PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 (PPh Pasal 22)
PENGERTIAN Pajak Pajak Pengh Penghasi asilan lan Pasal Pasal 22 adala adalah h Pajak Pajak peng penghas hasila ilan n yang yang dipun dipungu gutt oleh oleh benda bendahar haraw awan an pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badanbadan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. DASAR HUKUM Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan PEMUNGUT PPh PASAL 22 Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1 Bank Devisa Devisa dan dan Direktor Direktorat at Jender JenderaI aI Bea Bea dan dan Cukai, Cukai, atas atas impor impor baran barang. g. 2. Direktorat Direktorat Jenderal Jenderal Anggaran Anggaran,, Bendah Bendaharaw arawan an Pemerintah Pemerintah baik di tingkat Pemerinta Pemerintah h Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang. 3. Badan Usaha Usaha Milik Negara dan dan Badan Usaha Milik Milik Daerah, yang melakukan melakukan pembelian pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4. 4. Bank Indones Indonesia ia (BI), Badan Penyeha Penyehatan tan Perbanka Perbankan n Nasional Nasional (BPPN), Badan Badan Urusan Logistik Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN. 5. Badan usaha usaha yang yang bergerak bergerak dalam dalam bidang bidang usaha usaha industri semen, industri industri rokok, rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. 6. Pertamina Pertamina serta serta badan usaha usaha lainnya lainnya yang bergerak bergerak dalam dalam bidang bidang bahan bakar bakar minyak jenis jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya. 7. Indust Industri ri dan dan ekspo eksporti rtirr yang yang berger bergerak ak dalam dalam sektor sektor perhu perhutan tanan an,, perke perkebun bunan an,, perta pertania nian n dan dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul. SUBJEK PPh PASAL 22 1. Importir 2. Reka Rekana nan n Peme Pemeri rint ntah ah 3. Konsume Konsumen n semen, semen, rokok, rokok, kertas, kertas, baja baja dan dan otomoti otomotif f 4. Para penyalu penyalurr dan/atau dan/atau agen Pertamina Pertamina dan Badan Badan Usaha Usaha selain Pertamin Pertamina a yang bergerak bergerak di bidang bahan bakar minyak dan Premix dan gas 5. Penyal Penyalur ur dan/at dan/atau au agen agen BULOG BULOG 6. Pedagang Pedagang Pengumpul Pengumpul dalam sektor perhutanan, perhutanan, perkebunan, perkebunan, pertanian pertanian dan perikanan OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 22 Besamya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut: a. Atas impor: 1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5 % dari nilai impor 2. Yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5 % dari nilai impor 3. Yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan penghitungan Bea Masuk yaitu Cost
Insura Insuranc nce e and and Freig Freight ht (CIF) (CIF) ditamb ditambah ah deng dengan an Bea Masuk Masuk dan dan pung pungut utan an lainn lainnya ya yang yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor b. Sebesar 1,5 % dari harga harga pembelian atas pembelia pembelian n barang barang yang dilakukan oleh : Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
1
1. Direktorat Direktorat Jenderal Jenderal Anggaran Anggaran,, Bendaha Bendaharawa rawan n Pemerintah Pemerintah baik di tingkat Pemerinta Pemerintah h Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah 2. Badan Badan Usaha Milik Milik Negara Negara dan Badan Badan Usaha Milik Milik Daerah, Daerah, dengan dengan dana yang yang bersumber bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) 3. Bank Bank Indone Indonesi sia a (BI), (BI), Badan Badan Penye Penyeha hatan tan Perbank Perbankan an Nasio Nasiona nall (BPPN) (BPPN),, Bada Badan n Urusa Urusan n Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bankbank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN. c. Atas penjua penjualan lan hasil hasil produksi produksi atau atau penyerah penyerahan an barang barang yang yang dilakukan dilakukan : 1. Badan Badan usaha usaha yang bergera bergerak k dalam industri industri kertas kertas pada pada saat penjual penjualan an di dalam negeri negeri,, tarif pungutannya sebesar 0,1% dari dasar pengenaan PPN 2. Badan Badan usaha usaha yang bergerak bergerak dalam dalam industri industri semen semen dan distribusi distribusi tungga tunggal/uta l/utama ma pada saat saat penjualan di dalam negeri tarif pemungutannya sebesar 0,25% dari dasar pengenaan PPN 3. Bada Badan n Usaha Usaha yang bergera bergerak k di bidang bidang Industr Industrii Baja Baja yang merupak merupakan an Industr Industrii Hulu Hulu atas penjualan di dalam negeri tarif pemungutannya 0,3% dari dasar pengenaan PPN. 4. Bada Badan n usah usaha a yang yang bergera bergerak k di bidang bidang industr industrii rokok rokok atas penjua penjualan lan di dalam dalam negeri negeri (kecua (kecualili bagi bagi bada badan n usaha usaha yang yang berger bergerak ak di bidan bidang g indus industri tri rokok rokok yang yang tergol tergolon ong g pengusa pengusaha ha pabrik pabrik hasil hasil tembaka tembakau u golonga golongan n kecil kecil sekali sekali sebagaim sebagaimana ana dimaksud dimaksud dalam dalam Keputus Keputusan an Menteri Menteri Keuang Keuangan an No.89/KMK No.89/KMK.05/ .05/200 2000 0 sebagai sebagaimana mana telah telah beberap beberapa a kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No.384/KMK.04/ 2001), 0,15% dari harga bandrol dan bersifat final 5. Bada Badan n usah usaha a yang yang berg berger erak ak di bida bidang ng indu indust stri ri otom otomot otif if atas atas penj penjua uala lan n semu semua a jeni jenis s kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN. 6. Perta Pertami mina na atas atas penju penjuala alan n hasil hasil prod produks uksiny inya a serta serta bada badan n usaha usaha lainn lainnya ya yang yang berger bergerak ak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut : SPBU Swastanisasi
Premium Solar Premix/Super Premix/Supe r TT Minyak Tanah Gas LPG Pelumas
0,3% dari penjualan 0,3% dari penjualan 0,3% dari penjualan
SPBU Pertamina
0,25% dari penjualan 0,25% dari penjualan 0,25% dari penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan
* Pungutan Pajak penghasilan Pasal 22 kepada penyalur/agen bersifat final. d. Atas pembel pembelian ian bahan-ba bahan-bahan han yang yang dilakukan dilakukan oleh Badan Badan usaha industri industri dan eksportir eksportir yang yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri industri atau ekspor dari pedagan pedagang g pengum pengumpul pul sebesar sebesar 0,5% dari harga pembelia pembelian n tidak tidak termasuk PPN.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
2
1. Direktorat Direktorat Jenderal Jenderal Anggaran Anggaran,, Bendaha Bendaharawa rawan n Pemerintah Pemerintah baik di tingkat Pemerinta Pemerintah h Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah 2. Badan Badan Usaha Milik Milik Negara Negara dan Badan Badan Usaha Milik Milik Daerah, Daerah, dengan dengan dana yang yang bersumber bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) 3. Bank Bank Indone Indonesi sia a (BI), (BI), Badan Badan Penye Penyeha hatan tan Perbank Perbankan an Nasio Nasiona nall (BPPN) (BPPN),, Bada Badan n Urusa Urusan n Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bankbank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN. c. Atas penjua penjualan lan hasil hasil produksi produksi atau atau penyerah penyerahan an barang barang yang yang dilakukan dilakukan : 1. Badan Badan usaha usaha yang bergera bergerak k dalam industri industri kertas kertas pada pada saat penjual penjualan an di dalam negeri negeri,, tarif pungutannya sebesar 0,1% dari dasar pengenaan PPN 2. Badan Badan usaha usaha yang bergerak bergerak dalam dalam industri industri semen semen dan distribusi distribusi tungga tunggal/uta l/utama ma pada saat saat penjualan di dalam negeri tarif pemungutannya sebesar 0,25% dari dasar pengenaan PPN 3. Bada Badan n Usaha Usaha yang bergera bergerak k di bidang bidang Industr Industrii Baja Baja yang merupak merupakan an Industr Industrii Hulu Hulu atas penjualan di dalam negeri tarif pemungutannya 0,3% dari dasar pengenaan PPN. 4. Bada Badan n usah usaha a yang yang bergera bergerak k di bidang bidang industr industrii rokok rokok atas penjua penjualan lan di dalam dalam negeri negeri (kecua (kecualili bagi bagi bada badan n usaha usaha yang yang berger bergerak ak di bidan bidang g indus industri tri rokok rokok yang yang tergol tergolon ong g pengusa pengusaha ha pabrik pabrik hasil hasil tembaka tembakau u golonga golongan n kecil kecil sekali sekali sebagaim sebagaimana ana dimaksud dimaksud dalam dalam Keputus Keputusan an Menteri Menteri Keuang Keuangan an No.89/KMK No.89/KMK.05/ .05/200 2000 0 sebagai sebagaimana mana telah telah beberap beberapa a kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No.384/KMK.04/ 2001), 0,15% dari harga bandrol dan bersifat final 5. Bada Badan n usah usaha a yang yang berg berger erak ak di bida bidang ng indu indust stri ri otom otomot otif if atas atas penj penjua uala lan n semu semua a jeni jenis s kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN. 6. Perta Pertami mina na atas atas penju penjuala alan n hasil hasil prod produks uksiny inya a serta serta bada badan n usaha usaha lainn lainnya ya yang yang berger bergerak ak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut : SPBU Swastanisasi
Premium Solar Premix/Super Premix/Supe r TT Minyak Tanah Gas LPG Pelumas
0,3% dari penjualan 0,3% dari penjualan 0,3% dari penjualan
SPBU Pertamina
0,25% dari penjualan 0,25% dari penjualan 0,25% dari penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan
* Pungutan Pajak penghasilan Pasal 22 kepada penyalur/agen bersifat final. d. Atas pembel pembelian ian bahan-ba bahan-bahan han yang yang dilakukan dilakukan oleh Badan Badan usaha industri industri dan eksportir eksportir yang yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri industri atau ekspor dari pedagan pedagang g pengum pengumpul pul sebesar sebesar 0,5% dari harga pembelia pembelian n tidak tidak termasuk PPN.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
2
ILUSTRASI PERHITUNGAN PERHITUNGAN PPh PASAL 22 Contoh 1
PT. SANG JAYA, importir pemegang API mengimpor mengimpor seperangkat barang mewah (kelompok 40%) dari Singapura dengan nilai CIF US $ 100,000 (Kurs US $1 = Rp. 10.000,-). Pada waktu barang masuk daerah Pabean, Dirjen Bea dan Cukai setempat memperhitungkan Bea Masuk = 30%. Diminta Hitunglah : a. Nilai Impor b. PPN c. PPn BM d. PPh Pasal 22 Jawab
a. Nilai Impor CIF Bea Masuk
= =
b. PPN c. PPn BM d. PPh Pasal 22
= = =
US $ 100,000 X Rp. 10.000,30% x Rp. 1.000.000.000,Nilai Impor 10% x Rp. 1.300.000.000,40% x Rp. 1.300.000.000,2,5% x Rp. 1.300.000.000,-
= Rp. 1. 1.000.000.000,= Rp. 300.000.000,- + = Rp. 1. 1 .300.000.000,= Rp. 130.000.000,= Rp. 520.000.000,= Rp. 32.500.000,-
Contoh 2
Bendaharawan Kantor Gubernur Sumatera Barat menerima tagihan dari PT. MERDEKA sebesar Rp. 11.000.000,- untuk pembelian peralatan kantor. Diminta hitunglah : a. Besarnya PP PPN b. Besa Besarn rnya ya PPh PPh Pas Pasal al 22 c. Jumlah Jumlah yang yang harus harus dibayar dibayar benda bendahara harawan wan kepad kepada a PT MERDEK MERDEKA A d. Jumlah Jumlah pajak pajak yang yang harus harus disetorkan disetorkan Bend Bendahara aharawan wan ke Kas Kas Negara Negara Jawab
Tagihan Rp. 11.000.000,00 a. PPN 10/100 x Rp. 11.000.000,= Rp. 1.100.000,00 b. PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp. 11.000.000,= Rp. 165.000,00 c. Jumlah dibayar kepada PT. MERDEKA = 11.000.000,00 11.000.000,00 - 165.000,00 165.000,00 = Rp. 10.835.000,00 10.835.000,00 d. Jumlah Jumlah Pajak Pajak yang harus harus diseto disetorkan rkan oleh oleh bendah bendaharaw arawan an adalah adalah : PPN yang dipungut Rp. 1.100.000,PPh Pasal 22 yang dipungut Rp. 165.000,- + Jumlah Pajak yang harus disetorkan ke Kas Negara Rp. 1.265.000,Contoh 3
Bila tagihan yang berjumlah Rp. 11.000.000,00 pada contoh 2 diatas termasuk PPN hitunglah : a. Besarnya PP PPN b. Besa Besarn rnya ya PPh PPh Pas Pasal al 22 c. Jumlah Jumlah yang yang harus harus dibayar dibayar benda bendahara harawan wan kepad kepada a PT. MERDE MERDEKA KA d. Jumlah Jumlah pajak pajak yang yang harus harus disetorkan disetorkan Bend Bendahara aharawan wan ke Kas Kas Negara Negara Jawab
Tagihan = Rp. 11.000.000,a. PPN =10/110 x Rp. 11.000.000,= Rp. 1.000.000,- (-) Harga Jual = Rp. 10.000.000,b. PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp. 10.000.000,= Rp. 150.000,- (-) c. Jumlah yang dibayar kepada PT. MERDEKA = Rp. 9.850.000,d. Jumlah Jumlah Pajak Pajak yang harus harus diseto disetorkan rkan oleh oleh bendah bendaharaw arawan an adalah adalah : PPN yang dipungut Rp. 1.000.000,PPh Pasal 22 yang dipungut Rp. 150.000,- + Jumlah Pajak yang harus disetorkan ke Kas Negara Rp. 1.150.000,-
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
3
Contoh 4
Pemerinta Pemerintah h Daerah Daerah Sumatera Sumatera Barat Barat menand menandatan atangai gai kontrak kontrak senilai senilai Rp. 500.000 500.000.000 .000,00 ,00 untuk untuk proyek pengadaan pengadaan peralatan peralatan kantor dengan PT. SINAR MAS yang dibayar dalam 3 termin dengan dengan rincian sebagai berikut : Termin I 40% dari harga kontrak pada saat kontrak di tanda tangani Termin II 50% dari harga kontrak pada saat seluruh peralatan kantor diterima Termin III 10% dari harga kontrak pada saat Pembuatan berita acara serah terima Hitunglah nilai tiap-tiap termin sebagai pembayaran kepada PT. SINAR MAS Jawab Jumlah Termin I
Termin I = 40% x Rp. 500.000.000,PPN = 10% x Rp. 200.000.000,Jumlah yang dibebankan pada anggaran proyek
= Rp. 200.000.000,= Rp. 20.000.000,- + = Rp. 22 220.000.000,-
Potongan
PPN PPh-22
10% x Rp. 200.000.000,1,5% x Rp. 200.000.000,Jumlah Potongan
= Rp. 20.000.000,= Rp. 3.000.000,- + = Rp. 23.000.000,- (-) = Rp. 197.000.000,-
Jumlah Termin I Jumlah Termin II
Termin II = 50% x Rp. 500.000.000,PPN = 10% x Rp. 250.000.000,Jumlah yang dibebankan pada anggaran proyek
= Rp. 250.000.000,= Rp. 25.000.000,- + = Rp. 275.000.000,-
Potongan
PPN PPh-22
10% x Rp. 250.000.000,1,5% x Rp. 250.000.000,Jumlah potongan
= Rp. 25.000.000,= Rp. 3.750.000,- +
Jumlah Termin II
= Rp. 28.750.000,- (-) = Rp. 246.250.000,-
Jumlah Termin III
Termin III = 10% x Rp. 500.000.000,= Rp. 50.000.000,PPN = 10% x Rp. 50.000.000,= Rp. 5.000.000,- + Jumlah yang dibebankan pada anggaran proyek
= Rp. 55.000.000,-
Potongan
PPN 10% x Rp. 50.000.000,PPhPPh-22 22 1,5% 1,5% x Rp. Rp. 50.0 50.000 00.0 .000 00,,Jumlah potongan
= Rp.5.000.000,= Rp. Rp. 750. 750.00 000, 0,-- +
Jumlah Termin III
= Rp. 5.750.000,- (-) = Rp. 49.250.000,-
DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PPh PASAL 22 Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: a. Impor barang barang dan atau penyerahan penyerahan barang yang berdasarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangperundangundangan tidak terutang Pajak Penghasilan b. Impor barang barang yang yang dibebaskan dibebaskan dari pungutan pungutan Bea Masuk Masuk dan atau Pajak Pajak Pertambahan Pertambahan Nilai: 1. Baran Barang g perwa perwakiI kiIan an negar negara a asing asing beser beserta ta para para pejab pejabatn atnya ya yang yang bertug bertugas as di Indon Indonesi esia a berdasarkan asas timbal balik 2. Barang Barang untuk untuk keperluan keperluan badan badan intemasion intemasional al yang diakui diakui dan terdaftar terdaftar pada Pemerinta Pemerintah h Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia 3. Barang kiriman hadiah hadiah untuk keperluan keperluan ibadah umum, amal, sosial, sosial, atau kebudayaan kebudayaan 4. Baran Barang g untuk untuk keperlu keperluan an museum museum,, kebu kebun n binat binatan ang, g, dan dan tempa tempatt lain lain semac semacam am itu yang terbuka untuk umum 5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan pengembangan ilmu pengetahuan pengetahuan Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
4
6. 7. 8. 9.
c. d. e. f. g. h.
i.
Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah Barang pindahan Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean 10. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum 11. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara 12. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara 13. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 14. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama 15. Kapal laut, kapal angkutan sungal, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional 16. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional 17. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia 18. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia Dalam hal impor sementara jika pada waktu impomya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan bendabenda pos Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dan emas untuk tujuan ekspor Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian dimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.
TATA CARA PENGECUALIAN
1. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf f dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur jenderal Pajak. 2. Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada huruf d, e, g, h dan i dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). SAAT TERUTANG DAN PELUNASAN
1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). 2. Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembayaran atas pembelian yang dilakukan oleh:
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
5
a. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang b. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) c. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bankbank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN 3. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri terutang dan dipungut pada saat pen]ualan. 4. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, superTTdan gas atas penjualan hasil produksinya dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order). 5. Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan oleh Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul dipungut pada saat pembelian.
PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 22 Penyetoran PPh Pasal 22 1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendaharawan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. 2. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus disetor ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. 3. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan oleh: a. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang b. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) harus disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. 4. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bank-bank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBNharus disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. 5. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri harus disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
6
dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Penyetorannya dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak. Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasat 22 dalam rangkap 3, yaitu: a. Lembar pertama untuk pembeli b. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak c. Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang yang bersangkutan 6. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, superTTdan gas atas penjualan hasil produksinya dilaksanakan dengan cara penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery Order) ditebus. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. 7. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut oleh Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Penyetorannya dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak. Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasat 22 dalam rangkap 3, yaitu: a. Lembar pertama : untuk penjual b. Lembar kedua : untuk disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22) c. Lembar ketiga : sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Pelaporan PPh Pasal 22 1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir. 2. Pemungut Pajak yang terdiri dari : a. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang b. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) harus melaporkan hasil pemungutannya paling lambat 14 hari setelah Masa Pajak berakhir 3. Pemungut Pajak yang terdiri dari : a. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TeIkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bankbank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN b. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri c. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, superTTdan gas atas penjualan hasil produksinya harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. 4. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul yang memungut Wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan Pemungut Pajak, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak. Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
7
Batas waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 dapat diringkas di dalam tabel berikut: No. 1.
KETERANGAN PPh Pasal 22-Impor DJBC
PENYETORAN 1 hari setelah pemungutan
2.
- PPh Pasal 22 Bendaharawan - BUMN & BUMD
3
PPh 22 yang dipungut oleh BI, BPPN, BULOG, TELKOM, PLN, Garuda Indonesia, INDOSAT, Krakatau Steel, PERTAMINA dan Bank-Bank BUMN PPh 22 yang dipungut oleh Industri semen,rokok, kertas, baja dan otomotif yang ditunjuk oleh Kepala KPP Pertamina dan Badan Usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis Premix, super TT dan gas Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemungut PPh Pasal 22
Hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
4.
5.
6.
PELAPORAN (PENYAMPAIAN SPT MASA) Secara mingguan, paling lambat 7 hari setelah berakhirnya batas waktu penyetoran Paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Paling lambat Tanggal 10 bulan takwim berikutnya
Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Dilakukan sendiri oleh WP sebelum DO ditebus
Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir
PPh PASAL 22 YANG DIKEMBALIKAN (RETURN) Apabila terjadi pengembalian atau retur, maka pembeli wajib membuat Nota Retur dalam masa pajak terjadinya pengembalian dalam rangkap 3, yaitu: 1. Lembar pertama dan kedua untuk Pemungut Pajak 2. Lembar ketiga untuk arsip pembeli Nota retur sekurang-kurangnya harus mencantumkan
a. b. c. d. e. f.
Nomor dan tanggal Nota Retur Nama, alamat dan NPWP pembeli Nama, alamat dan NPWP pemungut pajak Nomor dan Tanggal faktur pembelian yang dikembalikan Macam, jenis, kwantum dan harga barang yang dikembalikan Tanda tangan pembeli
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
8
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (PPh Pasal 23) PENGERTIAN PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. DASAR HUKUM Pasal 23 Undang-undang No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. SUBJEK PAJAK 1. Wajib Pajak dalam negeri dan 2. Bentuk usaha tetap TARIF DAN OBJEK PAJAK 1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas : a. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi b. bunga, termasuk premium diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang c. Royalty d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, oleh penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. 2. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi 3. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas : (lihat lampiran) a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jas kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. PENGECUALIAN OBJEK PPh PASAL 23 Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah : a. Penghasilan yang yang dibayar atau terutang kepada Bank b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan 2. Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut d. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha e. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi f. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya g. bunga simpanan yang tidak melebihi Rp. 240.000,-setiap bulan yang dibayar oleh koperasi kepada anggotanya Atas bunga simpanan yang yang jumlahnya diatas Rp. 240.000,- dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga dan bersifat final. Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
9
Contoh
1. Tn. Amir menerima bunga simpanan Koperasi ABC untuk satu bulan (Januari) sebesar Rp.140.000,-. Atas bunga sebesar Rp. 140.000,- tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23 karena jumlahnya tidak melebihi Rp. 240.000,-. 2. Koperasi “Maju” menerima bunga simpanan dari koperasi “Serba Ada” untuk satu bulan (Januari) sebesar Rp. 1.000.000,-. Pemotongan PPh Pasal 23 atas bunga tersebut oleh Koperasi “ Serba Ada” adalah 15% x Rp. 1.000.000,- = Rp. 150.000,- (final). h. Bunga dari obligasi yang diperdagangkan di Pasal Modal Indonesia dan Dividen dari saham perseroan terbatas yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia, yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
PEMOTONG PAJAK Adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan yang terdiri dari : 1. Badan Pemerintah 2. Subjek Pajak badan dalam Negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk Usaha Tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 6. Orang pribadi sebagai wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 : a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah Camat, Pengacara, dan Konsultan yang melakukan pekerjaan bebas b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa SAAT TERUTANG, PENYETORAN DAN PELAPORAN 1. Pemotongan PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan Yang dimaksud saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan dengan metode pembukuan yang dianutnya. 2. PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak 3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah setelah masa pajak berakhir 4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar pajak penghasilan yang dipotong.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
10
Lampiran 1 PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996 NO
JENIS PENGHASILAN
1.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan Pengguanan harta khusus kendaraan angkutan darat.
2.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1995 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
11
Lampiran 2 JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEKHIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMO 17 TAHUN 2000 NO. 1.
2.
JENIS PENGHASILAN
a. b. c. d. e. a. b.
Jasa profesi. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi Jasa akuntansi dan pembukuan Jasa penilai Jasa aktuaris Jasa tehnik dan jasa manajemen Jasa perancang/desain : * Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan * Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan * Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan * Jasa perancang iklan/logo * Jasa perancang alat kemasan c. Jasa instalasi/pemasangan : * Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi * Jasa instalasi/pemasangan peralatan d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan : * Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel * Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan * Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan * Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap f. Jasa penunjang dibidang penambangan migas. g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas. h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara. i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing. j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah. k. Jasa maklon. l. Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja. m. Jasa perantara. n. Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO 50 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 40 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
12
o. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film. r. Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet. s. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan. 3.
Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan /pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
13 1/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
4.
a. Jasa perencanaan konstruksi. b. Jasa pengawasan konstruksi.
5.
a. Jasa pembasmian hama dan Jasa pembersihan. b. Jasa Catering c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
26 2/3 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 10 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Catatan
1. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. 2. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan Jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
13
Lampiran 3 YANG DIMAKSUD DENGAN JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENAMBANGAN MIGAS, JASA PENAMBANGAN DAN JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENAMBANGAN SELAIN MIGAS, JASA PENUNJANG Dl BIDANG PENERBANGAN DAN BANDAR UDARA, JASA MAKLON DAN JASA TELEKOMUNIKASI YANG BUKAN UNTUK UMUM 1. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa : a. jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud: § penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong § penyumbatan kembali zona yang berproduksi air § perbaikan dan penyemenan dasar yang gagal § penutupan sumur c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dan gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi h. jasa reparasi pompa reda (reda repair) i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan j. jasa penggantian peralatan/material k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur I. jasa mud engineering m. jasa well logging & perforating n. jasa stimulasi dan secondary decovery o jasa well testing & wire line service p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas 2. Yang dimaksud dengan Jasa Penambangan dan Jasa Penunjang di bidang Penambangan Selain Migas sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g lampiran II Keputusan ini adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa : a. jasa pengeboran b. jasa penebasan c. jasa pengupasan dan pengeboran d. jasa penambangan e. jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum f. jasa pengolahan bahan galian g. jasa reklamasi tambang h. jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
14
i.
tanah jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum
3. Yang dimaksud dengan Jasa Penunjang di bidang Penerbangan dan Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf h Lampiran II Keputusan ini adalah jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara berupa : a. Bidang Aeronautika, termasuk : § Jasa Pendaratan, Penempatan, Penyimpanan Pesawat Udara dan Jasa lainnya sehubungan dengan pendaratan pesawat udara § Jasa penggunaan Jembatan Pintu (Avio Bridge) § Jasa Pelayanan Penerbangan § Jasa Ground Handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat § Jasa penunjang lainnya di bidang aeronautika b. Bidang Non-Aeronautika, termasuk : § Jasa boga, yaitu jasa penyediaan makanan dan minuman serta pembersihan pantry pesawat § Jasa penunjang lainnya di bidang non-aeronautika 4. Yang dimaksud dengan Jasa Maklon sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf k Lampiran II Keputusan ini adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), sedangkan spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebahagian atau seluruhnya disediakan oleh penggunan jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. 5. Yang dimaksud dengan Jasa Telekomunikasi Yang Bukan Untuk Umum sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf p Lampiran II Keputusan ini adalah semua kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang sifat, bentuk, peruntukan dan pengoperasiannya terbatas hanya untuk kalangan tertentu saja, dalam arti tidak dapat melayani/digunakan secara bebas oleh umum termasuk : a. Jasa komunikasi satelit (VSAT) b. Jasa interkoneksi c. Sirkit Iangganan d. Sambungan Data Langsung e. Sambungan Komunikasi Data Paket f. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum lainnya
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
15
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 (PPh Pasal 24) PENGERTIAN Adalah pajak penghasilan yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. DASAR HUKUM Pasal 24 Undang-undang No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. TATA CARA PENGKREDITAN Mengajukan permohonan untuk pengkreditan pajak terutang atau dibayar diluar negeri kepada Dirjen Pajak dengan melampirkan : a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri b. Foto copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri Catatan
a. Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. b. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur).
SYARAT PENGKREDITAN Pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri tersebut dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tesebut dengan penghasilan di Indonesia. Penggabungan penghasilan dari dalam negeri dengan penghasilan dari luar negeri dilakukan dengan cara : a. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (Accrual Basis). b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut (Cash Basis). c. Untuk penghasilan berupa deviden yang diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal sekurang-kurangnya sebesar 50% dari jumlah saham yang disetor, atau secara bersamasama dengan WP Dalam Negeri lainnya sekurang-kurangnya sebesar 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan. Saat diperolehnya dividen tersebut ditentukan sebagai berikut : 1. Pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan, atau, 2. Apabila tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak ada kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan, maka saat diperolehnya dividen adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir. Catatan
1. Besarnya dividen yang digabungkan tersebut adalah dividen yang dihitung oleh WPDN yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri 2. Yang dimaksud dengan laba setelah pajak adalah laba usaha sesuai dengan dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim berlaku Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
16
3.
4. 5. 6. 7.
di negara yang bersangkutan dan telah diaudit oleh akuntan publik, setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut Apabila kemudian terjadi pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi dividen berdasarkan perhitungan WPDN tersebut atau terjadi pembagian dividen, maka kelebihan jumlah tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut Namun apabila sebelum jangka waktu tersebut diatas badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak wajib pajak, maka dividen yang digabungkan adalah sebesar dividen yang dibagikan tersebut Yang dimaksud dengan dividen yang menjadi hak WP adalah dividen yang sekurangkurangnya sama besarnya dengan dividen yang dihitung sebanding dengan penyertaan WP pada badan usaha di luar negeri Apabila terjadi pembagian dividen selain dividen yang telah dibagikan diatas, maka dividen tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahuna PPh pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut Badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud diatas adalah badan usaha yang bertempat kedudukan dinegara atau tempat sebagai berikut : Argentina; Makau; Bahama; Mautiritius; Bahrain; Mexico; Balize; Nederland Antiles; Bermuda; Nikaragua; British Isle; Panama; British Virgin Island; Paraguay; Cayman Island; Peru; Channel Island Greensey; Qatar; Channel Island Jersey; St. Lucia; Cook Island; Saudi Arabia; El Salvador; Uruguay; Estonia; Venezuela; Hongkong; Vanuatu; Liechtenstein; Yunani; Lithuania; Zambia.
Contoh
PT. Citra di Jakarta dalam tahun pajak 1997 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber di luar negeri sebagai berikut : a. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 1997 sebesar Rp. 80.000.000,b. Dividen atas pemilikan saham pada “Jersey Ltd” di Australia sebesar Rp. 200.000.000,yaitu berasal dari keuntungan tahun 1995 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham 1996 dan baru dibayarkan dalam tahun 1997 c. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada “Kelly Corporation” di Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek sebesar Rp. 75.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 1996 yang berdasarkan keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 1997 d. Bunga kwartal IV tahun 1997 sebesar Rp. 100.000.000,- dari “Z Sdn Bhd” di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Mei 1998 Diminta : Jawab :
Tentukan penghasilan luar negeri mana sajakah yang dapat digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun pajak 1997 Penghasilan dari A. Singapura B. Australia dan C. Hongkong sedangkan penghasilan dari D Kuala Lumpur digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun pajak 1998.
PENENTUAN SUMBER PENGHASILAN Dalam menghitung daftar jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut : a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan b. Penghasilan berupa bunga; royalty; dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalty, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada e. Penghasilan untuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
17
Mengingat Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut pengertian penghasilan yang luas, maka penentuan sumber penghasilan selain sumber penghasilan tersebut diatas, menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip diatas. Misalnya : A sebagai WP dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1998 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena rumah tersebut terletak di Singapura.
PAJAK YANG BOLEH DIKREDITKAN Pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri yang boleh dikreditkan adalah hanya atas pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam negeri dari luar negeri. Contoh
PT. Agung Sakti di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Amerika Serikat. Z Inc. tersebut dalam tahun 2001 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di Amerika Serikat adalah 48% dan Pajak Dividen 38%. Perhtiungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut : Keuntungan Z Inc. Pajak Penghasilan 48% (Corporate Income Tax) Laba Setelah Pajak Pajak atas Dividen 38% Yang dikirim ke Indonesia
US$ 100,000.00 US$ 48,000.00 (-) US$ 52,000.00 US$ 19,760.00 (-) US$ 32,240,00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. Agung Sakti adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh diatas adalah jumlah sebesar US$ 19,760.00. Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Z. Inc. sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. Agung Sakti, karena pajak sebesar US$ 48,000.00 tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. Agung Sakti dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z. Inc di Amerika Serikat.
BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK Metode kredit pajak yang digunakan oleh Indonesia adalah “metode perkreditan terbatas” (Ordinary Credit Method), yaitu : Jumlah kredit pajak yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. Yang dimaksud dengan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan berkenaan dengan usaha atau pekerjaan diluar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan pajak atas Penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri misalnya bunga, dividen dan royalti. Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur perhitungan berikut ini:
1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri 2. Penghasilan diluar negeri x seluruh PPh terutang (tarif pasal 17) Seluruh Penghasilan Kena Pajak 3. Jumlah pajak yang terutang untuk Seluruh Penghasilan Kena Pajak (dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari pada penghasilan luar negeri). Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan, serta tidak dapat dimintakan restitusi.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
18
ILUSTRASI PERHITUNGAN PPH PASAL 24 BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK BILA PENGHASILAN DIPEROLEH DARI SATU NEGARA DILUAR NEGERI
1. Penghasilan diperoleh dari satu negara di luar negeri Contoh Perhitungan
PT. RINDUN di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : Penghasilan dalam negeri Rp. 300.000.000,00 Penghasilan luar negeri Rp. 100.000.000,00 (dengan tarif pajak 20%) Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
a. Penghasilan luar negeri Rp. 100.000.000,00 Penghasilan dalam negeri Rp. 300.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan neto Rp. 400.000.000,00 b. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif pasal 17,Pajak Penghasilan yang terutang adalah : 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 300.000.000,00 = Rp . 90.000.000,00 (+) Rp. 102.500.000,00 Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
1. Pajak dibayar di luar negeri Rp. 100.000.000,00 x 20% = Rp. 20.000.000,2. Rp. 100.000.000,00 x Rp. 102.500.000,00 = Rp. 25.625.000,00 Rp. 400.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 102.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 1, maka jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 20.000.000,00. Dengan demikian seluruh pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan. 2. Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
Bila wajib pajak memperoleh peghasilan yang bersifat final atau dikenakan pajak penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, maka atas penghsilan tersebut bukan merupakan faktor penambah penghasilan pada saat penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Contoh
PT. D di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut : 1. Penghasilan dari Negara Z Rp. 2.000.000.000,00 (dengan tarif pajak 30%) 2. Penghasilan Dalam Negeri Rp. 3.500.000.000,00 (Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan sebesar Rp. 500.000.000,00) Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
a. Penghasilan luar negeri Negara Z) Rp. 2.000.000.000,00 Penghasilan dalam negeri Rp. 3.500.000.000,00 Penghasilan menurut Pasal 4 ayat 2 Rp. (500.000.000,00) + Jumlah penghasilan neto Rp. 5.000.000.000,00 b. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang adalah : 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 4.900..000.000,00 = Rp .1.470.000.000,00 (+) Rp. 1.482.500.000,00 Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
19
Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
1. Pajak dibayar di luar negeri Rp. 2.000.000.000,00 x 30% = Rp. 600.000.000,2. Rp.2.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 593.000.000,00 Rp 5.000.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 1.482.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 2, maka jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 593.000.000,00. Dengan demikian tidak seluruh pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan. BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK BILA PENGHASILAN DIPEROLEH DARI BEBERAPA NEGARA DILUAR NEGERI
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara karena Indonesia manganut “metode perkreditan terbatas“ (Ordinary Credit Method) dengan menerapkan “Per Country Limitation” Contoh perhitungan
PT. Antokan memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : 1. Penghasilan dari Singapura Rp. 100.000.000,00 (dengan tarif pajak 30%) 2. Penghasilan dari Malaysia Rp. 200.000.000,00 (dengan tarif pajak 25%) 3. Penghasilan dari dalam negeri Rp. 200.000.000,00 Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
a. Penghasilan dari Singapura Penghasilan dari Malaysia Penghasilan dalam negeri Jumlah penghasilan neto
Rp. 100.000.000,00 Rp. 200.000.000,00 Rp. 200.000.000,00 (+) Rp. 500.000.000.00
b. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang adalah : 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 400.000.000,00 = Rp. 120.000.000,00 (+) Rp. 132.500.000,00 Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
A.
Untuk Singapura 1. Pajak dibayar di Singapura Rp. 100.000.000,00 x 30% = Rp. 30.000.000,00 2. Rp. 100.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 26.500.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 2, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk Singapura yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 26.500.000,00
B.
Untuk Malaysia 1. Pajak dibayar di Malaysia Rp. 200.000.000,00 x 25% = Rp. 50.000.000,00 2. Rp. 200.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 53.000.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00
Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 1, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk Singapura yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 50.000.000,00 Dengan demikian total kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah Rp. 26.500.000,00 + Rp. 50.000.000,00 = Rp. 76.500.000,00 Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
20
BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK BILA TERJADI RUGI USAHA DI LUAR NEGERI
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak tidak dihitung kerugian yang diderita di luar negeri. Dengan demikian kerugian yang terjadi di luar negeri tidak mengurangi penghasilan kena pajak dan sekaligus tidak dimasukkan dalam perhitungan kredit pajak luar negeri. Karena dengan menderita kerugian di luar negeri tidak ada pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri. Contoh perhitungan
PT. Batako memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : 1. Penghasilan dari Singapura Rp. 100.000.000,00 (dengan tarif pajak 30%) 2. Penghasilan dari Malaysia Rp. 200.000.000,00 (dengan tarif pajak 25%) 3. Rugi Usaha di Bangkok Rp. 400.000.000,00 (dengan tarif pajak 10%) 4. Penghasilan dari dalam negeri Rp. 200.000.000,00 Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
a. Penghasilan dari Singapura Penghasilan dari Malaysia Rugi usaha dibangkok Penghasilan dalam negeri Jumlah penghasilan neto
Rp. 100.000.000,00 Rp. 200.000.000,00 Rp. Rp. 200.000.000,00 (+) Rp. 500.000.000.00
b. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang adalah : 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 400.000.000,00 = Rp. 120.000.000,00 (+) Rp. 132.500.000,00 Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
A.
Untuk Singapura 1. Pajak dibayar di Singapura Rp. 100.000.000,00 x 30% = Rp. 30.000.000,00 2. Rp. 100.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 26.500.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 2, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk Singapura yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 26.500.000,00
B.
Untuk Malaysia 1. Pajak dibayar di Malaysia Rp. 200.000.000,00 x 25% = Rp. 50.000.000,00 2. Rp. 200.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 53.000.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 1, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk malaysia yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 50.000.000,00
C. Untuk Bangkok tidak ada kredit pajak, karena perusahaan mengalami kerugian, sehingga tidak ada pajak yang dibayar ataupun terutang. Dengan demikian total kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah Rp. 26.500.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp. 76.500.000,BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK BILA TERJADI RUGI USAHA DI DALAM NEGERI
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, rugi usaha yang terjadi di dalam negeri akan mengurangi Penghasilan Kena Pajak. Sehingga kerugian yang terjadi di dalam negeri akan mengurangi penghasilan neto, Penghasilan Kena Pajak dan Pajak Penghasilan yang terutang.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
21
Contoh perhitungan
PT. Batako memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : 1. Penghasilan dari Singapura Rp. 300.000.000,00 (dengan tarif pajak 30%) 2. Penghasilan dari Malaysia Rp. 400.000.000,00 (dengan tarif pajak 25%) 3. Rugi Usaha di dalam negeri Rp. 200.000.000,00 Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
a. Penghasilan dari Singapura Penghasilan dari Malaysia Rugi usaha di dalam negeri Jumlah penghasilan neto
Rp. 300.000.000,00 Rp. 400.000.000,00 Rp.(200.000.000,00 ) (+) Rp. 500.000.000.00
b. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang adalah : 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 400.000.000,00 = Rp. 120.000.000,00 (+) Rp. 132.500.000,00 Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
A.
Untuk Singapura 1. Pajak dibayar di Singapura Rp. 300.000.000,00 x 30% = Rp. 90.000.000,00 2. Rp. 300.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 79.500.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 2, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk Singapura yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 79.500.000,00.
B.
Untuk Malaysia 1. Pajak dibayar di Malaysia Rp. 400.000.000,00 x 25% = Rp. 100.000.000,00 2. Rp. 400.000.000,00 x Rp. 132.500.000,00 = Rp. 106.000.000,00 Rp. 500.000.000,00 3. Jumlah seluruh pajak terutang = Rp. 132.500.000,00 Dari ketiga perhitungan diatas, yang terendah adalah perhitungan ke 1, maka jumlah wajib pajak luar negeri untuk Malaysia yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 100.000.000,00.
Dengan demikian total kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah Rp. 79.500.000,- + Rp. 100.000.000,- = Rp. 179.500.000,PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN KARENA PERUBAHAN PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI
1. Dalam hal koreksi fiskal adalah koreksi yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih. Contoh :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penghasilan luar negeri (SPT) = Rp1.000.000.000,00 Penghasilan dalam negeri= Rp2.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp2.000.000.000,00 Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40 % PPh Pasal 25 yang dibayar = Rp 500.000.000,00 PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut :
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
22
SPT
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penghasilan luar negeri Penghasilan dalam negeri Penghasilan Kena Pajak PPh terutang Kredit Pajak Luar Negeri : 1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 = 3.000.000.000,00 PPh harus dibayar PPh Pasal 25 PPh Pasal 29
Rp 1.000.000.000,00 Rp 2.000.000.000,00 + Rp 3.000.000.000,00 Rp 882.500.000,00 Rp
294.166.667,00 -
Rp. Rp. Rp
588.333.333,00 500.000.000,00 88.333.333,00
SPT PEMBETULAN
1. 2. 3. 4. 5.
Penghasilan luar negeri Penghasilan dalam negeri Penghasilan Kena Pajak PPh terutang Kredit Pajak Luar Negeri : 2.000.000.000,00 x Rp 1.182.500.000,00 = 4.000.000.000,00 6. Harus bayar di Indonesia 7. PPh Pasal 25 8. Kurang bayar 9. PPh Pasal 29 telah dibayar 10. Masih harus dibayar
Rp 2.000.000.000,00 Rp 2.000.000.000,00 Rp 4.000.000.000,00 Rp 1.182.500.000,00 Rp
591.250.000,00 -
Rp 591.250.000,00 Rp 500.000.000,00 Rp. 91.250.000,00 Rp 88.333.333,00 Rp 2.916.667,00
Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp2.916.667,00 tidak ditagih bunga. 2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain. Contoh :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penghasilan luar negeri (SPT) Penghasilan dalam negeri Penghasilan luar negeri (setelah koreksi di luar negeri) Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya PPh Pasal 25 yang dibayar PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri
Rp 1.000.000.000,00 Rp 2.000.000.000,00 Rp500.000.000,00 40% Rp 500.000.000,00 adalah sebagai berikut :
SPT
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penghasilan luar negeri Penghasilan dalam negeri Penghasilan Kena Pajak PPh terutang Kredit Pajak Luar Negeri : 1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 = 3.000.000.000,00 Harus dibayar di Indonesia PPh Pasal 25 PPh Pasal 29
Rp 1.000.000.000,00 Rp 2.000.000.000,00 + Rp 3.000.000.000,00 Rp 882.500.000,00 Rp
294.166.667,00 -
Rp. 588.333.333,00 Rp. 500.000.000,00 Rp. 88.333.333,00
SPT PEMBETULAN
1. 2.
Penghasilan luar negeri Penghasilan dalam negeri
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
Rp 500.000.000,00 Rp 2.000.000.000,00 + 23
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Penghasilan Kena Pajak PPh terutang Kredit Pajak Luar Negeri : 500.000.000,00 x Rp 732.500.000,00 = 2.500.000.000,00 Harus bayar di Indonesia PPh Pasal 25 Kurang bayar PPh Pasal 29 telah dibayar Lebih bayar
Rp 2.500.000.000,00 Rp 732.500.000,00 Rp
146.500.000,00 -
Rp 586.000.000,00 Rp 500.000.000,00 Rp 86.000.000,00 Rp. 88.333.333,00 Rp 2.333.333,00
Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain. PENGURANGAN/PENGEMBALIAN PAJAK PENGHASILAN LUAR NEGERI
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan terutang pada tahun diterimanya pengurangan atau pengembalian tersebut. Misalnya, dalam tahun 1996, wajib pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun 1995 sebesar Rp. 5.000.000,00, yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp. 5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
24
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 (PPh Pasal 25) PENGERTIAN Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan Angsuran PPh Pasal 25 dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.
DASAR HUKUM Pasal 25 Undang-undang No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. CARA MENGHITUNG PPh PASAL 25 1. Angsuran PPh Pasal 25 Setiap Bulan Mulai Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh (Angsuran mulai bulan Maret)
PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu- Kredit Pajak* 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak *
Kredit pajak yang diperbolehkan adalah PPh Pasal 21, 22, 23 dan 24, tidak termasuk kredit pajak PPh Pasal 25 tahun sebelumnya.
Contoh
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp. 50.000.000,00 Kredit Pajak pada tahun 2000 : a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp. 15.000.000,00 b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp. 10.000.000,00 c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp. 2.500.000,00 d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp. 7.500.000,00 e. PPh yang dibayar sendiri (PPh Pasal 25) Rp. 12.000.000,00 Besarnya angsuran PPh 25 Tahun Pajak 2001 adalah sebagai berikut: PPh Terutang dalam SPT Tahunan tahun 2000 Rp. 50.000.000,00 Kredit Pajak
a. Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp. 15.000.000,00 b. Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp. 10.000.000,00 c. Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp. 2.500.000,00 d. Pajak Penghasilan Pasal 24 Rp. 7.500.000,00 (+) Jumlah kredit pajak Dasar penghitungan PPh Pasal 25
Rp. 35.000.000.00 (−) Rp. 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun pajak 2001 adalah sebesar Rp. 1.250.000,00 (Rp. 15.000.000,00 dibagi 12) 2. Angsuran PPh Pasal 25 Berkenaan Dengan Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Untuk Bagian Tahun Pajak Yang Meliputi Masa Kurang Dari Satu Tahun Pajak Contoh
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
25
setiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.500.000,00 (Rp. 15.000.000,00 dibagi 6). 3. Angsuran PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. Contoh
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp. 1.000.000,00. Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember, yaitu nihil. 4. Angsuran PPh Pasal 25 Bila Dalam Tahun Berjalan Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Contoh
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp. 2.000.000,00. Besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp. 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU
PAJAK
DALAM
TAHUN
PAJAK
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu: 1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian 2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur 3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan 4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan 6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. WAJIB PAJAK BERHAK ATAS KOMPENSASI KERUGIAN
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
26
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522 tanggal 14 Desember 2000 setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian dan dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. 2. Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil. Contoh
SPT Tahunan PPh PT. X untuk tahun pajak 2000 memperlihatkan data-data sebagai berikut: Penghasilan PT X tahun 2000 Rp. 120.000.000,00 Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp. 150.000.000,00 Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2000 Rp. 30.000.000,00 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001 adalah :
1. Perhitungan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2000 Penghasilan PT X tahun 2000 Rp. 120.000.000,00 Sisa kerugian sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp. 150.000.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp. Nihil 2. Estimasi SPT Tahunan PPh PT X Tahun Pajak 2001 Penghasilan neto Sisa kerugian sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Penghasilan Kena Pajak
Rp. 120.000.000,00 Rp. 30.000.000,00 (-) Rp. 90.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang: 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 40.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00 (+) Rp. 11.000.000,00 Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp. 11.000.000,00 = Rp 916.666,67 (dibulatkan Rp. 916.666,00). WAJIB PAJAK MEMPEROLEH PENGHASILAN TIDAK TERATUR
Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
Sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut, dikurangi Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
27
dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Contoh
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp. 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp. 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut. SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN TAHUN PAJAK YANG LALU DISAMPAIKAN SETELAH LEWAT BATAS WAKTU YANG DITENTUKAN Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara. 2. Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. 3. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 2 lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. 4. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 2 lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. WAJIB PAJAK DIBERIKAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan. 2. Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. 3. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 2 lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
28
ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. 4. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 2 lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. WAJIB PAJAK MEMBETULKAN SENDIRI SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN YANG MENGAKIBATKAN ANGSURAN BULANAN LEBIH BESAR DARI ANGSURAN BULANAN SEBELUM PEMBETULAN Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Dalam hal Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. 2. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran. 3. Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan. TERJADI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN WAJIB PAJAK Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 2. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam angka 1, harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. 3. Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. 4. Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
29
Contoh
PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp. 15.000.000,00. Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp. 15.000.000,00. Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak. PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH DAN WAJIB PAJAK LAINNYA TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU. WAJIB PAJAK BARU
Wajib Pajak baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12. 2. Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah : a. Dalam hal Wajib Pajak baru menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya b. Dalam hal Wajib Pajak baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto. 3. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. WAJIB PAJAK BANK DAN SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI (FINANCIAL LEASE) Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12. 2. Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah Wajib Pajak baru, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba-rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan, dibagi 12. WAJIB PAJAK BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN, KECUALI WAJIB PAJAK BANK DAN WAJIB PAJAK SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI Dasar Penghitungan PPh Pasal 25
1. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan Wajib Pajak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
30
dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). 2. Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulanbulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
31
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU Pengertian
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha dibidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran. Pendaftaran untuk memperoleh NPWP Serta Penyampaian SPT
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap tempat usaha/gerai (outlet) di Kantor Pelayanan Pajak yang wiIayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet) tersebut (KPP lokasi) dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak (KPP domisili). 2. Ketentuan tersebut juga berlaku dalam hal tempat usaha/gerai (outlet) dan tempat tinggal Wajib Pajak yang bersangkutan berada dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak yang sama. 3. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 dan dilampiri lembar ke-3 Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat usaha/gerai (outlet) Wajib Pajak terdaftar 4. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan melampirkan daftar jumlah penghasilan dan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing, tempat usaha/gerai (outlet) kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (KPP domisili). Pembayaran PPh Pasal 25
1. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu yang mempunyai tempat usaha di lebih dari satu pusat perdagangan/pusat perbelanjaan (mal, plaza, dll), adalah sebesar 2 % dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. 2. Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu dalam tahun berjalan Menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 atas penghasilan lain tersebut berlaku ketentuan sebagai berikut : a. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. b. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sebesar perbandingan antara penghasilan lain neto dengan total penghasilan neto dikalikan besarnya angsuran yang terutang berdasarkan SPT Tahunan tahun sebelumnya. 3. Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 diatas merupakan: a. Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan apabila Wajib Pajak tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final b. Kredit Pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final. Kompensasi Kerugian
Perlakuan kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya diatur sebagai berikut: a. Dalam hal Wajib Pajak tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final, kompensasi kerugian tidak dapat diperhitungkan b. Dalam hal Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final, kompensasi kerugian dapat diperhitungkan dengan penghasilan pengusaha tertentu sepanjang belum habis masa kompensasinya.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
32
Penerbitan dan Penagihan Pajak Dengan STP
1. Surat Tagihan Pajak atas Penghasilan Pasal 25 yang tidak atau kurang bayar dan atau tidak atau terlambat dilaporkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, diterbitkan setiap saat setelah lewat jatuh tempo pembayaran/penyetoran dan atau jatuh tempo pelaporan. 2. Penerbitan Surat Tagihan Pajak dilakukan meliputi bulan-bulan pada saat atau masa Pajak Penghasilan teruitang yang tidak/kurang dibayar atau timbulnya sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga yang terutang. 3. Dasar penghitungan pokok pajak terutang dalam rangka penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu didasarkan pada : a. Hasil pemeriksaan lapangan dalam pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak atau b. Peredaran bruto menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sepanjang Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai meliputi satu outlet/gerai yang dimiliki Wajib Pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak yang sama dengan Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak terdaftar. Contoh Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang Menerima dan Memperoleh Penghasilan Lain :
Penghasilan besarnya angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (berdasarkan SPT Tahunan tahun sebelumnya). Uraian (Rp) Predaran Bruto Harga Pokok dan Biaya lain Penghasilan Neto PTKP (K/2) Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang (tarif Ps. 17 UU PPh) Kredit Pajak (2% x Rp. 600.000.000) PPh Kurang Bayar Besar Angsuran (1/12 x 15.050.000) Besar Angsuran Penghasilan Lain
80.000.000 180.000.000
x
Perdagangan (Rp) 600.000.000
Penghasilan Lain (Rp) 200.000.000
500.000.000 (-) 100.000.000
120.000.000 (-) 80.000.000
Jumlah (Rp) 800.000.000 620.000.000 (-) 180.000.000 16.800.000 (-) 163.200.000 27.050.000 12.000.000 (-) 15.050.000 1.254.167
untuk
1.254.167
557.407*
* Penghasilan lain neto x Besar Angsuran menurut SPT Total Penghasilan neto
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
33
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 BAGI WP ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KELUAR NEGERI Setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri selain yang mereka yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2001 diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 (Fiskal Luar Negeri) sebesar : 1. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menngunakan pesawat udara 2. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI YANG AKAN BERTOLAK KE LUAR NEGERI (FISKAL LUAR NEGERI)
1. Anggota Korps Diplomatik, pegawai perwakilan negara asing, staf dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik, dan staf dan Badan/Organisasi Intemasional yang mendapat persetujuan Pemerintan Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia dan di samping jabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atan kegiatan usaha di Indonesia 2. Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan Warga Negara Indonesia dan sebagaimana tersebut pada angka 1 3. Pejabat Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan 4. Anggota keluarga dari mereka sebagaimana tersebut pada angka 3 dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri 5. Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia yang mendapat tugas sebagai pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri 6. Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Negen Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan Pemerintah di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan 7. Anggota misi kesenian, misi olah raga atau misi keagamaan yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Agama 8. Petugas Imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional 9. Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana ongkos Naik Haji 10. Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang akan belajar di luar negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa, pelajar atau guru yang diselenggarakan Pemerintah atau badan asing dengan persetujuan Menteri terkait 11. Para pekerja Warga Negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 12. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik Indonesia dengan menggunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan peijanjian lintas batas dengan Negara terkait 13. Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batarn yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam 14. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepanjang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dan 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan 15. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri bersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
34
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim 16. Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong Pajak PenghasiIan oleh pemberi kerja 17. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangla waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 olen pemberi penghasilan 18. Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasiIan dari Indonesia 19. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasiIan dari Indonesia 20. Orang asing yang berada di Indonesia dalam pelaksanaan program kerja sama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Negara serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia 21. Orang asing yang benadadi Indonesia dalam rangka melakukantugas sebaga anggota misi keagamaan di bawah koordinasi Departemen Agama dan mis kemanusiaan di bawah koordinasi departemen terkait 22. Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan Wilayah Republik Indonesia 23. Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang beroperasi di jalur internasional atau melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan 24. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping, dengan persetujuan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial 25. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Keria Sama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerja sama, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan 26. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah kerja Sama Ekonomi Sub Regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerja sama kecuali Bali, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan 27. Anak-anak yang berangkat ke luar negeri sepanjang umurnya tidak lebih dari 12 (dua belas) tahun 28. Orang Pribadi Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang ditetaplkan oleh Menteri Keuangan 29. Orang Pribadi yang berasal dari bekas Propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia 30. Anggota misi dagang atau pameran yang mewakiIi Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Catatan
1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, pembayaran Pajak Penghasilan ketika bertolak keluar negeri merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. 2. Apabila pembayaran Pajak Penghasilan catatan 1 ditanggung oleh pemberi kerja, pembayaran Pajak Penghasilan dimaksud dapat dikreditkan terhadap terhadap Pajak Penghasilan Pemberi kerja yang terhutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
35
TATA CARA DAN KETENTUAN PEMBERIAN FISKAL LUAR NEGERI
I.
Pengecualian dan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar Neqeri (Fiskal Luar Negeri) di bandar udara oleh Pejabat Direktorat Jenderal di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan keluar negeri, terhadap mereka yang tersebut dibawah ini : 1. Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing Staf dan Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Tenaga Ahli Jalam rangka kerjasama teknik, dan staf dan badan/Organisasi Intenasional yang mendapat pensetujuan Pemerintah Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia dan di samping Pejabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan warga Negara Indonesia, dengan menggunakan paspor Diplomatik Dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada isteri dan anak-anaknya yang merupakan anggota keluarga yang belum berusia 25 tahun ,belum kawin, belum mempunyai penghasilan, masih menjadi tanggungan dan tinggal bersama diwilayah akreditasi sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf b angka (2) Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor SP/993/PD/XI/72 tanggal 12 Juni 1972 2. Pejabat Negara, Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Polisi Repubik Indonesia dan Pegawai Negeri. Sipil yang bertolak ke luar negeri dajam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas/surat perjalanan dinas ke Luar negeri untuk setiap kali keberangkatan, tidak termasuk anggota Keluarga. Dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di Luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada istri dan anak-anaknya yang merupakan anggota keluarga yang belum berusia 25 tahun, belum kawin, belum mempunyai penghasilan, masih menjadi tanggungan dan tinggal bersama di wilayah akreditasi sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf b angka (1) Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor SP/1993/PD/XI/72 tanggal 12 Juni 1972 3. Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Polisi Republik Indonesia yang mendapat tugas sebagai pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri, dengan menyerahkan surat tugas dari kesatuan yang bersangkutan dengan menunjukkan daftar anggota pasukan oleh pimpinan rombongan 4. Petugas Imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional dengan memperlihatkan surat tugas atau identitas lainnya 5. Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dengan menunjukkan daftar nama para jemaah haji oleh pimpinan rombongan dan petugas pelaksana pemberangkatan haji dengan pembiayaannya dibebankan pada dana Ongkos Naik Haji dengan menyerahkan surat dari Departemen Agama 6. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik Indonesia dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait 7. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepenjang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dan 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan 8. Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Indonesia dengan memperlihatkan surat perintah meninggalkan Indonesia yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
II. Pengecualian dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri), diberikan melalui pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFI.N) yang diterbitkan oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap mereka yang tersebut di bawah ini : 1. Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
36
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10.
11. 12.
perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerjasama dengan negara yang berbatasan, dengan menyerahkan surat tugas dari atasan langsung Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam. Dengan menyerahkan Tanda Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dilegalisir oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Batam atau Pejabat yang ditunjuk Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri diterbitkan oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri Direktorat Jenderal Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Batam Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 atau Pasal 26 oleh pemberi kerja dan Tanda Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau Pasal 26 telah dilegalisir oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Batam atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Tanjung Pinang atau Pejabat yang ditunjuk: Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri diterbitkan oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri Direktorat Jenderal Pajak di daerah setempat Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah di potong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan. Dengan menyerahkan surat Tanda Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah disahkan oleh Kepala Kantor pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dimana pemberi penghasilan terdattar Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, dengan menyerahkan surat rekomendasi sebagai mahasiswa atau pelajar dari Pimpinan Perguruan Tinggi Sekolah yang bersangkutan. Pembebasan tersebut tidak berlaku bagi isteri dan anak-anaknya Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan menyerahkan surat rekomendasi atau persetujuan dari instansi terkait dan surat pernyataan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pembebasan tersebut tidak berlaku bagi isteri dan anak-anaknya Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pembebasan tersebut tidak berlaku bagi isteri dan anak- anaknya Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan di bawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi Departemen Terkait dengan menyerahkan surat persetujuan atau rekomendasi dari Departemen Agama dan Departemen Terkait serta surat pernyataan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pembebasan tersebut tidak berlaku bagi isteri dan anak- anaknya Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping dengan persetujuan Menteri Kesehatan Mereka yang menurut ketentuan Pasal 3 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) tetapi tidak menggunakan paspor diplomatik atau paspor dinas dengan menyerahkan surat rekomendasi dari Badan atau Organisasi Internasional yang bersangkutan Anak-anak yang berangkat ke luar negeri sepanjang umurnya tidak lebih dari 12 (dua belas) tahun berdasarkan Bukti Surat Kependudukan atau paspor yang bersangkutan Orang Pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi Warga Negara bekas
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
37
Propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia. III. Awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang beroperasi di jalur internasional atau yang melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada saat bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri). Pengecualian diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur jenderal Pajak. Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) adalah : a. Pelaut Wajib Pajak Dalam Negeri yang akan bekerja di kapal berbendera asing yang telah mempunyai perjanjian kerja dengan perusahaan pelayaran di luar negeri serta telah memperoleh pengesahan dari instansi pemerintah yang berwenang b. Pilot Wajib Pajak Dalam Negeri yang akan bekerja di maskapai penerbangan asing dan telah mempunyai perjanjian kerja dengan maskapai penerbangan yang bersangkutan. Dalam penerbitan SKBFLN harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a. Untuk Pilot wajib menunjukkan : 1. Sertifikat Pilot 2. Perjanjian Kerja dan 3. Surat panggilan atau pemberitahuan dari perusahaan atau maskapai penerbangan asing. b. Untuk Pelaut wajib menunjukkan : 1. Buku Pelaut 2. Perjanjian Kerja dan 3. Surat panggilan atau pemberitahuan dari perusahaan pemilik kapal untuk bergabung di kapal-kapal yang sedang sandar di pelabuhan laut luar negeri. IV. Pengecualian dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri untuk mahasiswa atau pelajar yang akan belajar di luar negeri diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pengertian Mahasiswa atau Pelajar adalah: a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI) b. Mahasiswa atau pelajar dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri Pendidikan Nasional c. Mahasiswa atau pelajar yang belajar dengan biaya sendiri atau biaya perusahaan yang belajar di luar negeri Mahasiswa atau pelajar yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) adalah : a. Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan POLRI yang tugas belajar di luar negeri yang dilengkapi dengan paspor dinas dan surat tugas atau perjalanan dinas. Apabila yang bersangkutan membawa serta anggota keluarganya (isteri, anak dan lainnya) pengecualian tidak berlaku untuk anggota keluarga tersebut b. Mahasiswa atau pelajar yang belajar ke luar negeri dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri Pendidikan Nasional. Apabila yang bersangkutan membawa serta anggota keluarganya (isteri, anak dan lainnya) pengecualian tidak berlaku untuk anggota keluarga tersebut. Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
38
Catatan
1. Bagi anggota keluarga mahasiswa atau pelajar, baik isteri, anak dan lainnya, yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar Fiskal Luar Negeri. 2. Mahasiswa atau pelajar yang sedang melaksanakan cuti pulang ke Indonesia dan akan bertolak kembali ke tempat belajar di luar negeri diberikan pengecualian dari kewajiban pembayaran Fiskal Luar Negeri hanya untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri. 3. Mahasiswa atau pelajar yang belajar ke luar negeri dengan biaya sendiri atau perusahaan, pada saat pertama kali bertolak ke luar negeri atau ke tempat belajar di luar negeri tidak dikecualikan dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri (FiskalLuarNegeri). V. Pengecualian dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) untuk Anggota misi kesenian, misi olahraga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri, diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) yang diterbitkan oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau tempat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam penerbitan SK.BFLN, harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : 1. Anggota misi kesenian, misi olahraga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang dikecualikan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri adalah anggota misi tersebut yang akan mengikuti kegiatan kesenian atau kebudayaan, kegiatan olahraga dan kegiatan keagamaan serta kegiatan promosi ekspor 2. Misi kesenian yang akan bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata atau yang mewakilinya 3. Misi olahraga yang akan bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan Nasional atau yang mewakilinya 4. Misi keagamaan yang akan bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Agama atau yang mewakilinya 5. Misi dagang atau pameran yang akan berlolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau yang mewakilinya Catatan
Pengecualian tidak berlaku untuk isteri dan anak maupun anggota keluarga lainnya dari anggota misi kesenian atau kebudayaan, misi olahraga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran tersebut. VI. Pengecualian dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) untuk Warga Negara indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam penerbitan SKBFLN selain harus ada persetujuan dari Menteri Tenaga Kerja juga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a. TKI yang akan bertolak ke luar negeri tersebut memang akan bekerja di luar negeri, dalam arti bahwa TKI tersebut akan memperoleh penghasilan dari sumber di luar negeri b. TKI yang akan bertolak ke luar negeri untuk program pelatihan yang dilakukan sambil bekerja di luar negeri dan memperoleh penghasilan dari sumber di luar negeri tersebut. Catatan
1. Terhadap TKI yang melaksanakan cuti di Indonesia, pada saat akan bertolak ke luar negeri atau tempat yang bersangkutan bekerja dapat diberikan pengecualian dari kewajiban Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
39
pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri (Fiskal Luar Negeri) hanya untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000. 2. Dalam hal Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri masih menerima penghasilan dari sumber di dalam negeri yang bersangkutan tetap harus membayar Fiskal Luar Negeri pada saat bertolak ke luar negeri, meskipun pengiriman TKI tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Tenaga Kerja. VII. Orang Pribadi Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki salah satu tanda pengenal resmi sebagai penduduk luar negeri dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dapat diberikan pengecualian dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri hanya untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim. Pengecualian dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan pada saat bertolak ke luar negeri diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) oleh Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Akan tetapi, meskipun seseorang mempunyai salah satu tanda pengenal resmi yang dapat dijadikan atau diberlakukan sebagai Tanda Pengenal Resmi sebagai Penduduk Luar Negeri (Penlu) bagi Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri, tetapi dalam kenyataanya tidak tinggal di negara tersebut tetapi tinggal di Indonesia lebib dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang bersangkutan wajib membayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Fiskal Luar Negeri) pada saat akan bertolak ke luar negeri. Dokumen resmi yang dapat dijadikan atau diberlakukan sebagai Tanda Pengenal Resmi sebagai Penduduk Luar Negeri (Penlu) bagi Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri adalah : a. Green Card b. Identity Card c. Student Card d. Pengesahan alamat di luar negeri pada Paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri e. Surat Keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri f. Tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat. PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI DALAM WILAYAH KERJASAMA EKONOMI SUB REGIONAL INDONESIA – AUSTRALIA (AIDA), KECUALI BALI, DAN ORANG PRIBADI WARGA NEGARA ASING YANG BEKERJA DI INDONESIA UNTUK KEPENTINGAN KANTOR PERWAKILAN PERUSAHAAN ASING
Kawasan kerjasama Ekonomi Sub Regional Indonesia-Australia (AIDA), adalah Kawasan Kerjasama Wilayah Pertumbuhan Bagian Timur Indonesia (kecuali Bali) - Australia. Ketentuan tentang pengecualian pengecualian dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan orang pribadi yang bertolak ke luar negeri dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional Indonesia – Australia (AIDA), kecuali Bali, dan orang pribadi warga negara asing yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan perusahaan asing adalah: 1. Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang bertolak ke luar negeri dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional Indonesia – Australia (AIDA) adalah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat berdasarkan Bukti Surat Kependudukan dan Paspor dan Warga Negara Australia pemegang KIM-S/KITAS yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
40
2. Pelaksanaan pengecualian dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi saat bertolak ke luar negeri dalam Wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional Indonesia – Australia (AIDA) kecuali Bali, langsung diberikan oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas di pelabuhan/tempat pemberangkatan ke luar negeri. 3. Bandar udara atau pelabuhan laut tempat pemberangkatan ke luar negeri serta pelabuhan tujuan dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional Indonesia-Australia (AIDA) kecuali Bali adalah : a. Pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri di Indonesia terdiri dari semua bandar udara dan pelabuhan laut yang terdapat di seluruh wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. b. Pelabuhan atau tempat tujuan di luar negeri terdiri dari seluruh wilayah Negara Bagian dan Teritori dengan koordinasi Pemerintah Federal Australia dalam kawasan tersebut 4. Pengecualian dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing harus memenuhi syarat-syarat sbb. : a. Orang Pribadi Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing yang telah memperoleh Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) dari Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal. b. Yang dimaksud dengan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing adalah kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih Orang Pribadi Warga Negara Asing yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau dimana gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya untuk mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan di suatu wilayah yang mencakup beberapa negara selain Indonesia dan dapat menetapkan tempat kedudukannya di salah satu kota di Indonesia. c. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing tempat Orang Pribadi Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja, wajib memotong dan menyetor Pajak Penghasilan atas penghasilan pegawai yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 atau Pasal 26 Undang-undang No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1994. 5. Pembebasan diberikan berdasarkan surat keterangan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing tersebut berkedudukan, sebagai pengganti Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN), yang berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperbaharui. 6. Sebelum menerbitkan atau memperbaharui keterangan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dapat meneliti pelaksanaan kewajiban pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 atau Pasal 26 Undang-undang No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubahbeberapa kali terakhir dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1994 Kantor Perwakilan Perusahaan Asing yang bersangkutan. PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI DALAM KAWASAN KERJASAMA EKONOMI SUB REGIONAL ASEAN
1. Berdasarkan Pasal 3 angka 25 Peraturan Pernerintah No. 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan orang Pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri disebutkan bahwa dikecualikan dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 (Fiskal Luar Negeri) terhadap Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang bertolak keluar negeri dalam daerah kerjasama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke Luar negeri dalam daerah kerja sama. 2. kawasan kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN tersebut meliputi: a. Kawasan Kerjasama Segitiga Pertumbuhan Indonesia-MalaysiaThailand (SP-IMT) b. Kawasan Kerjasama Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura (SP-IMS) c. Kawasan Kerjasama Wilayah Pertumbuhan Brunei Darussalam-Indonesia MaIaysiaPhilipina (WP-BIMP). 3. Orang Pribadi sebagaimana di maksud dalam angka 1 di atas yang bertolak ke Luar negeri melalui bandar udara atau pelabuhan laut tujuan di luar negeri adalah sebagai berikut: a. Dalam kawasan Kerjasama Segitiga Pertumbuhan Indonesia - Malaysia -Thailand (SP-IMT) meliputi: 1) Tempat keberangkatan meliputi bandar udara atau pelabuhan laut yang terdapat di seluruh Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
41
2) Bandar udara atau pelabuhan laut tujuan di luar negeri terdiri dari - Malaysia meliputi Kedah, Perak, Perlis dan Penang - Thailand meliputi Yala, Narathiwat, Songkhia, Pattani dan Satun 3) Orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan pada saat bertolak Ke Luar Negeri adalah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh, Sumatera utara, Sumatera Barat dan Riau berdasarkan Bukti surat kependudukan dan paspor termasuk Warga Negara Malaysia dan Thailand pemegang KIM-S atau KITAS yang tertempat tinggal di seluruh wilayah tersebut. b. Dalam Kawasan Kerjasama Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura (SPIMS) meliputi: 1) Tempat Keberangkatan meliputi bandar udara atau pelabuhan laut yang terdapat diseluruh wilayah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu dan Kalimantan Barat 2) Bandar udara atau pelabuhan laut tujuan di luar negeri terdiri dari - Malaysia meliputi Johor, Negeri Sembilan, Pahang dan Malaka - Singapura dengan bandar udara dan pelabuhan laut yang terdapat di seluruh wilayah tersebut, 3) Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan pada saat bertolak ke luar negeri adalah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh witayah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung Jambi, Bengkulu dan Kalimantan Barat berdasarkan bukti surat kependudukan dan paspor termasuk Warga Negara Malaysia dan Singapura pemegang KIMS atau KITAS yang bertempat tinggal di seluruh wilayah tersebut. c. Dalam Kawasan Kerjasama Wilayah Pertumbuhan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia, Philipina (WB-BIMP) meliputi : 1) Tempat keberangkatan meliputi bandar udara atau pelabuhan laut yang terdapat di seluruh wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua 2) Bandar udara atau pelabuhan laut tujuan di luar negeri terdiri dari : - Brunei Darussalam dengan bandar udara dan pelabuhan laut yang terdapat di Seluruh wilayah tersebut - Malaysia meliputi Serawak dan Sabah dengan bandar udara dan pelabuhan laut yang terdapat di seluruh wilayah tersebut - Philipina meliputi Mindanao dan Palawan dengan bandar udara dan pelabuhan laut yang terdapat di seluruh wilayah tersebut. 3) Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan pada saat bertolak ke luar negeri adalah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua berdasarkan bukti surat kependudukan dan paspor termasuk warga Negara Brunei Darussalam, dan Philipina pemegang KIM-S atau KITAS yang bertempat tinggal di seluruh wilayah tersebut. 4. Pelaksanaan pengecualian dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan saat bertolak ke luar negeri dalam Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN, langsung diberikan oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas di pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri. 5. Orang Pribadi sebagaimana tersebut dalam butir 3 huruf a.3), b.3) dan c.3) yang kemudian meneruskan perjalanannya ke negara lain di luar Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN tetap dikecualikan dari pembayaran Fiskal Luar Negeri.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
42
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 (PPh Psal 26)
PENGERTIAN Adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. SUBJEK PAJAK Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap TARIF, OBJEK PAJAK DAN SIFAT PENGENAANNYA 1. 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan berupa : a. Dividen b. Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang c. Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan e. Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya 2. 20% dari perkiraan penghasilan neto, dan bersifat final atas penghasilan berupa : a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam pasal 4, Ayat (2), yaitu atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah) b. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. 3. Sebesar 20% (dua puluh persen) bersifat final dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. ILUSTRASI PERHITUNGAN PPh PASAL 26 1. Suatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar : 20% x Rp 100.000.000,00. = Rp. 20.000.000,00 2. Seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang sebesar Rp. 50.000.000,00, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar : 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00 3. Richard Mark adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. la memperoleh gaji pada bulan Maret 2001 sebesar US$ 2,500 sebulan, Kurs yang berlaku adalah Rp 10,000,00 untuk US$ 1.00 Penghitungan PPh Pasal 26
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah : US$ 2,500 x Rp, 10.000,00 = Rp 25.000.000,00 PPh Pasal 26 terutang adalah
20% x Rp 25.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 4. Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia Pajak Penghasilan: Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
Rp 17.500.000.000,00 43
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00 (+) Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak
Rp 5.232.500.000,00 (-) Rp 12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang 20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00 Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
PEMOTONG PPh PASAL 26 Pemotong PPh Pasal 26 adalah pihak-pihak yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, yang terdiri dari: 1. Badan pemerintah 2. Subjek Pajak dalam negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk usaha tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 26
1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan, atas penghasilan berupa : a. Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan; hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; pensiun dan pembayaran berkala lainnya; b. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia c. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri 2. Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong harus disetorkan selambat-lambatnya tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. 3. Pemotong Pajak PPh Pasal 26 diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir. 4. Pemotong Pajak PPh Pasal 26 harus memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 26 kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar PPh yang dipotong. 5. Pemotong PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa PKP sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, terutang dan harus dibayar lunas selambat-lambatnya tangal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. Namun apabila bentuk usaha tetap tersebut meminta perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT, pemotongan PPh Pasal 26 berdasarkan penghitungan sementara, terutang pajak dan harus dibayar lunas pada saat surat permohonan perpanjangan disampaikan, akan tetapi tidak melampaui tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir.
PREMI ASURANSI DAN PREMI REASURANSI YANG DIBAYARKAN KEPADA PERUSAHAAN ASURANSI LUAR NEGERI Tarif dan Perkiraan Penghasilan neto
Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah sebagai berikut : a. Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
44
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar c. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar Contoh
1. PT. A mengasuransikan Aktiva yang dimilikinya ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 2001 sebesar Rp. 800.000.000,00, maka : Perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri adalah: 50% X Rp 800.000.000,00 = Rp 400.000.000,00 PPh Pasal 26 = 20% X Rp 400.000.000,00 = Rp 80.000.000,00 2. Bila PT. A pada contoh 1 mengasuransikan kepada PT. B yang merupakan perusahaan asuransi dalam negeri dengan membayar jumlah premi sebesar Rp 800.000.000,00. PT. B mengasuransikan lagi (reasuransi) sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp 500.000.000,00, maka : Perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah: 10% X Rp 500.000.000,00 = Rp 50.000.000,00 PPh Pasal 26 = 20% X Rp 50.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 3. Bila PT. B pada contoh 2 mengasuransikan (reasuransi) sebagian polis asuransi tersebut kepada PT. C B yang merupakan perusahaan asuransi dalam negeri dengan membayar jumlah premi sebesar Rp 500.000.000,00. selanjutnya PT. B mengasuransikan lagi (reasuransi) sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp 100.000.000,00, maka : Perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah: 5% X Rp 100.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 PPh Pasal 26 = 20% X Rp 5.000.000,00 = Rp 1.000.000,00 Pemotong Pajak
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari premi asuransi dan premi reasuransi Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari premi asuransi dan premi reasuransi dilakukan oleh : a. Tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi oleh tertanggung b. Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia c. Perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia Ketentuan Tentang Saat Terutang, Penyetoran, Bukti Pemotongan dan Pelaporan PPh Pasal 26 atas penghasilan dari premi asuransi dan premi reasuransi
1. Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari premi asuransi dan premi reasuransi terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. 2. Penyetoran Pajak Penghasilaan Pasal 26 atas penghasilan dari premi asuransi dan premi reasuransi dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah terutangnya pajak dan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 3. Pemotong wajib pajak membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam rangkap 3 (tiga) : - Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya - Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar - Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
45
4. Pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran PPh Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP Tarif Pajak Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, dikenakan pajak sebesar 20%. Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia tidak dikenakan apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat : a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersial Catatan
1. Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penanaman yang dilakukan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dan dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. 2. Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan untuk pertama kalinya menghasilkan produk yang siap untuk dipasarkan. Saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan keadaan sebenarnya dan dengan memperhatikan perkiraan saat produksi komersial sebagaimana disampaikan Wajib Pajak BUT yang bersangkutan dalam pemberitahuan tertulis. 3. Dalam hal perusahaan induk dari Wajib Pajak BUT adalah penduduk dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka besarnya tarif untuk penerapan adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B tersebut. 4. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
PPh PASAL 26 YANG TIDAK BERSIFAT FINAL Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan berikut ini, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Penghasilanpenghasilan tersebut adalah : 1. a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia Contoh
1. Kantor pusat di LN yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk A kepada pembeli di Indonesia tanpa melalui BUTnya yang ada di Indonesia. Produk A tersebut juga di jual oleh BUTnya di Indonesia. 2. Kantor pusat perusahaan konsultan di LN yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan jasa konsultasi B kepada klien di Indonesia tanpa melalui Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
46
BUTnya yang ada di Indonesia.Jasa konsultasi B tersebut juga disediakan/diberikan oleh BUTnya di Indonesia. b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Contoh
Y Ltd. melakukan perjanjian dengan PT. X untuk mempergunakan merk dagang Y Ltd.. Atas penggunaan merk dagang tersebut, Y Ltd. menerima imbalan berupa royalti dari PT. X. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Y Ltd. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. X melalui bentuk usaha tetapnya di Indonesia dalam rangka pemasaran produk PT. X yang mempergunakan merk dagang Y Ltd. tersebut. Dalam hal demikian penggunaan merk dagang Y Ltd. oleh PT. X mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap Y Ltd. di Indonesia, oleh karena itu penghasilan Y Ltd. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. Contoh
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. Untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Matrikulasi Program Pendidikan Profesi Akuntansi – Angkatan II Januari-Februari 2006
47