukan tindakan penagihan pajak yang dilindungi oleh hukum berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
perpajakannya guna mengurangi jumlah tunggakan pajak yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengamankan penerimaan negara dan meminimalisir wajib pajak menunggak dalam pembayaran pajaknya, pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak melakukan tindakan penagihan pajak yang dilindungi oleh hukum berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Pelunasan utang pajak merupakan salah satu tujuan penting dari pemberlakuan undang-undang ini. Penagihan pajak yang efektif merupakan sarana yang tepat untuk mencapai target penerimaan pajak yang maksimal. Apabila kekurangan pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak tersebut sampai dengan jatuh tempo, maka penagihan pajak dianggap perlu untuk dilaksanakan sebagai salah satu upaya pencapaian penerimaan pajak. Adapun dalam pelaksanaan penagihan pajak tersebut turut melibatkan peran aktif dari aparatur pajak yang biasa disebut fiskus. Salah satu media perpajakan yang mempunyai kekuatan hukum memaksa untuk penagihan tunggakan pajak adalah Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Menurut UU RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pasal 1 ayat (12), “Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak”. Jumlah tagihan pajak yang tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran sesuai yang tercantum dalam STP, SKPKB, dan SKPKBT ditagih dengan menggunakan Surat Paksa.
3
Fungsi Kantor Pelayanan Pajak yaitu melakukan pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, pengamatan potensi perpajakan dan ekstensifikasi wajib pajak, penelitian dan penatausahaan surat pemberitahuan tahunan, surat pemberitahuan masa serta berkas wajib pajak. Melakukan penerimaan terhadap pajak, penagihan, pemeriksaan, penerapan sanksi perpajakan, dan pelaksanaan administrasi kantor pelayanan pajak. Sehingga dengan demikian kantor pelayanan pajak mempunyai peranan
Fungsi Kantor Pelayanan Pajak yaitu melakukan pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, pengamatan potensi perpajakan dan ekstensifikasi wajib pajak, penelitian dan penatausahaan surat pemberitahuan tahunan, surat pemberitahuan masa serta berkas wajib pajak. Melakukan penerimaan terhadap pajak, penagihan, pemeriksaan, penerapan sanksi perpajakan, dan pelaksanaan administrasi kantor pelayanan pajak. Sehingga dengan demikian kantor pelayanan pajak mempunyai peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan administrasi perpajakan nasional. Peningkatan jumlah wajib pajak adalah tujuan dari upaya ekstensifikasi. Sedangkan pemeriksaan dan penagihan pajak adalah upaya intensifikasi penerimaan pajak. Upaya tersebut dilakukan seiring dengan makin dominannya penerimaan pajak dalam RAPBN maupun APBN Indonesia beberapa tahun terakhir. Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan penerimaan terpenting dalam anggaran pendapatan dan belanja. Berdasarkan Ditjen Pajak, hingga Januari 2015 telah diproses 568 usulan pencegahan penanggungan pajak dimana sebanyak 498 usulan pencegahan penunggak pajak tahun 2014 mencakup 422 WP badan dan 76 WP pribadi dengan total tagihan Rp3,47 triliun. Pada 2015, sudah ada 70 usulan pencegahan penunggak pajak antara lain, 57 WP badan dan 13 WP pribadi dengan nilai tunggakan pajak sebesar Rp 299,69 miliar. Menurut Yustinus Pratowo (dalam Suwarna, 2015), penegakan hukum yang dilakukan Ditjen Pajak mulai akhir 2014 hingga awal 2015 menunjukkan sinyal positif. Ia meyakini, dengan tindakan tersebut maka target penerimaan pajak akan tercapai. Sementara Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito (dalam Suwarna, 2015), mengatakan target penerimaan
4
pajak yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN-P 2015 sebesar Rp1.244,7 triliun sudah realisitis dengan kondisi yang ada saat ini. Pada prinsipnya penagihan pajak dilakukan dengan memperhatikan itikad baik Wajib Pajak dalam melunasi utang pajaknya. Semakin baik dan nyata itikad Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya maka tindakan penagihan pajak secara aktif (hard collection) dengan pencegahan ataupun penyanderaan tentu dapat dihindari oleh wajib pajak.
pajak yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN-P 2015 sebesar Rp1.244,7 triliun sudah realisitis dengan kondisi yang ada saat ini. Pada prinsipnya penagihan pajak dilakukan dengan memperhatikan itikad baik Wajib Pajak dalam melunasi utang pajaknya. Semakin baik dan nyata itikad Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya maka tindakan penagihan pajak secara aktif (hard collection) dengan pencegahan ataupun penyanderaan tentu dapat dihindari oleh wajib pajak. Pemeriksaan serta penagihan pajak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (tax compliance), jika kepatuhan dan jumlah wajib pajak meningkat maka akan meningkatkan penerimaan pajak negara. Penagihan pajak dilaksanakan terhadap tunggakan pajak yang belum dipenuhi oleh wajib pajak. Tunggakan pajak tersebut dikarenakan wajib pajak memang tidak mampu atau tidak berniat membayar utang pajaknya dengan alasan jumah hutang pajak tidak sesuai menurut perhitungan mereka, wajib pajak sengaja menghindar, wajib pajak sudah tidak mampu lagi membayar hutang pajaknya dikarenakan sudah bangkrut. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP), sanksi yang tertera mulai dari pencekalan hingga gizjeling atau penyanderaan. Penyanderaan artinya penunggak pajak nantinya akan dipenjara, dimana Ditjen Pajak telah bekerja sama dengan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM untuk penyediaan tempat khusus bagi penunggak pajak, (Suwarna, 2015). Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya seratus juta rupiah dan diragukan
5
itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan dilakukan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan serta dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Kepala KPP setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur. Penyanderaan Penanggung Pajak mencakup orang pribadi atau badan. Untuk badan, dikenakan atas mereka yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan dilakukan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya enam bulan serta dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Kepala KPP setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur. Penyanderaan Penanggung Pajak mencakup orang pribadi atau badan. Untuk badan, dikenakan atas mereka yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut UU Perpajakan. Termasuk dalam pengertian wakil bagi Wajib Pajak Badan adalah Pengurus, Komisaris dan Pemegang Saham sesuai ketentuan dalam Pasal 32 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penanggung pajak yang disandera dapat dilepaskan apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas, jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah terpenuhi, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri Keuangan/ Gubernur. Delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi melaksanakan pekan penagihan pajak serentak kepada wajib pajak (WP). Pelaksanaan kegiatan itu serentak dilakukan di delapan KPP, yakni KPP Pratama Padang, KPP Pratama Bukittinggi, KPP Pratama Solok, KPP Pratama Payakumbuh, KPP Pratama Jambi, KPP Pratama Muara Bungo, KPP Pratama Bangko dan KPP Pratama Kuala Tungkal.
6
Pelaksanaan Pekan Penagihan Serentak tersebut meliputi, penyitaan harta kekayaan WP dan melakukan tindakan penagihan aktif lain terhadap WP yang mempunyai tunggakan pajak berupa penerbitan surat teguran, surat paksa dan lelang. Kemudian KPP akan melakukan penagihan pajak dengan surat paksa sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Ketentuan dalam aturan itu meliputi penyampaian surat paksa, penyitaan,
Pelaksanaan Pekan Penagihan Serentak tersebut meliputi, penyitaan harta kekayaan WP dan melakukan tindakan penagihan aktif lain terhadap WP yang mempunyai tunggakan pajak berupa penerbitan surat teguran, surat paksa dan lelang. Kemudian KPP akan melakukan penagihan pajak dengan surat paksa sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Ketentuan dalam aturan itu meliputi penyampaian surat paksa, penyitaan, pemblokiran rekening WP yang tersimpan di bank, pelelangan, pencegahan dan penyanderaan, (Ramdani, 2013). 1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian penagihan pajak?
2.
Apa saja upaya dalam penagihan pajak ?
3.
Apa saja hambatan dalam proses penagihan pajak?
4.
Bagaimana upaya-upaya dalam mengahadapi hambatan dalam penagihan pajak?
5.
Kasus penunggakan pajak oleh PT Pertamina
6.
Bagaimana analisis ddan penyelesaian kasus penunggakan pajak oleh PT
Pertamina ?
1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan bagi mahasiswa atau pembaca. Dan diharapkan tulisan ini dapat menjadi suatu pemaparan yang dapat menjelaskan tentang tata cara penagihan pajak di Indonesia.
7
BAB II PENDAHULUAN
2.1 Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Moeljo, SH dengan bukunya yang berjudul “ Dasar -dasar Penagihan Pajak Negara “ menjelaskan bahwa penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban perpajakan menurut Undang-undang Perpajakan. Menurut Rachmat Soemitro, SH dengan bukunya yang berjudul “ Azas dan Dasar Perpajakan 2 yaitu tepatnya pada halaman 67 ( enam puluh tujuh) cetakan tahun 1988 menjelaskan bahwa penagihan adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan undang- undang perpajakan. Berdasarkan Undang-undang No.19 Tahun 2000 Pasal 1 angka, menjelaskan bahwa pengertian dari penagihan pajak adalah suatu rangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, dan menjual barang yang telah disita. Adapun tujuan dari dilaksanakannya penagihan adalah supaya pelunasan hutang Wajib Pajak yang dilakuakan oleh Fiskus harus terarah agar terpenuhi tujuan yang diharapkan sebelumnya. Dari beberapa pengertian diatas penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
Dasar Penagihan Pajak
Dasar hukum untuk melakukan penagihan pajak diatur dalam UU KUP, misalnya untuk: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 pasal 14 disebutkan “ Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak”. 2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1 disebutkan “ Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
8
maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”. 3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 1 ayat 6.
2.2 Upaya Dalam Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dengan Surat paksa dilakukan apabila fiskus telah melakukan tindakan penagihan pajak secara aktif tetapi wajib pajak tidak juga membayar utang pajaknya. Tindakan tersebut merupakan perwujudan dari alat paksa yang dimiliki oleh negara dan yang diatur dalam hukum pajak. Menurut pasal 20 Undang-Undang KUP mengatur bahwa jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetatapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan
Pembetulan,
Surat
Keputusan
Keberatan,
dan
Putusan
Banding
yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah yang tidak dibayar oleh penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu pembayaran pajak yang telah ditentukan ditagih dengan Surat Paksa. Berdasarkan jumlah tagihan pajak tersebut apabila terdapat tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran wajib pajak tidak melunasi pajak terutang, atau wajib pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihan pajak yang tidak atau kurang bayar tersebut dilakukan dengan Surat Paksa. Tindakan penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan tidak hanya terhadap wajib pajak tetapi jugaterhadap penanggung pajak yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KUP diwajibkan untuk ikut bertanggung jawab dalam pembayaran pajak yang terutang. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Surat Paksa diterbitkan apabila : (1)
Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan
surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis; (2)
Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
atau (3)
Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Skema Prosedur Penagihan Pajak: Prosedur Penagihan Pajak dimulai dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). SKP tersebut dikeluarkan berdasarkan surat pemberitahuan yang disampaikan dan disusun oleh wajib pajak sendiri yang dikenal dengan istilah Self Assesment. Surat pemberitahuan tersebut diperiksa oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dari hasil pemeriksaan tersebut dikeluarkan terdiri dari berbagai jenis yaitu: a) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) bagi wajib pajak yang utang pajaknya nihil. b) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) bagi wajib pajak yang pembayaran pajaknya lebih besar dan utang pajaknya. Kelebihan tersebut akan dikembalikan. 9
c) Surat Tagihan Pajak (STP) yaitu surat tagihan kepada wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak. d) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yaitu surat ketetapan pajak yang kurang dibayar oleh wajib pajak. e) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yaitu Surat ketetapan pajak Berdasarkan kelima jenis SKP tersebut hanya STP, SKPKB, SKPKBT yang dilakukan penagihan secara aktif kepada wajib pajak. Setelah lewat jangka waktu temponya dalam STP / SKPKB / SKPKBT, maka proses penagihan aktif dimulai yang dengan cara sebagai berikut : 1) Tindakan pelaksanaan penagihan aktif diawali dengan penerbitan surat teguran atau surat lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang melakukan penagihan pajak (selanjutnya disebut sebagai pejabat) atau kuasa yang ditunjuk oleh pejabat tersebut setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. 2) Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya; 3) Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. 4) Apabila jumlah utang yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepadanya maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP), 5) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat yang berwenang segera melaksanakan pengumuman lelang, 6) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang, maka pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan barang sitaan milik penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara, 41 7) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak dilakukan penyitaan atas barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, maka pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan barang sitaan milik penanggung pajak; 8) Dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pajak, dan 9) Dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan tindakan pencegahan dan atau penyanderaan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan izin dari Menteri Keuangan atau gubernur.
10
2.3 Hambatan-hambatan Penagihan Pajak
Dalam proses penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, fiskus menggunakan surat paksa untuk memaksa Wajib Pajak melunasi hutang pajak terutang. Tetapi didalam pelaksanaannya tidaklah mudah, dikarenakan Jurusita pajak sebagai pelaksana penagihan pajak
menjumpai
beberapa
hambatan-hambatan
yang
menyebabkan
jalannya
proses penagihan pajak terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hambatan dalam proses penagihan pajak diuraikan sebagai berikut: 1. Hambatan penagihan pajak dengan surat paksa terhadap penanggung pajak a.
Alamat wajib pajak/ penanggung pajak yang berubah-ubah dan tidak dimutakhirkan
oleh wajib Pajak/ penanggung pajak yang bersangkutan. b. Wajib pajak/ penanggung pajak menolak Surat Paksa. c.
Jurusita tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak.
d. Jurusita Pajak mendapatkan perlawanan dari wajib pajak/ penanggung pajak e.
Wajib pajak/ penanggung pajak sedang mengajukan keberatan atau banding.
2.4 Upaya Penyelesaian dalam mengatasi hambatan dalam Penagihan pajak
Pemberitahuan penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak selalu dapat dilakukan dengan lancar. Salah satunya penyebabnya yaitu dikarenakan tidak diketahuinya tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian salinan Surat Paksa tersebut dilakukan dengan cara menempelkannya pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, dan mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. Menurut ketentuan tersebut, Jurusita Pajak dapat memuat salinan Surat Paksa ke media massa dan menitipkannya di papan pengumuman Kantor Pemerintahan Daerah setempat. Adakalanya wajib pajak/ penanggung pajak menolak untuk menerima Surat Paksa yang disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan berbagai macam alasan. Apabila alasan penolakan tersebut dikarenakan tunggakan menurut Surat Paksa berbeda dengan tunggakan SKP yang dimiliki oleh wajib pajak/ penanggung pajak, maka Jurusita Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis dalam Surat Paksa tersebut.ataupun
mencoret
dan
menambahkan pembetulannya. Penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara Jurusita Pajak mengembalikan Surat Paksa tersebut kepada Kepala Seksi Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan Surat Paksa yang baru dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama (pengganti Surat Paksa yang salah tersebut) sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut dapat dilakukan pula atas kesalahan/ perbedaan-perbedaan alamat, perbedaan nama dan lain sebagainya. Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak maka salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan/ diberikan kepada : 11
a.
Keluarga wajib pajak/ penanggung pajak atau orang bertempat tinggal bersama
dengan wajib pajak/ penanggung pajak yang akil baliqh (dewasa dan sehat mental). b. Anggota Pengurus Komisaris atau para persero dari Badan Usaha yang bersangkutan atau; c.
Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/ Walikota/ Camat/ Lurah) dalam hal mereka
tersebut dalam butir a dan b di atas juga tidak dijumpai. Apabila dalam pelaksanaan penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak menemui persoalan/ hambatan yang berasal dari wajib pajak/ penanggung pajak berupa penolakan bahkan perlawanan kepada Jurusita Pajak, maka penyelesaiannya permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan koordinasi atau meminta bantuan pihak Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain. Dalam hal wajib pajak/ penanggung pajak menolak menerima Surat Paksa dengan alasan ada kesalahan dalam Surat Paksa (misalnya nama dan alamat wajib pajak/ penanggung pajak tidak benar), maka penyelesaiannya Surat Paksa tersebut harus diperbaiki. Namun, apabila alasan penolakan karena wajib pajak/ penanggung pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, maka Surat Paksa dapat diberikan
pada
wajib
pajak/
penanggung
pajak.
Akan
tetapi
bila
wajib
pajak/penanggung pajak tetap menolak dengan alasan yang tidak jelas, maka Surat Paksa itu ditinggalkan saja, dengan demikian Surat Paksa dianggap telah diberitahukan/ disampaikan.
2.5.Artikel Kasus Penunggakan Pajak PT Peratamina
Pertamina Tunggak Pajak Rp 4,3 Triliun Selain Pertamina, ada Angkasa Pura II, TVRI, BNI, Garuda Indonesia, dan Merpati Nusantara. ddd
Rabu, 3 Februari 2010, 22:42Antique, Agus Dwi Darmawan
12
VIVAnews - Anggota Komisi XI Murady Darmansyah mengun gkap perihal tunggakan
pajak PT Pertamina sebesar Rp 4,3 triliun kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Apakah benar tunggakan sebesar itu atau merupakan masalah yang terakumulasi dari tahuntahun sebelumnya, karena dikhawatirkan sudah kadaluarsa. Jawaban tertulis Dirjen Pajak yang disampaikan ke Komisi XI DPR RI per Selasa, 2 Februari 2010, ternyata sangat singkat.
Secara tegas Dirjen Pajak menjawab "Tunggakan pajak Pertamina merupakan tunggakan pajak yang belum kadaluarsa". Benar atau tidaknya tunggakan Pertamina sebesar itu, tidak dijelaskan secara rinci. Namun, dalam segi pemegang piutang, Pertamina memang tercatat sebagai perusahaan BUMN terbesar pemegang piutang yang mencapai Rp 30 triliun.
Dalam daftar 100 perusahaan penunggak pajak yang dikeluarkan Ditjen Pajak 28 Januari lalu, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk menyelesaikan kasus pajak perusahaan plat merah ini, Menneg BUMN akan mengundang Dirjen Pajak Tjiptardjo.
Pertemuan ini untuk membahas perbedaan-perbedaan penafsiran, misalnya soal restitusi, agar bisa disamakan. BUMN sendiri memastikan dari 12 BUMN itu, hanya tiga perusahaan yang betul-betul menunggak pajak, yakni PT Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, dan PT Djakarta Loyd.
"Pekan depan akan duduk bersama. Hitung-hitungan BUMN dan Dirjen Pajak (selama ini) tidak sama, harus disamakan," kata Mustafa di sela Feed the World di Jakarta Convention Center, belum lama ini.
Dari BUMN-BUMN yang masuk daftar Ditjen Pajak, Mustafa berjanji akan melakukan pengecekan lagi yang mana yang bermasalah. "Siapa yang melapor, nanti bisa diselesaikan langsung antara perusahaan, bussiness to bussiness," kata Mustafa. Kementerian BUMN siap memfasilitasi penyelesaian antarperusahaan ini.
Mustafa juga menuturkan, sebagian kasus tunggakan pajak yang melibatkan BUMN ini merupakan kasus lama, di mana perusahaan kebanyakan merasa sudah menuntaskannya.
"Tapi mungkin, karena sekarang dianggap masih ada masalah maka harus diselesaikan. Itu karena perusahaan BUMN harus sesuai aturan," kata dia.
12 BUMN yang disebutkan dalam daftar Ditjen P ajak adalah, Pertamina, Angkasa Pura II, TVRI, BNI, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, KAI, Pertamina Unit Pembekalan, Jamsostek, Perusahaan Perkebunan, dan LKBN Antara.
[email protected] 13
2.6 Analisis dan Penyelesaian kasus PT Pertamina Kasus mengenai penunggakan pajak bukan merupakan kasus baru. Kasus ini telah banyak terjadi sejak lama. Berbagai peraturan perpajakan yang telah dibentuk seiring kemajuan teknologi belum efektif dalam menyelesaikan kasus ini. Target penerimaan pajak yang diharapkan menjadi sulit dicapai akibat dari permasalahan ini. Oleh karena itu saya akan menguraikan dasar hukum dan beberapa teori untuk menjelaskan apa yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus ini. Dalam reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan yaitu official assesment system menjadi self assesment system. Berbeda dengan official assesment system, dalam self assesment system, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Pemerintah juga melakukan pembaharuan yang menyangkut kebijakan perpajakan, adminstrasi perpajakan, dan undang-undang perpajakan yang saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai target penerimaan pajak secara optimal. Negara juga memberi tanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk bertindak sebagai law enforcement agent , yaitu tindak penegakan hukum yang meliputi pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan. Ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak selain setoran pembayaran pajak secara sukarela.Namun optimalisasi penerimaan pajak masih terbentur pada berbagai kendala. Dalam jangka pendek, salah satu kendalanya adalah tingginya angka tunggakan pajak, baik yang murni penghindaran pajak (tax avoidance) maupun ketidakmampuan membayar utang pajak. Untuk mengatasi berbagai kendala perlu dilaksanakan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Tindakan penagihan meliputi pemberitahuan surat teguran, penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, serta menjualbarang yang telah disita berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000. Tindakan penagihan merupakan wujud upaya untuk mencairkan tunggakan pajak, namun dalam pelaksanaan penagihan haruslah memperhatikan prinsipkeseimbangan antara biaya penagihan dengan penerimaan yang didapatkan karena pelaksanaan penagihan dalam rangka pencairan tunggakan pajak mengeluarkan bia ya yang tidak sedikit. Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuendiharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merup akan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaaanya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang - undangan yang berlaku., sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya. 14
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa). Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP, Dasar penagihan pajak yaitu: 1) Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah: a. Surat Tagihan Pajak(SPT) b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) d. Surat Keputusan Pembetulan , Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 2) Pasal 12UU PBB menyebutkan dasar penagihan pajak adalah : a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) b. Surat ketetapan pajak c. Surat Tagihan Pajak (SPT) merupakan dasar penagihan pajak. Dengan demikian akibat adanya kasus penunggakan pajak oleh Pertamina, maka Ditjen Pajak berhak melakukan serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika
dan
sekaligus,
memberitahukan
Surat
Paksa,
mengusulkan
pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita sebagaimana telah diatur pada Pasal 1 angka 9 UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa tersebut. Tahap-tahap awal dalam penagihan pajak yaitu Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis. Tahap tersebut merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Menurut pasal 8 ayat (1) UU PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunais utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. 2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus. 3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. UU KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan 15
penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang dite ntukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa. Terkait dengan kasus Pertamina, apabila langkah awal dalam penagihan pajak yaitu Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis diabaikan. Maka Ditjen pajak dapat melakukan langkah-langkah berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Dalam penyampaian Surat Paksa tersebut apabila telah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa. Demikianlah rangkaian langkah-langkah yang harus di tempuh oleh Ditjen Pajak dalam kaitannya dengan kasus ini. Pertamina sebagaimana telah dijelaskan di atas menunnggak pajak sebesar Rp. 4,2 Triliun. Menjadi kewajiban perusahaan tersebut untuk melakukan pelunasan pajaknya. Oleh karena itu melalui analisis ini kita harus melihat terlebih dahulu berada dalam posisi yang manakah Pertamina tersebut. Apakah Pertamina sudah berada pada Penyampaian Surat Paksa ataukah masih dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan. Dengan penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa di dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP telah mengatur dasar hukum dalam kaitannya dengan kasus penunggakan pajak oleh PT. Pertamina (persero). Sehingga dengan kita hubungkan dengan Undang-Undang tersebut kita dapat mengetahui cara penyelesaian kasus penunggakan pajak ini.
16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan yang sudah diuraikan dalam makalah ini, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Upaya dalam melakukan Penagihan Utang Pajak di Indonesia dengan Surat Paksa terhadap Penanggung telah sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan Perpajakan yang berlaku dan memberikan pengaruh yang besar dalam pencairan tunggakan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak/ penanggung pajak terhadap penerimaan kas negara.
3.2 Saran
Dari penulisan makalah ini adapun harapan bagi pembaca yaitu agar pembaca mampu menerapkan atau menggunakan ilmu tentang penagihan pajak. Dan juga diharapkan kesadaran pembaca dengan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar(self assessment) meningkat di Indonesia agar semua pembangunan di Indonesia merata.
17
DAFTAR PUSTAKA http://www.pajak.go.id/content/article/jelang-tahun-penegakan-hukum-manfaatkan-segera-tpwp Departemen Republik Indonesia, Prosedur dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak. Undang-undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Suandy, Erly. 2014. Hukum Pajak Edisi 6: Penagihan Pajak. Jakarta: Salemba Empat. Hadi, H. Moeljo. 1994. Dasar-Dasar Peangihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. http://duniapengetahuan2627.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-self-assessment-system.html
18