Modul 2
MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
Konsep Perencanaan Anggaran Daerah Pengelolaan anggaran daerah merupakan salah satu perhatian utama para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah. Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan utama pengelolaan keuangan daerah telah dipaparkan di Modul 1: Proses Otonomi Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah: Kajian Singkat. Penetapan berbagai peraturan tersebut merupakan wujud dari reformasi pengelolaan keuangan pemerintah. Reformasi tersebut dilaksanakan di lima bidang utama, yaitu: 1. Perencanaan dan penganggaran 2. Pelaksanaan anggaran 3. Perbendaharaan dan pembayaran 4. Akuntansi dan pertanggungjawaban 5. Pemeriksaan Tujuan reformasi pengelolaan keuangan tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dan partisipasi masyarakat secara aktif. Berikut ini akan dibahas secara singkat konsep utama manajemen keuangan daerah berdasarkan peraturan terbaru, yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman; 2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. penerimaan daerah;
20
4. pengeluaran daerah; 5. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan 6. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
rangka
Perencanaan anggaran daerah dapat dikaji dari sisi makro dan mikro sebagai berikut (PPEFE-UGM, 2005). 1. Konsep Makro Perencanaan Anggaran Daerah Anggaran Daerah merupakan rencana kerja Pemerintah Daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu (satu tahun). Anggaran ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. 2. Konsep Mikro Perencanaan Anggaran Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing Daerah, serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang transparan, berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Harus diakui bahwa dalam struktur APBD yang lama, tuntutan di atas belum dapat dipenuhi sepenuhnya. Struktur anggaran APBD hanya menyajikan informasi tentang jumlah sumber pendapatan dan penggunaan dana. Sementara itu, informasi tentang kinerja yang ingin dicapai, keadaan dan kondisi ekonomi serta potensinya tidak tergambarkan dengan jelas. Informasi tersebut diperlukan sebagai tolok ukur yang harus dijadikan acuan dalam perencanaan anggaran. Karena ketidakjelasan tersebut, maka sistem perencanaan anggaran yang digunakan selama ini tidak dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai inisiatif, aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat dan potensi sumberdaya yang dimilikinya. Untuk menghasilkan struktur anggaran yang sesuai dengan harapan dan kondisi normatif tersebut, maka APBD yang pada hakekatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah serta tugas pokok dan fungsi Unit Kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi pada suatu tingkat kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi dan kebutuhan riil di masyarakat untuk suatu tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat memberikan manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat (value for money) dan kepuasan publik (public satisfaction) sebagai wujud pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan publik (public accountability) dapat dicapai.
21
Secara umum, perencanaan anggaran daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Perencanaan dalam menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD, disebut perencanaan kebijakan (policy planning) Anggaran Daerah. Dalam prakteknya, rencana ini harus disusun dan disepakati secara bersama-sama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah. Perencanaan kebijakan harus memuat kejelasan mengenai tujuan dan sasaran yang akan dicapai di tahun mendatang dan sekaligus juga harus menjadi acuan bagi proses pertanggungjawaban (LPJ) kinerja keuangan Daerah pada akhir tahun anggaran. 2. Perencanaan serangkaian strategi, prioritas, program dan kegiatan yang diperlukan dalam mencapai Arah dan Kebijakan Umum APBD, yang disebut juga Perencanaan Operasional (Operational Planning) anggaran Daerah. Karena bersifat teknis dan operasional, proses ini dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Penetapan prioritas anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada prinsip penganggaran terpadu (unified budgeting). Penganggaran terpadu adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana. Sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, penyusunan APBD 2007 harus berdasar pada penganggaran terpadu. Penyusunan APBD dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja. Penyusunan APBD tersebut juga harus berorientasi pada anggaran berbasis kinerja. Penganggaran di daerah harus di susun dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium-Term Expenditure Framework). Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. 1. Asas dan Fungsi APBD Salah satu asas penting dalam menetapkan prioritas anggaran belanja yang dijabarkan dalam APBD adalah bahwa penentuan anggaran disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Secara khusus, penganggaran pengeluaran harus didukung oleh adanya kepastian sumber pendanaan yang cukup dan memiliki landasan hukum yang kuat (Pasal 18 PP Nomor 58 Tahun 2005). APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. 22
a. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. b. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. c.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
d. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. e. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Secara lebih spesifik, fungsi APBD dalam proses pembangunan di daerah adalah sebagai: a. Instrumen kebijakan (policy tools). Anggaran daerah adalah salah satu instrumen formal yang menghubungkan Eksekutif Daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah. b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah. c.
Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan output/hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan di masing-masing unit kerja.
d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending atau mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah.
2. Pedoman Penyusunan APBD Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 mengatur tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007. Secara singkat, pedoman tersebut meliputi: a. Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah Untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan nasional tahun 2007, perlu dilakukan sinkronisasi program dan kegiatan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Selain itu, perlu ada keterkaitan antara sasaran program dan kegiatan provinsi dengan kabupaten/kota untuk menciptakan sinergi sesuai dengan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD Penyusunan APBD perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 23
1) Partisipasi masyarakat; pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. 2) Transparansi dan akuntabilitas anggaran; APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis/objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. 3) Disiplin anggaran; -
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;
-
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD;
-
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah.
4) Keadilan anggaran; pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan untuk membayar. Dalam mengalokasikan belanja daerah, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan. 5) Efisiensi dan efektivitas anggaran; dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. 6) Taat azas; penyusunan APBD tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan peraturan daerah lainnya. c.
Teknik penyusunan APBD Dalam menyusun APBD pada tahun anggaran 2007, langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 adalah: 1) Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2) Pembahasan KUA dan PPAS antara Pemerintah Daerah dengan DPRD 3) Penetapan Nota Kesepahaman KUA dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) 4) Penyusunan dan penyampaian surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD 5) PPKD melakukan kompilasi RKA-SKPD menjadi Raperda APBD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama dengan DPRD sebelum diajukan dalam proses Evaluasi 6) Pembahasan RKA-SKPD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan SKPD
24
7) Penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang APBD 8) Pembahasan Raperda APBD 9) Proses penetapan Perda APBD baru dapat dilakukan jika Mendagri/Gubernur menyatakan bahwa Perda APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi 10) Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Tahap-tahap tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1 sementara jadwal penyusunan APBD dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1 Proses Penyusunan APBD
Sumber: Depdagri (2006).
25
Tabel 1 Jadwal Penyusunan APBD NO
URAIAN
WAKTU
KETERANGAN
A. APBD 1
Penyusunan RKPD
Akhir bulan Mei
2
Penyampaian Rancangan KUA kepada Kepala Daerah
Awal bulan Juni
3
Penyampaian Rancangan KUA dari Kepala Daerah kepada DPRD
Pertengahan bulan Juni
4
KUA disepakati antara Kepala Daerah dengan DPRD
Minggu pertama bulan Juli
5
Penyusunan Rancangan PPAS
6
Penyampaian Rancangan PPAS ke DPRD
Minggu kedua bulan Juli
7
PPAS disepakati antara Kepala Daerah dengan DPRD
Akhir bulan Juli
1 bulan 3 minggu 1 minggu 3 minggu
8
Penetapan Pedoman penyusunan RKA-SKPD oleh Kepala Daerah
Awal bulan Agustus
9
Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD
Minggu pertama bulan Oktober
1 minggu
10
Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Kepala Daerah terhadap RAPBD
Paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal bulan Desember)
11
Penetapan hasil evaluasi
15 hari kerja (pertengahan bulan Desember)
12
Penetapan Perda tentang APBD & Raper KDH tentang penjabaran APBD bila sesuai hasil evaluasi
Akhir Desember (31 Desember)
13
Penyempurnaan sesuai hasil evaluasi
7 hari kerja
14
Pembatalan berdasarkan hasil evaluasi
Akhir bulan Desember 7 hari kerja setelah hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri/Gubernur
15
Penghentian dan pencanutan pelaksanaan Perda tentang APBD bersama DPRD
7 hari kerja
Awal bulan Januari
16
Penetapan keputusan pimpinan DPRD tetang penyempurnaan Perda APBD dan penyampaian hasil penyempurnaan berdasarkan hasil evaluasi
3 hari kerja setelah keputusan d i te ta p k a n
17
Penetapan Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD
31 Desember
18
Penyampaian Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur
7 hari kerja
2 bulan
B. DALAM HAL DPRD TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN BERSAMA TERHADAP RAPERDA TENTANG APBD
1
Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur dalam hal DPRD tidak mengambil keputusan bersama terhadap Raperda tentang APBD sampai dengan batas waktu yang ditetapkan undang-undang.
Paling lama 15 hari kerja setelah Raperda tidak disetujui DPRD (pertengahan bulan Desember)
2
Pengesahan Menteri Dalam Negeri/Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Kepala Daerah
Paling lama 30 hari kerja (pertengahan bulan Januari)
1 bul an
C. APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD 1
Penyampaian rancangan KUA dan PPAS kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur bagi daerah yang belum memiliki DPRD
2
Persetujuan Menteri Dalam Negeri/Gubernur
3
Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD
Sumber: Suwandi (a)
26
Pertengahan bulan Juni Minggu pertama bulan Juli 30 hari kerja sejak KUA dan PPAS disahkan Menteri Dalam Negeri/Gubernur
15 hari Minggu pertama b u l a n A g u s tu s
d.
Teknis penyusunan perubahan APBD Perubahan APBD harus dilandasi dengan perubahan KUA dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) yang disepakati bersama antara Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah. Perubahan Peraturan Daerah tentang APBD hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Perubahan APBD dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: 1) Perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi KUA, misalnya perubahan asumsi makro, proyeksi pendapatan daerah terlampaui atau tidak tercapai, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja daerah, dan adanya perubahan kebijakan di bidang pembiayaan 2) Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis belanja 3) Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan 4) Keadaan darurat 5) Keadaan luar biasa.
e.
Hal-hal khusus lainnya Peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah yang menjadi acuan saat ini belum memiliki aturan pelaksanaan atas beberapa komponen penting dalam penyusunan APBD, misalnya masalah kelembagaan, pembagian urusan kewenangan, petunjuk teknis mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan analisis standar belanja. Guna memperlancar proses penyusunan APBD 2007 di masa transisi, maka 1) Tugas Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003, PP Nomor 58 Tahun 2005, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 2) Perlu peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparat pengawasan daerah 3) Perlu pemberdayaan pemerintahan desa dan masyarakat desa 4) Perlu pendidikan dan pelatihan profesionalisme aparatur pemerintahan daerah 5) Perlu pendidikan dan pelatihan kepemimpinan kebangsaan bagi pimpinan dan anggota DPRD
nasional
dan
wawasan
6) Perlu peningkatan dan pengembangan pengelolaan keuangan daerah.
Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) merupakan dua dokumen utama dalam penyusunan APBD. KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. KUA adalah salah satu alat perencanaan dalam penganggaran berbasis kinerja. Oleh karena penyusunan rancangan KUA sedapat mungkin memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari setiap program dan kegiatan menurut urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya, yakni perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah. KUA tersebut merupakan implementasi dari Rencana Kerja
27
Pemerintah Daerah (RKPD) bersumber dari dana APBD sebagai acuan dalam penyusunan rancangan APBD. PPA adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD setelah disepakati dengan DPRD. PPA memuat: 1. skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan 2. urutan program untuk masing-masing urusan, dan 3. plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
3. Struktur APBD Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, APBD terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. a. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah tersebut merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.1 Pendapatan daerah dikelompokan atas: 1). Pendapatan Asli Daerah (PAD); kelompok PAD dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: - pajak daerah; - retribusi daerah; - hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan - lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 2). Dana perimbangan; kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: - Dana Bagi Hasil: terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. - Dana Alokasi Umum; dan - Dana Alokasi Khusus. 3). Lain-lain pendapatan daerah yang sah; Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: - hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; - dana darurat dari pemerintah dalam korban/kerusakan akibat bencana alam;
rangka
penanggulangan
- dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota;
1
Pendapatan daerah tidak sama dengan penerimaan daerah. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah.
28
- dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan - bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
b. Belanja Daerah Belanja daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah2. Belanja daerah dapat dibedakan menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek belanja. Belanja daerah menurut urusan pemerintahan dibedakan atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Menurut organisasi, belanja daerah dibedakan berdasarkan susunan organisasi pemerintahan daerah. Sementara itu, belanja daerah menurut program dan kegiatan ditetapkan sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjad kewenangan daerah. Menurut fungsinya, belanja daerah dibedakan atas: 1) pelayanan umum, 2) ketertiban dan keamanan, 3) ekonomi, 4) lingkungan hidup, 5) perumahan dan fasilitas umum, 6) kesehatan, 7) pariwisata dan budaya, 8) agama, 9) pendidikan, dan 10) perlindungan sosial. Menurut Pasal 39 PP Nomor 58 Tahun 2005, setiap jenis belanja yang dianggarkan harus memperhatikan keterkaitan pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari program dan kegiatan yang dianggarkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 juga membedakan Belanja Daerah menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sementara Belanja Tidak Langsung adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
2
Belanja daerah tidak sama dengan pengeluaran daerah. Pengeluaran daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.
29
Belanja Langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Sementara itu, Belanja Tidak Langsung diklasifikasikan menjadi: 1) belanja pegawai, 2) bunga, 3) subsidi, 4) hibah, 5) bantuan sosial, 6) belanja bagi hasil, 7) bantuan keuangan, dan 8) belanja tak terduga. Struktur belanja berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 relatif berbeda dengan struktur belanja menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Tabel 2 Perbedaan Jenis Belanja antara Kepmendagri Nomor 29/2002 dan Permendagri 13/2006 Kepmendagri 29/2002 1. Belanja Aparatur dan Pelayanan Publik Belanja Administrasi Umum Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan Belanja Operasi dan Pemeliharaan Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan Belanja Modal
Permendagri 13/2006 1. Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Belanja Bantuan Keuangan Belanja Tak Terduga 2. Belanja Langsung Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
2. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 3. Belanja Tidak Tersangka c. Pembiayaan Daerah Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Dengan demikian, Pembiayaan Daerah terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan. Selisih dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan disebut Pembiayaan neto dan jumlahnya harus dapat menutup defisit anggaran. 1) Penerimaan Pembiayaan mencakup: -
sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA),
-
pencairan dana cadangan,
30
-
hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
-
penerimaan pinjaman daerah
-
penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan
-
penerimaan piutang daerah.
2) Pengeluaran Pembiayaan -
pembentukan dana cadangan
-
penanaman modal Pemerintah Daerah
-
pembayaran pokok utang, dan
-
pemberian pinjaman daerah
Beberapa Kendala Utama dalam Pengelolaan APBD APBD merupakan suatu instrumen kebijakan bagi Pemerintah Daerah. Selain itu, APBD juga merupakan perencanaan strategik yang memiliki ukuran-ukuran kinerja. Dengan demikian, APBD dapat digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi apakah program yang telah dilakukan oleh Pemenrintah Daerah telah sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati (Perda APBD). Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besaran pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pengawai dan alat kordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Idealnya, APBD merupakan perwujudan aspirasi dan keinginan masyarakat mengenai pembangunan di daerah. Hal ini mengandung makna bahwa semua tahapan yang dimulai dari perencanaan dan persiapan, ratifikasi, implementasi dan pelaporan serta evaluasi APBD, sebaiknya bersifat terbuka bagi masyarakat umum. Dengan demikian, tuntutan dan kebutuhan publik menjadi bagian yang terintegrasi dalam APBD. Hal tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Bahkan, APBD belum dapat dikelola secara efektif dan efisien, serta berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik dasar. Beberapa masalah utama utama yang menyebabkan hal tersebut adalah: 1. Rendahnya tingkat partisipasi publik Di satu sisi, Pemerintah Daerah belum menemukan suatu metode yang dapat menjaring partisipasi publik secara efektif. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih mempunyai anggapan bahwa APBD adalah persoalan elit yang tidak perlu diketahui masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, prinsip transparansi dalam pengelolaan APBD menjadi sebuah agenda yang harus terus dikembangkan guna membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat. 2. Kurang berorientasi pada tujuan jangka panjang Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan rangsangan (stimulus) dalam perekonomian apabila kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan. Hal ini dapat dilakukan apabila APBD dikelola secara benar. Akan tetapi, Pemerintah Daerah tampaknya kurang memahami hal tersebut. Terdapat banyak kasus dimana kebijakan Pemerintah Daerah tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. 31
Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek Pemerintah Daerah yang tidak memiliki dampak berantai (multiplier effect) bagi perekonomian. Di daerah miskin, pembangunan (fisik dan nonfisik) tidak berjalan dengan baik karena APBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai anggaran rutin. Sebaliknya, di daerah kaya yang memiliki APBD surplus, juga menghadapi kesulitan menentukan prioritas pembangunan. Pengelolaan APBD yang tidak efisien dapat dilihat dari dua sisi. Defisit APBD berdampak negatif bagi perekonomian daerah karena Pemerintah Daerah tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian. Di sisi lain, daerah yang mempunyai APBD surplus ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien. 3. Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, 40-60 persen APBD terserap aksi korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrat, legislatif, dan aparat keamanan. Bahkan, daerah pengelolaan APBD lebih rawan akibat makin renggangnya pengawasan dari pusat maupun dari masyarakat.3 Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2005, terdapat 44 daerah dimana terdapat pendapatan, bagi hasil, dan dana bantuan pusat yang dikelola pemimpin daerah atau instansi di luar sistem APBD. Jumlahnya cukup besar, Rp3,03 triliun (Jawa Pos, 30 November 2006). Temuan lainnya, terdapat pengendapan dana daerah senilai Rp214,75 miliar pada 60 Pemerintah Daerah. Pada 77 Pemerintah Daerah juga terjadi pemborosan keuangan daerah Rp170,68 miliar. Pemborosan disebabkan belanja daerah yang digunakan untuk instansi vertikal, bantuan, honor, dan tunjangan kepada pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara, dan pejabat daerah. BPK juga menemukan 23 Pemerintah Daerah yang memiliki saham dan modal pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp1,17 triliun yang belum hukumnya serta tidak sesuai dengan perda. Penguasaan aset daerah dan modal pemerintah desa pada 23 Pemerintah Daerah senilai Rp2,83 dinyatakan tidak dapat ditelusuri.
penyertaan jelas status penyertaan triliun juga
Prinsip Pengelolaan APBD Terkait dengan kondisi tersebut, menurut Permendagri No.13 Tahun 2006, APBD perlu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. 1. Secara tertib adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 3. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. 4. Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 5. Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. 3
http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=2408
32
6. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-Iuasnya tentang keuangan daerah. 7. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 8. Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 9. Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. 10. Manfaat untuk masyarakat bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Manajemen keuangan dan anggaran daerah perlu mengikuti beberapa prinsip-prinsip utama berikut (Bank Dunia, 1998). a. Komprehensif dan disiplin Anggaran Daerah adalah satu-satunya mekanisme yang akan menjamin terciptanya disiplin pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Anggaran Daerah harus disusun secara komprehensif, yaitu menggunakan pendekatan yang holistik dalam mendiagnosis permasalahan yang dihadapi, analisis keterkaitan antarmasalah yang mungkin muncul, evaluasi kapasitas kelembagaan yang dimiliki, dan mencari cara-cara terbaik untuk memecahkannya. Anggaran harus meliputi semua operasi fiskal pemerintah dan harus mendorong keputusan kebijakan yang mempunyai implikasi keuangan untuk mengatasi kendala anggaran belanja dalam persaingan dengan permintaan (demand) lain. Disiplin juga mengimplikasikan bahwa anggaran seharusnya hanya menyerap sumber daya yang perlu untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. b. Fleksibilitas Sampai tingkat tertentu, Pemerintah Daerah harus diberi diskresi yang memadai sesuai dengan ketersediaan informasi-informasi relevan yang dimilikinya. Arahan dari Pemerintah Pusat memang harus ada tetapi harus diterapkan secara hati-hati, dalam arti tidak sampai mematikan inisiatif dan prakarsa Daerah. c.
Terprediksi Terprediksinya kebijakan yang akan diambil merupakan faktor penting dalam peningkatan kualitas implementasi Anggaran Daerah. Sebaliknya, bila kebijakan sering berubah-ubah, maka Daerah akan menghadapi ketidakpastian yang sangat besar hingga prinsip efisiensi dan efektivitas pelaksanaan suatu program yang didanai oleh Anggaran Daerah cenderung terabaikan.
d. Dapat Diperbandingkan Perencanaan anggaran yang baik, harus dapat diperbandingkan, baik antar waktu maupun antar unit atau daerah. Perbandingan juga dilakukan dengan melihat rencana dengan realisasi. Hal ini dilakukan melalui proses monitoring dan evaluasi, sehingga dapat dinilai tingkat kemajuan yang telah dicapai dan proses umpan balik (feedback) bagi perbaikan perencanaan anggaran periode berikutnya.
33
e. Kejujuran Kejujuran tidak hanya menyangkut moral dan etika manusianya tetapi juga menyangkut adanya bias proyeksi penerimaan dan pengeluaran. Sumber bias yang memunculkan ketidakjujuran ini dapat berasal dari aspek teknis dan politis. Proyeksi yang terlalu optimis akan mengurangi kendala anggaran, sehingga memungkinkan munculnya inefisiensi dan inefektivitas pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas daerah. f.
Informasi Informasi adalah basis dari kejujuran dan proses pengambilan keputusan yang baik. Karenanya, pelaporan yang teratur tentang input, output, dan outcome (hasil, manfaat dan dampak) suatu program dan kegiatan adalah sangat penting.
g. Transparan dan akuntabilitas Transparansi mensyaratkan bahwa perumus kebijakan memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan sebelum kebijakan dijalankan. Selanjutnya, akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan (secara vertikal maupun horisontal) dengan baik. Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Oleh karena itu, Mardiasmo (2002) menyebutkan bahwa praktik manajemen keuangan daerah juga perlu berdasarkan value for money dan harus terdapat pengendalian yang berkesinambungan. 1. Value for Money Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan bagi Pemerintah Daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila Pemerintah Daerah memiliki sistem akuntansi yang baik. 2. Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
34
Referensi Utama Departemen Dalam Negeri, 2006, Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_3.htm Jawa Pos, 30 November 2006, Penyimpangan Keuangan Daerah. http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=259100 Mardiasmo, 2002, “Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah,” Jurnal Ekonomi Rakyat, No. 4. Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FE-UGM), 2005, Modul Pelatihan “Strenghthening Core Local Government Competencies.” Suwandi, Made (a) “Gambaran Umum Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.” Suwandi, Made (b) “Data Alokasi APBD dalam Kaitannya dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.” World Bank, 1998, “Public Expenditure Management Handbook, Washington D.C., Amerika Serikat. http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=2408
35