Analisis Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Pengembangan Ekonomi Desa
1.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah desa sering kali identik dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis, dan kolot, namun sebenarnya desa mempunyai keseluruhan dan kearifan lokal yang luar biasa.Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten, sedangkan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat tempat yang diakui dan di hormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia(Anwar, 2012). Berdasarkan hak asal-usul, tentu setiap desa memiliki kekhasan sejenis kewenagan dan cara mengelola kewenangan itu. Dengan meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan desa, pemerintah menjalankan urusannya hingga ranah desa.Akibatnya perangkat desa tidak hanya mengurusi kewenangan aslinya tetapi juga menjalankan urusan kabupaten dan tugas pembantuan dari propinsi dan pemerintah pusat, dan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.Jika desa diposisikan sebagai kesatuan masyarakat adat, jenis kewenangan desa diserahkan kepada kebutuhan komunitasnya.Ini berarti pemerintah tidak perlu mengatur kewenangan kultural desa didalam peraturan termasuk pemerintahan daerah, bahkan undang-undang.Namun jika pemerintah masih berkepentingan untuk meningktakan pertumbuhan dan pengembangan desa, harus ada penataan yang terpisah untuk lembaga yang mengenai kewenangan administratif dan adat.Sudah saatnyapemerintah
lebih mempertegas peraturan kewenangan administratif dan disesuaikan dengan desain struktur biroksi formal beserta pembiayaannya (Astri, 2010). Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi sehingga menimbulkan tuntunan yang beragam terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik. Bahwa peraturan menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 dalam Bab I Pasal 1 dan Ayat 1 dinyatakan bahwa “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan megurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia. Dan ayat 2 dan 3 mengatur pemerintahan desa dan pemerintah desa.Adapun pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerinthan Negara kesatuan republik Indonesia. Sedangkan pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelanggara pemerintah desa (Hanif, 2011). Konsekuensi dari pemberian kewenangan otonomi terhadap desa maka perlu diatur pula secara tegas sumber-sumber pembiayaan yang harus diperoleh desa yang khususnya berasal dari pemerintah atasnya, yaitu pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.Otonomi adalah istilah asing yang paling dekat pengertian kepada swastara, mungkin tidak sinonim, tetapi seperti yang telah diterapkan hakikatnya adalah sama. Bahwa otonomi telah melahirkan antuisme yang luar biasa di tingkat desa, bukan berarti tidak ada persoalan yang muncul dari desa berasal dari internal desa.Pertama kuatnya tokoh direpresentasikan oleh kepala desa sseringkali menjadi hambatan serius demokratis desa.Tampinya kepala desa sebagai penguasa tunggal dalam pemerintahan desa bersama dengan pembantunya semua itu adalah pelaksanaan penyelenggara urusan pemerintah desa.Kedua kehadiran badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai lembaga perwakilan desa secara formal memang melahirkan harapan baru demokrasi desa.Masyarakat sangat
berharap BPD sebagai alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa (Surianingrat, 1067, h. 81). Selain itu desa juga masih banyak memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu khususnya pada organisasi pemerintahannya, sehingga hal tersebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan desa (Kalimandhanu, 2014). Adapun yang mengenai keterbatasan yang dimaksud tersebut, Wasistiono dan Irwan (2006, 96). Menyatakan bahwa unsur kelemahan yang dimiliki oleh pemerintahan desa pada umumnya yaitu: (1) Kualitas sumber daya aparatur yang dimiliki desa pada umumnya masih rendah. (2) Belum sempurnanya kebijakan pengaturan tentang organisasi pemerintah desa, seakan dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang desa, masih diperlukan beberapa aturan pelaksana baik sebagai pedoman maupun sebagai operasional. (3) Rendahnya kemampuan perencanaan ditingkat desa, sering berakibat pada kurangnya singkronisasi dan output (hasil/keluaran) implementasi kebijakan dengan kebutuhan dari masyarakat yang merupakan input dari kebijakan. Menurut tim penyusun naskah akademik Rancanagan Undang-undang tentang desa bahwa pasal 20 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan dan ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat memunculkan distrosi berupa terjadinya penunjukan anggota BPD secara elitis tanpa melibatkan masyarakat luas, sehingga terpilih orang-orang yang dekat dengan kepala desa. Peraturan memberikan landasan bagi otonomnya desa secara praktek, bukan sekedar normtif. Dengan demikian adanya pemberian kewenangan pengelolaan keuangan desa atau anggaran desa berdasarkan pemerintah mentri dalam negeri (permendagri) 37/2007
dan adanya alokasi dana desa (ADD) berdasarkan PP
72/2005 seharusnya desa semakin terbuka (transparansi) dan akuntabilitas terhadap proses pengelolaan anggaran desa dalam ketentuan umum permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Bab II ayat 1 tentang keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas transparansi, akuntabilitas, partisipatif, serta dilakukan dengan tertip dan disiplin
anggaran. Dalam ketentuan umum permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Bab V tentang
pengelolaan:
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban, pembinaan dan pengawasan. Menurut kecamata politik atau pengamat politik, bahwa desa dipahami sebagai organisasi
kekuasaan
yang memiliki
kewenangan
tertentu
dalam
struktur
pemerintahan Negara (Praktiko, 2000).Kajian-kajian politik juga telah memiliki tradisi yang membahas desa dalam topik otonomi dan demokrasi. Pembicaraan mengenai desa sebagai komunitas yang otonom menghasilkan sejumlah gagasan mengenai tipe desa seperti self-governing (berpemerintahan sendiri), local self government (pemerintahan lokal otonom) dan local state government (Pemerintah Negara di Tingkat
Lokal). (Sutoro, 2007).Mengatakan pembicaraan
yang
berhubungan desa dalam topik demokrasi, umumnya melihat desa sebagai republik mini yang sanggup melangsungkan pengurusan publik dan pergantian kepemimpinan secara demokratis.Desa adalah republik kecil yang self-governing (berpemerintahan sendiri).Ukurannya tidak ditekankan pada pemenuhan atas tiga cabang kekuatan yakni legislatif, eksekutuif dan yudikatif. Dan ukurannya dijatuhkan pada kultur berdemokrasi yang telah lama ditumbuhkan dirawat oleh desa. Karena itu pelembagaan kultur dan tradisi demokrasi desa dianggap lebih penting ketimbang pengaturan dan penciptaan institusi-institusi formal demokrasi. Sarana dan prasarana penujang operasional administrasi pemerintah masih sangat terbatas, selain menggunakan efesiensi dan efektifitas pelaksanaan pekerjaan, juga berpotensi menurunkan motivasi aparat pelaksanaan, sehingga pada akhirnya menghambat
pencapaian
tujuan,
tugas
dan
pekerjaan.
Pertumbuhan
dan
pengembangan desa merupakan salah satu usaha kegiatan usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana, dan bertanggungjawab dimana mencapai tujuan kearah perubahan yang lebih baik, yakni kesejahtraan dan kemakmuran yang adil bagi rakyat (Aprisiami, 2012).Akses pelayanan publik di kota lebih berkembang dari pada di desa sehingga pelayanan publik lebih dari kesenjangan waktu demi waktu. Jenis strategi pembangunan tidak akan mampu mengatasi kemiskinan struktural. Jumlah
kemiskinan di pedesaan akan selalu lebih tinggi dan akan menigkatkan kelangsungan urbanisasi (warsono, 2014). Transparansi dan akuntabilitas menjadi suatu hal yang sangat penting bagi pengelolaan keuangan di setiap organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi non pemerintahahan.Transparansi merupakan organisasi secara terbuka menyediakan informasi yang material dan relevan serta mudah diakses dan dipahami oleh pemakaian kepentingan (Atmadja, 2013: 19).Sedangkan akuntabilitas dan kewajiban organisasi untuk memberikan pertanggujawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja serta tindakan seseorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban Lembaga Administrasi Negara dan Pengawasan Keuangan dan pembangunan RI.Untuk terwujudnya transparansi dan akuntabilitas harus didukung dengan adanya sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan yang baik agar dapat menghasilkan informasi yang relevan dan mudah dimengerti oleh pemangku kepentingan (Lestari, 2014).Laporan keuangan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk memberikan kepada pemberi amanah karena melalui laporan keuangan, pemberian amanah dapat mengetahui posisi keuangan organisasi dapat mengambil keputusan tertentu untuk mendukung kelangsungan suatu organisasi.Lapoaran keuangan merupakan wujud dari transparansi dan akuntabilitas suatu entitas. Maka dengan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat tema”Analisis Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Pengembangan Ekonomi Desa”
B. Rumusan Masalah Setelah mengetahui dan memahami gejala atau fenomena dari latar belakang masalah maka dirumuskan permasalahan yang dapat menjadi pokok permasalahan untuk dikaji lebih dalam lagi, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pengelolaan keuangan desa yang mewujudkan transparan dan akuntabel?
2. Bagaimana transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa yangmenigkatkan perkembangan ekonomi desa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini, maka yang akan dicapai untuk mengetahui sebagai berikut: 1. Untuk mengetahuipengelolaan keuangan desa yangmewujudkan transparan dan akuntabel. 2. Untuk mengetahui transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desayang menigkatkan perkembangan ekonomi desa. D. Manfaat penelitian Dapat menambah pengetahuan mengenai manfaat transparansi dan akuntabilitas untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). 1. Manfaat Teoritis Hasil Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desayang baik.Serta
memberikan pandangan terhadap pentingnya
pengelolaan keuangan desa yang transparan dan akuntabel.Lebih jauh lagi penelitian ini dapat memberikan informasi bagi aparatur desa dan pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat yang adil. Sesuai
dengan
teori
accountability,
yang
menyatakan
bahwa
pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah desa sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.Maka diharapakan teori ini dapat membantu pengoptimal akuntabilitas bagi pemerintah desa. Sedangkandalam teori pembangunan yang merupakan pemanfaat hasil pembangunan fisik desa yaitu dengan membangun atau memperbaiki prasarana jalan desa akan menciptakan atau memperbaiki kehidupan masyarakat desa.Dalam pembangunan desa dilakukan usaha yang insentif dengan tujuan dan kecenderungan memberikan fokus perhatian kepada kelompok maupun daerah
tertentu melalui penyimpangan pelayanan, bantuan dan informasi kepada masyarakat desa. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa yang transparan dan akuntabel serta memberikan penjelasan kepada para aparatur desa pentingnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuanga desa.Dan untuk pemerintah sebagai referensi atas kebijakan yang telah diterapkan di Desa apakah mengalami peningkatan atau penurunan dengan kebijakan yang sudah ada, dan menjadi referensi untuk pembuatan kebijakan selanjutnya guna untuk pertumbuhan dan perkembangan desa. 3. Manfaat Regulasi Secara regulasi, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu rekomendasi baik bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk membuat suatu kebijakan yang mengarahkan pada disiplin dan ketertiban pengelolaan keuangan desa yang transparan dan akuntabel.Dan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah/badan legislatif untuk melakukan peninjauan ulang terhadap UndangUndangPERMENDESA NOMOR 1 TAHUN 2015 tentang Pemerintah Desa.Dalam
Undang-undang tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih,
melihat beban berat yang harus ditanggung oleh para Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terkhusus pada usaha pengoptimalan transparan dan akuntabel pengelolaan keuangan desa
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Grand Theory 1. Accountability Theory Akuntabilitas
bermakna
pertanggungjawaban
dengan
menciptakan
pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.Akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang memberi mereka mandat.Sedangkan
Lembaga
Administrasi
Negara
menyimpulkan
akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik (Kaihatu, 2006). Berbeda dengan kaihatu yang mendefinisikan akuntabilitas menurut perspektif swasta, Dykstra justru mendefinisikan akuntabilitas menurut perspektif pemerintah. Menurut (Dykstra. 1939). Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik (Lembaga eksekutif pemerintah,
lembaga
legislatif
parlemen
dan
lembaga
yudikatif-
kehakiman)yang mempunyai beberapa arti, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggujawabkan, yang dapat dipersalahkan dan yang mempunyai ketidak bebasan termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkan salah aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang tingkat problembilitas disektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan. Seperti yang dikemukakan (Liang, 2001)Akuntabilitas adalah kesadaran dari seorang pengelola kepentingan publik untuk melaksanakan tugasnya
dengansebaik-baiknya tanpa menurut untuk disaksikan oleh pihak-pihak lain yang menjadi sasaran pertanggungjawaban.Perbedaan antara responsibility dengan akuntability
adalah tanggung jawab dalam konteks responsibility
ditujunkan oleh seorang pengelola kepentigan publik kepada pihak-pihak lain, sedangkan tanggung jawab dalam konteks akuntability ditujukan oleh seorang pengelola kepentigan publik kepada dirinya sendiri. Sirajudin membagi akuntabilitas menjadi dua, yaitu akuntability internal dan
eksternal.Akuntabilitas
internal
merupakan
pertanggungjawaban
seseorang kepada tuhan-Nya.Sedangkan akuntabilitas eksternal adalahh seseorang kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun
lingkungan
masyarakat.Kedua
akuntabilitas
ini
harus
dipertanggungjawabkan oleh seseorang sebaik mungkin, baik kepada tuhan maupun lingkungannya, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan tugas yang telah diamanahkan kepada orang tersebut. Menurut Bruce terdapat 8 akuntabilitas. Pada umumnya 8 jenis akuntabilitas yang disampaikan oleh Bruce dan Jabbra tersebut berkaiatan dengan akuntabilitas moral, administratif, politik, manajerial, pasar, hukum dan peradilan, hubungan dengan konstituen dan professional.akuntabilitas politik adalah akuntabilitas administrasi publik dari lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlamen dan lembaga yudikatif kehakiman kepada publik. Sedangkan akuntabilitas adminitratis adalah akuntabilitas adminitratis publik dari aparatur pemerintah yang diatur dalam aturan atau norma internal. Mardiasmo, 2006. Mengatakan bahawa: Akuntabilitas publik adalah kewajiban
pihak
pemegang
amanah
(agent)
untuk
memberikan
pertangggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principel) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban
tersebut.Mardiasmo
memberikan
pengertian
Akuntabilitas publik sebagai pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Dalam lingkungan birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan, Akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas, pertanggungjawaban, tanggung gugat.Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala kegiatan, terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi. 2. Development Theory Community
Development
merupakan
konsep
pembangunan
masyarakatyang telah dikembangkan dan diterapkan sejak dasawarsa 60-an, yaitu dalamrencana pembangunan lima tahun 1956-1960 atau yang dikenal dengan namaRencana Juanda yang disusun oleh Biro Perancang Negara. Titik beratpembangunan
adalah
pada
pembangunan
masyarakat,
dengan
pembentukankader-kader pembangunan masyarakat desa yang tangguh yang diharapkanakan menopang tercapainya masyarakat desa yang mampu berswasembada.Pembangunan masyarakat desa dilakukan berdasarkan tiga asas, yaitu (1) asaspembangunan integral adalah pembangunan yang seimbang dilihat dari segi atau unsur masyarakat dari semua sektor pembangunan, (2) asas kekuatan sendiriadalah tiap usaha harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan masyarakatsendiri, artinya tidak terlalu mengharapkan pemberian bantuan dari pemerintah,(3) asas permufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harusdilaksanakan pada bidang atau sektor yang benarbenar dirasakan sebagaikebutuhan bagi masyarakat yang bersangkutan (Zamhariri, 2008). Dinamika teori pembangunan tersebut tidak terlepas dari pemahaman terhadap konsep pembangunan yang bersifat terbuka ujungnya.Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa implementasi konsep pembangunan ternyata telah banyak merubah kondisi kehidupan masyarakat. Pada sebagian komunitas, pembangunan telah mengantarkan kehidupan mereka menjadi lebih baik bahkan sebagian dapat dikatakan berlebihan, sementara komunitas lainnya pembangunan justru mengantarkan mereka pada kondisi yang menyengsarakan dimana angka pengangguran, kemiskinan menjadi semakin bertambah sejalan dengan proses pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Pemahaman terhadap pembangunan hendaklah selalu bersifat dinamis, karena setiap saat selalu akan muncul masalah-masalah baru. Pilihan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi bukan saja telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan sosial tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilainilai hedonistik, ketidak pedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, lebih dari itu pendekatan pembangunan tersebut telah menyebabkan ketergantungan masyarakat pada birokrasi-birokrasi sentralistik yang memiliki daya absorsi sumber daya yang sangat besar, namun tidak memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal, dan secara sistematis telah mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk memecahkan masalahmasalan yang mereka hadapi (Korten, 1987). Dalam teori pembangunan desa dari Rondinelli yang merupakan pemanfaat hasil pembangunan fisik desa yaitu dengan membangun atau memperbaiki prasarana jalan desa akan menciptakan atau memperbaiki kehidupan masyarakat desa. Dengan adanya pembangunan prasarana jalan, masyarakat dapat menggunakan jalan tersebut dengan berbagai kebutuhan yang mereka perlukan, seperti melakukan mobilitas, pemasaran hasil pertanianya, mengangkut hasil pertanian agar lebih mudah dan Pembangunan masyarakat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat,
dimana mereka mampu mengindentifikasikan kebutuhan dan masalah secara bersama(Raharjo, 2006 : 116). Pembangunan desa, bukan hal yang baru lagi bagi Indonesia iniyang bertujuan untuk menuntaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat pedesaan. Dalam proyek-proyek yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembangunan masyarakat desa, pembangunan desa
yang berupa
pembangunan fisik yang telah dilakukan dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan halnya kelompok-kelompok tertentu saja yang merasakan hasil dari proyek tersebut.Melihat konsep pembangunan terpadu yang merupakan suatu strategi pembangunan yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari strategi pembangunan desa.Dalam pembangunan desa dilakukan usaha yang insentif dengan tujuan dan kecenderungan memberikan fokus perhatian kepada kelompok maupun daerah tertentu melalui penyimpangan pelayanan, bantuan dan informasi kepada masyarakat desa (Hernida, 1986). Dengan demikian, strategi ini lebih banyak menaruh perhatian pada proses penyampaian dari pada mengembangkan
kapasitas dan respon
masyarakat. Karena masyarakat desa mempunyai banyak aspek, usaha pembangunan desa yang bersifak menyeluruh semestinya juga meliputi keseluruhan aspek tersebut.Apabila usaha pembangunan untuk masing-masing aspek ditangani oleh instansi yang berbeda, akan dijumpai sejumlah instansi yang melakukan aktivitas desa dalam rangka melaksanakan programnya masing-masing. Untuk menghindari duplikasi dan tumpan tindih serta untuk mewujudkan proses yang saling mendukung, maka perlu melakukan suatu pendekatan yang mampu mengkoordinasikan dan mensinerjikan programprogram yang bersifat sektoral tersebut, untuk maksud tersebut kemudian dikembangkan strategi yang kemudian dikenal sebagai pembangunan desa terpadu (Bjorn, 1982). Konsep pembangunan desa terpadu juga dapat memberikan penampakan dilihat dari berbagai dimensi. Pembangunan desa terpadu dapat dilihat sebagai
suatu metode, proses, karena pendekatan ini merupakan salah satu cara untuk melaksanakan pembangunan desa dengan melihat seluruh lapisan masyarakat dan mengaitkan seluruh aspek kehidupan. Sebagai suatu proses, karena pendekatan ini mencoba mentransformasikan kehidupan masyarakat desa dengan berorientasi tradisional menuju suatu kehidupan yang lebih berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Sebagai sasaran, karena suatu peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, peluang yang semakin terbuka untuk mengembangkan diri dan pengembangan institusi sosial ekonomi dan pelayanan yang setara dengan masyarakat kota. B. Otonomi Desa Otonomi desa adalah ide yang ditempelkan pada fakta bahwa desa merupakan sebuah entitas masyarakat otonom.Otonomi adalah kata benda yang berasal dari kata bahasa yunani autonomia.Kata autonomia dibentuk dari kata sifat autonomos.Kata autonomos dibentuk dari dua kata yaitu auto yang berarti berdiri, dan nomosyang berarti hukum dan aturan. Dengan demikian, maka autonomos atau otonom memiliki makna berhukum sendiri atau mempunyai aturan sendiri.Otonom berarti suatu kondisi dimana kemerdekaan dan kebebasan hadir sebagai identitas. Michael(1995) dalam tulisan berjudul “A Formal Framework for and Autonomy” membantu
mempertajam
pemaknaan
kata
otonom
dan
otonomi.Bertujuan
menguraikan makna keagenan (agency) dan otonomi (autonomy) dari konsep “Multi agen system”, Luck dan d’Inverno mencanamkan otonomi sebagai suatu pencapaian dari agen yang bermotivasi.Agen bermotivasi adalah agen yang memiliki otonomi.Ia adalah agen yang tidak tergantung pada tujuan akhir agen lain, sebaliknya, memberikan tujuannya untuk diacu dalam hubungan antara agen. Merujuk Luck dan d’Inverno, sepintas nampak bahwa otonom adalah semacan DNA bawaan yang besifat statis.Sementara otonomi adalah pencapaian dari agen termotivasi yang bersifat dinamis.
Masyarakat desa yang otonom adalah masyarakat yang membawa dalam dirinya sendiri unsur kemerdekaan dan kebebasan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk berperaturan sendiri dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi sifat masyarakat otonom statis. Otonomi desa sebaliknya ia adalah capaian dari usaha desa yang dilandasi motivasi. Motivasi untuk berada pada pusat hubungan antara agen atau subjek. Desa memiliki otonomi adalah desa yang memenangkan pertempuran antara subjek. Desa yang mampu menduduki pusat hubungan , mempengaruhi tujuan agen yang lain, dan dengan demikian menjadi agendanya sebagai agenda umum. Otonomi desa sejati adalah sifat dinamis desa.Otonomi desa secara sederhana dapat disebut sebagai identitas kemenangan desa. a. Desa Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran.Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of shops in a county area, smaller a town”.Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasakan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Desa menurutWidjaja dalam bukunya yang berjudul “ otonomi desa” menyatakan bahwa
Desa adalah segagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Widjaja, 2003: 3. Desa menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah mengartikan desa sebagai berikut: “Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sisitem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12. Dalam
pengertian desa menurut Widjaja dan UU No. 32 tahun 2004 di atas sangat jelas sekali bahwa desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat. b. Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung jawab Dalam peraturan pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 7 huruf b juga memberikan gambaran dalam pelaksanaan otonomi desa secara luas, nyata, bertanggungjawab, dimana didalamnya di sebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengetahuannya kepada desa. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000. Dalam pengelolaan kewenangan yang harus dalam pengelolan kewenangan yang luas tersebut tetap dibatasi rambu penting dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi bukanlah semata-mata menggunakan pendekatan administratif atau sekedar meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja saja, akan tetapi sekaligus pendekatan dalam dimensi politik, perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom (Budiarto, 2007). C. Transparansi Pengelolaan Keuangan Desa Salah unsur utama dalam pengelolaan keuangan yang baik adalah dengan adanya transparansi.Transparansi artinya dalam menjalankan pemerintah, mengungkapkan hal-hal yang sifatnya material secara berkala kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk itu, dalam hal ini yaitu masyarakat luas.Menurut mardiasmo, 2002.Pengertian transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat
kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam pengelolaan keuangan desa sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Sedangkan menurut Nordiawan, 2006.Menyatakan bahwa transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa. Transparansi menjadi suatu hal yang sangat penting bagi pengelolaan keuangan di setiap organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi non pemerintahahan.Transparansi merupakan organisasi secara terbuka menyediakan informasi yang material dan relevan serta mudah diakses dan dipahami oleh pemakaian kepentingan (Atmadja, 2013: 19). D. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Tata kelola pemerintah yang baik merupakan salah satu tuntunan masyarakat yang harus dipenuhi.Salah satu pilar tata kelola tersebut adalah akuntabilitas.Menurut (Miriam, 2012). Mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang memberi mereka mandat.Akuntabilitas
bermakna
pertanggungjawaban
dengan
menciptakan
pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit
organisasi
untuk
mempertanggungjawabkan
pengelolaan keuangan desa dan pengendalaian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik. Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa diartikan sebagai kewajiban Pemerintah desa untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa dan pelaksanaan pemerintahan di desa dalam rangka otonomi desa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang
terukur baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Pemerintah desa sebagai pelaku pemerintahan harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap masyarakatdalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban Pemerintah Desa (Hari, 2007: 129). E. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh (AstirFurqani,2010).Dengan judul pengelolaan keuangan desa dalam mewujudkan Good governance (Studi pada pemerintahan Desa Kalimo Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep).Dari hasil penelitian ini tentang manajemen keuangan dari desa kalimo Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep, transparansi terjadi hanya ketika perencanaan saja. Hamper semua peroses tidak memenuhi prinsip tanggung jawab karena ada beberapa hal dalam proses yang tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 37/2007. Sementara akuntabilitas sangat rendah karena tanggung jawab tidak melibatkan masyarakat dan BPD (Badan Permusyawaratan desa). Selanjutnya (Yoyok, 2009). Pengelolaan keuangan desa (Studi kasus pengelolaan keuangan desa Bakaran Juwana Kabupaten Pati). Hasilnya pengelolaan keuangan desa bakara kulon dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), yang man didalam APBDes sudah tercantum daftar belanja dan rencana pengeluanran desa selama satu tahun kedepan sehingga pengelolaan keuangan desa transparansi dan akuntabilitas di desa bakaran. F. Rerangka Pikir Dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah diatur mengenai pelaksanaan sistem desentralisasi di Negara Indonesia, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melakukan serangkaian proses, mekanisme dan tahapan perencanaan yang dapat menjamin keselarasan pembangunan. Landasan pemikiran dalam pengaturan tentang desa yang dianut UU No. 32/2004 sesungguhnya tetap mempertahankan apa yang dianut dalam UU No. 22/1999, yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Landasan ini sangat kontras
dibanding yang dianut sebelumnya dalam UU No. 5/1979 yang dinyatakan secara tegas mengarah pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Meskipun titik berat otonomi diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan di tingkat paling bawah, yaitu Desa. Selama ini, pembangunan desa masih banyak bergantung dari pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat yang jumlah maupun sifatnya tidak dapat diprediksi. Kemudian adanya PP No.72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah desa memiliki sumber-sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang dilakukan. Dari uraian di atas, Alokasi Dana Desa merupakan sumber untuk mengatur dan mengelola keuangan desa.Dimana, setelah kebijakan ADD diberlakukan desa mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar dan pengelolaannya dilakukan secara mandiri.Sehingga di butuhkan pengelolaan yang baik terhadap anggaran tersebut melalui transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggara tersebut. Dari penjelasan tersebut, dapat digambarkan rerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambaran Rerangka Pikir: PERMENDESA NOMOR 1 TAHUN 2015
Otonomi Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Development
Accountability
Perkembangan Ekonomi Desa
III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Berdasarkan pada sifat dan tujuan peneliti dilihat dari objekyang digunakan, maka penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian kualitatif.Tipe penelitian ini berusaha menggambarkanpenelitian kualitatif yang berdasarkan pada pendekatan interpretif dan metode fenomonologi (fenomena), fenomena yang terjadi pada pengelolaan keuangan desa, khususnya transparan dan akuntabeldi Desa Cellu Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone.Oleh karena merupakan penggambaran dari sebuah fenomena, maka penelitian ini dianggap juga penelitian fenomonologi. Mengacu pada pendapat (Moleong 2005 : 5), yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus. Penelitian kualitatif adalah penelitian dengan menggunakan latar belakang alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.Sedangkan menurut (Linda, 2012), berdasarkan pada sifat dan tujuan peneliti maka kualitatif yang digunakan dengan penelitian ini bertujuan untuk membentuk penglihatan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Metode yang digunakan adalah Metodefenomenologi. Metode Fenomenologi bertujuan memahami respon atas keberadaan manusia/masyarakat, serta pengalaman yang dipahami dalam berinteraksi (Saladien, 2006). Para fenomenologi percaya bahwa pada makhluk hidup, tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain (Moleong, 2005: 18). Oleh karena itu fenomenologis disini digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan bagaimana pelaku memahami sistem pengelolaan keuangan Desa yang dapat meningkatkan perkembangan ekonomi desa sehingga menjadi masyarakat yang lebih sejahtera adil dan makmur.
B. Jenis dan Sumber Data Penelitian Sedangkan sumber data dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder.Data primer berupa kata-kata, tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Selain itu data primer juga merupakan pandangan sikap, atau persepsi para aparaturdesa tentang tingkat kualitas sumber daya aparatur desa yang erat kaitannyakeberlangsungan kebijakan pengelolaan keuangan desa hingga proses pertanggungjawabannya. Ada pun data sekunder diperoleh dari berbagai sumber tertulis baik daftar pegawai ataupun daftar hadir pegawai yang memungkinkan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ini akan digunakan semaksimal mungkin demi mendorong keberhasilan penelitian ini. Untuk memperoleh data dan informasi yang valid dan akurat, dilakukan wawancara secara mendalam, terhadap informan-informan yang dijadikan sumber informasi.Sedangkan informan yang dipilih adalah informan yang terlibat langsung serta memahami dan dapat memberikan informasi (gambaran) tentang pengelolaan keuangan Desa. Adapaun sebagai informan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Kepala Desa
Sekretaris Desa
BendaharaDesa
Dipilihnya informan tersebut dalam penelitian ini karena dipandang mampu memberikan informasi yang sangat relevan dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan selaku pemangku jabatan tertinggi pada Kantor Desa.Sebagai seorang atasan mempunyai hubungan khusus dengan para bawahannya dan mengerti keadaan dan perilaku secara umum para bawahannya menjadi tolak ukur utama kemampuannya sebagai informan dalam penelitian ini. C. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka mengumpulkan data dan informasi yang valid dan akurat, pengumpulan data yang utama (untuk mendapatkan data primer) peneliti
akanmelakukan wawancara secara mendalam, yang dibantu dengan alat perekam (tape recorder). Alat perekam ini berguna sebagai bahan crossceck, jika pada saat analisa terdapat data, keterangan atau informasi yang sempat tidak tercatat oleh pewancara. Dalam penelitian tentang analisis transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa dalam pengembangan ekonomi desa di Desa Cellu Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone, peneliti akan berperan penuh sebagai observer, sekaligus sebagai pewancara, dengan melakukan wawancara secara langsung dan bersifat mendalam dan terbuka dengan para pengelola keuangan desa, serta mencatat semua kejadian dan data serta informasi dari informan yang selanjutnya dipergunakan sebagai bahan penulisan laporan hasil penelitian. D. Teknik Analisis Menurut Bungin (2007:73) teknik analisis dalam penelitian kualitatiftergantung pada pendekatan yang digunakan. Penelitian kualitatif yang menggunakan metode fenomenologis, langkah-langkah analisisnya dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaranmenyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
b.
Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggirmengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.
c.
Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakanoleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama.Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik danpertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repretitif atau tumpangtindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti teksturaldan unsur pembentuk atau penyusun dari fenomena yang tidakmengalami penyimpangan).
d.
Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna laluditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
e.
Selanjutnya
peneliti
mengembangkan
uraian
secara
keseluruhan
darifenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut.Kemudian di kembangkan (mengenai fenomenayang terjadi pada responden) dan (yangmenjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi). f.
Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenaiesensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalamanresponden mengenai fenomena tersebut.
g.
Membuat laporan pengalaman setiap partisipan.
E. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kantor desa Cellu dengananalisistransparansi dan akuntabilitas pengelolaankeuangan desa dalam pengembangan ekonomi desa iniadalah di Desa CelluKecamatan Tanete Riattang TimurKabupaten Bone. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan karena tingkattransparansi adan akuntabilitas pengelolaan keuangan Desa yang dilaksanakan olehpengelola keuangan di Desa Cellu KecamatanTanete
Riattang
Timur
Kabupaten
Bone
perlu
ditingkatkan
gunamendukung terwujudnya perkembangan ekonomi desa dan merupakan salah satu desa yang harus dikembangkan dan keberadaannya akan memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat desa. F. Keabsahan Data Menurut Patton (dalam Moleong, 2002:178), untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, digunakan teknik Triangulasi Data. Jenis triangulasi data yang digunakan adalah triangulasi sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam kualitatif, hal ini dapat dicapai dengan jalan: a.
Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b.
Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang di katakannya secara pribadi.
c.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tertentu dalam situasi penelitian dengan apa yang di katakannya sepanjang waktu.
d.
Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang pemerintahan.
e.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Atas dasar langkah di atas, dalam penelitian ini, analisis data dilakukan sebagai berikut : a. Membaca
transkrip
untuk
mengidentifikasi
kemungkinan
tema-
temamyangmuncul. Tema ini dapat memodifikasi proses pengambilan data. Membaca
transkrip
berulang-ulang
sebelum
melakukan
koding
untukmemperoleh ide umum tentang tema, sekaligus menghindari kesulitan. b. Selalu membawa buku catatan, komputer atau tape recorderuntukcmencatat pemikiran-pemikiran analitis yang muncul secaraspontan. c. Membaca
kembali
data
dan
catatan
analisis
secara
teratur,
dansegeranmenuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaanpertanyaan. d. Mengembangan
interprestasi
data
dari
hasil
wawancara
dan
pengamatan,sesuai dengan tema dan tujuan penelitian dan menuangkan dalam draft laporan yang telah terstruktur dalam sistematika laporan. e. Meng-edit dan me-review kembali tema demi tema dan secarakeseluruhan, sekaligus sebagai cross-cek antar data dan informasi yang saling bertentangan untuk dikonfirm kembali kepada responden ataudilakukan pengecekan terhadap dokumentasi data lainnya sepertiperaturan perundangan dan lainlain.Data-data kontekstual.
tersebut
kemudian
diinterpretasikan
secaraanalitis
dan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Misbahul dan Bambang, J. 2010. Kontribusi dan Peran Pengelolaan Keuangan Desa Untuk Mewujudkan Anggaran Pendapatan Belanja Desa yang Transparan dan Akuntabel.Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Hal 387410. Aprisiami Putriyanti. 2012. Penerapan Otonomi Dalam Menguatkan Akuntabilitas Pemerintah Desa dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Aglik Kecematan Grabag Kabupaten Purwerejo. Yogyakarta: UNY. Astir Furqani. 2010. Pengelolaan Keuangan Desa dalam Memujudkan Good Governance (studi pada pemerintahan desa kalimo’ok kecematan kalianget kabupaten sumenep). Jatim UPN. Tesis Atmadja, Anantawikrama tunggu. 2013. Akuntansi manajemen sektor publik. Singaraja: Universitas Brajijaya. Bruce Stone. 1989. Publik Service Accountability: A Comparatif Perpektif. Kumarian Press: Hartford, CTs. ISBN 0783775814, 978-078775814. Budiarjo, Miriam. 2012. Penerapan Otonomi Desa Dalam Menguatkan Akuntabilitas Pemerintah Desa Dan Pemberdayaan di Desa Aglik Kecematan Grabog Kabupaten Purworejo. Yogyakarta: UNY. Bungin, Burhan, 2007. Penelitan Kualitatif, Prenada Meda Group, Jakarta. Dykstra, Clarence A. 1939. The Quest for Resposibility.American Politican Science. Hettne, Bjorn. 1982. Development Theory and The Third World Schmidts. Helsinberg: Broktryckeri AB. Indro Budiarto. 2007. Penilaian Masyarakat Desa Terhadap Pemerintah Desa Dalam Era Otonom Daerah.Survey: Desa Sriharja, Kecematan Iomogiri, Kabupaten Bantu, DIY. Kaihatu, S. T. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8(1): 1-9 Kalimandhanu. 2014. Studi Tentang Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Perangat Selatan Kecematan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara.EjurnalIlmu Pemerintahan, vol 1(2): 2008-2022. Korten, David C., 1987. Community Managemen, Connectitut: Kumarian Press, Westaharford.
Kusuma, H. 1986. Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek Pemberdayaan Masyarakat Di Kabupaten Bayuwangi. Universitas Sumatera Utara. Lestari, Ayu Komang Dewi. 2014. Membedah akuntabilitas praktik pengelolaan keuangan desa pakraman kubutambahan, kecematan kubutambahan, kabupaten buleleng, provensi bali (sebuah studi interprentif pada organisasi publik non pemerintahan). Jurnal jurusan S1 akuntansi universitas pendidikan ganesha. Vol 2(1). Mardiasmo. 2002. Akuntansi sektor publik. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET. Mardiasmo. 2006. Akuntansi sektor publik. Yogyakarta: Andi. Michael Luck dan Mark d’Inverno. 1995. A Formal Framework for and Autonomy. Moleong, Lexy J., 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nordiawan, Dedi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat. Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan Dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Jakarta Erlagga. Paramitha, L. M., 2012. Kinerja Aparat Pemerintah Desa Dalam Rangka Otonomi Desa. Jurusan administrasi publik, fakultas ilmu administrasi brawijaya, malang. Paramitha, Muchacha L., 2014. Kinerja Aparatur Desa Dalam Rangka Otonomi Desa. Jurnal Adminitrasi Publik (AJP), Vol. 1(4): 91-100 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor tentang. Pengelolaan Keuangan Desa.
113 Tahun 2014
Peraturan menteri desaNomor 1 Tahun 2015.TentangPedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005 Tentang.Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintahan Nomor. 25 Tahun 2000 Tentang.Kewenagan. Pratikno. 2000. Pregeseran Negara dan Masyarakat Dalam Desa, dalam Dadang Juliantara.Arus Bawah Demokrasi. Yogyakarta: Lappera. Raharjo, Adisaamita. 2006. Pembangunan pedesaan dan perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sabarno, Hari. 2007. Penilaian Masyarakat Desa Terhadap Pemerintah Desa Dalam Era Otonomi Daerah. Survey: Desa sriharja, Kecematan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIK. Saladien. 2006. Rencangan penelitian kualitatif modal metodologi penelitian kualitatif. Disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian KualitatifProgram Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya,6-7 Desember. Sirajudin, H. S. and Aslam Iqbal. 1995. Accoutability, Chapter I in a Bool Accountability The Endless edited Sirajudin, H. S. & Aslam Iqbal. Asian and Pacific Development Centre. Surianingrat, Bayu. 1976. Pemerintah Administrasi Desa dan Kelurahan. Bandung, Rineka Cipta. The Liang Gie. 2001. Pengelolaan Pembangunan Yang Akuntabel: Pengalaman ORNOP di lapangan. Badan diskusi yang disajikan dalam lokakarya Nasional tentang Akuntabilitas Publik dan ORNOP yang diselenggarakan oleh SMERU bekerjasam dengan FES dan universitas Satya Wacana di Hotel Century Saphyre, Yoyakarta, tanggal 14 Nopember 2001. Halaman 4. Tim penyususn naskah akademik undang-undang tentang desa (2007). Naskah Akademik: Rancangan Undang-Undang Tentang Desa. Dikrektorat Jendral Pemberdayaan masyarakat desa: Jakarta, hal. 62 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang.Pemerintah Daerah. Utoro Eko. 2007. “Mempertegas Politik dan Kewenangan Desa”, Makalah Masa Sarasehan Nasional Menggagas Masa Depan Desa, Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Depertemen Dalam Negeri, FPPD dan DRSP-USAID, Jakarta, 3-4 Juni 2006. Warsono, Hardi R., 2014. The Obstacles Of Implementatioan Of Village Allocation Find Program in the North Konawe Sountheast Sulawesi. Journal of Mnagement and Sustaninability; Vol. 4(3) ISSN 1925-4725 E-ISSN 19254733. Published by Canadian Center of Science and Educatiaon.Hal. 176. Wasistiono, Sadu dan Irwan T., 2006. Prospek pengembangan desa. Jatinangor: Fokus Media. Widjaja. 2003. Peraturan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 1 ayat 12. Zamhariri. 2008. Pengembangan masyarakat: perspektif pemberdayaan dan pembangunan.Volume 4, Nomor 1, Juni 2008. 101.