18
BAB 1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nasionalisme dapat didefinisikan yaitu sebagai suatu paham yang berpendapat, bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Hans Kohn, 1979:11). Ketidaksukaan bangsa yang terjajah terhadap pihak yang menjajah terakumulasi yang menimbulkan adanya rasa ingin bebas dan menjadi negara yang merdeka. Hal tersebut teraplikasikan dengan munculnya berbagai pergerakan. Nasionalisme pertama kalinya di perkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa saat mereka sedang menikmati euphoria revolusi industri. Fenomena tersebut secara otomatis merubah strata sosial dalam masyarakat. Proses peralihan terjadi pada abad ke XVII yang didahului oleh kapitalisme awal dan liberalisme. Kekuasaan feodal dengan raja, bangsawan, dan gereja lambat laun tidak mampu menghadapi desakan dari golongan di kota-kota yang menguasai perdagangan.
Karena semangat mereka yang didasarkan pada factor ekonomi semata, menjadikan mereka mencari daerah pemasaran baru atau daerah bahan baku. Hal ini dilandasi semata-meta untuk mengabdi terhadap bangsanya. Makanya terjadilah penjajahan atas bangsa Eropa terhadap bangsa lain, terutama Asia dan Afrika. Sedangkan nasionalisme bangsa Asia sendiri didasarkan pada keinginan lepas dari penjajahan dan berdaulat menjadi negara merdeka. Oleh karena itu, pasca PD II banyak lahir gerakan-gerakan pembebasan, tak terkecuali negara Indonesia sendiri. Oleh karena itu penulis akan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana sejarah Nasionalisme dan perkembangannya di era kontemporer ini.
Rumusan Masalah
Apa pengertian Nasionalisme ?
Bagaimana sejarah Nasionalisme ?
Bagaimana Karakteristik dan bentuk Nasionalisme ?
Bagaimana perkembangan Nasionalisme ?
Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari penyusunan makalah yang berjudul "Nasionalisme" ini, yakni :
Untuk mengetahui pengertian Nasionalisme
Untuk menjelaskan bagaimana sejarah tentang nasionalisme
Untuk mengetahui Karakteristik dan bentuk Nasionalisme
Untuk mengetahui Bagaimana perkembangan Nasionalisme
BAB 2. PEMBAHASAN
Pengertian Nasionalisme
Banyak orang keliru menggunakan istilah Nasionalisme sebagai sinonim bangsa, karena Nasionalisme merujuk pada sekelompok keyakinan mengenai bangsa. Bangsa tertentu akan memiliki pndangan berbeda tentang karakternya, oleh karena itu untuk bangsa apapun akan ada keyakinan berbeda dan saling berkompetisi mengenai politik nasionalisme yang seringkali bermanifestasi sebagai perbedaan politik. Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat, bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda beda. Akan tetapi, baru pada akhir abad 18 nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang di akui secara umum (Hans Kohn, 1979:11).
Sementara bangsa bangsa adalah golongan yang berenaka ragam dan tak terumuskan secara eksak. Bangsa bangsa pada umumnya memiliki fakor faktor objektif tertentu yang membuat mereka itu berbeda dari bangsa lainnya. Misalnya persamaan keturunan, bahasa daerah, kesatuan politik, adat istiadat dan lain lain. Akan tetapi tidak ada satupun diantara faktor faktor itu bersifat hakiki untuk menetukan ada tidaknya atau untuk merumuskan suatu bangsa. Hal ini bisa dilihat misalnya rakyat Amerika Serikat tidak mensyaratkan bahwa mereka harus keturunan untuk membentuk suatu bangsa, dan rakyat Swiss menggunakan 3 atau 4 macam bahasa namun merupakan bangsa yang tegas pembatas kebangsaannya.
Faktor objektif memang penting, tetapi unsur terpenting adalah kemauan bersama yang hidup nyata. Kemauan inilah yang dinamakan nasionalisme, yakni suatu paham yang memberi ilham kepada sebagian terbesar penduduk dan yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami segenap angota angotanyaa. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita citanya dan satu satunya bentuk sah dari organisasi politik, kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi (Hans Kohn. 1979:12)
Uraian di atas menunjukan bahwa pada hakekatnya ada perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain, karena nasionalisme hanya satu unsur dalam konteks kebudayaan. Bagi kebanyakan orang nasionalisme adalah suatu perasaan yang berakar dalam di dalam keseluruhan hidup mereka. Ada kalanya nasionalisme cenderung mengambil bentuk bentuknya yang sangat agresif dalam kelompok kelompok nasional yang merasa dirinya tertindas, di perlakukan tidak adil. Nasionalisme dengan demikian merupakn suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial yang khusus ditimbulkan oleh situasi. Adakalanya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial sehingga di beberapa negara terjajah nasionalisme dan kolonialisme tidak terlepas satu dengan yang lain. Nasionalisme sebagai tindakan kelompok mempunyai 3 aspek yang bisa dibedakan yaitu aspek cognitive, gold/value orientation dan aspek afektif.
Sebelum memasuki abad nasionalisme sebenarnya sudah ada individu individu yang memiliki perasaaan perasaan yang mirip dengan nasionalisme, namun perasaan ini hanyalah terbatas kepada individu saja, rakyat banyak tak pernah merasa baik dilihat dari sudut kebudayaan, politik, maupun ekonomi, bahwa hidupnya tergantung kepada nasib negara kebangsaan. Bahaya dari luar bisa saja membangkitkan perasaan persatuan nasional seperti yang terjadi di Yunani selama perang perang antara Persia dengan Yunani atu di Perancis dalam perang 100 tahun dengan Inggris. Akan tetapi lazimnya peperangan sebelum revolusi perancis tidak membangkitkan perasaan nasional sampai mendalam.
Dalam perang pelloponesia orang yunani mati matian memerangi orang Yunani lainnya, demikian juga dengan orang Italia melawan orang orang Italia tanpa terasa sedikitpun bahwa perbuatan itu berarti membunuh saudara sendiri. Bahkan pada abad ke 18 sekalipun serdadu serdadu dan penduduk sipil di Eropa mengabdikan dirinya kepada raja raja luar negeri dan sering sifat pengabdiaannya itu sedemikian rupa, seingga ternyata bahwa mereka tak mempuyai rasa kebagsaan sama sekali. Sundoro berpendapat bahwa, nasionalisme merupakan keharusan sejarah. Nasionalisme bisa dibedakan menjadi dua yaitu nasionalisme kuno dan modern (M.H Sundoro, 2007:208).
Nasionalisme kuno lebih mendekati ikatan kesukuan misalnya di Jerman ketika kekaisaran Romawi Barat runtuh pada abad ke 5 ikatan kesukuan merupakan hal yang paling murni sebab pengaruh bangsa roma dapat dikatakan hampir tidak ada, berbagai suku bangsa seperti frankia, Kelt yang pernah mendapat pengaruh kultur jerman ditambah dengan pertumbuhan feodal pada abad pertengahan. Konsep nasionalisme kuno ini tentu saja belum jelas mana batas batas negaranya. Kebalikannya nasionalisme modern sangat berbeda dengan yng kuno, nasionalisme dalam arti modern memiliki karakteristik dalm kehidupan politik selama zaman industri. Unsur perasaan bernegara lebih intens dibanding dengan patriotisme. Terminologi nasionalisme dikaitkan dengan proses sejarah dalam abad ke 19 dan dalam aabad ke 20 tidak terbatas di eropa saja melainkan juga tersebar di seluruh penjuru dunia.
Sejarah Nasionalisme
Pada akhir abad pertengahan, berbagai negara eropa masih belum nampak kesadaran nasional dalam arti yang sebenarnya. Perancis, spanyol, dan italia memang terkenal sebagai negara kerajaan, namun belum sebagai nama nasional atau kebangsaaan. Pada masa itu pengertian Perancis baru ditunjukan pada pengertian dinasti atau kerajaan, maksudnya bahwa semua wilayah yang mendiami dari bangsa manapun harus taat dan tunduk kepada kekuasaan dinasti. Demikian pula kebanyakan penduduk mempunyai semacam keinsyafan bahwa penguasa tertinggi mereka adalah seorang raja Perancis yang kedudukannnya sangat tinggi dan jauh diatas singgasana, tetapi tidak ada hubungan dengan kehidupan mereka sehari hari. Perasaan dan juga pengakuan memiliki suatu negara kebagsaaan belum terbangun, hal itu antara lain juga dialami oleh orang orang Jerman (M.H Sundoro, 2007:211)
Pertumbuhan kebangsaan dalam wujud kebangkitan negara kebangsaan mulai tampak secara serentak dengan kesadaran kebangsaan dan kepatriotan pada abad ke 16. Selama beberapa abad sebelum itu eropa memiliki berbagai bangsa yang menggunakan bahasa berlainan, kesadaran memiliki negara kebangsaan belum nampak. Mereka masih setia pada pimpinan tentara, kaum feodal di daerah masing masing atau negara Kristen secara keseluruhannya. Semangat kebangsaan eropa mulai tergugah dalam semangat perang salib. Penyebaran tentang betapa pentingnya arti suatu negara dan meliki kesadaran berbangsa pada waktu itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Mereka mengajarkan kepada bangsa Eropa untuk mengatasi rasa kedaerahan dan memperoleh pengetahuan bahasa, sehinga mereka tidak hanya terkungkung dalam mengunakan bahasa bahasa sendiri. Orang orang eropa sangat membanggakan atas dirinya sendiri dan merendahkan bangsa lainnya (Winarni, 2013:148).
Nasionalisme modern diduga mencul pertama kali di Inggris pada abad ke 17 yang ditandai dengan "The Glorius Revolution" pada tahun 1689, dimana parlemen Inggris berhasil memaksakan "Bilt of Right" oleh raja Wilhem III dan Mary II, yang meyebabkan parlemen menganggap dirinya sebagai wakil seluruh rakyat Inggris dan raja dimahkotai oleh parlemen. Inggris disamping itu juga memutuskan hubungan gerejanya dengan Paus selaku pimpinan tertinggi gereja Katolik seluruh dunia yang berkeudukan di Roma. Nasionalisme bergerak dari Inggris kemudian berkembang ke Amerika Utara abad ke 18 dan ke Eropa abad ke 18 – 19 melalui para politisi, negarawan, dan para pemikir seperti John Locke, Thoms Jefeferson, Voltaire, J.J Rousseau, Montesquieu, dll. Salah satu pilar perkembangan nassionalisme di Eropa abad ke 18 adalah ketika kaum nasionalis Perancis melancarkan revolusi tahun 1789. Sejak revolusi Prancis tersebut nasionalisme mewabah ke seluruh Eropa, bahkan Dunia. Faham Nasionalisme pun terus berkembang sejalan dengan tantangan zaman dan lokasi perkembangannya. Diantaranya nasionalisme difahami sebagai ideologi.
Nasionalisme modern terjadi dalam abad ke – 17 di inggris sebagai bangsa yang memiliki kedudukan pemimpin di Eropa. Inggris menjalankan pimpinannya justru dilapangan-lapangan yang memberi corak khusus abad modern, dan membuatnya sangat berbeda dengan zaman-zaman yang mendahuluinnya, dalam semangat ilmiah, dalam faham-faham dan kegiatan-kegiatan politik, dan dalam usaha-usaha perniagaan. Kemungkinan-kemungkinan baru yang terbaru mengilhami bangsa inggris, sehingga bangsa inggris merasa bahwa ia memiluk tugas sejarah. Asas tradesi kekuasaan Gereja dan Negara untuk pertama kalinyamendapat tantangan dari revolusi-revolusi Inggris abad ke-17 atas nama kemerdekaan manusia,
Pengaruh faham puritan menyebabkan tiga cita-cita pokok nasionalisme Yahudi dihidupkan lagi, yaitu menganggap bangsanya sebagai bangsa yang terpilih. Bangsa inggris menganggap dirinya adalah Israel yang baru, Nasionalisme Inggris dengan demikian lahir dari kandungan yang bercorak keagamaan dan dalam hal ini mempertahankan corak aslinya. Nasionalisme Inggris terjadi secara damai antara nasionalisme dan agama, dan berwujud pada kemerdekaan individu. Hal ini dapat ditelusuri pada pemikiran John Milton (1608-1674). Nasionalisme menurut dia bukan perjuangan untuk kebebasan kolektif karena penindasan bangsa asing, tapi nasionalisme adalah pengakuan kemerdekaan perseorangan dari kekuasaan. Kebebasan diri pribadi dari Gereja dan pemerintahan, dan pembebasan manusia dari penindasan perbudakan dan takhayul.
Oliver Crowmwell (1599-1658), menyerukan pentingnya kemerdekaan hati nurani, dan kemerdekaan warga negara pada tahun 1654. Gereja merdeka menghendaki negara merdeka pula. Revolusi puritan memang dikalahkan oleh restorasi, tetapi cita-cita pokonya tiga puluh tahun kemudian dihidupkan dalan Gloria Revolution, yang menetapkan kekuasaan hukum berada diatas, kekuasaan tersbesar ada pada parlemen dalam membuat undang-undang , sifat tidak memihak di peradilan, jaminan hak-hak perseorangan, kemerdekaan berfikir, kemerdekaan pers, dan toleransi beragama. Glorius Revolution telah mengangkat dan melahirkan kemerdekaan – kemerdekaan baru yang menjadi azas bersama sebagai bangsa dan mengikatnya dalam tradisi sejarahnya sebagai hak-hak sejati dari bangsa di daerah ini. Glorius Revolution menciptakan iklim perdamaian, musyawarah, dan kompromi dan hanya dalam iklim sedemikian itu demokrasi-nya bisa meresap ke dalam kehidupan nasional.
Nasionalisme Inggris abad ke-17 bersamaan dengan munculnya golongan tengah, terutama kelompok pedagang, yang keduanya dinyatakan dalam filsafat politik John Locke ( 1632-1704). Yang menyimpulkan bahwa manusia dan kebangsaan. Perbudakan menurut Locke adalah suatu keadaan yang sangat hina bagi manusia, dan bertenangan dengan hak asasi manusia. Filsafat John Locke mengemukakan bahwa kemerdekaan individu, kemuliaan dan kebahagiaanya adalah unsure-unsur asasi dari kehidupan nasional, dan bahwa pemerintahan suatu bangsa adalah kepercayaan moral yang tergantung pada izin dari rakyat yang diperintahnya. Semangat nasionalisme di Inggris dapat dikatakan memasuki semua lembaga dan menciptakan semangat hidup antara golongan yang memerintah dan rakyat.
Para filsuf Perancis dalam abad ke-18 dengan pengaruh Liberal di Inggris berjuang melawan kekuasaan pemerintah yang terlalu besar, melawan intoleransi, dan pengawasan dari pihak gereja dan negaranya. Pengaruh Inggris kepada Perancis diperkuat diperkuat oleh kunjungan Voltaire dalam tahun 1726-1729 dan laporannya mengenai kehidupan dan kemerdekaan di Inggris tak hanyab penting bagi Perancis dalam abad ke-18. Perancis selama dua ratus tahun adalam pemimpin Intelektual di Benua Eropa. Revolusi Perancis semula diilhami oleh teladan Inggris mengenai kemerdekaan konstitusional dan kekuasaan pemerintah yang dibatasi, akan tetapi di Perancis tradisi yang sudah biasa dengan kekuasaan bahkan kekuasaan yang tak terbatas hanya sedikit sembangannya dalam mempersiapkan rakyat untuk pemerintahan sendiri dan untuk membatasi kekuasaan raja.
Kedaulatan mutlak raja dalam perkembangan revolusi diganti dengan kedaulatan mutlak rakyat. Orang-orang Perancis berpegang pada paham Rousseau yang menuntut adanya suatu semangat patriotic bersama dan kemauan rakyat yang dibangkitkan. Nasionalisme Revolusi Perancis mengaskan bahwa kewajiban dan kemuliaan warga negara terletak dalam kegiatan politiknya dan penuaian kewajiban-kewajibannya dalam persatuan sepenuhnya dengan negara kebanggaannya. Berbagai faktor pendorong,perkembangan kesadaran nasional rakyat Perancis dan mendorongnya untuk melancarkan Revolusi. Faktor pertama yang berhasil menimbulkan kesadaran nasional rakyat Perancis adalah disebarluaskannya ide-ide atau faham baru dari zaman pencerahan, terutama ide-ide Rosseau, Montesquieu, Voltairedan juga John Locke dan Inggris serta faham hak asasi manusia dari Revolusi Amerika. Ajaran Montesquieu mengatakan bahwa perlu adanya pembagian kekuasaan menjadi tiga lembaga, perlunya negara mempunyai dan mendsarkan diri pada konsitiusi, dan pemerintahan yang berdasarkan hukum. Demikian juga ajaran John Locke, Montesquieu, Voltaire dan Revolusi Amerika telah mengajarkan pada rakyat perlunya hak-hak asasi manusia dan hak warga negara dihormati serta ditaati bersama dalam bernegara. Semua itu mendiring Revolusi untuk menumbangkan sistem lama (ancien regime.
Montusquieu dan Rosseau berpendapat bahwa, untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa harus dimulai sejak masa kanak-kanak dengan cara mendidik mereka dengan konsep pendidikan nasional. Hal ini juga untuk menekankan betapa pentingnya perananan pendidikan untuk menanamkan pendidikan. Pendorong kedua adalah bidang politik. Hal ini dikaitkan dengan kekuasaan Raja Louis XVI, meskipun sebenaranya secara formal berkuasa mutlak, namun dalam kenyataannya bukan dia yang mengambil kebijakan politik, tetapi orang-orang disekitanya tetap merasakan kesewenangan raja.
Faktor ketiga adalah factor ekonomis, Revolusi Perancis meletus bukan karena rakyat secara umum miskin, tetapi justru rakyat hidup cukup makmur, sebaliknya pemerintah justru yang miskin. Pemerintah yang miskin ini tampak jelas dari realita bahwa sejak pertengahan abad ke-18 pemerintah selalu mengalami anggaran belanja dan pendapatan deficit. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, terutama pemborosan pihak istana sendiri, dan perang suksesi yang melibatkan Perancis, contoh1702-1713, perang suksesi spanyol 1735-1738, perang suksesi polandia 1740-1748, perang suksesi Austria 1745-1763, perang tujuh tahun 1778-1783, perang kemerdekaan Amerika Serikat.
Defisit kas negara semakin bertambah, dan sejak 1783 tidak lagi ditutup dengan pajak dari golongan ketiga. Oleh karena itu sejak menteri keuangan Collone, Lamonie di Brienne, Tugot akhirnya Necker ingin memasukkan pajak tidak hanya dari golongan ketiga tetapi juga berasal dari semua kalangan termasuk golongan bangsawan besar pejak dilipatgandakan. Rencana ini mendapat dukungan raja, dan raja segera memanggil sidang Etats Generaux pada tanggal 5 Mei 1789. Siding ini menjadi kancah perdebatan sengit antara ketiga golongan karena mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda. Kaum bangsawan menolak rencana raja, sementara golongan ketiga dengan berbagai alasan menghendaki agar siding mengadakan pembahasan secara menyeluruh terhadap seluk beluk pemerintahan. Factor keempat adalah factor sosial, yaitu adanya perbedaan atau pembagian anggota masyarakat dalam beberapa golongan, dimana pembagian itu disertai hak dan kewajiban yang berbeda pula. Dalam hal ini rakyat perancis abad -18 yang tegabung dalam golongan ketiga menentang dan tidak senang terhadap golongan pertama.
Karakteristik dan Bentuk Nasionalisme
Karakteristik Nasionalisme
Karakteristik Naionalisme yang melambangkan kekuatan suatu negara dan aspirasi yang berkelanjutan, kemakmuran, pemeliharaan rasa hormat dan penghargaan untuk hukum. Nasionalisme tidak berdasarkan pada beberapa bentuk atau komposisi pada pemerintahan tetapi seluruh badan negara, hal ini lebih ditekankan pada berbagai cerita oleh rakyat atau hal yang lazim, kebudayaan atau lokasi geografi tetapi rakyat berkumpul bersama dibawah suatu gelar rakyat dengan konstitusi yang sama. Karakteristik nasionalisme diantaranya:
Membanggakan pribadi bangsa dan sejarah kepahlawanan pada suatu Negara.
Pembelaan dari kaum patriot dalam melawan pihak asing.
Kebangkitan pada tradisi masa lalu sebagai bagian mengagungkan tradisi lama karena nasionalisme memiliki hubungan kepercayaan dengan kebiasaan kuno. Seperti nasionalisme orang mesir bahwa kaum patriot harus memiliki pengetahuan tentang kebudayaan mesir yang tua dan hebat untuk menjaga kelangsungan dari sejarah.
Suatu negara cenderung mengubah fakta sejarah untuk kemuliaan dan kehebatan negaranya.
Ada spesial lambang nasionalisme yang diberikan untuk sebuah kesucian. Bendera, lambang nasionalisme dan lagu nasionalisme merupakan hal yang suci untuk semua umat manusia sebagai kewajiban untuk pengorbanan pribadi.
2.3.2 Bentuk Nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan yang populer berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut. Beberapa betuk nasionalisme yakni antara lain :
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, kehendak rakyat; perwakilan politik. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia Mengenai Kontrak Sosial).
Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.
Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semula jadi (organik) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.
Nasionalisme budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya sifat keturunan seperti warna kulit, ras dan sebagainya.
Nasionalisme kenegaraan adalah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.
Nasionalisme agama Adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan.
Perkembangan Nasionalisme di Dunia
Setelah Perang Dunia Pertama
Kongres perdamaian Wina tahun 1814 berusaha menahan tenaga-tenaga revolusioner nasionalisme. Namun di seluruh abad ke sembilanbelas tenaga-tenaga ini berkembang; perjanjian-perjanjian perdamaian tahun 1919 berarti hancurnya seluruh tata tertib da sistem yang diciptakan di Wina. Di seluruh Eropa Tengah dan Eropa Tengah-Timur negara-negara kebangsaan baru timbul dan negara-negara kebangsaan lama yang timbul dalam abad ke sembilanbelas diperluas sesuai dengan prinsip-prinsip menentukan nasib kebangsaan sendiri. Namun, harapan-harapan angkatan 1848 bahwa kemerdekaan nasional membawa perdamaian dan kemerdekaan, harapan pada umumnya dianut oleh pendapat umum amerika serikat dan oleh Presiden Woodrow Wilson tidak terpenuhi. Menurut tradisi-trsdisi intelektual dan struktur Barat modern, nasionalisme merupakan suatu pergerakan untuk menciptakan masyarakat yang lebih terbuka dan untuk mendapatkan kebahagiaan perseorangan, untuk menjamin kemerdekaan-kemerdekaan warganegara, untuk membebaskan akal dan pikiran.
Sesudah Perang Dunia II, nasionalisme kurang berkuasa di Barat. Kehendak untuk menuju ke kerjasama supra neagara berkembang dengan cepatnya: Uni Eropa Barat dan Masyarakat Atlantik mengandung lebih banyak harapan untuk menjamin perdamaian dan memperluas kemerdekaan perseorangan daripada nasionalisme. Dalam pada itu, di Timur, Komunisme menonjolkan kedaulatan nasional seperti yang belum pernah terjadi. Di sana nasionalisme menjadi tenaga yang terkuat dan khusus. Ketika nasionalisme menjalar ke Eropa Timur dan kemudian ke Asia, ke negeri-negeri yang tradisi-tradisinya berlainan dengan tradisi-tradisi Barat dan sering bertentanagan dengan cara-cara hidup barat, nasionalisme menuju ke masyarakat tertutup, di mana individu kurang berharga dibandingkan dengan seluruh kekuatan dan kekuasaan nasional. Nasionalisme dianggap obat untuk menyelsaikan semua masalah dan kecondongan untuk cepat-cepat mau bertindak dan menggunakan kekerasan membuat nasionalime itu mudah terpegaruh oleh komunisme.
"Pembebasan" banyak bangsa-bangsa di abad ke-20 tidak memperkuat kecondongan ke perdamaian dan kemerdekaan. Bangsa-bangsa yang menuntut supaya terlepas dari tindasan sering sendiri menjadi penindas. Oertengkaran-pertengkaran yang tak terbilang banyaknya mengenai perbatasan-perbatasan seajarah dan alami muncul. Sistem keamanan yang sudah ada sejak lama yang berantakan menghadapi asas-asas perdamainan baru, diletakkan di atas alas yang lebih sehat. Di lingkunagn beberapa negara baru yang daerahnya diperluas Polandia, Cekoslowakia, Italia, Yugoslavia, dan Rumania berdiam golongan-golongan minoritas yang dendam dan sakit hati. Suatu penemuan besar yang mempunyai kemungkinan hidup subur internasional adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat setelah Perang Dunia I yang menetapkan untuk menjamin perlindungan atas minoritas adanaya hak mengawasi dan campur tangan dari pihak Liga Bangsa-bangsa.
Akan tetapi, nasionalisme menghalang-halangi lancarnya perlindungan ini. Bahkan bangsa-bangsa yang berkuasa di negara-negara kebangsaan baru Cek dan Slowak, Serbia dan Kroat di Yugoslavia saling bermusuhan meskipun mereka sejenis bangsa dan menggunakan bahasa yang termasuk dalam stu keluarga bahasa. Rasa saling bermusuhan dan iri di anatara negara-negara kebangsaan baru menghalangi-halangi kerjasama di lapangan politik dan ekonomi; hal ini memungkinkan Eropa Tengah dan Eropa Timur ditundukkan mula-mula oleh Jerman Nasional Sosialis dan kemudian oleh Rusia Komunis. Kemerdekaan dan kedaulatan nasional yang berkembangbiak dan dikhususkan setelah dan sebagai akbat dua Perang Dunia, tidak menjadi rumus-rumus yang terpercaya bagi kemerdekaan individual yang lebih besar dan perdamaian internasional yang lebih kekal.
Nasionalisme di Timur Tengah
Perang Dunia Pertama menyempurnakan pecah belahnya Imperium Ottoman (Turki). Di atas reruntuhan itu nasionalisme Yunani berhasrat menciptakan kembali Yunani Raya zaman Purba dan Imperium Byzantium. Tentara-tentara Yunani pada tahun 1919 mendarat di Asia kecil sebelah barat (Anatolia), tempat berdidrinya kota-kota masyhur Yunani di zaman purba. Penduduknya, yang tidak sedikit jumlahnya beragama Orthodokx dan pada umumnya mereka itu makmur. Penyerbuan dalam jantung negara Turki ini mengakibatkan semangat nasionalisme di anatra kaum petani Turki. Di bawah pimpinan Mustafa Kemal, yang kemudian bernama Kemal Ataturk (1881-1928), pada tahun 1922 mereka memukul mundur tentara Yunani. Kemenangan ini menjamin kemerdekaan nasional dan kedudukan sama derajat bangsa Turk yang sudah agak lama tak dikenal oleh mereka. Salah satu pasal perjanjian perdamaian Turki-Yunani menetapkan bahwa kedua pihak harus tukar-menukar penduduk secara paksa.
Kaula Yunani yang beragama Islam harus pindah ke Turki, dan Kaula Turki yang beragma Yunani Orthodokx, yang jumlahnya jauh lebih besar dan jauh lebih makmur dipindahkan ke Yunani. Meskipun adanya kenang-kenangan yang menyakitkan hati yang ditinggalakan oelh peperangan dan pengusiran dari daerahnya, pemerintah-pemerintah Yunani dan Turki berhasil menciptakan hubungan yang bersifat persahabatan anatara kedua bangsa, dan memperkokoh kerjasama di lapanagan politik dan militer. Hal ini disebabkan karena pemerintah-pemerintah kedua negara telah meninggalkan sama sekali cita-cita perluasan daerah dan semua ambisi untuk membangun kembali keajayaan purba. Tak kalah pentingnya ialah perubahan-perubahan dalam negeri yang diselnggarakan oleh Kemal Ataturk. Ia merubah struktu keagaman model abad pertengahan, merubah Turki menjadi republik keduniaan modern, memasukkan perundang-undagan Barat, dan meletakkan dasar-dasar pembaratan dan pendemokrasiaan kahidupan Turki.
Contoh teladan Turki ini diikuti oleh tetangganya, yakni Iran, dan mempengaruhi pula rakyat-rakayat Islam lainnya yang statusnya cepat berubah stelah tahun 1920.Menjelang Perang Dunia I, hanya ada 3 negara merdeka Islam. Dua diantaranya, Turki dan Irang yang katiga yakni Afganistan. 40 tahun kemudian, Turki dan Iran mencapai kedudukan yang sukar dibayangkan pada tahun 1914. Afganistan menuju ke arah moderniasasi, dan serangkaian bangsa-bangsa Islam merdeka yang didahului oleh beberapa bangsa di tahun 1914, menjelma dari Afrika Utaraa samapai Lautan Selatan yakni; Lybia, Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Syria, Irak, Pakistan, dan Indonesia.
Akan tetapi meskipun ada rasa persaudaran karena sesama agama Islam namun nasionalisme politiklah yang merupakan tenaga yang lebih besar. Percobaan-percobaan untuk menghidupkan kembali Kalifah, (yang Dihapuskan oleh Mustafa Kemal di Turki pada tahun 1924) sebagai suatu pergerakan pan-islam bedasarkan kota Suci Mekkah di bawah pimpinan Arabia, gagal. Orang-orang Arab adalah penyokong-penykong asli agama dan kalifah. Nasionalisme dan perasaan iri di anatra berbagai negara Islam dan pimpinan-pimpinannya terlalu kuat untuk memberi hasil politik dari pertalian agama ini. Hanya di anatra negara-negara Arab ada hubungan yag lebih berdasarkan persamaan bahsa dan tradisi dan karena mereka bersama-sama memusuhi dan cemas terhadap Israel.
Nasionalisme di Asia
Timur tengah telah berhubungan dengan Barat sejak berabad-abad yang lalu: Islam dan Kristen mempunyai dasar-dasar sama, yakni Yudaisme dan peradaban Yunani. Lain halnya dengan India dan Timur Jauh. Daerah-daerah ini hubungannya dengan Barat boleh dikata belum ada dua abad lamanya. Yakni suatu hubungan yang dipaksakan oleh Eropa dan Asia. Dari sejak peperangan-peperangan antara Imperium Persia dan Yunani, penyerbuan bangsa Hun dan Mongol, dan akhirnya pengepungan Wina oleh tentara-tentara Turki, Eropa telah diserang oleh Asia. Baru di masa-masa yang akhir ini arahnya berbalik. Kemajuan Barat dan kelemahan-kelemahan peradapan Timur memungkinkan Eropa memperluas kekuasaannya di seluruh pelosok dunia dalam abad ke delapanbelas dan ke sembilanbelas, dan bersama dengan datangnya orang-orang Eropa datang pula caa-cara Barat mengenai organisasi politik dan ekonomi. Kepercayaan Barat akan kebebasan dan rasinalitas mempengaruhi lapisan atas bangsa-bangsa bukan-Barat, mula-mula di Rusia, kemudian di Asia, dan melepaskan mereka dari cara hidup yang terkungkung oleh adat.
Kecakapan Barat di lapangan administrasi, kejujuaran sistem pengadilan dan kebebasan yang teratur sebagian dioper oleh kaum elite bukan-Barat; dalam pada itu, keunggulan Barat meninggalkan perasaan dendam yang mendalam. Karena berhubungan dengan Barat modern, peradaban-peradaban dan rakyat-rakyat Asia bangun kembali dan timbul kekuatan barunya. Justru karena diterimanya cara-cara Barat yang mengakibatkan kebangunan kembali bangsa bumi-putra, maka sama ekspansi Barat yang tak begitu lama baru-baru ini hampir-hampir mengalami akhirnya.Dalam proses sejarah ini Onggris berdiri paling depan. Peradaban liberalnya, yang di abad-abad yang lalu mempengaruhi perkembangan kemerdekaan konstitusional di Eropa, memasukan semangat dan jiwa baru di Asia dan kemudian di Afrika.
Inggris mulai dengan perubahan-perubahan konstitusional di negeri-negeri jajahannya dan menambah fasilitas untuk pendidikan dan perkembagan ekonomi. Ia memberi contoh dalam hal membebaskan bangsa-bangsa yang terjajah dengan jalan memberikan kemerdekaan kepada Mesir (1922, disempurnakan pada tahun 1936) dan kepada Irak (1932). Teladan ini diikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1934, ketika kongres menjanjikan akan memberi kemerdekaan kepada Philipina setelah melewati masa-peralihan duabelas tahun. Proses ini mencapai puncaknya pada akhir Perang Dunia II ketika India, Pakistan, Sailan dan Birma menjadi negara-negara merdeka. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri, inggris memberi contoh adanya suatu organisasi politik yang menyesuaikan dirinya dengan perasaan umum dunia yang berubah, tanpa verteori berdasarkan doktrin-doktri, dan yang mendapatkan kekuatannya daripada cita yang suka memajukan evaluasi teratur dan kemerdekaan-kemerdekaan individual di mana-mana.
Nasionalisme di Asia Timur
Dalam setengah abad dari tahun 1885 sampai 1935 seluruh pemandangan politik di Asia berubah. Kejadian penting yang menyebabkan perubahan ialah kemenangan Jepang atas Rusia dalam tahun 1905. Peristiwa ini membuktikan kemungkinan menangkan bangsa terbelakang dengan menggunakan cara-cara, teknik dan organisasi Barat, atas Negara militer Eropa yang besar yang sampai pada waktu itu telah menundukkan lebih banyak daerah Asia dibandingkan dengan imperium putih yang manapun juga dan yang mengancam akan menguasai Mongolia, Mancuria, Tiongkok Utara dan seluruh Korea. Kemenangan yang tak terduga ini membangunkan harapan-harapan baru dan menggerakkan rakyat-rakyat Asia dan Afrika dalam suatu kesadaran diri baru.
Kejadian kepulauan kecil di Asia Timur setelah berusaha setengah abad lamanya mencapai kedudukan yang sama dengan Negara-negara Barat dan sekarang menyamai atau melebihi mereka dalam menjalankan politik colonial dan imperialisnya. Apakah rakyat-rakyat terbelakang lainnya akan mengikuti contoh ini? Setelah Jepang menang, maka berbagi pergerakan nasionalisme yang menghasratkan perubahan-perubahan merajalela di seluruh Asia. Di Turki, Irian dan Tiongkok, kekuasaan-kekuasaan teokrasi yang sudah lanjut usianya susut menghadapi tekanan-tekanan pergerakan nasionalisme revolusioner. Maha penting ialah Revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Sun Yatsen yang membentuk Partai Kuomintang (Partai Rakyat Nasional) yang merumuskan San Min Chu I (Tiga Prinsip Rakyat) yang harus membimbing pembangunan bangsa dan Negara Tiongkok.
Dalam bulan Januari 1919, ia menyerukan kepada patriot-patriot Tiongkok untuk mengikuti jejaknya dan mengambil sumpah: Saya dengan tulus dan sungguh-sungguh bersumpah di muka umum bahwa sejak saat ini saya akan menghancurkan yang lama dan membangun yang baru, dan berjuang untuk hak menentukan nasib rakyat sendiri, dan akan menggunakan semua kekuatan dan tenaga saya untuk menyokong dan membela Republik Tiongkok dan perwujudan demokrasi dengan Tiga Prinsip: untuk kemajuan suatu pemerintahan, kebahagiaan dan perdamaian rakyat yang abadi, dan untuk memperkuat asas-asas Negara atas nama perdamaian di seluruh dunia.
Akan tetapi di Tiongkok dan Negara-negara Timur lainnya tak ada asas-asa bagi demokrasi liberal dan kebangsaan modern. Tenaga –tenaga yang menjaga tata-tertib tradisi dihancurkan, sebelumnya ada tenaga-tenaga baru yang menggantikannya. Keadaannya lain di Jepang dan di Turki dimana golongan berkuasa yang lama tetap kuat dan membimbing perubahan-perubahan itu, dan di India serta Sailan dimana pemerintahan Inggris berpuluh-puluh tahun lamanya melatih korps kepegawaian bumiputera serta membangun golongan besar kaum terpelajar yang cakap berilmu dan jujur. Meskipun di Tiongkok ada kekacauan politik, hubungan erat dengan Barat menghasilkan renaissance kebudayaan gilang-gemilang, dalam suasana yang sudah biasa dengan tradisi kesarjanaan. Mahasiswa-mahasiswa yang mendapat didikan di luar negeri setibanya di tanah hair, membangkitkan suatu gelombang pemikiran yang kreatif yang meskipun hanya berlangsung sepuluh tahun dari tahun 1916 sampai tahun 1926 merubah wajah Tiongkok Muda. Sebelum itu, semua pelajaran menuruti garis-garis klassik dengan memakai bahasa yang tak dipergunakan lagi sejak tahun yang lalu dan sama sekali tak dimengerti oleh rakyat.
Dalam suatu karangan di majalah bulanan Hsin Ching Nien (Angkatan Muda Baru) Hu Shih, seorang sarjana terkemuka Tionghoa, membela penggunaan bahasa umum sebagai bahasa kesusastraan. Bahasa nasional yang hidup telah dipopulerkan oleh mahasiswa-mahasiswa yang menggunakan dalam perjuangan patriotiknya melawan Jepang pada tahun 1919. Dengan cepat bahasa ini pun menjadi alat untuk member penerangan-penerangan kepada umum dan dipakai dalam pendidikan massa. Di Universitas Peking, Hu Shih dan para sarjana, orang-orang muda yang telah dilatih di Barat mulai dengan meneliti secara kritis warisan kebudayaan Tiongkok. Meskipun ada kesengsaraan umum, demekian tulis Richard Wilhelm dalam tahun 1927, di Tiongkok telah dilaksanakan suatu pekerjaan raksasa, yang hampir tak diketahui oleh dunia meskipun baru berjalan dalam beberapa tahun saja, yakni membentuk suatu bahasa dan sekolah-sekolah seragam.
Sekolah-sekolah Tiongkok sekarang merupakan alat untuk mempersatukan seluruh rakyat Tiongkok dengan menggunakan satu cara, dalam suatu keselarasan masyarakat kebudayaan, seperti yang belum pernah terjadi dalam beribu-ribu tahun sejarah Tiongkok. Nasionalisme Tiongkok di bawah pimpinan Chiang Kaisek (lahir 1886), pengganti Sun Yat-sen sebagai pemimpin Kuomintang, dan nasionalisme Korea di bawah nasionalis jago tua Syngman Rhee berjuang untuk kemerdekaan nasional dan persatuan melawan usaha-usaha Jepang untuk menguasai seluruh Asia Timur. Jepang tak berhasil mencapai puncaknya akan tetapi kekacauan-kekalahannya membuka jalan bagi nasionalisme komunis yang bersifat mementingkan kekuasaan. Bukankah komunisme kawan seperjuangan melawan imperialism dan kapitalisme barat? Pola kekuasaannya lebih sesuai dengan tradisi-tradisi bumiputera daripada kemerdekaan individual; perasaan dendam-kesumat mereka memperoleh kegembiraan dalam hasratnya untuk mengikuti jejak rusia menuju pembangunan industry berat dan memperoleh kedudukan sebagai Negara besar yang lebih unggul dari Barat.
Sejarah Nasionalisme Indonesia
Sejarah Nasionalisme Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembanganya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia ke II yaitu dengan di proklamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti pembentukan nation Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. Timbulnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan disebut nasionalisme Indonesia. Tahun 1799 pemerintah hindia belanda mengeksploitasi ekonomi dan penetrasi politik sampai pada tahun 1830 dengan memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi "sewa tanah" tetapi mengalami kegagalan.
Kemudian diganti dengan sistem tanam paksa yang mengintensifkan sistem tradisisonal yang terdapat dalam ikatan feodal, ini terjadi pada pertengahan abad XIX. Kemudian pada awal abad XX menggantinya dengan "politik balas budi atau politik etis." Dalam politik etis terdapat usaha memajukan pengajaran bagi anak-anak indonesia. Sehingga memunculkan beberapa respons yang positif dari generasi bangsa Indonesia, yaitu dengan dipelopori oleh berdirinya organisasi yang bersifat nasional dalam lingkup Indonesia yang tidak lagi mementingkan primordial wilayah wilayah atau daerahnya sendiri dengan tujuan agar Indonesia merdeka dari kolonialisme, yakni antara lain berdirinya organisasi :
Budi Utomo.
Sarekat Islam
Partai Nasional Indonesia (PNI)
Indische Partij, dll.
Dari masa tumbuhnya organisasi nasional ini yang tumbuh dari perasaan senasib dan sependeritaan akibat penjajahan. Walaupun dari suku, agama, dan ras yang majemuk tetapi satu bangsa dan berusaha membebaskan diri dari penderitaan tersebut dengan cita-cita mewujudkan masa depan yang lebih baik yakni Indonesia merdeka.
Sejarah Nasionalisme Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia bentuk gerakan nasionalisme adalah dalam wujud perlawanan fisik dan upaya diplomasi bangsa Indonesia dalam upaya untuk mempertahankan kedaulatan RI. Adapun bentuk-bentuk dari wujud nasionalisme rakyat Indonesia yaitu: Peristiwa pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya, peristiwa Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa, Konferensi Linggar Jati, Konferensi Renville, serta KMB. Termasuk di dalamnya upaya penanggulangan pemberontakan dari dalm negeri seperti: DI/ TII, PRRI/ Permesta, RMS baik Belanda maupun para pemberontak adalah sama-sama musuh bersama bangsa Indonesia yang harus dilawan demi menegakkan kedaulatan negera RI. Pada tahun 1963, Soekarno menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia karena menganggap itu sebagai proyek neo-kolonialisme Inggris yang dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai.
Maka pada saat itu bangsa Indonesia di kondisikan untuk kemudian menganggap Malaysia sebagai musuh bersama bangsa Indonesia dan harus dilawan, yang kemudian melahirkan ultimatum Ganyang Malaysia. Tahun 1966, gerakan nasionalisme Indonesia dimanifestasikan dengan menciptakan musuh bersama PLI dan Orla. Dalam era Reformasi 1998 sampai sekarang, gerakan nasionalisme menampakkan wujudnya dalam wajah yang baru dan berbeda dari model nasionalisme pada masa rezim Soekarno yakni dalam bentuk perlawanan terhadap represi politik rezim yang berkuasa dan dalam perlawanan daerah terhadap pusat. Tragedi 12 Mei 1998 terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, dan 1 Januari 2001 saat diberlakukannya OTODA merupakan momentum puncak dari gerakan nasionalisme pada masa transisi menuju demokrasi di Indonesia.
Perkembangan Nasionalisme di Indonesia
Dalam sejarahnya, nasionalisme Indonesia melalui beberapa tahap perkembangan. Tahap pertama ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penjajah, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Nasionalisme religious dan nasionalisme sekuler agaknya muncul setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Upaya dari kelompok islam untuk mendirikan negara yang berlandaskan islam dan kalangan nasionalisme yang ingin mempertahankan Negara sekuler berdasarkan pancasila dijadikan patokan untuk menganalisis kesadaran kebangsaan atau persaan nasionalisme bangsa.
Tahap kedua adalah bentuk nasionalisme Indonesia yang merupakan kelanjutan dari semangat revolusioner pada masa perjuangan kemerdekaan dengan peran pemimpin nasional yang lebih besar. Tahap ketiga adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan yaitu kelompok oposisi atau mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah disingkirkan akan mengancam persatuan dan stabilitas.Tahap keempat adalah nasionalisme kosmopolitan yaitu nasionalisme yang disemangati oleh multikulturalisme. Hal ini dapat dilihat dari multikulturalisme merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses mengglobalnya demokrasi, proses perkembangan baru dari mundurnya modernisme dan berpengaruhnya postmodernisme, dan bagian yang tak terhindarkan dari runtuhnya sekat-sekat primordialisme saat ini.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat, bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda beda. Akan tetapi, baru pada akhir abad 18 nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang di akui secara umum (Hans Kohn, 1979:11). Nasionalisme modern diduga mencul pertama kali di Inggris pada abad ke 17 yang ditandai dengan "The Glorius Revolution" pada tahun 1689. Karakteristik Nasionalisme ada beberapa hal yakni antara lain :
a. Membanggakan pribadi bangsa dan sejarah kepahlawanan pada suatu Negara.
b. Pembelaan dari kaum patriot dalam melawan pihak asing.
c. Kebangkitan pada tradisi masa lalu sebagai bagian mengagungkan tradisi lama karena nasionalisme memiliki hubungan kepercayaan dengan kebiasaan kuno. Seperti nasionalisme orang mesir bahwa kaum patriot harus memiliki pengetahuan tentang kebudayaan mesir yang tua dan hebat untuk menjaga kelangsungan dari sejarah.
d. Suatu negara cenderung mengubah fakta sejarah untuk kemuliaan dan kehebatan negaranya.
e. Ada spesial lambang nasionalisme yang diberikan untuk sebuah kesucian. Bendera, lambang nasionalisme dan lagu nasionalisme merupakan hal yang suci untuk semua umat manusia sebagai kewajiban untuk pengorbanan pribadi.
Nasionalisme mengalami banyak perkembangan, juga termasuk Indonesia yang mempuyai beberapa tahap. Tahap pertama ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penjajah, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Tahap kedua adalah bentuk nasionalisme Indonesia yang merupakan kelanjutan dari semangat revolusioner pada masa perjuangan kemerdekaan dengan peran pemimpin nasional yang lebih besar. Tahap ketiga adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan yaitu kelompok oposisi atau mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah disingkirkan akan mengancam persatuan dan stabilitas.Tahap keempat adalah nasionalisme kosmopolitan yaitu nasionalisme yang disemangati oleh multikulturalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Kohn, Hans. 1979. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: P.T. Pembangunan.
M.H. Sundoro. 2007. Dari Renaissance Sampai Imperilis modern: Sejarah Peradaban Barat Abad Modern Bagian Pertam. Jember: Jember University Press.
Winarni, Retno. 2013. Sejarah Pemikiran Modern. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
http://setyamecca.blogspot.co.id/2014/06/nasionalisme-indonesia.html
http://uinam128.blogspot.co.id/2015/05/pengertian-nasionalisme-bangsa-indonesia.html