Nama Nama : Putu Putu Dina Dina Marli Marlina na Absen : 25
PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS PPh Pasal 4 ayat 2 Pengertian Pengenaan PPh Berdasarkan PPh Pasal 4 Ayat (2)
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 ditentukan bahwa atas penghasilan berupa deposito dan tabungan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pegalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan dan peng pengah ahasi asila lan n tert terten entu tu lain lainny nya, a, peng pengen enaa aan n pajak pajakny nyaa diat diatur ur deng dengan an Perat Peratur uran an Pemerintah. Pengh Penghasil asilan an berupa berupa bunga bunga deposi deposito to dan tabung tabungan an lainny lainnya, a, pengha penghasila silan n dari dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan harta berupa sekuritas lainnya lainnya di bursa efek, penghasilan penghasilan dari pengalihan pengalihan harta berupa berupa tanah dan atau bangunan, bangunan, serta serta peng pengha hasil silan an tert terten entu tu lain lainny nyaa meru merupa paka kan n objek objek paja pajak. k. Oleh Oleh kare karena na tabu tabung ngan an masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan maka pemerintah menetukan kebijakan khusus, yaitu pngenaan pajak atas pengahasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu dijalankan dengan perlakuan sendiri. Pertimbang Pertimbangan-pert an-pertimban imbangan gan yang mendasari mendasari diberikann diberikannya ya perlakuan perlakuan tersendiri tersendiri dimaksud antara lain adalah: 1. Kesede Kesederha rhanaa naan n dalam dalam pemun pemungut gutan an pajak pajak 2. Keadil Keadilan an dan peme pemerata rataan an dalam dalam pengen pengenaan aan pajak pajak 3. Memperhatik Memperhatikan an perkembanga perkembangan n ekonom ekonomii dan dan moneter. moneter.
Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
Subjek pajak yang karena ketentuan dari Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pajak Penghasilan menjadi Wajib Pajak adalah semua subjek pajak yang memperoleh penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan tabungan lainnya penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan penghasilan tertentu lainnya. Sedangkan objek pajak adalah penghasilan yang berupa: a. Bunga deposito dan tabungan tabungan lainnya b. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek c. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan d. Penghasilan tertentu lainnya
Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI
Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto SBIPajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI adalah Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap perolehan penghasilan dari bunga deposito, tabungan, dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dasar hukum pelaksanaan pajak penghasilan atas bungan deposito dan tabungan serta diskonto SBI adalah pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pajak penghasilan jis Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri keuangan Nomor 5/KMK.04/2001. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun., termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposito on call baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asig (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh Bank. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing masing Bank. Termasuk dalam pengertian deposito dan tabungan adalah deposito dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing yang ditempatkan di luar negri melalui Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negri di Indonesia.
Pajak Penghasilan Atas Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek
Pengertian
dan
Dasar
Hukum
Pajak
Penghasilan
atas
Obligasi
yang
diperdagangkan di Bursa Efek. Pajak Penghasilan atas obligasi yang diperdagangkan di bursa efek adalah pajak penghasilan yang diperoleh para pihak dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek. Dasar hukum pemotongan PPh atas penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek adalah pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pajak Penghasilan jis Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 121/KMK.04/2002 a) Objek Pemotongan Objek pemotongan Pajak penghasilan obligasi yang diperdagangkan di bursa efek adalah : 1. Penerbitan obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran atas bunga dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga/obligasi dan atas diskonto dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi 2. Perusahaan efek atau bank selaku pedagang perantara atas bungan dan diskonto pada saat transaksi b) Tarif pemotongan Pajak Tarif Pemotongan Pajak penghasilan sitentukan sebagai berikut 1. Atas bunga obligasi dengan kupon (Interst bearing bond) : a. 20% bagi WP dalam negri dan BUT dan b. 20% atau tarif P3B bagi WP penduduk berkedudukan di luar negri dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligsi. 2. Atas diskonto obligasi dengan kupon : a. 20% bagi WP dalam negri dan BUT dan b. 20% atau tarif P3B bagi WP penduduk berkedudukan di luar negri dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal saat jatuh tempo obligasi diatas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan. 3. Atas diskonto obligasi tanpa bunga: a. 20% bagi WP dalam negri dan BUT dan
b. 20% atau tarif P3B bagi WP penduduk berkedudukan di luar negri dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal saat jatuh tempo obligasi diatas harga perolehan obligasi
Dasar Penghasilan atas Saham yang Diperdagangkan di Bursa Efek
Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Penghasilan Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek. Pajak penghasilan atas saham yang diperdagangkan di bursa efek adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas transaksi penjualan saham di bursa efek. Dasar hukumnya adalah pasal 4 Ayat (2) Undang Undang Pajak Penghasilan jelas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 282/KMK.04/1997 dan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.4/1997. 1. Objek dan Tarif Pemotongan. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut PPh final dengan tarif sebagi berikut: 1. 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan 2. Bagi pemilih saham pendiri dikenakan PPh sebesar: a. 0,1% x Nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham pada 30 Desember 1996, dalam hal saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek sebelum tanggal 31 Desember 1996 b. 0,1% x nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham saat IPO (Initial Public Offering), dalam hal saham tersebut diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 1 Januari 1997 Pendiri adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham atau tercantum dalam anggaran dasar sebelum pernyataan pendaftaran yang diajukan oleh BAPEPAM dalam rangka penawaran umum perdana. Saham pendiri adalah saham yang dimiliki oleh para pendiri saat perusahaan mengajukan pernytaan pendaftran kepada BAPEPAM dalam rangka IPO termasuk:
a. Saham dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan dan dibagikan setelah IPO kepada pendirinya. b. Saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri yang masih dimiliki pendiri. Tidak termasuk saham pendiri adalah saham yang diperoleh pendiri: a. Dari pembagian dividen dalam bentuk saham setelah IPO b. Dari hak pemesanan efek terlebih dahulu, waran, obligasi konversi, dan efek konversi lainnya setlah IPO c. Perusahaan reksadana d. Berupa saham bonus dari kapitalisasi agio setelah IPO yng telah dilunasi tambahan PPh sebesar 0,5 atas saham pendirinya oleh pemegang saham pendiri.
Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)
Mengenai pengertian penghasilan sebagai objek pajak PPh, sudah dijelaskan bahwa bagi WP Dalam negeri dan WP BUT UU PPh menganut prinsip worldwide income. Artinya, WP Dalam Negeri dan WP BUT dikenai PPh atas penghasilan dari manapun asalnya, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Konsekuensi dari prinsip ini adalah jika atas penghasilan dari luar Indonesia itu telah dikenai pajak di Negara sumber penghasilan tersebut, maka pajak yang telah dibayar/terutang diluar Indonesia atas penghasilan dari luar negeri tersebut jug abisa menjadi uang muka PPh yang dapat dikreditkan dengan PPh Tahunan Terutang di Indonesia, sepserti uang muka PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23, supaya tidak terjadi pemajakan berganda (double taxation). Tetapi, mengingat tarif pajak di luar negeri bermacam-macam dan berbeda dari tarif pasal 17 di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayarkan/terutang di luar negeri atas pengahasilan dari luar negeri yang dapat dikreditkan dengan PPh Tahunan Terutang di Indonesia dibatasi. Pembatasan mengenai besarnya pajak yang telah dibayar/terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dengan PPh Tahunan Terutang di Indonesia diatur di Pasal 24 UU PPh, maka ia dinamakan PPh Pasal 24. PPh pasal 24 tersebut dikenal juga
dengan sebutan kredit pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 22, PPh pasal 23 dikenal dengan sebutan kredit pajak dalam negeri. Pasal 24 UU PPh hanya menentukan prinsip bahwa pajak yang dibayar/terutang di luar negeri bisa dikreditkan dengan PPh Tahunan Terutang di Indonesia (ayat 1), besarnya kredit pajak tersebut dibatasi dengan perhitungan khusus (ayat 2), penentuan sumber penghasilan (ayat 3,4), dan pengembalian kredit pajak luar negeri (ayat 5), sedangkan aturan pelaksana mengenai teknis penghitungan batasan besarnya kredit pajak tersebut didelegasikan kepada Keputusan Menteri Keuangan (ayat 6). Berdasarkan wewenang yang diterima dari Pasal 24 ayat (6) UU PPh tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan KMK tentang Kredit Pajak Luar Negeri tersebut. KMK yang berlaku saat ini adalah KMK No. 164/KMK.03/2002 tanggal 19 April 2002 (Lihat LAMPIRAN untuk lebih lengkapnya). Isi ringkas dari KMK tersebut adalah sebagai berikut. Pajak yang terutang/dibayar di luar negeri bisa dikreditkan dengan PPh Tahunan di dalam negeri (Indonesia) pada tahun penghasilan dariluar negeri digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri. Dan saat penggabungan penghasilan dari luar negeri adalah sebagai berikut. 1.
Penghasilan usaha yang berasal dari luar negeri digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri pada tahun diperolehnya penghasialan luar negeri tersebut (lihat paragraph E tentang Penghasilan tentang apa yang dimaksud dengan istilah ‘diperolehnya’).
2.
Penghasilan berupa dividen yang berasal dari luar negeri digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri pada bulan keempat atau bulan ketujuh setelah akhir tahun pajak.
3.
Penghasilan dari sumber lainnya yang berasal dari luar negeri digabungkan dengan penghasilan dari dalam negeri pada tahun diterimanya penghasilan dari luar negeri tersebut (lihat paragraph E tentang Penghasilan, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah ‘diterimanya’).
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang/dibayar di luar negeri yang bisa dikreditkan dengan PPh Tahunan Terutang di Indonesia diperlukan data mengenai besarnya PKP atas penghasilan dari dalam negeri dan luar negeri, serta besarnya PPh Tahunan Terutang atas pengahsilan dari dalam negeri dan luar negeri.
Ketentuan Khusus PPh atas Transaksi/Industri tertentu A. PPh Final atas Penghasilan Berupa Uang Tebusan Pensiun/THT yang Dibayar Sekaligus dan Pesangon
Aturan pelaksanaannya: PP No/ 149 Tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. 1. Peristiwa/Transaksi/Kasus/Soal/Objek yang dikenai PPh Final Pasal 21 atas uang tebusan pensiun dan tunjangan/jaminan hari tua (THT/JHT) yang dibayar sekaligus, dan atas uang pesangon
Suatu peristiwa/transaksi/kasus/soal/objek akan dikenai PPh Fibal Pasal 21 atas uang tebusan pensiun dan tunjangan/jaminan hari tua (THT/JHT) yang dibayar sekaligus, dan atas uang pesangon jika memenuhi semua syarat berikut/ i. Transaksi/peristiwa tersebut menimbulkan penghasilan berupa penghasilan dari pekerjaan, khusus jenis uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua (THT/JHT) yang dibayar sekaligus, serta uang pesangon. ii. Yang menerima penghasilan tersebut adalah WP orang pribadi dalam negeri. iii. Yang membayarkan penghasilan tersebut adalah pemotong PPh Pasal 21. 2. Tata Cara Pemajakannya
Pelaksanaan pemajakan PPh Final Pasal 21 untuk tunjangan hari tua sama dengan pelaksanaan PPh Pasal 21
B. PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Peyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha
Aturan pelaksanaannya berdasarkan PP Np. 4 Tahun 1995 tanggal 8 Februari 1995. 1. Definisi
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang membiayai badan usaha lain (sebagai pasangan usahanya) dalam bentuk penyertaan modal untuk jangaka waktu
tertentu.
Perusahaan
kecil
dan
menengah
dari
perusahaan
Kepmenkeu
No.
250/KMK.04/1995 adalah perusahaan pasangan usaha yang pada waktu perusahaan modal ventura melakukan penyertaan modalnya, penjualan bersih atau penerimaan brutonya (untuk usaha jasa) pada tahun pajak sebelumnya tidak melebihi Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar). 2. Peristiwa/Transaksi/Kasus/Soal/Objek yang dikenai PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Sahamatau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha
Suatu peristiwa/transaksi/kasus/soal/objek dikenai PPh Final atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha jika memenuhi syarat berikut. a)
Transaksi/Peristiw/Kasus/Soal itu berupa transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal perusahaan modal ventura pada perusahaan pasangan usahanya.
b)
Perusahaan pasangan usahanya merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan Menteri keuangan.
c)
Jika
tidak
memenuhi
salah
satu
dari
kedua
syarat
tersebut
maka
transaksi/peristiwa/kasus/soal itu tidak dikenai PPh Final.
3. Perhitungan dan Tata Cara Pemajakannya
Pelaksanaan pemajakannya diatur sebagai berikut. a) Jika saham perusahaan modal ventura dijual di bursa efek Indonesia, timbulnya utang PPh Final, besarnya tariff PPh Final atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursaefek, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. b) Jika saham perusahaan modal ventura dijual di luar bursa efek Indonesia, maka ia dipajaki dengan sistem pemajakan sendiri. Utang PPh finalnya timbul pada saat terjadinya transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal ventura pada perusahaan pasangan usahanya. Pada saat
timbulnya utang PPh Final tersebut, perusahaan modal ventura melakukan perhitungan PPh Final tersebut, perusahaan modal ventura melakukan perhitungan PPh Final sebagai berikut. 0,1% (satu permil) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal. Penyetoran PPh final tersebut
oleh
perusahaan modal ventura ke Kas Negara melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dengan menggunakan SSP dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham perusahaan modal ventura tersebut. Pelaporan mengenai perhitungan dan penyetoran PPh Final tersebut oleh perusahaan
modal
ventura
ke
KKP
tempatnya
terdaftar
dengan
menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2) dilakukan paling lambat tanbggal 20 bulan setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham perusahaan modal ventura (bulan terutangnya PPh Final tersebut).
C. PPh final atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Aturan pelaksananya berdasarkan PP No. 140 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000. 1. Definisi
a) Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan kostruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan kostruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan kostruksi. b) Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkai kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elekrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk perawatannya. c) Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa kostruksi.
d) Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa kostruksi. Penyedia jasa terdiri dari perencanaan konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. e) Imbalan bruto adalah nilai yang diterima atau diperoleh pengguna jasa yang bergerak di bidang usaha usaha jasa kostruksi dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pemberian jasa konstruksi dimaksud, tetapi tidak termasuk PPn. f) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi dan usaha pengawasan konstruksi yang masingmasing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. g) Ruang lingkup usaha jasa konstruksi mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP nomor 28 Tahun 2000 tentang Usha Jas a Konstruksi. h) Usaha perencanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari: i) Usaha pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai penyerahan akhir hasil pekerjaan lapangan sampai penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. j) Usaha pengawasan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai penyerahan akhir hasil konstruksi. k) Lingkup layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara terintegrasi. l) Pengembangan layanan jasa perencanaan dan/atau pengawasan lainnya. m)Usaha perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi harus mendapatkan klasifikasi dan kualifikasi dari lembaga yang dinyatakan dengan sertifikasi.
n) Pelaksanaan klasifikasi dan kualifikasi usaha orang perseorangan dan badan usaha dapat dilakukan oleh asosiasi perusahaan yang telah mendapat akreditasi dari lembaga, dan atas sertifikat yang
diterbitkan harus
mendapatkan tanda register dari lembaga. o) Izin usaha untuk badan usaha nasional yang menyelenggarakan usaha jasa kostruksi diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat, sedangkan izin usaha untuk badan usaha usaha asing yang menyelenggarakan usaha jasa konstruksi diberikan oleh pemerintah pusat (departemen pemukiman dan prasarana wilayah). p) Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecatan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikanmesin, dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, desain interior, dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi. q) Pengusaha jasa konstruksi yang dikualifikasi sebagai pengusaha kecil hanya berlaku apabila WP pengusaha jasa konstruksi dapat memberikan (kepada pemotong PPh final atau untuk dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh WP yang bersangkutan bila tidak ada pemotongan PPh Final) fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masihberlaku dan dilegalisasi dan jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar) sesuai ketentuan dalam KEPPRES Nomor 18 Tahun 2000
D. PPh Final atas Penghasilan WP Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri dari Usaha Pengangkutan Orang dan/atau barang
Aturan pelaksanaannya adalah berdasarkan KMK No. 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan khusus Penghasilan Neto bagi WP Perusahaan Pelayaran dalam negeri
1. Definisi
WP Perusahaan pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang berdomisili atau bertempat tinggal di Indonesia (WP orang pribadi dalam negeri) atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia (WP Badan Dalam Negeri) yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain. 2. Peristiwa/Transaksi/Kasus/Soal/Objek yang dikenai PPh Final atas pengahasilan WP Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
Suatu Peristiwa/Transaksi/Kasus/Soal/Objek dikenai PPh Final atas pengahsilan WP Perusahaan pelayaran Dalam Negeri jika transaksi atau peristiwa itu menimbulkan penghasilan berupa penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari mana pun yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri yang bergerak di bidang pelayaran 3. Penghitungan dan Tata Cara Pemajakannya
Pelaksanaan pemajakan PPh Final atas penghasilan WP perusahaan pelayaran dalam negeri dilakukan dengan sistem berikut. Dengan sistem pemotongan oleh pihak yang menyewa sebagai pemotong PPh Final tersebut. Utang PPh Final atas penghasilan WP perusahaan pelayaran dalam negeri timbul pada saat pembayaran atau pada saat timbulnya kewajiban pihak yang menyewa untuk membayar penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari mana pun. Pada saat timbulnya utang PPh Final, Pemotong PPh Final (pihak yang menyewa) wajib melakukan pemotongan PPh Final tersebut dengan perhitungan 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto (peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari: a) Suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia b) Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri c) Pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia d) Pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan lainnya di luar negeri Penghitungan tersebut dilakukan di formulir Bukti Pemotongan PPh atas imbalalan yang Dibayarkan/terutang kepada Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) dalam rangkap
tigas, dan lembar pertama diserahkan kepada pihak perusahaan pelayaran dalam negeri sebagai WP-nya untuk digunakan sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPh Final melalui sistem pemotongan, lembar kedua untuk dilaporkan ke KKP, dan lembar ketiga untuk arsipnya. Penyetoran PPh Final yang dipotong tersebut ke Kas Negara melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dilakukan oleh pemotong PPh Final dengan menggunakan SSP paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya, setelah bulan timbulnya utang PPh Final tersebut (bulan pemotongan). Pelaporan mengenai penghitungan dan penyetoran PPh Final tersebut ke KKP tempat pemotong PPh Final terdaftar dengan menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 15 dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan setelah bulan pemotongan PPh Final tersebut. Dengan sistem pemajakan sendiri jika penghasilan dari usaha pengangkutan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang diterima/diperoleh tidak melalui charter/sewa, atau melalui carter/sewa tetapi pihak yang mencarter/menyewa tidak/lupa memotong PPh Final tersebut . Utang PPh Final atas penghasilan WP perusahaan pelayaran dalan negeri timbul pada saat diterimanya atau pada saat timbulnya hak dari pihak perusahaan pelayaran dalam negeri untuk menagih penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari mana pun. Pada saat timbulnya utang PPh Final atau paling lambat pada saat jatuhtempo penyetoran PPh Final tersebut (tanggal 15 bulan setelah timbulnya utang PPh Final tersebut) WP perusahaan pelayaran dalam negeri sendiri wajib melakukan perhitungan PPh Final 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto (pengertian peredaran bruto lihat di bagian (i) di atas) Penyetoran PPh Final tersebut ke Kas Negara melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dilakukan oleh WP perusahaan pelayaran dalam negeri sendiri dengan menggunakan SSP paling lambat pada tanggal tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan timbulnya utang PPh Final tersebut. Pelaporan mengenai penghitungan dan penyetoran PPh Final tersebut ke KPP tempat WP perusahaan pelayaran dalam negeri terdaftar dengan menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 15 dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan setelah bulan timbulnya utang PPh Final tersebut.
E. PPh Final atas penghasilan WP Perusahaan Penerbangan/Pelayaran Internasional dari usaha Pengangkutan Orang dan/atau Barang
Aturan pelaksanaannya: KMK No. 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
1. Definisi
Perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri adalah perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia tetapi beroperasi secara internasional, termasuk di Indonesia tetapi beroperasi secara internasional, termasuk di Indonesia, dan memperoleh penghasilan dari Indonesia (WP BUT atau WP Luar Negeri selain BUT yang bergerak di bidang pelayaran dan/atau penerbangan internasional) 2. Peristiwa/Transaksi/Kasus/Soal/Objek yang dikenai PPh Final atas Penghasilan WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
Suatu peristiwa/transaksi/kasus/soal/objek yang dikenai PPh Final atas penghasilan WP Perusahaan Pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri jika transaksi atau peristiwa itu menimbulkan penghasilan berupa penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang di Indonesia atau dari Indonesia ke Luar Negeri yang diterima atau diperoleh WP yang bergerak di bidang pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri. 3. Penghitungan dan Tata Cara Pemajakannya
Pelaksanaan pemajakan PPh Final atas penghasilan luar negeri dilakukan dengan sistem berikut ini. Dengan sistem pemotongan oleh pihak yang menyewa sebagai Pemotonng PPh Final tersebut . Utang PPh Final atas penghasilan WP perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri timbul pada saat pembayaran atau pada saat timbulnya kewajiban pihak yang menyewa untuk membayar penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu pelabuhan lain di Indonesia atau ke pelabuhan di Luar negeri.
Pada saat timbulnya utang PPh Final, pemotong PPh Final (pihak yang menyewa) wajib melakukan pemotongan PPh Final tersebit dengan perhitungan 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto (peredaran bruto adalah
semua imbalan atau nilai pengganti berupa uan atau nilai uang termasuk fee agennya (tanpa PPN) yang diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri dari Pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari: a) Suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia b) Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri Penghitungan tersebut dilakukan di formulir Bukti Pemotongan PPh atas Imbalan yang Dibayarkan/Terutang kepada Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (Final) dalam rangkap tiga, dan lembar pertama diserahkan kepada pihak penerima hadiah undian sebagai WP-nya untuk digunakan sebagai bukti bahwa ia telah membayar PPh Final melalui sistem pemotongan, lembar kedua untuk dilaporkan ke KPP dan lembar ketiga untuk arsipnya. Penyetoran PPh Final yang dipotong tersebut ke Kas Negara melalui bank persepsi atau kantor poas persepsi dilakukan olej pemotong PPh Final dengan menggunakan SSP dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan timbulnya
utang
PPh
Final
tersebut (bulan pemotongan). Pelaporan
mengenai
penghitungan dan penyetoran PPh Final tersebut ke KPP tempat Pemotong PPh Final terdaftar dengan menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 15 dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan setelah bulan pemotongan PPh Final tersebut. Dengan sistem pemajakan sendiri jika penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia atau ke pelabuhan di luar negeri diterima/diperoleh tidak melalui carter/sewa, atau melalui carter/sewa tetapi pihak yang mencarter/menyewa tidak/lupa memotong PPh Final tersebut. Utang PPh Final atas penghasilan WP Perusahan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri timbul pada saat diterimanya atau pada saat timbulnya hak dari pihak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri untuk menagih penghasilan dari usaha pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia atau ke pelabuhan di luar negeri. Pada saat timbulnya utang PPh Final atau paling lambat pada saat jatuh tempo penyetoran PPh Final tersebut (tanggal 15 bulan
setelah timbulnya utang PPh Final tersebut) WP Perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri sendiri wajib melakukan perhitungan PPh Final 2,64% (dua koma enampuluh empat persen dari peredaran bruto (pengertian peredaran bruto lihat
di bagian (i) di atas). Penyetoran PPh Final tersebut ke Kas Negara melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dilakukan oleh WP perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan timbulnya utang PPh Final tersebut. Pelaporan mengenai penghitungan dan penyetoran PPh Final tersebut ke KPP tempat WP perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri terdaftar dengan menggunakan SPT Masa PPh Final Pasak 15 dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan setelah bulan timbulnya utang PPh Final tersebut.