Modul Workshop
Modul Rencana Detail Tata Ruang
Modul Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) akan memuat pemahaman dasar RDTR, muatan dan prosedur penyusunan RDTR serta disertai beberapa contoh penyusunan RDTR. Modul RDTR ini mengacu pada Permen PU 20/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ) beserta contoh-contohnya. Diharapkan dengan modul ini dapat menambah wawasan dan ketermapilan perencana dalam menyusun RDTR kawasan.
A. Pengertian RDTR Menurut Permen PU No 20/2011Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai rencana secara terperinci tentang tata ruang kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Secara sederhana, RDTR dapat diartikan sebagai rencana peruntukan ruang detail per blok fisik yang dilengkapi dengan rencana jaringan prasarana pendukungnya dan peraturan zonasi. Ia biasanya dilengkapi dengan Peraturan zonasi (PZ), yaitu ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang beserta dengan ketentuan pengendaliannya. RDTR disusun di atas peta dasar dengan skala 1:5.000.Penetapan skala 1:5000 sebagai skala peta RDTR merupakan keputusan yang dibuat setelah melalui beberapa pertimbangan. Pertama, pemilihan skala dikembalikan pada tujuan utama RDTR, yaitu memberikan arahan pemanfaatan ruang terperinci pada sebuah kawasan. Para pakar sepakat bahwa RDTR selayaknya mengatur blok/kapling sebagai bentuk pendetailan terhadap kawasan yang direncanakan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Secara umum blok akan tampak nyata pada peta skala 1:5.000. 1 :5.000. Kedua, pada skala lebih kecil, tidak semua ukuran blok dapat terlihat secara jelas. Sebaliknya pada skala lebih besar, akan ada unsur permukaan bumi lain yang akan tergambar pada peta. Seharusnya untuk unsur-unsur lain tersebut ada aturan hukumnya, namun karena RDTR dan PZ ditujukan untuk mengatur kapling, maka skala peta 1:5.000dianggap cukup.
A.1 Pengertian Blok dan Zona Telah dijelaskan sebelumnya bahwa RDTR dibuat dengan tujuan utama untuk mengarahkan pembangunan pada blok kawasan. Oleh karena itu perlu kiranya untuk memahami pengertian blok, sub blok, zona dan sub zona. a. Blok dan Sub Blok Blok fisik adalah bagian terkecil dari kawasan perencanaan yang memiliki batas fisik yang jelas. Secara praktis, blok fisik dapat diartikan sebagai suatu bagian kawasan yang dikelilingi oleh jalan dan/atau sungai/saluran. Untuk suatu kawasan perencanaan yang belum terbangun, blok fisik dapat diartikan sebagai suatu bagian kawasan yang dikelilingi oleh rencana jalan dan/atau rencana sungai/saluran. Blok memiliki beberapa variasi menurut pembagian luasnya, antara lain blok, sub blok dan superblok. Pembagian blok dan sub blok sangat bergantung pada
1-1
Modul Workshop bagaimana mendefinisikannya. Berikut diterangkan beberapa variasi blokyang dapat digunakan: i. Blok.Bila bl blo didefinisikan sebagai bagian kawasan erencanaan yang dibatasi jalan, maka semua bagian kawasan yang dibatasi oleh jalan apapun dan berapa pun uku ukuran ran luas luasn nya akan akan men menjadi jadi blok blok se erti gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. 1Ilustrasi Blok
Sub Blok. Bila blok didefinisikan sebagai bagian kawasan yang dibatasi oleh jalan lingkung n, maka maka blok 3, 4, 5 dan 6 yang yang merupak merupaka a blok “kecil” yang dipi dipisa sahk hkan an ole oleh ganga gangakan kan menadi menadi satu satu kesat kesatuan uan blok blok sepe seperti pada gambar 2. Pengg engga abun bungan gan du dua at atau beberapa blok “kecil” menjadi satu bl k sebaiknya harus memperhatikan pola engg enggun una aan lah lahan yang ada pada pada masi masin ng-masing blok “kecil”. Blok “kecil” yang da da at digabung menjadi satu kesatuan blok baru adalah yang memilik memilikii homogenit homogenita a penggunaan lahan. Blok “kecil” yang pe ggunaan lahannya tidak homogen sebai nya tidak tidak digabu digabungk ngkan an kare karena na pada pada ahirn ahirn a blok “kecil” ini akan akan menj menjadi adi sub blo tersendiri. ii.
G mbar 1. 2Ilustrasi Blok dan Sub Blok
iii.
Superblok. Bila blok blok dide didefi fini nisi sik kan seba sebaga gaii bagi bagian an kaw kaw san yang dibatasi oleh jalan kol ktor sekunder, maka akan lahir super blok ang berisikan blok 1-2
Modul Workshop dan sub blo . Penetapan superblok sebaiknya harus memperhatikan keterkaitan f ngsi antar blok di dalam setiap sup r blok.Penetapan superblok sif tnya futuristik sehingga harus diiringi dengan program penyamaan fungsi antar blok, revitalisasi lingkun an atau bahkan redevelopmen .
Gambar 1. 3Ilustrasi Super Blok
b. Zona dan Sub Zona Zona adalah perunt kan ruang pada blok kawasan. Contoh zona adalah zona perumahan, zona per agangan dan jasa serta zona industri.Peruntukan ruang pada setiap blok fisik tida harus selalu homogen, melainkan bisa terdapat lebih dari satu zona atau sub-z na peruntukan. Jika pada suatu blok fisik terdapat dua atau lebih zona atau sub z na peruntukan ruang, maka blok fisik tersebut dapat dibagi menjadi sub blok fisik mengikuti zona atau sub zona peruntukannya. Contoh pendetailan s buah zona menjadi sub zona adalah Zona Perumahan dirinci menjadi Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi, Perumahan epadatan Tinggi, Perumahan Kepadatan Sedang, Perumahan Kepadatan Renda dan Perumahan Kepadatan Sangat R ndah.Apabila diperlukan,peruntukan ruang sub zona dapat ditetapkan lebih rinci lagi menjadi sub-sub zona.
A.2 Kedudukan RDTR dan P raturan Zonasi dalam Rencana Tata Ruan Kedudukan RDTR adalah sebagai rencana rinci dari Rencana Tata Rua g Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan peraturan zonasi sebagai salah satu peran kat pengendalian pemanfaatan ruang. Sesuai ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, setiap RTRW kab paten/kota harus menetapkan bagian dari wilayah kabupaten/kota yang perlu disusun RD R-nya.Bagian dari wilayah yang akan disusun RDTRtersebut merupakan kawasan perkotaan atau kawasan strategis kabupaten/kota.
1-3
Modul Workshop
Gambar 1. 4Hubung n Antara Produk Rencana dan Wilayah Perencanaannya
Rencana Tata Ruang dan encana Pembangunan merupakan dua pilar penentu arah pembangunan. Keduanya berpadu memberikan pelita bagi pemba gunan Indonesia, dimana rencana pembangu an berperan sebagai penentu visi pembangunan disertai dengan kebijakan dan strategi untuk mewujudkan visi tersebut, sedangkan rencana tata ruang berfungsi sebagai berp ran sebagai penerjemah visi rencana pem angunan ke dalam ruang supaya dapat dimanf atkan secara optimal. Kedudukan RDTR dalam dua sistem perencanaan tersebut ditunj kkan oleh gambar 5.
Gambar 1. 5Kedudukan RDTR
alam Rencana Tata Ruang danSistem Perenca naan Pembangunan Nasional
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang terdiri dari pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan. RDTR merupakan produk dari kegiatan peren anaan tata ruang, tepatnya sebagai hasil dari penyusunan
1-4
Modul Workshop rencana rinci tata ruang. Ke udukan RDTR dalam sistem penataan ruang ditunjukkan oleh diagram di bawah ini.
Gambar 1. 6Kedudukan Ren ana Rinci dan Peraturan Zonasi dalam Sistem Penataan Ruang
A.3 Kriteria Penyusunan RD R Kabupaten/Kota dan Peraturan Zonasi RDTR Kabupaten/Kota disusun apabila memenuhi salah satu dari tiga kri eria berikut: 1. RTRW Kabupaten/Kota belum dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang karena tingkat ketelitian petanya belum mencapai 1:5000 2. RTRW Kabupa en/Kota sudah mengamanatkan bagian da i wilayahnya yang perlu disusun DTR-nya 3. RTRW Kabupa en/Kota disusun pada tingkat ketelitian eta 1:5000 tetapi belum dilengk pi dengan Peraturan Zonasi Pada kondisi yang sesuai dengan kriteria 1 dan 2, maka pemerintah harus menyusun RDTR berikut Peraturan Zonasinya sesuai amanat Permen PU 20/2011. Pada ondisi yang sesuai dengan kriteria 3, maka p merintah cukup menyusun Peraturan Zo asi saja. Ilustrasi kriteria penyusunan RDTR da PZ ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
1-5
Modul Workshop Gambar 1. 7Kriteria Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
A.4 Lingkup Wilayah Perencanaan RDTR Kabupaten/Kota dan Peraturan Zonasi Melanjutkan pembahasan mengenai wilayah perencanaan yang sudah disinggung di sub bab A.2, berikut dijelaskan beberapa jenis lingkup wilayah yang dapat direncanakan melalui RDTR: a. Wilayah administrasi. Lingkup wilayah perencanaan dapat berupa wilayah administrasi seperti kecamatan.
Gambar 1. 8Contoh RDTR Kecamatan X
b. Kawasan fungsional. Lingkup wilayah perencanaan dapat berupa bagian wilayah kota/sub wilayah kota yang direncanakan oleh RTRW yang melingkupinya.
Gambar 1. 9Contoh RDTR Kawasan Pusat Kota
c. Bagian dari wilayah yang memiliki ciri perkotaan. Lingkup wilayah perencanaan dapat berupa kawasan perkotaan, seperti kawasan ibukotakabupaten atau pusat permukimandi kabupaten.
1-6
Modul Workshop
Gambar 1. 10Contoh RDTR Kawasan Perkotaan
d. Kawasan strategis yang memiliki ciri kawasan perkotaan. Lingkup wilayah perencanaan ini merupakan gabungan antara lingkup wilayah perencanaan kedua (kawasan fungsional) dan lingkup wilayah perencanaan ketiga (kawasan perkotaan). Contoh wilayah perencanaan tipe ini adalah kawasan strategis yang dilihat dari sudut kepentingan ekonomi (kawasan pusat perdagangan dan jasa).
Gambar 1. 11Contoh RDTR Kawasan Strategis Perkotaan
e. Bagian wilayah yang berupa kawasan pedesaan dan direncanakan menjadi kawasan perkotaan. Lingkup wilayah perencanaan dapat berupa kawasan pedesaan yang akan didorong pembangunannya menjadi pusat kegiatan baru. Contoh wilayah jenis ini adalah kawasan pusat permukiman baru.
1-7
Modul Workshop
Gambar 1. 12Contoh RDTR Kawasan Pedesaan yang Direncanakan sebagai Kawasan Perkotaan
Wilayah perencanaan RDTR tersebut disebut sebagai Bagian Wilayah Perencanaan (BWP) dalam materi teknis rencana. Setiap BWP terdiri atas Sub BWP yang ditetapkan dengan mempertimbangkan: •
•
•
Morfologi BWP; Keserasian dan keterpaduan fungsi BWP; dan Jangkauan dan batasan pelayanan untuk keseluruhan BWP dengan memperhatikan rencana struktur ruang dalam RTRW
A.5 Masa Berlaku RDTR RDTR berlaku dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Peninjauan kembali RDTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun jika: o o
B.
Terjadi perubahan RTRW kabupaten/kota yang mempengaruhi BWP RDTR Terjadi dinamika internal kabupaten/kota yang mempengaruhi pemanfaatan ruang secara mendasar antara lain berkaitan dengan bencana alam skala besar, perkembangan ekonomi yang signifikan, dan perubahan batas wilayah daerah
Muatan RDTR
Penyusunan RDTR saat ini berpedoman pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa muatan RDTR terdiri atas: a. b. c. d. e. f.
Tujuan penataan BWP; Rencana pola ruang; Rencana jaringan prasarana; Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; Ketentuan pemanfaatan ruang; dan Peraturan zonasi
Modul ini akan membahas 5 muatan pertama, yaitu tujuan penataan BWP, rencana pola ruang, rencana jaringan prasarana, penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya
1-8
Modul Workshop dan ketentuan pemanfaatan ruang. Pembahasan mengenai muatan peraturan zonasi disajikan dalam modul terpisah.
B.1 Tujuan Penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) Tujuan penaatan BWP berfungsi sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pola Ruang, Rencana Jaringan Prasarana, Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya, ketentuan pemanfaatan ruang dan peraturan zonasi sekaligus menjaga konsistensi dan keserasian dengan RTRW. Perumusan Tujuan Penataan BWP, didasarkan kepada beberapa pertimbangan, yaitu:
Arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Isu strategis BWP yang antara lain dapat berupa potensi, permasalahan maupun urgensi penanganan lainnya Karakteristikspesifik BWP
Tujuan penataan BWP dirumuskan dengan mempertimbangkan:
Keseimbangan dan keserasian antar bagian dari wilayah kabupaten/kota; Fungsi dan peran BWP; Potensi investasi; Kondisi sosial dan lingkungan BWP; Peran masyarakat dalam pembangunan; dan Prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut
Contohnya adalah tujuan penataan ruang Kota Salatiga dan Kelurahan Sidorejo Lor, Kota Salatiga. Kota Salatiga memiliki tujuan penataan ruang sebagai berikut: “Mewujudkan Koridor Ampenan-Mataram-Cakranegara Perdagangan dan Jasa dan Ikon Kota Mataram Metro“
(AMC)
sebagai
Kawasan
Untuk menjaga keserasian dengan tujuan tersebut, maka tujuan penataan Kelurahan Sidorejo Lor ditetapkan sebagai berikut: “Mewujudkan Sidorejo Lor sebagai pusat pendidikan dan olahraga di kawasan Kendal– Ungaran–Semarang–Salatiga–Purwodadi (Kedungsepur) yang berkelanjutan didukung sektor perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan”
1-9
Modul Workshop
Gambar 1. 13Kot a Salatiga dan Kelurahan Sidorejo Lor, Kota S latiga
B.2 Rencana Pola Ruang Rencana pola ruang dalam DTR merupakan rencana distribusi subzon peruntukan yang antara lain meliputi hutan li dung, zona yang memberikan perlindunga terhadap zona di bawahnya, zona perlindunga setempat, perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, industry, dan RTNH, ke dala blok-blok. Rencana pola ruang dimuat dalam peta yang juga berfungsi sebagai zoning ma bagi peraturan zonasi. Rencana pola ruang berfungs sebagai: a. Alokasi ruang untuk erbagai kegiatan sosial, ekonomi, serta k giatan pelestarian fungsi lingkungan dal m BWP; b. Dasar penertiban izin pemanfaatan ruang; c. Dasar penyusunan RT L; dan d. Dasar penyusunan rencana jaringan prasarana. Rencana pola ruang dirumus an berdasarkan: a. Daya dukung dan day tamping lingkungan hidup dalam BWP; dan b. Perkiraan kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomu dan pelestarian fungsi lin kungan. Rencana pola ruang dirumus an dengan kriteria: a. Mengacu pada rencana pola ruang yang telah ditetapkan dalam R RW; b. Memperhatikan rencana pola ruang bagian wilayah yang berbatasan; c. Memperhatikan miti asi dan adaptasi bencana pada BWP, termasuk dampak perubahan ikliim; dan
1-10
Modul Workshop d. Menyediakan RTH d n RTHN untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Ketentuan rencana pola ruang adalah: a. Rencana pola ruang digambarkan pada peta dengan kala atau tingkat ketelitian mi imal 1:5000 dan mengikuti ketentuan mengenai sitem informasi geo rafis b. Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat/ ruang laut dengan batasan 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai wilayah kabupaten/ko a atau sampai batas negara yang isepakati secara internasional c. Rencana pola ruang dapat digambarkan ke dalam beb rapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku d. Peta rencana ola ruang berfungsi sebagai zoning map ba i peraturan zonasi e. Peta rencana ola ruang harus sudah menunjukkan batasan hingga persil Rencana pola ruang dihasilkan dari overlay peta-peta yang didelineasi b rdasarkan: a. Delineasi fisik; deline si fisik dapat dilakukan berdasarkan: Wilayah peren anaan Sub wilayah p rencanaan Blok b. Delineasi fungsi; dlineasi fungsi dilakukan berdasarkan: Zona Subzona
Gambar 1. 14(a) Delineasi Fisik dan (b) Delineasi Fungsi
1-11
Modul Workshop
Kawasan Lindung
Kawasan Budidaya
HL
Hutan
R
Zona Perumahan
PB
Perlindungan Kawasan Bawahnya
K
Zona Perdagangan dan Jasa
PS
Perlindungan Setempat
KT
Zona Perkantoran
RTH
Ruang Terbuka Hijau
I
Zona Industri
SC
Suaka Alam dan Cagar Budaya
SPU
Zona Sarana Pelayanan Umum
RB
Rawan Bencana Alam Gambar 1. 15Contoh Rencana Pola Ruang
B.3 Rencana Jaringan Prasarana Rencana Jaringan Prasarana merupakan pengembangan jaringan prasarana yang telah dirumuskan dalam Rencana Struktur Ruang yang terdapat pada RTRW Kabupaten/Kota. Fungsinya adalah sebagai: 1. Pembentuk sistem pelayanan, terutama pergerakan dalam BWP 2. Dasar dalam peletakan jaringan serta rencana pembangunanprasaranaserta utilitas dalam BWP sesuai dengan fungsi pelayanannya 3. Dasar rencana sistim pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL dan rencana teknis sektoral Rencana Jaringan Prasarana dirumuskan berdasarkan : 1. Rencana struktur ruang wilayah kab/kota yang termuat dalam RTRW 1-12
Modul Workshop 2. Kebutuhan pelayanan dan pengembangan BWP 3. Rencana Pola Ruang RDTR 4. Sistem Pelayanan, terutama pergerakan sesuai fungsi dan peran BWP Rencana jaringan prasarana dirumuskan dengan kriteria: 1. Memperhatikan rencana struktur bagian wilayah lainnya dalam wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah administrasi kabupaten/kota sekitarnya yang berbatasan langsung dengan BWP; 2. Menjamin keterpaduan dan prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana dan utilitas pada BWP; 3. Mengakomodasi kebutuhan pelayanan prasaranadan utilitas BWP; dan 4. Mengakomodasi kebutuhan fungsi dan peran pelayanan kawasan di dalam struktur ruang BWP Peta rencana jaringan prasaranadigambarkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Peta rencana jaringan prasarana memuat jaringan jalan dan sistem prasarana wilayah lainnya yang digambarkan pada satu lembar peta secara utuh dan dapat digambarkan secara tersendiri untuk masing-masing rencana jaringan prasarana; 2) Rencana jaringan prasarana digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian /lembaga yang berwenang; 3) Untuk BWP yang memiliki wilayah pesisir dan laut dapat dilengkapi denganpeta batimetri yang menggambarkan kontur laut. Materi rencana jaringan meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rencana Pengembangan Jaringan Pergerakan Rencana Pengembangan Jaringan Energi/Kelistrikan Rencana Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Rencana Pengembangan Jaringan Air Minum Rencana Pengembangan Jaringan Drainase Rencana Pengembangan Jaringan Air Limbah Rencana Pengembangan Prasarana Lainnya
B.3.1 Rencana Pengembangan Jaringan Pergerakan Rencana pengembangan jaringan pergerakan merupakan seluruh jaringan primer dan sekunder pada BWP yang meliputi: o o o o o
Jalan arteri Jalan kolektor Jalan lokal Jalan lingkungan Dan lain-lain
Rencana pengembangan jaringan pergerakan yang masuk dalam kategori “dan lain-lain” adalah jaringan pergerakan yang belum termuat dalam RTRW seperti jalan masuk-keluar terminal barang, terminal penumpang, hingga pangkalan angkutan umum, jalan moda
1-13
Modul Workshop transportasi umum (keluar-masuk terminal hingga pangkalan serta jalan keluar-masuk parkir).
B.3.2 Rencana Pengembangan Jaringan Energi Rencana pengembangan jaringan energy/kelistrikan merupakan penjabaran dari jaringan distribusi dan pengembangannya berdasarkan prakiraan kebutuhan energi/kelistrikan di BWP yang termuat dalam RTRW, yang terdiri atas: 1) Jaringan substransmisi yang berfungsi untuk menyalurkan daya listrik dari sumber daya terbesar (pembangkit)menuju jaringan distribusi primer (gardu induk) yang terletak di BWP (jika ada); 2) Jaringan distribusi primer (jaringan SUTUT, SUTET, dan SUTT) yang berfungsi untuk menyalurkan daya listrik dan jaringan substransmisi menuju jaringan distribusisekunder, yang dilengkapi dengan infrastruktur pendukung yang meliputi: i. Gardu induk yang berfungsi untuk menurunkan tegangan dari jaringan substransmisi (70-500 kv) menjadi tegangan menengah 20 kv; dan ii. Gardu hubung yang berfungsi untuk membagi daya listrik dari gardu induk menuju gardu distribusi; 3) Jaringan distribusi sekunder yang berfungsi untuk menyalurkan atau menghubungkan daya listrik tegangan rendah ke konsumen, yang dilengkapi dengan infrastruktur pendukung berupa gardu distribusi yang berfungsi untuk menurunkan tegangan primer (20 kv) menjadi tegangan sekunder (220 v/380 v).
B.3.3 Rencana Pengembangan JaringanTelekomunikasi Rencana pengembangan jaringan telekomunikasi terdiri atas: 1) Rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi yang berupa penetapan lokasi pusat automatisai sambungan telepon; 2) Rencana penyediaan jaringan telekomunikasi telepon kabel yang berupa penetapan lokasi stasiun telepon otomat, rumah kabel, dan kotak pembagi; 3) Rencana penyediaan jaringan telekomunikasi telepon nirkabel yang berupa penetapan lokasi menara telekomunikasi termasuk menara Base Transceiver Stasion (BTS); 4) Rencana pengembangan sistem televisi kabeltermasuk penetapan lokasi stasiun transmisi; 5) Rencana penyediaan jaringan serat optik; dan 6) Rencana peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi
B.3.4 Rencana Pengembangan Jaringan Air Minum Rencana pengembangan jaringan air minum berupa rencana kebutuhan dan sistem penyediaan air minum, yang terdiri atas: 1) Sistem penyediaan air minum wilayah kabupaten/kota yang mencakup sistem jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan; 1-14
Modul Workshop 2) 3) 4) 5) 6)
Bangunan pengambil air baku; Pipa transmisi air baku dan instalasi produksi; Pipa unit distribusi hingga persil; Bangunan penunjang dan bangunan pelengkap; Bak penampung
B.3.5 Rencana Pengembangan Jaringan Drainase Rencana pengembangan jaringan drainase terdiri atas: 1) Sistem jaringan drainase yang berfungsi untuk mencegah genangan; dan 2) Rencana kebutuhan sistem jaringan drainase yang meliputi rencana jaringan primer, sekunder, tersier, dan lingkungan di BWP; Dalam hal kondisi topografi di BWP berpotensi terjadi genangan, maka perlu dibuat kolam retensi sistem pemompaan, dan pintu air
B.3.6 Rencana Pengembangan Jaringan Air Limbah Jaringan air limbah meliputi sistem pembuangan air limbah setempat (onsite) dan/ atau terpusat (offsite). Sistem pembuangan air limbah setempat, terdiri atas: 1) Bak septik (septic tank); dan 2) Instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) Sistem pembuangan air limbah terpusat, terdiri atas: 1) Seluruh saluran pembuangan; dan 2) Bangunan pengolahan air limbah
B.3.7 Rencana Pengembangan Prasarana Lainnya Penyediaan prasarana lainnya direncanakan sesuai kebutuhan pengembangan BWP, misalnya BWP yang berada pada kawasan rawan benacana wajib menyediakan jalur evakuasi bencana yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi sementara yang terintegrasi baik untuk skala kabupaten/kota, kawasan maupun lingkungan.
B.4 Penetapan Sub BWP yang Diprioritaskan Penanganannya Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditujukan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, memperbaiki, mengkoordinasikan pembangunan atau melaksanakan revitalisasi di kawasan yang dianggap memiliki prioritas tinggi sebagai dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis sektor lainnya Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan dengan kriteria: a. Merupakan faktor kunci yang mendukung perwujudan rencana pola ruang dan rencana jaringan prasarana, serta pelaksanaan peraturan zonasi di BWP; b. Mendukung tercapainya agenda pembangunan dan pengembangan kawasan;
1-15
Modul Workshop c. Merupakan Sub BWP yang memiliki nilai penting dari sudut kepentingan ekonomi, sosial-budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, dan/atau memiliki nilai penting lainnya yag sesuai dengan kepentingan pembangunan BWP; dan/atau d. Merupakan Sub BWP yang dinilai perlu dikembangkan, diperbaiki, dilestarikan, dan/atau direvitalisasi agar dapat mencapai standar tertentu berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial-budaya, dan/atau lingkungan. Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya sekurang-kurangnya memuat LOKASI yang merupakan satu kesatuan tematik, seperti kota lama, sentra perindustrian rakyat, kawasan permukiman tradisional atau kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan rawan bencana serta TEMA PENANGANAN yang terdiri dari perbaikan, pengembangan kembali, pengembangan baru atau pelestarian.
B.5 Ketentuan Pemanfaatan Ruang Ketentuan pemanfaatan ruang dalam RDTR merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana diatur dalam pedoman ini. Ketentuan pemanfaatan ruang berfungsi sebagai: a. Dasar pemerintah dan masyarakat dalam pemrograman investasi pengembangan BWP; b. Arahan untuk sektor dalam penyusunan program; c. Dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan untuk setiap jangaka 5 (lima) tahun; dan d. Acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi. Ketentuan Pemanfaatan Ruang disusun berdasarkan: a. b. c. d. e.
Rencana pola ruang dan rencana jaringan prasarana; Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan; Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan; Masukan dan kesepakatan dengan para investor; dan Prioritas pengembangan BWP dan pentahapan rencana pelaksanaan program sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) daerah dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) daerah, serta rencana terpadu dan program investasi infrastruktut jangka menengah (RPI2JM)
Ketentuan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria: a. Mendukung perwujudan rencana pola ruang dan rencana jarringan prasarana di BWP serta perwujudan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; b. Mendukung program penataan ruang wilayah kabupaen/kota; c. Realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan; d. Konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik dalam jangka waktu tahunan maupun lima tahunan; dan e. Terjaganya sinkronisasi antarprogram dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah kabupaten/kota. 1-16
Modul Workshop Program dalam Ketentuan pemanfaatan ruang meliputi: a. Program Pemanfaatan Ruang Prioritas Program pemanfaatan ruang prioritas merupakan program-program pengembangan BWP yang diindikasikan memiliki bobot tinggi berdasarkan tingkat kepentingan atau diprioritaskan dan memiliki nilai strategis untuk mewujudkan rencana pola ruang dan rencana jaringan prasarana di BWP sesuai tujuan penataan BWP b. Lokasi Lokasi merupakan tempat dimana usulan program akan dilaksanakan. c. Besaran Besaran merupakan perkiraan jumlah satuan masing-masing usulan program prioritas pengembangan wilayah yang akan dilaksanakan. d. Sumber Pendanaan Sumber pendanaan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, APBD Provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta, dan/atau masyarakat. e. Instansi Pelaksana Instansi pelaksana merupakan pihak-pihak pelaksana program prioritas yang meliputi pemerintah seperti satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dinas teknis terkait, dan/atau kementerian/lembaga, swasta, dan/atau masyarakat. f. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan Program direncanakan dalam kurun waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun yang dirinci setiap 5 (lima) tahunan dan masing-masing program mempunyai durasi pelaksanaan yang bervariasi sesuai kebutuhan. Penyusunan program prioritas disesuaikan dengan pentahapan jangka waktu 5 tahunan RPJP daerah kabupaten/kota.
C. Prosedur Penyusunan RDTR Penyusunan RDTR memiliki tahapan-tahapan baku yang harus dilalui oleh perencana secara sekuensial. Hal ini mengandung arti bahwa setiap tahapan harus diselesaikan secara urut satu-persatu untuk menjamin kelengkapan data dan informasi yang dibutuhkan di tahapan berikutnya. Prosedur penyusunan RDTR secara garis besar terbagi ke dalam 5 tahapan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Pra Persiapan Penyusunan Persiapan Penyusunan Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisa Data Perumusan Konsep Perencanaan
Sumber lain menyebutkan bahwa penyusunan RDTR mengikuti prosedur yang kurang-lebih sama sebagai berikut: 1. Menyiapkan Peta Dasar dan Peta Penggunaan Lahan Eksisting 1-17
Modul Workshop 2. Survei pengumpulan data 3. Perumusan tema kawasan 4. Penyusunan rencana pola ruang 5. Analisis kebutuhan prasarana 6. Penyusunan rencana jaringan prasarana 7. Pemilihan Sub Kawasan Prioritas 8. Penyusunan Program Pemanfaatan Ruang 9. Penyusunan Peraturan Zonasi 10. Penyusunan Rancangan Perda RDTR Sepuluh tahapan diatas dapat dirangkum dalam 5 tahapan yang dijelaskan sebelumnya, dimana tahap 1 (penyiapan peta dasar) termasuk ke dalam tahap persiapan penyusunan dan tahap 3-9 (perumusan tema kawasan hingga penyusunan peraturan zonasi) termasuk ke dalam tahap perumusan konsep. Tahap 10, penyusunan Rancangan Perda RDTR, dapat dimasukkan ke dalam rangkaian prosedur penyusunan RDTR atau dapat pula berupa kegiatan terpisah. Penjelasan lebih lanjut mengenai setiap tahap adalah sebagai berikut: 1. Pra Persiapan Penyusunan Pada tahap pra persiapan, tim penyusun diminta untuk memahami benar permintaan user seperti tercantum dalam Kerangka Acuan Kerja. Pemahaman tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam metodologi pelaksanaan pekerjaan dan rencana kerja yang dibuat dengan mempertimbangkan batasan waktu, SDM dan anggaran. Dengan selesainya tahap ini maka tim penyusun siap untuk bekerja. 2. Persiapan Penyusunan (Kajian Data Sekunder, Rencana Survei) Pada tahap persiapan penyusunan, tim penyusun berusaha memahami wilayah studi menggunakan data sekunder yang tersedia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk orientasi awal untuk memahami profil wilayah studi, supaya tim penyusun dalam memulai kegiatan perencanaan dapat berangkat dari isu-isu spesifik-meski masih berupa dugaan, bukan berangkat tanpa pengetahuan sama sekali. Dari hasil kajian data sekunder ini tim penyusun dapat menentukan berapa lama waktu survei yang diperlukan untuk memverifikasi dan melengkapi data sekunder yang didapat. 3. Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data, tim penyusun akan mengeksplor wilayah studi dengan cara observasi lapangan untuk mendapatkan sense mengenai pemanfaatan ruang eksisting. Tim akan menulis dan mencatat hal apapun yang dirasa relevan dalam memahami wilayah studi lebih dalam. Yang tidak kalah penting, tim akan melakukan banyak wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan untuk mendapatkan aspirasi mereka tentang kondisi pemanfaatan ruang wilayah studi. 4. Pengolahan dan Analisa Data Pada tahap pengolahan dan analisa data, tim penyusun dituntut untuk mampu mencari tahu isu pemanfaatan ruang utama pada wilayah studi. Hal ini akan menjadi dasar untuk melakukan perencanaan nantinya. Untuk dapat merumuskan isu pembangunan utama, tim akan melakukan kompilasi dan analisis data yang sudah diperoleh di tahapan selanjutnya. Analisis data setidaknya dilakukan pada 5 aspek pembangunan, yaitu fisik lingkungan, kependudukan, perekonomian, fasilitas umum dan fasilitas sosial dan prasarana perkotaan. 5. Perumusan Konsep Perencanaan 1-18
Modul Workshop Pada tahap perumusan konsep perencanaan, tim penyusun mem uat muatan RDTR seperti yang diarahkan oleh Permen PU 20/2011, yaitu tuju n penataan BWP, rencana pola ruang, rencana jaringan prasarana, penetapan sub BWP yang diprioritaskan pemba gunannya dan ketentuan pemanfaatan ruang dan peraturan zonasi. Tim dapat pula menambahkan pembuatan draft raperda RDTR pada tahap ini.
Gambar 1. 16Prosedur penyusunan Rencana Detail Tata Ru ng
D. Peran Serta Masyarakat dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Dalam menyusun RDTR, tim penyusun diwajibkan untuk melibatkan asyarakat. Hal ini diatur oleh UU 26/2007 pasal 65, PP 15/2010 pasal 20 dan PP 68/2010. UU 26/2007 pasal 65 menyebutkan pada ayat 1 bahwa “Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatk n peran masyarakat”. Selanjutnya ayat 2 enjelaskan bahwa “Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada yat (1) dilakukan, antara lain, melalui: a. partisipasi dalam p nyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam p manfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam p ngendalian pemanfaatan ruang” Ayat terakhir, yaitu ayat ketiga, menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk pera masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan eraturan pemerintah”. PP yang dimaksud adalah PP 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Car Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang. PP 15/2010 pasal 20 men atakan bahwa “Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat (1) meliputi: a. proses penyusunan rencana tata ruang; b. pelibatan peran m syarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan c. pembahasan ranca gan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan”
1-19
Modul Workshop Peraturan-peraturan diatas menunjukkan perubahan paradigma penyusunan rencana tata ruang dari yang semula bersifat teknokratis menjadi lebih partisipatif. Keterbukaan dalam hal pelibatan masyarakat merupakan indikasi positif bahwa arah pembangunan tidak lagi ditentukan oleh sekelompok kecil orang, melainkan oleh konsensus bersama antar pemangku kepentingan. Dengan begitu diharapkan tanggung jawab untuk merealisasikan rencana pembangunan juga dapat ditanggung bersama. Secara teknis, pelibatan peran masyarakat dapat dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu berupa hak, kewajiban dan peran serta. Penjelasan singkat akan tiga hal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hak masyarakat o
o
o
Mengajukan inisiatif untuk melakukan penyusunan dan/atau mengevaluasi dan/atau meninjau kembali dan/atau mengubah RDTR sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Berperan memberikan masukan terkait penyusunan RDTR serta mengetahui proses penyusunan RDTR yang dilakukan pemerintah Mengetahui secara terbuka setiap produk rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan
2. Kewajiban masyarakat o
o
Memberikan informasi, data, dan keterangan secara konkrit dan bertanggung jawab dalam setiap tahapan penyusunan RDTR Berlaku tertib dan mendukung kelancaran proses penyusunan RDTR
3. Bentuk peran masyarakat o
o
E.
Masukan, pendapat, dan saran dalam indentifikasi masalah, perumusan tujuan, perumusan konsep dan penetapan rencana Kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat daerah
Persoalan Dalam Penyusunan RDTR
Berkaca dari pengalaman Kementerian Pekerjaan Umum dalam mendampingi proses penyusunan RDTR di daerah, terdapat beberapa persoalan yang ditemui dalam proses tersebut. Persoalan merupakan sebuah hal yang tidak bisa dihindari dalam sebuah proyek, namun yang lebih penting adalah bagaimana tim dapat mencari jalan keluar dari persoalan tersebut. Sub bab ini diharapkan dapat menambah wawasan perencana dalam memahami berbagai persoalan yang mungkin dihadapi nantinya.
E.1 Persoalan Terkait Peta Dasar dan Peta Penggunaan Lahan Eksisting Persoalan utama terkait peta dasar, terutama bagi wilayah di luar Pulau Jawa, adalah peta dasar skala 1:5.000 tidak tersedia. Oleh karenanya peta tersebut harus dibuat secara khusus oleh pemerintah daerah yang akan menyusun RDTR. Peta dasar skala 1:5.000 harus dibuat atau diturunkan dari citra satelit dengan resolusi tinggi, sekurangnya resolusi 60cm (Quickbird) atau yang lebih tinggi 50cm (WorldView 2).
1-20
Modul Workshop Namun perlu diperhatikan bahwa wilayah nusantara yang terletak di katulistiwa hampir sepanjang tahun terselimuti awan yang tidak dapat ditembus ole kamera satelit, akibatnya walaupun setiap 17 s/d 27 hari sekali satelit penginderaan jauh melalui tempat yang sama, sangat sulit untuk dapat memperoleh citra yang benar-ben r up to date.Maka dari itu untuk keperluan p nyusunan peta dasar RDTR, penggunaan citra satelit yang berumur setahun lalu masih isa ditolerir, dengan catatan kekurangan i formasi pada citra satelit tersebut dilengkapi d ngan survei lapangan Persoalan kedua, perencana perlu mengerti bahwa citra satelit yang diperoleh tidak dapat langsung didigitasi menjadi eta dasar, karena posisi citra tersebut b lum duduk secara tepat pada posisi geografis yang sebenarnya. Karena itu sebelum didigitasi citra satelit harus direktifikasi ulang at u diberi koordinat geografis yang tepat. Pengunaan citra satelit yang tidak direktifika i ulang akan memberikan ukuran panjang an luas yang tidak tepat, yang pada akhirnya akan menimbulkan persoalan hukum ya g serius di masa datang. Secara praktis, rektifikasi ulang citra satelit dapat dilakukan dengan emilih enam titik yang dapat dikenali pada citra satelit, yang berada di sekeliling kaw san perencanaan. Kemudian ambil koordinat geografis keenam titik tersebut dengan menggunakan GPS geodetik yang memiliki ketelitian lebih kecil dari 1m. Harga alat GPS geodetik yang diperlukan untuk melakukan rektifikasi ulang relatif mahal. Solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan pengadaan dan penggu aan bersama oleh semua kabupaten/kota dalam satu provinsi yang sama. Cara lain, p merintah mencari konsultan yang memiliki per latan survei yang memadai.Data rektifikasi ulang citra satelit dapat diolah menggunakan perangkat lunak GIS, seperti ArcGIS ata MapInfo. Namun untuk memperoleh hasil ya g lebih baik dan dapat digunakan diman -mana, sebaiknya digunakan perangkat lunak Global Mapper.
1-21
Modul Workshop
Ga bar 1. 17Rektifikasi Ulang Citra Satelit
Setelah direktifikasi ulang ci ra satelit kemudian harus didigitasi untuk menghasilkan peta blok seperti contoh yang dit njukan sebelumnya. Pada peta skala 1:5. 00, jaringan jalan harus tergambar dalam dua garis. Akibatnya, rencana jaringan prasarana harus digambarkan ulang sebagai aris tunggal yang berada di poros jalan se erti pada ilustrasi di bawah ini.
Gambar 1. 18Ilustrasi Penggambaran Jaringan Prasarana
Persoalan ketiga, citra sat lit tidak dapat menginformasikan peng naan lahan kota. Penggunaan lahan eksisting hanya dapat diperoleh dari survei lapanga . Survei lapangan harus dilakukan dengan embawa cetakan citra satelit keliling seluruh kawasan perencanaan dan menandai jenis penggunaan lahan pada setiap ata bangunan. Hasil survei lapangan kemudian diplotkan ulang di atas peta dasar digital ang sudah dibuat sehingga diperoleh peta penggunaan lahan eksisiting seperti peta zonasi yang ditunjukan sebelumnya. 1-22
Modul Workshop
E.2 Persoalan Terkait Rencana Pola Ruang Di dalam RDTR, rencana pola ruang adalah inti produk rencana. Dimana rencana lainnya harus disusun dengan mengikuti recana pola ruang. Rencana pola ruang RDTR disusun berdasarkan
Rencana pola ruang RTRW (khusus untuk RDTR di kota otonom) Pola pengunaan lahan yang ada Tema perancangan ruang yang ingin dituju Kaidah-kaidah perancangan
Penyusunan rencana pola ruang harus dilandasi dengan pengetahuan yang baik mengenai kondisi fisik , sosial, ekonomi dan budaya setempat, agar hasil rencana yang disusunnya lebih representatif.Penyusunan rencana pola ruang juga harus dilandasi dengan cita rasa seni atau sense of art agar hasil rencana yang disusunnya akan lebih memiliki “jiwa”. Pengaruh sense of art sangat tampak, terutama pada penyusunan rencana pola ruang kawasan baru yang masih beum terbangun. Persoalan pertama terkait dengan tenaga ahli. Tim penyusun RDTR umumnya adalah konsultan yang datang jauh dari luar kawasan perencanaan yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal apa pun tentang kawasan perencanaan. Lebih dari itu konsultan umumnya bersifat generalis dalam arti mengerjakan semua pekerjaan tata ruang mulai dari RTRW provinsi, kabupaten, kota s/d RDTR. Padahal untuk menyusun RDTR diperlukan suatu keahlian khusus yang sama sekali berbeda dengan menyusun RTRW. Dalam penyusunan RTRW diperlukan keahlian dalam melihat kecenderungan perkembangan ekonomi wilayah. Sedangkan dalam penyusunan RDTR lebih diperlukan sense of art. Untuk menghadapi hal ini, harus lebih selektif dalam memilih tenaga konsultan dan harus mewajibkan konsultan untuk tinggal lebih lama guna lebih memahami kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya kawasan perencanaan secara menyeluruh. Persoalan kedua terkait dengan rencana pola ruang. Rencana pola ruang yang mengubah peruntukan pada umumnya akan memberikan persoalan baik secara finansial maupun secara sosial bagi kelompok masyarakat (yang merasa dirugikan) dan pemerintah yang hendak mewujudkan rencana tersebut. Sebagai contoh, sebuah sub-zona perumahan kepadatan sangat tinggi yang kumuh akan dirubah menjadi sub-zona perumahan kepadatan tinggi dengan mengubah perumahan kumuh yang padat menjadi rumah susun yang lebih besar daya tampungnya, lebih sehat, lebih rapi dan lebih tertib.Persoalannya, seringkali pemerintah daerah memiliki dana yang cukup untuk memberikan hunian pengganti dan biaya ganti rugi sesuai dengan PP 15 tahun 2010 pasal 168. Untuk suatu kawasan perencanaan yang sudah terbangun, penyusunan rencana pola ruang akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu: •
•
Membuat perubahan peruntukan ke arah yang lebih baik Tidak membuat perubahan peruntukan tapi hanya meningkatkan kualitas lingkungan melalui peningkatan kualitas jaringan prasarana pelayanan dan sarana lingkungan
Pemilihan alternatif pembangunan harus mempertimbangkan kemampuan finansial daerah. Apabila implementasi dipaksakan maka bisa saja terjadi ada pihak yang dirugikan seperti dicontohkan di paragraf sebelumnya.
1-23
Modul Workshop Persoalan ketiga terkait dengan rencana pola ruang pada kawasan yang belum terbangun. Sesuai dengan UU 26 tahun 2007, rencana pola ruang harus disusun untuk seluruh kawasan perencanaan, termasuk bagian kawasan yang belum terbangun. Bila pada bagian kawasan yang belum terbangun tidak ada rencana peruntukannya, maka sampai dengan 20 tahun ke depan kawasan tersebut tidak diperkenankan unuk dibangun. Persoalannya tanah pada kawasan yang belum terbangun masih milik peroranganbukan milik pemerintah daerah. Penyusunan rencana pola ruang hingga kedalaman blok akan dapat menimbulkan gejolak sosial dan juga spekulasi harga tanah. Persoalan Keempat, di dalam penyusunan rencana pola ruang adalah seringnya terjadi kerancuan antara zona (use) dengan kegiatan. Konsep klasifikasi zona menurut Permen PU 20/2011 adalah sub zona harus merupakan rincian dari zona. Oleh karena zona bersifat “use” maka sub-zona juga harus bersifat “use” pula namun lebih rinci. Begitu pula dengan sub-sub zona yang merupakan rincian dari sub zona, seharusnya merujuk pada “use”, bukan jenis fisik. Namun peraturan membolehkan sub-sub zona dirinci mengikuti jenis fisik bangunannya. Hal inilah yang kadang menimbulkan kebingungan di lapangan.
E.3 Persoalan Terkait Analisis Kebutuhan Prasarana dan Rencana Jaringan Prasarana Secara keseluruhan ada 6 jenis prasarana yang harus direncanakan di dalam RDTR, yaitu: o o o o o o o
Prasarana pergerakan Prasarana energi/kelistrikan Prasarana telekomunikasi Prasarana air bersih Prasarana drainase Prasarana air limbah Prasarana lainnya
Penyusunan rencana jaringan prasarana harus didasarkan pada: o o o
Rencana pola ruang; Perkiraan kebutuhan prasarana; dan Jaringan prasarana yang sudah ada
Sehubungan dengan itu sebelum rencana jaringan prasarana disusun, terlebih dahulu harus diperkirakan berapa besarnya kebutuhan layanan prasarana terkait. Perkiraan besarnya kebutuhan prasarana harus dilakukan untuk setiap blok fisik, sehingga pada ahirnya akan dapat diketahui kemana jaringan prasarana harus dibuat. Persoalan pertama, standar teknis perencanaan yang ada umumnya sudah kadaluwarsa dan tidak mengikuti perkembangan kebutuhan pasarana yang ada di masyarakat serta tidak mengikuti perkembangan teknologi prasarana itu sendiri. Untuk keperluan ini harus dicari standar teknis perencanaan dari berbagai sumber, termasuk dari berbagai buku teks. Namun sebelum digunakan standar teknis tersebut terlebih dahulu harus dikalibrasi agar sesuai dengan kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya kawasan perencanaan.
1-24
Modul Workshop Ta el 1. 1Contoh Standar Kebutuhan Air
Persoalan kedua di dalam penyusunan rencana jaringan prasarana adalah tidak lengkapnya data tentang jaringan parasarana yang ada sekarang. Baik gambar jaringannya maupun kapasitas dan kualitas jaringannya. Ketidaklengkapan data jaringan eksisting dapat menimbulkan perencanaan j ringan prasarana yang under atau over estimate.Oleh karena itu keterlibatan SKPD yang membidangi prasarana perkotaan, BUMD BUMN/perusahaan swasta yang melayani peny diaan prasarana perkotaan dalam penyus nan RDTR mutlak diperlukan.
1-25