SH I PPI PP I NG , I NL A ND WA TE R WAY WA Y S TRA TR A NSPOR NS POR T , A I R TR A NSPOR NS POR T AND A ND A SSOC I A TE D E NTE NT E R PR I SE S (PASAL 8 DAN PASAL 9)
MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pajak Internasional
Disusun Oleh: Siska Liana 120620170514
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2018
Pasal 8 Penghasilan dari Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat dan Penerbangan
1. Keuntungan dari pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di negara pihak pada persetujuan di mana tempat manajemen yang efektif dari perusahaan tersebut berada. 2. Keuntungan dari operasi kapal yang terlibat dalam transportasi perairan darat hanya akan dikenakan pajak di negara pihak pada persetujuan di mana tempat manajemen yang efektif dari perusahaan tersebut berada. 3. Jika tempat manajemen yang efektif dari perusahaan pelayaran atau dari perusahaan transportasi perairan darat berada di d i atas kapal atau perahu, maka ma ka itu akan dianggap berada di negara pihak di mana pelabuhan rumah kapal atau perahu berada , atau jika tidak ada pelabuhan rumah seperti itu, di negara pihak pada persetujuan di mana operator kapal atau perahu. 4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 berlaku pula terhadap laba dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha bersama atau dari suatu perwakilan untuk operasi internasional. 1.1
Pendahuluan
Permasalahan pajak berganda atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat, dan penerbangan merupakan isu lama yang beredar di ranah pajak internasional. Istilah kegiatan pelayaran pela yaran mengacu pada kegiatan pengoperasian alat transportasi laut berupa kapal (ship). Sementara istilah kegiatan transportasi perairan darat mengacu pada kegiatan pengoperasian alat transportasi berupa boat melalui sungai atau danau. Kemudian, istilah kegiatan penerbangan mengacu pada kegiatan pengoperasian alat transportasi berupa pesawat. Peran P3B dalam mengatasi permasalahan pajak berganda atas kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat dan penerbangan masih sangat terbatas pada era sebelum tahun 1900-an. Pada saat itu, beberapa perjanjian dagang dan navigasi (treaty on commerce and navigation) lebih berperan dalam menyelesaikan permasalahan pajak
berganda atas penghasilan pelayaran dan transportasi perairan darat. Beberapa P3B yang ditandatangani pada akhir tahun 1800-an maupun awal 1990-an tidak mengatur ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat dan penerbangan. Kemudian pada awal tahun 1920-an beberapa P3B telah mengatur secara khusus ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan transportasi perairan darat. Misalnya pasal 13B Hungaria dan Cekoslowakia pada tahun 1923 dengan rumusan , yaitu sebagai berikut : “Shipping undertakings on the Danube are only subject to taxes on the profits derived from their shipping business in the state in which the centres of the management and control of the undertakings are established.”
Upaya menghindari pajak berganda atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi darat dan penerbangan ditunjukan LBB pada tahun 1923 melalui Report on Double Taxation dimana laporan tersebut membedakan kegiatan pelayaran dan
kegiatan transportasi perairan darat. Prinsip pemajakan yang disarankan terhadap penghasilan dari kegiatan pelayaran adalah hak pemajakan sepenuhnya diberikan ke negara domisili dari perusahaan tarnsportasi tersebut. Kemudian pada tahun 19 25, ahli pajak yang ditunjuk oleh PBB menyampaikan laporannya terkiat isu pajak berganda bahwa hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran diberikan hanya kepada dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut. negara ‘real ‘real centre of management’ dari Prinsip pemajakan yang disarankan oleh para ahli di tahun 1925 tersebut ditegaskan dalam Draf 1927 diamana ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran digabung dengan ketentuan pemajakan atas laba . Ketentuan tersebut menyatakan bahwa : ‘…. Income from maritime shipping concerns shall be taxable only in the state the state in which the real centre of management is situated.”
Pada tahun 1928 ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan penerbangan adalah sebagai berikut :
‘…. Income from maritime shipping and air navigation concerns shall be taxable only in the state in which the real centre of management is situated.”
Dalam draf 1935, penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan diatur secara spesifik dan tidak digabungkan dengan ketentuan pemajakan atas laba usaha, dimana hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara
real centre of
management berada. Dalam Draft Meksiko tahun 1943 , prinsip pemajakan atas
penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan diberikan sepenuhnya kepada negara tempat keberadaan alat transportasi yang digunakan dalam kegiatan. Sementara dalam Draft London, hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara tempat real centre of management berada.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa ketentuan hak pemajakan atas penghasilan kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional serta kegiatan transportasi perairan darat berevolusi dari ketentuan dalam laba usaha dan kemudian dipisah lagi. Perubahan yang diantaranya hak pemajakan negara tempat real centre of management dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut. Kemudian hak
pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili perusahaan yang melakukan kegiatan hingga pembagian hak pemajakan diantara dua negara yang menandatangani P3B.
1.2
Struktur dan Isi Pasal OECD Model dan UN Model
Dalam OECD Model dan UN Model pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi darat, dan penerbangan diatur dalam Pasal 8. Dalam OECD Model , pasal ini terdiri dari empat ayat, Dalam UN Model, ketentuan ini terdiri dari dua alternatif, yaitu alternatif A yang terdiri dari empat ayat dan alternatif B yang terdiri dari lima ayat. Berikut rumusan Pasal 8 dari masing-masing model:
Pasal 8 OECD Model
i.
Profits from the operastion of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated. ii. Profits from the operation of boats engaged in inland waterways transport shall be taxable onlu in the Contracting State in which the place of effective managamenet of enetrprise is situated. iii. If the place of effective management of a shipping enterprise or of an inland waterways transport enterprise is aboard a ship or boat, then it shall be deemed to be situated in the Contracting State in which the home harbor of the ship or boat is situated or if there is no such home harbor, in the Contracting State pf which the operator of the ship pr boat is a resident. iv the provisions of paragraph 1 shall also apply to profits from the participation in a pool, a joint bussines or an international operating agency
Pasal 8 UN Model
Alternatif A i. Profits from the operastion of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated. ii. Profits from the operation of boats engaged in inland waterways transport shall be taxable onlu in the Contracting State in which the place of effective managamenet of enetrprise is situated. iii. If the place of effective management of a shipping enterprise or of an inland waterways transport enterprise is aboard a ship or boat, then it shall be deemed to be situated in the Contracting State in which the home harbor of the ship or boat is situated or if there is no such home harbor, in the Contracting State pf which the operator of the ship pr boat is a resident. iv the provisions of paragraph 1 shall also apply to profits from the participation in a pool, a joint bussines or an international operating agency.
Alternatif B i.
Profits from the operation of aircraft international traffic shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated. ii. Profits from the operation of ships in international traffic shall be taxable
only in Contracting State in which the place effective management of the enterprise is situated unless the shipping activities arising ftom such operation in the other Contracting State are more than casual. If such activities are more than casual, such profit may be taxed in that other State. The profits to be taxed in that other State shall be determined on the basis of an appropriate allocation of the overall net profits derived by the enterprise from its shipping operation. The tax computed in accordance with such allocation shall than be reduced by per cent ( The percentage is to be established through bilateral negotiations), iii. Profits from the operation of boats engaged in inland waterways transport shall be taxable only in the Contracting State in which the place effective management of the enterprise us situated iv. If the place of effective management of a shipping enterprise or of an inland waterways transport enterprise is aboard a ship or boat, then it shall be deemed to be situated in the Contracting State in which the home harbor of the ship or boat situated or , if there is no such home harbor, in the Contracting State of which the operator of the ship orboat is a resident. v. The provision of paragraph 1 and 2 shall also apply to profits from the participation in a pool, a joint business or an international operating agency.
Berdasarkan rumusan masing-masing ayat dalam Pasal 8 OECD Model dan UN Model di atas, dapat dilihat bahwa Pasal 8 OECD Model identik dengan Alternatif A Pasal 8 UN Model. Berikut adalah ketentuan masing-masing ayat : a. Ayat 1 dan 2 Menjelaskan mengenai prinsip pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan dalam jalur internasional serta kegiatan transportasi perairan darat, yaitu hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan jalur internasional serta kegiatan transportasi sepenuhya diberikan kepada negara tempat manajemen efektif dari perusahaan yang melakukan
kegiatan
pelayaran,
penerbangan,
atau
perusahaan
yang
mengoperasikan transportasi di perairan darat tersebut berada. b. Ayat 3 Menjelaskan bahwa apabila manajemen efektif dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan pelayaran atau transportasi perairan darat dianggap berada di atas kapal atau boat, negara pelabuhan utama dari kapal atau boat terletak diperlakukan sebagai negara dari tempat manajemen efektif perusahaan pelayaran atau perusahaan transportasi perairan darat tersebut. Namun, dalam hal kapal atau boat tersebut tidak memiliki pelabuhan utama, tempat efektif manajemen perusahaan dianggap di negara domisili dari operator kapal atau boat tersebut. c. Ayat 4 Menegaskan bahwa prinsip pemajakan diatur dalam ayat (1) juga berlaku terhadap penentuan hak pemajakan atas penghasilan dari partisipasi kerjasama kegiatan usaha atau agnesi internasional sehubungan dengan pengoperasian moda transportasi jalur internasional.
Untuk Alternatif B dari Pasal UN Model, berikut adalah ketentuan dari maisngmasing ayat : a. Ayat 1 Menjelaskan mengenai prinsip pemajakan atas penghasilan dari kegiatan penerbangan dalam jalur internasional , yaitu hak pemajakan atas penghasilan tersebut diberikan sepenuhnya kepada negara tempat manajemen efektif dari perusahaan yang melakukan kegiatan penerbangan tersebut berada. b. Ayat 2 Menjelaskan mengenai prinsip pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dalam jalur internasional. Pasal ini memberikan hak pemajakan lebih besar kepada negara sumber ketika kegiatan pelayaran bersifat teratur (more than casual ). c. Ayat 3 Mengatur tentang hak pemajakan atas penghasilan yang diterima dari kegiatan transportasi darat. Sama halnya dengan pemajakan atas penghasilan kegiatan pelayaran dan penerbangan, hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan transsportasi perairan darat juga diberikan kepada negara
manajemen
efektif
perusahaan
yang
melakukan
kegiatan
transportasi perairan darat berada. d. Ayat 4 Mengatur bahwa jika tempat manajemen aktif dari perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran atau transportasi perairan darat dianggap berada di atas kapal atau boat, negara pelabuhan utama dari kapal atau boat terletak diperlakukan sebagai manajemen efektif dari perusahaan pelayaran atau perusahaan transportasi perairan darat tersebut. Namun dalam hal kapal atau boat tersebut tidak memiliki pelabuhan utama , tempat efektif manajemen perusahaan dianggap berada di negara domisili operator kapal atau boat tersebut.
e. Ayat 5 Prinsip pemajakan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) alternatif B UN Model juga berlaku terhadap penentuan hak pemajakan atas penghasilan dari partisipasi atau kerjasama kegiatan usaha atau agnesi internasional sehubungan dengan kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional.
1.3
Pengertian Jalur Internasional (I nternational Traffic)
Pengertian jalur internasional diatur dalam Pasal 3 ayat (1) OECD Model sebagai berikut: “ the term “international traffic” means any transport by a ship or aircraft operated by an enterprise that has its place of effective management in a Contracting State, except when the ship or aircraft is operated soley between places in the other Contracting State”
Dari definisi di atas, pengoperasian kapal yang berlayar atau pesawat yang terbang antara suatu tempat di negara sumber dan tidak melewati batas yuridiksi negara sumber tidak termasik dalam pengertian jalur internasional. Pengertian antara suatu tempat di negara sumber mengandung makna bahwa tempat keberangkatan dan kedatangan kapal atau pesawat haruslah dari negara sumber tersebut. Berikut ini contoh aplikasi atas pengertian jalur internasional dan hubungannya dengan ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional. Kakaktua Airlines adalah perusahaan yang memiliki manajemen aktif dan berdomisili (subjek pajak dalam negeri ) di negara X. Kakaktua Airlines melakukan kegiatan penerbangan antara negara Y dan negara Z. Apakah keguiatan penerbangan antara negara Y dan Negara Z oleh Kakaktua Airlines termasuk dalam pengertian penerbangan di jalur internasional ? Ilustrasi atas contoh tersebut sebagai berikut :
Dalam contoh ini, kegiatan penerbangan antara negara Y dan negara Z termasuk dalam pengertian kegiatan penerbangan di jalur internasional karena pesawat tersebut tidak dioperasikan semata-mata antara dua tempat dalam satu negara. Apabila negara X dan negara Y memiliki P3B yang sama dengan OECD model, ketentuan pemajakan atas penghasilan yang diperoleh dari Kakaktua Airlines dari pengoperasian pesawat antara dua negara tunduk pada pasal pemajakan atas penghasilan dari kegiatan penerbangan di jalur Internasional. Dalam hal ini, negara X selaku negara tempat manajemen efektif dari Kakaktua airlines merupakan negara yang berhak mengen akan pajak atas penghasilan tersebut. Demikian juga jika antara Negara X dan negara Z memiliki P3B yang sama dengan OECD model, negara yang berhak memajaki penghasilan tersebut adalah negara X. Lalu , bagaimana jika Kakaktua Airlines melakukan kegiatan penerbangan antara dua tempat dalam negara Y seperti ilustrasi sebagai berikut :
Kegiatan penerbangan dilakukan antara dua tempat di negara Y (negara sumber), kegiatan tersebut tidak termasuk dalam pengertian jalur internasional. Dengan
demikian ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan penerbangan di jalur internasional dalam P3B negara X dan negara Y tidak dapat diaplikasikan dalam contoh ini, Ketentuan P3B yang relevan digunakan untuk penghasilan dari kegiatan penerbangan yang dilakukan semata-mata antara dua tempat di Negara Y adalah ketentuan pemajakan atas laba usaha.
1.4
Prinsip Pemajakan
Pada bagian ini, pembahasan atas prinsip pemajakan didasarkan pada ketentuan dalam OECD Models dan UN Model . Terdapat dua alternatif ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat dan penerbangan yang ditawarkan oleh UN Model, yaitu Alternatif A dan alternatif B . Alternatif A mengadopsi penuh ketentuan dalam OECD Model. 1.
OECD Model dan Alternatif A UN Model Pasal 8 OECD Model maupun alternatif dari Pasal 8 UN Model (selanjutnya disebut sebagai Pasal 8 OECD Model) mengatur tentang ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional serta penghasilan dari kegiatan transportasi perairan darat. Ketentuan ini memberikan perlakuan sama atas barang atau orang sebagai objek transportasi. Berikut adalah rumusan Pasal 8 OECD Model. “i. Profits from the operastion of ships or aircraft in international traffic shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated. ii. Profits from the operation of boats engaged in inland waterways transport shall be taxable onlu in the Contracting State in which the place of effective managamenet of enetrprise is situated. iii. If the place of effective management of a shipping enterprise or of an inland waterways transport enterprise is aboard a ship or boat, then it shall be deemed to be situated in the Contracting State in which the home harbor of the ship or boat is situated or if there is no such home harbor, in the Contracting State of which the operator of the ship pr boat is a resident.
iv. the provisions of paragraph 1 shall also apply to profits from the participation in a pool, a joint bussines or an international operating agency
Dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) OECD Model di atas , hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional diberikan sepenuhnya kepada negara tempat manajemen efektif dari perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran dan penerbangan tersebut. Menurut Georg Kofler, alasan hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional diberikan secara eksklusif kepada satu negara adalah dikarenakan perusahaan yang menjalankan kegiatan ini lebih rentan mengalami pajak berganda dibandingkan dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan komersial lainnya. Selain alasan tersebut, adanya perjanjian internasional terdahulu yang mengatur pelepasan hak pemajakan di negara sumber atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan penerbangan asing dari kegiatan pelayaran dan penerbangan atas timbal balik, juga menjadi latar belakang hak pemajakan atas penghasilan ini hanya diberikan kepada satu negara. Meski demikian, terbuka kemungkinan bagi para negara yang mengadakan P3B untuk tidak memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara tempat manajemen aktif berada, tetapi negara domisili dari perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional tersebut. Pertimbangannya adalah kesulitan dalam administrasi dalam menentukan manajemen efektif, terutama bagi negara yang tidak menganut tempat manajemen efektif dalam ketentuan. Tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber didasari pemikiran bahwa laba dari perusahaan yang menjalankan kegiatan pelayaran atau penerbangan diperoleh dari laut lepas atau di udara sehingga pemberian hak pemajakan kepada negara sumber dapat menimbulkan pajak berganda atau silit dalam pengalokasian laba. Selain itu, tidak diberikannya hak pemajakan kepada negara sumber bertujuan untuk
memastikan
perusahaan
yang
menjalankan
kegiatan
pelayaran
atau
penerbangan tidak akan dikenakan pajak di berbagai negara, jika bisnis yang dilakukan secara keseluruhan ternayata tidka menguntungkan. Menurut Vogel, prioritas pemberian hak pemajakan sepenuhnya kepada negara tempat manajemen efektif dibanding negara domisili didasarkan pada pertimbangan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran dan penerbangan dapat bertempat kedudukan atau didirikan di suatu negara, tetapi melakukan kegiatan pelayaran dan penerbangan di negara lainnnya. Dengan memberikan hak pemajakan hanya kepada negara tempat manajemen aktif, ketentuan ini mencegah penghindaran pajak melaului pendirian perusahaan di negara lain untuk memperoleh manfaat pajak dan juga untuk lebih menjamim hubungan antara hak pemajakan dengan aktivitas ekonomi suatu negara. Permasalahan akan timbul dalam Pasal 8 OECD Model jika ternyata kedua negara yang mengadakan P3B menetapkan persyaratan subjek pajak dalam negeri dalam ketentuan pajak domestik mereka masing-masing tidak berdasarkan tempat manajemen aktif. Misalnya Kakaktua Airlines melakukan kegaiatan penerbangan dari negara X ke negara Y. Kakaktua Airlines memiliki manajamen aktif di negara X, tetapi tidak berdomisili di negara X dan negara Y berdasarkan ketentuan domestik kedua negara. Oleh karena itu, berdasarkan ketetntuan domestik negara X dan negara Y penentuan subjek pajak dalam negerinya mengacu pada domisili, Kakaktua Airlines bukan subjek pajak dalam negara X maupun negara Y. Untuk tujuan penerapan P3B antara negara X dan negara Y, Apakah Pasal 8 OECD Model dapat diterapkan ? Persyaratan Pasal 1 dan Pasal 4 OECD Model menetapkan persyaratan yang berhak menerapkan P3B adalah subjek pajak dalam negeri di salah satu atau kedua negara yang mengadakan P3B. Dalam contoh ini, walaupun Kakaktua Airlines memiliki tempat manajemen efektif di salah satu negara yang mengadakan P3B, akan tetapi Kakaktua Airlines tidak memenuhi persyaratan subjek pajak dalam negeripada kedua negara yang mengadakan P3B. Dengan demikian, P3B antara
negara X dan negara Y tidak dapat diterapkan. Ketentual Pasal 8 OECD Model hanya dapat diterapkan jika temat manajemen efektif dari perusahaan tersebut terletak di salah satu negara yang mengadakan P3B. Tidak berbeda dengan Pasal 8 ayat (1) OECD Model, Pasal 8 ayat (2) OECD Model. Hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan transportasi perairan darat melalui pengoperasian boat speenuhnya diberikan kepada negara tempat manajemen efektif perusahaan itu berada. Akan tetapi tidak seperti dengan Pasal 8 ayat (1) OECD Model, cakupan Pasal 8 ayat (2) OECD Model tidak hanya terbatas pada kegiatan transportasi perairan darat di jalur internasional. Hal ini berarti negara tempat manjemen efektif juga memiliki hak pemajakan sepenuhnya atas kegiatan transportasi di perairan darat yang dilakukan antara dua tempat di negara sumber. Ketentuan Pasal (3) OECD Model merupakan ketentuan yang berlaku khusus dalam hal tempat manajemen efektif dari perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran atau transportasi perairan darat berada di atas kapal atau boat. Dalam kondisi ini, hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara tempat pelabuhan utama kapal atau boat tersebut. Pelabuhan utama dari suatu kapal atau boat adalah pelabuhan tempat kegiatam transportasi perairan darat tersebut dilakukan. Apabila tempat pelabuhan utama tidak dapat ditentukan, hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara domisili dari operator atau kapal atau boat tersebut. Pasal 8 ayat (4) OECD Model mengatur tentang berbagai model kerjasama usaha berskala internasional yang dilakukan dalam kegiatan transportasi. Model kerja sama usaha tersebut misalnya, dilakukan melalui penyertaan dalam operasional bersama atau perwakilan untuk kegiatan transportasi internasional. Model usaha ini juga dapat berupa penyediaan teknologi, termasuk penyediaan suku cadang. Pasal 8 ayat (4) OECD Model menyatakan bahwa hak pemajakan dari negara tempat manajemen efektif hanya
mencakup bagian laba yang diperoleh dari partisipasi dalam usaha bersama tersebut. 1.5
Alternatif B dari UN Model
Alternatif B atas Pasal 8 UN Model mengatur pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional secara terpisah dalam ayat (1) dan ayat (2). Sementara ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tidak berbeda dengan alternatif , kecuali terdapat sedikit penyesuaian dalam ayat (5). Berikut ini adalah rumusan alternatif B atas Pasal 8 UN Model “i. Profits from the operation of aircraft international traffic shall be taxable only in the Contracting State in which the place of effective management of the enterprise is situated. ii. Profits from the operation of ships in international traffic shall be taxable only in Contracting State in which the place effective management of the enterprise is situated unless the shipping activities arsing ftom such operation in the other Contracting State are more than casual. If suh activities are more than casual, such profit may be taxed in that other State. The profits to be taxed in that other Stete shall be determined on the basis of an appropriate allocation of the overall net profits derived by the enterprise from its shipping operation. The tax computed in accordance with such allocation shall than be reduced by per cent ( The percentage is to be established through bilateral negotiations), iii.Profits from the operation of boats engaged in inland waterways transport shall be taxable only in the Contracting State in which the place effective management of the enterprise us situated iv. If the place of effective management of a shipping enterprise or of an inland waterways transport enterprise is aboard a ship or boat, then it shall be deemed to be situated in the Contracting State in which the home harbor of the ship or boat situated or , if there is no such home harbor, in the Contracting State of which the operator of the ship orboat is a resident. v. The provision of paragraph 1 and 2 shall also apply to profits from the participation in a pool, a joint business or an international operating agency . Berbeda dengan rumusan alternatif A dari Pasal 8 UN Model, dalam Pasal 8
ayat (2) alternatif B dari UN Model, negara sumber juga memiliki hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan jalur internasional apabila kegiatan pelayaran dilakukan
secara teratur (more than casual ) di negara sumber. Dalam hal kegiatan pelayaran dilakukan secara teratur di negara sumber, negara sumber memiliki hak pemajakan atas bagian tertentu dari keseluruhan laba yang diperoleh dari kegiatan pelayaran tersebut. Pertimbangan dimasukannya ketentuan alternatif ini dalam UN Model adalah untuk mengantisipasi banyaknya negara berkembang yang tidak memiliki banyak perusahaan pelayaran domestik, tetapi memiliki pelabuhan yang digunakan oleh kapal dari perusahaan dari negara lain. Dalam kondisi ini, negara berkembang dapat kehilangan basis atas pemajakannya meskipun terdapat hubungan ekonmi yang kuat dan bersifat teratur antara pengunaan pelabuhan dengan kegiatan pelayaran dari negara lainnnya di negara berkembang tersebut. Istilah more than casual dapat diartikan sebagai kegiatan pelayaran dengan kapal yang berlabuh secara terjadwal atau terencana ke suatu negara mengangkut barang atau orang. Ruang lingkup kegiatan pelayaran yang dianggap more than casual dapat beripa kegiatan pelayaran yang dilakukan secara teratur dan tidak teratur sepanjang kegiatan tersebut terencana dan tidak bersifat hanya kebetulan saja. Pada sengketa antara James Mackintosh & Co. Ltd vs ACIT (Income tax Appellate Tribunal Mumbai), tiga kapal pemohon banding berlabuh sebanyak tujuh kali di India dalam satu tahu. Dalam argumennya, pemohon banding menyatakan bahwa kapal yang berlabuh di India tersebut tidak melakukan kegiatan pelayaran secara teratur karena kegiatan di pelabuhan India ini dilakukan berdasarkan permintaan pada saat-saat tertentu atau tidak dilakukan berdasarkan jadwal yang tetap. Pemohon banding juga menambahkan bahwa kegiatan pelayaran yang dilakukan adalah tramp shipping bukan linear shipping .
Dalam putusannya, Pengadilan pajak India menolak permohonan banding James Mackintosh & Co. Ltd. Ha lini merujuk pada fakta adanya kapal pemohon yang berlabuh di India yang menunjukkan bahwa kegiatan pelayaran tersebut terncana. Pengadilan menegaskan bahwa fakta kapal milik pemohon banding dalam frekuensi tidak teratur tidak berarti more than casual dalam Commentary Pasal 8 UN Model mencakup kegiatan pelayaran baik secara teraur maupun tidak teratur. Pengadilan juga
menolak pemohon banding yang menyatakan kegiatan pelayaran adalah tramp shipping, dengan pertimbangan bahwa argument pemohon banding tersebut hanya
relevan dalam konteks kegiatan yang dilakukan secara komersial. Namun, ini tidak relevan dalam menentukan kegiatan pelayaran yang dilakukan secara teratur. Berdasarkan alternatif Pasal 8 ayat (2) UN Model, negara sumber memiliki hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran yang dilakukan di jalur internasional, terlepas ada tidaknya BUT di negara sumber tersebut dan apakah penghasilan dari kegiatan pelayaran teratribusi kepada BUT. Hal penting yang perlu ditekankan dari ketentuan ini adalah hak pemajakan negara sumber dibatasi hanya atas alokasi tertentu dari keseluruhan penghasilan yang diperoleh oleh perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran. Beasarnya keseluruhan laba yang diperoleh oleh perusahaan ditentukan oleh otoritas pajak dari negara tempat manajemen efektif perusahaan.
1.6 Cakupan Aktivitas Perkapalan dan Penerbangan dalam Pasal 8 OECD Model.
Penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional tidak hanya terbatas pada kegiatan yang langsung berhubungan dengan pengangkutan orang dan barang saja (linier services). Akan tetapi, juga mencakup penghasilan yang diperoleh dari berbagai kegiatan lain yang berhubungan langsung maupun tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pelayaran dan penerbangan sepanjang kegiatan tersebut bersifat penunjang. Secara umum terdapat dua model penyewaan kapal atau pesawat yaitu penyewaan kapal atau pesawat beserta perlengkapan, awak dan perbekalannya (fully maned basis) atau tanpa perlengkapan (bare boat basis). Paragraph 5 dari Commentary
atas Pasal 8 OECD Model menyatakan bahwa penghasilan yang timbul dari penyewaan kapal atau peaswat dalam bentk fully maned basis harus diberlakukan sama seperti penghasilan dari pngenagkutan barang atau orang sehingga penghasilan ini termasuk dalam cakupan Pasal 8 OECD Model.
Dalam hal penyewaan dilakukan dalam bentuk bare boat basis, penghasilan yang timbul dari penyewaan dalam bentuk ini diperlakukan sebagai laba usaha dan ketentuan yang berlaku adalah Pasal 7 OECD Model. Akan tetapi, apabila penyewaan yang dilakukan dalam bentuk bare boat basis merupakan bentuk penunjang kegiatan pelayaran dan penerbangan yang dilakukan perusahaan di jalur internasional, penghasilan yang timbul termasuk dalam cakupan Pasal 8 OECD Model. Bagi perusahaan yang menyewa kapal atau pesawat untuk digunakan dalam kegiatan pelayaran dan penerbangannya, penghasilan dari pengoperasian kapal atau pesawat yang disewa tersebut tunduk pada Pasal 8 OECD Model. Hal ini disebabkan penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional termasuk dalam cakupan Pasal 8 OECD Model tidak melihat apkaah kapal atau pesawat tersebut dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan pelayaran dan penerbangan tersebut disewa dari perusahaan lainnya. Perusahaan penerbangan juga dapat terlibat dalam aktivitas penjualan tiket milik perusahaan penerbangan lain. Misalnya, perusahaan K melayani penerbangan antara kota A di negara X ke kota B di negara Y. Untuk menunjang kegiatan penerbangannya, Perusahan K bekerjasama dengan perusahaan L untuk melayani penumpung A di Negara X ke kota C di negara Y. Dalam kerjasama tersebut, penumpang akan dilayani oleh perusahaan K dari kota A di Negara X ke kota B di Negara Y, dan Perusahaan L selanjutnya akan membawa penumpang dengan pesawat yang dioperasikannya dari Kota B ke kota C di Negara Y. Penjualan tiket pesawat dari kota B ke Kota C di negara Y dilakukan sebagai satu kesatuan dengan penjualan tiket yang dilakukan oleh perusahaan K. Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Penghasilan yang diperoleh oleh Perusahaan K dari penjualan tiket milik Perusahan L tunduk pada Pasal 8 OECD Model. Namun, apabila aktivitas penjualan tiket dilakukan oleh biro travel yang bersifat independen dari perusahaan penerbangan, penghasilan dari penjualan tiket tersebut tunduk pada Pasal 7 OECD Model. 1.7
Ketentuan Domestik P3B di Indonesia
Ketentuan pajak domestik atas penghasilan yang diperoleh subjek pajak perusahaan pelayaran dana tau penerbangan luar negeri diatur dalam Pasal 15 UU PPh dan
diatur
lebih
lanjut
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
417/KMK.04/1996 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Nrto bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan KMK-417). Dalam KMK-417, besarnya pajak penghasilan bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Neeru ditetapkan sebesar 2.64% dari peredaran bruto. Dalam penegasannya atas KMK-417, Direktur Jenderal Pajak melalui surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 menyataan bahwa subjek pajak yang tercakup dalam KMK-417 adalah subjek pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui BUT di Indonesia. Oleh karena itu KMK-417 tidak berlaku apabila BUT memperoleh atau menerima imbalan atau penggantian dari pengangkutan orang dan/atau barang :
i.
Dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonsesia; dan/atau
ii.
Dari satu pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di luar negeri PT KLM menggunakan jasa angkutan perusahaan pelayaran Seacom Inc yang
berkedudukan di singapura dan memiliki BUT Indonesia. Seacom Inc mengangkut barang PT KLM dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di Singapura sebagimana dilihat dalam gambar berikut :
Rumusan Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia dan Singapura mengatr bahwa : “income derived by an enterprise of a Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the other Contracting State, but the tax imposed in the other state shall be reduced by an amount equal to 50% there of “
Sementara Pasal 3 ayat (1) huruf h P3B Indonesia dan Singapura menyebutkan bahwa: “the term international traffic means any transport by a ship or aircraft operated by an enterprise of one of the Contracting State, except when the Ship or aircraft is operated solely between places in the other Contracting State”
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf h P3B di Indonesia dan Singapura, jalur pengangkutan barang melalui pelabuhan di Indoenesia ke Pelabuhan di Singapura termasuk dalam jalur internasional. Dari Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia dan Singapura Indonesia memlikik hak pemajakan
atas penghasilan yang diterima Seacom Inc.
Namun, pajak yang dikenakan di Indonesia harus dikurangkan 50% dari tarif yang berlaku. Oleh karena kegiatan pelayaran dilakukan di jalur internasional dan Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia dan Singapura memberikan hak pemajakan kepada Indonesia, pengenaan pajak penghasilan yang diperoleh Seacom Inc tunduk pada Pasal 26 UU PPh. Dalam kondisi Seacom memiliki BUT di Indonesia dan melakukan pengangkutan barang dari satu pelabhan di Indonesia ke pelabuhan di Indonesia lainnya ketentuan pajak yang berlaku adalah KMK-417. Hal ini disebabkan pengangkutan barag tersebut tidak termasuk pengertian dalam jalur internasional. Dalam Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia dan Singapura tidak dapat diterapkan, ketetntuan yang berlaku adalah Pasal 7 P3B dimana Indonesia memliliki hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh Seacom Inc karena Seacom Inc memiliki BUT di Indonesia Tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 2,64% sesuai KMK-417. Untuk memberikan gambaran atas berbagai P3B yang ditelah ditandatangani oleh Indonesia dengan negaar mitra P3B , berikut pemajakan atas penghasilan dari kegiatan penerbangan dan pelayaran di jalur Internasional.
No
Negara Partner
Penerbangan
Pelayaran
1.
Afrika Selatan
Negara domisili
Negara domisili
2.
Aljazair
Negara domisili
Negara domisili
3.
Amerika Serikat
Negara domisili
Negara domisili
4.
Australia
Negara domisili
Negara domisili
5.
Austria
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
6.
Bangladesh
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
7.
Belanda
Negara domisili
Negara domisili
8.
Belgia
Negara domisili
Negara domisili
9.
Brunei Darusalam
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
10.
Bulgaria
Negara domisili
Negara domisili
11.
China
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
12
Denmark
Negara domisili
Negara domisili
13.
Finlandia
Negara domisili
Negara domisili
14.
Hongkong
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
15
Hungaria
Negara domisili
Negara sumber dengan penurunan tarif 50%
16.
India
Negara domisili
Negara domisili
17.
Iran
Negara domisili
Negara domisili
18.
Italia
Negara domisili
Negara domisili
19.
Jepang
Negara domisili
Negara domisili
20.
Jerman
Negara domisili
Negara domisili
21.
Kanada
Negara domisili
Negara domisili
22.
Korea Utara
Negara domisili
Negara domisili
23.
Republik Korea
Negara domisili
Negara domisili
24.
Kroasia
Negara domisili
Negara domisili
25.
Kuwait
Negara domisili
Negara domisili
26
Luksemburg
Negara domisili
Negara domisili
27.
Malaysia
Negara tempat
Negara sumber dengan
manajemen aktif
penurunan tarif 50%
28.
Maroko
Negara domisili
Negara domisili
29.
Meksiko
Negara domisili
Negara domisili
30.
Mesir
Negara domisili
Negara domisili
Mongolia
Negara domisili
Negara domisili
32. Norwegia
Negara domisili
Negara domisili
31.
33.
Pakistan
Negara domisili
Negara sumber
34.
Papua New
Negara domisili
Negara domisili
Guenia 35.
Prancis
Negara domisili
Negara domisili
36.
Filipina
Negara sumber
Negara sumber dengan tariff
dengan tariff
maksimal 1,5% dari pendapatn
maksimal 1,5% dari
bruto
pendapatan bruto 37.
Polandia
Negara domisili
Negara domisili
38.
Portugal
Negara domisili
Negara domisili
39.
Qatar
Negara
tempat Negara tempat manajemen aktif
manajemen aktif 40.
Republik Ceko
Negara domisili
Negara domisili
41.
Rumania
Negara domisili
Negara sumber dengan
tariff
maksimal 2% dari pendapatan bruto 42.
Rusia
Negara domisili
Negara
sumber
dengan
penurunan tarif 50% 43.
Arab Saudi
Negara domisili
Negara domisili
44.
Selandia Baru
Negara domisili
Negara domisili
45.
Seeycheless
Negara domisili
Negara domisili
46.
Singapura
Negara domisili
Negara
sumber
penurunan tarif 50% 47.
Slovakia
Negara domisili
Negara domisili
48.
Spanyol
Negara domisili
Negara domisili
dengan
49.
Srilanka
Negara domisili
Negara
sumber
dengan
penurunan tarif 50% 50.
Sudan
Negara domisili
Negara domisili
51.
Suriah
Negara domisili
Negara domisili
52.
Suriname
Negara domisili
Negara domisili
53.
Swedia
Negara domisili
Negara domisili
54.
Swiss
Negara domisili
Negara
sumber
penurunan tarif 50% 55.
Taiwan
Negara domisili
Negara domisili
56.
Thailand
Negara domisili
Negara domisili
57.
Tunisia
Negara domisili
Negara domisili
58.
Turki
Negara domisili
Negara domisili
59.
UK
Negara domisili
Negara domisili
60.
Ukraina
Negara domisili
Negara domisili
61.
Uni Emirat Arab
Negara domisili
Negara domisili
62.
Uzbekistan
Negara domisili
Negara domisili
63.
Venezuela
Negara domisili
Negara domisili
64.
Vietnam
Negara domisili
Negara domisili
65.
Yordania
Negara domisili
Negara domisili
dengan
PASAL 9 Tentang Hubungan Istimewa
1. Di mana a) Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam manajemen, kendali atau modal suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, atau b) Orang yang sama yang berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam manajemen, pengendalian atau modal suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan. Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dan dalam kondisi apa pun terjadi atau dipaksakan antara kedua perusahaan dalam hubungan komersial atau keuangan mereka yang berbeda dari yang akan dibuat antara perusahaan independen, maka setiap keuntungan yang akan, tetapi untuk kondisi-kondisi tersebut, telah terkumpul ke salah satu perusahaan, tetapi, dengan alasan kondisi-kondisi itu, belum begitu diakrualkan, dapat dimasukkan dalam laba perusahaan itu dan dikenakan pajak yang sesuai. 2. Apabila suatu Negara pihak pada Persetujuan memasukkan laba perusahaan dari Negara tersebut - dan mengenakan pajak sesuai - laba di mana suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya telah dikenakan pajak di Negara lain itu dan laba yang dimasukkan termasuk dalam laba yang akan diperolehnya yang diberikan kepada perusahaan dari Negara yang disebut pertama jika kondisi yang dibuat antara kedua perusahaan adalah yang telah dibuat antara perusahaan independen, maka Negara lain itu akan membuat penyesuaian yang sesuai dengan jumlah pajak yang dibebankan di dalamnya atas laba tersebut. Dalam menentukan penyesuaian tersebut, harus memperhatikan ketentuan lain dari Konvensi ini dan pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan jika perlu berkonsultasi satu sama lain.
2.1
Pendahuluan
Hubungan istimewa ini banyak dijumpai dalam praktik di berbagai kepentingan bisnis, baik cakupan domestik maupun internasional. Dari sudut perpajakan otoritas perpajakan mempunyai suatu perlakuan perpajakan yang berbeda terhadap transaksi keuangan dari perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dibandingkan dengan wajib pajak yang independen. Istilah hubungan istimewa biasanya digunakan dalam kasus perpajakan dengan transaksi para pihak yang berelasi. Suatu hubungan para pihak, dalam hal ini wajib pajak, dapat dikatakan memiliki hubungan istimewa apabila terdapat suatu kondisi yang diduga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Hubungan istimewa ini dapat terjadi dalam hubungan bisnis internasional antar perusahaan yang berada dalam jaringan perusahaan multinasional. Ketentuan yang mengatur tentang “hubungan istimewa” mengandung dua hal pokok yaitu, rumusan
tentang hubungan istimewa secara umum dan memberikan hak kepada salah satu negara untuk melakukan koreksi atas transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa bila transaksi tersebut tidak arms length. Arms length merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan pihak-pihak mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak mempun yai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. UU PPh mengatur tentang hubungan istimewa di Pasal 18 yaitu pengertiannnya dan wewenang DJP untuk melakukan koreksi bila transaksi yang tidak terjadi arms length. Berdasarkan ketentuan tersebut “Hubungan Istimewa”dianggap ada dalam hal seperti berikut: 1. Hubungan antara dua perusahaan yang salah satu perusahaan mempunyai penyertaan sedikitnya 25% dari modal yang disetor
2. Hubungan antara dua perusahaan yang berada dalam satu penguasaan yang sama 3. Hubungan antara orang pribadi yang mempunyai hubungan darah Pasal 9 mengenai perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan atau perusahaan yang saling berasosiasi. Pasal 9 ayat 1 pada Tax Treaty ini sama dengan OECD Model dan UN Model. Suatu perusahaan dianggap memiliki hubungan apabila: 1. Suatu perusahaan dari suatu negara , baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaa di Negara lainnya, atau 2. Orang-orang/ badan-badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan di negara lainnya. Pihak- Pihak yang dianggap seebagai pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa diantaranya : 1) Penyandang dana 2) Serikat dagang 3) Perusahaan pelayanan umum 4) Departemen dan instansi pemerintah 5) Satu satunya pelanggan, pemasok, pemegang hak franchise , distributor atau perwakilan/agen umum dengan siapa suatu perusahaan mengadakan transaksi usaha dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang diakibatkan oleh keadaan. Jika suatu perusahaan memperoleh laba, tetapi karena ada syarat-syarat yang menyangkut hubungan dagang atau keuangannya dibuat atau diterapkan oleh kedua perusahaan yang saling berhubungan tersebut dan berbeda dari yang dibuat antara perusahaan-perusahaan lainnya yang bebas, laba tersebut tidak diperoleh oleh perusahaan pertama, maka laba tersebut dapat ditambahkan ke dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak. Pasal 9 ayat 2 tidak termasuk dalam OECD Model maupun UN Model. Ayat ini mengatur bahwa suatu negara tidak akan mengadakan
koreksi atas laba setelah berakhirnya batas waktu menurut perundang-undangan negara tersebut. Rumusan Pasal 9 (Hubungan Istimewa) yang ada dalam P3B yang berlaku bervariasi sepanjang menyangkut jangka waktu pelaksanaan koreksi lanjutan ada yang mengadopsi OECD Model dan yang mengikuti UN Model.
2.2
Contoh Hubungan Istimewa Penyertaan secara langsung
PT A memiliki 50% saham PT B. Kepemilikan PT B oleh PT A tersebut merupakan penyertaan modal secara langsung sebesar lebih dari 25%. Dalam hal ini dianggap ada hubungan istimewa antara PT A dan PT B
2.3
Contoh Hubungan Istimewa secara tidak langsung
Jika PT B tersebut diatas memiliki 50% saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B, secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal tersebut antara PT , PT B dan PT C terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan tersebut di atas juga dapat terjadi antara prang pribadi dan badan.
Dalam surat edaran Dirjen Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 menegaskan bahwa hubungan istimewa antara pengusaha dapat juga terjadi karena adanya penguasaan melalui manajemen ataupun penggunaan teknologi meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasa yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam pengusaha yang sama tersebut. a) Contoh hubungan istimewa Penguasa melalui manajemen
Tuan A Direktur utama di perusahaan B, juga menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan C. Dalam hal ini ada hubungan istimewa antara perusahaan B dan perusahaan C, karena adanya penguasaan melalui manajemen tuan A terhadap perusahaan B dan C b) Contoh hubungan Istimewa Penguasaan melalui Pengunaan teknologi Perusahaan X yang memproduksi minuman menggunakan formula yang diciptakan oleh Perusahaan Y. Dala hal ini ada penguasaan melalui penggunaan teknologi oleh Perusahaan Y terhadap Perusahaan X, sehingga terjadi hubungan istimewa antara Perusahaan X dan Perusahaan Y. 2.4
Hubungan istimewa dan Perusahaan Asosiasi
Parameter wajib pajak dianggap mempunyai hubungan istimewa tercantum dalam Pasal 18 (4) yang menyatakan : (a.)Hubungan antara dua perusahaan yang salah satu perusahaan mempunyai penyertaan sedikitnya 25% dari modal yang disetor, (b)Hubungan antara dua perusahaan yang berada dalam satu penguasaan yang sama, (c) Hubungan antara orang pribadi yang mempunyai hubungan darah. Ketika fiskus menemukan adanya suatu transaksi bisnis yang melibatkan dua atau lebih wajib pajak lainnya yang memiliki hubungan istimewa, dan ada indikasi ketidakwajaran harga dalam transaksi tersebut, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya atau pembebanan biaya yang melebihi seharusnya. Pasal 18 ayat (3) UU PPh 1984 mengisyaratkan bahwa penghitungan kembali penghasilan dan pengurangan karena adanya transfer pricing akan dilakukan sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Ketidakwajaran harga yang melampaui batas ketidaknormalan harga pasar dan menjurus pada tindakan transfer pricing secara negatif sering dikaitkan dengan rekayasa harga secara sistematis dengan maksud mencari penghematan pajak dan peningkatan laba secara global. Pada pemeriksaan pajak, terhadap temuan transfer pricing tersebut mitra perjanjian diminta untuk mengadakan koreksi silang. Ketentuan Pasal 9 (1) OECD Model pada Tax Treaty akan menetapkan persyaratan koreksi transfer pricing yang