Inefisiensi Pajak Pajak menyebabkan inefisiensi, dengan dikenakan pajak maka menimbulkan death weight loss. Pajak dapat menyebabkan DWL karena ia dapat mencegah orang untuk melakukan pembelian yang seharusnya mereka lakukan. Harga akhir produk menjadi lebih mahal karena dikenai pajak, sehingga dapat menyebabkan orang enggan membeli. Jika pajak suatu barang naik, beban pajak tersebut akan dibagi kepada produsen dan konsumen. Produsen memperoleh keuntungan lebih sedikit dari barang tersebut karena pajak, sedangkan konsumen harus membayar harga lebih tinggi.
Pada kurva diatas, pengenaan pajak kepada produsen menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri. (So ke S1) Harga keseimbangan menjadi P1, dan jumlah keseimbangan menjadi Q1. Hal ini menyebabkan konsumen kehilangan surlplus sebesar A+B. Produsen kehilangan surplus sebesar F+C. Pemerintah memperoleh pendapatan sebesar A+F. ( 0Q1*(P1-P2) ) DWL adalah segitiga B+C.
Hubungan inefisiensi dengan elastisitas Semakin tinggi elastisitas, semakin tinggi death weight loss nya. Preexisting distortion adalah kegagalan pasar terjadi sebelum intervensi pemerintah, artinya DWL y ang ditimbulkan akibat pajak semakin besar
Optimalisasi pajak Tidak dapat dipungkiri bahwa pajak memegang peran sangat krusial dalam pembangunan suatu negara, termasuk Indonesia. Berkontribusi sekitar lebih dari 70% penerimaan negara di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sektor perpajakan dibebani target penerimaan sekitar Rp 1,307 triliun (postur APBN, 2017). Sebuah angka yang cukup fantastis tentunya. Ironisnya, dalam mengemban tugas, kantor pajak berhadapan dengan fakta bahwa taxpayer compliance level m asih rendah. Rasio taxpayer compliance memang meningkat dalam 4 tahun terakhir, namun pertumbuhannya tidak menunjukkan signifikansi yang berarti. Berdasarkan data Economic Outlook 2017, pada 2013 rasio kepatuhan wajib pajak sangat miris di angka 56,21% yang meningkat menjadi 59,12% pada 2014. Memang pada 2015, angka itu bisa dikatakan stagnan di level 60,42% yang selanjutnya meningkat menjadi 63,16% pada 2016. Data itu mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap administrator perpajakan ini masih perlu ditingkatkan. Dengan kata lain, branding organisasi ini perlu pembenahan secara substansial dan komprehensif. Di sisi lain, dalam satu dekade terakhir tax ratio (pajak per PDB) Indonesia pun stay stagnant di antara angka 10-12%. Bahkan di 20 16 rasio pajak Indonesia menurun menjadi 10.3% dari 10.7% pada tahun 2015 (Economy Outlook , 2017). Rasio pajak Indonesia masih berada di bawah standar negara-negara Organisation on Economic Cooperation and Development (OECD). Bahkan menurut Oxfam (2017), dibandingkan negara ASEAN lain, tax ratio Indonesia bertengger di peringkat dua terbawah diungguli Singapura, Kamboja, Malaysia, Filipina, Laos, Thailand dan Vietnam. Program amnesti pajak dimunculkan sebagai langkah awal yang menjanjikan sebagai stimulus pembangunan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa uang tebusan amnesti pajak menembus Rp 111 triliun, nilai aset Rp 4.371 triliun dengan jumlah wajib pajak berpartisipasi 659.593 orang. Namun, amnesti akan tinggal menjadi pengampunan belaka jika tidak dikapitalisasi dengan menuju sebuah reformasi perpajakan yang substantif dan komprehensif agar momentum positif yang terbentuk pada masa amnesti pajak bisa berlanjut. Melanjutkan semangat dari tujuan pembentukan Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka reformasi perpajakan disadari menjadi hal yang mandatory. Reformasi tersebut diharapkan mampu mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, serta perluasan data yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Kantor pajak pun menyadari kebutuhan untuk mewujudkan suatu lembaga perpajakan yang tidak hanya kuat, kredibel, dan akuntabel, namun juga secara struktur, kewenangan, dan kapasitasnya cukup memadai. Area yang menjadi fokus perbaikan adalah sumber daya manusia, organisasi, proses bisnis, sistem informasi, serta per aturan perundang-undangan. Di samping itu, sinergi dengan pihak ketiga seperti asosiasi, institusi pemerintahan lainnya, terus digiatkan dalam upaya keandalan data dan penegakan hukum. Di sisi organisasi, kantor pajak sebaiknya memiliki struktur organisasi yang ideal dengan memperhatikan cakupan geografis, karakteristik organisasi, ekonomi, kearifan lokal, potensi penerimaan dan rentang kendali (span of control ) yang memadai. Ini juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, kompeten, kredibel, berintegritas, dan dapat menjalankan proses bisnis dalam rangka menghimpun penerimaan negara sesuai dengan potensi yang ada. Selain itu, basis data dan sistem informasi yang reliable dan handal menjadi mandatory dalam upaya pengolahan data perpajakan yang akurat dan berbasis teknologi. Terkait proses bisnis, kantor pajak seyogyanya memiliki proses bisnis yang simpel untuk membuat pekerjaan menjadi efisien, efektif, akuntabel, berbasis IT.
Sebagai pemberi kepastian hukum, peraturan perundang-undangan juga harus menampung dinamika kegiatan perekonomian yang berkembang, memperluas basis perpajakan, mengurangi biaya kepatuhan, dan tentu saja meningkatkan penerimaan pajak. Tidak tanggung-tanggung, reformasi perpajakan menargetkan tax ratio 15% pada 2020. Di balik angka tersebut, harus terdapat upaya yang terintegrasi dan sistematis khususnya di lima pilar reformasi pajak dimaksud. Hal itu dimaksudkan untuk mengusung suatu tujuan yaitu meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan, kepatuhan wajib pajak, keandalan pengelolaan basis data dan administrasi perpajakan, dan integritas serta produktivitas aparat perpajakan. Derap reformasi perpajakan ini harus merupakan suatu langkah yang holistik. Strategi yang baik tanpa disertai pengelolaan perubahan dan penyampaian informasi yang terintegrasi dan masif dapat menggiring program tersebut ke unintended outcome. Di sinilah letak pentingnya peran strategi komunikasi yang terintegrasi dalam change management. Peran change management Dalam rangka menjamin tersampaikannya deliverables kepada setiap stakeholders, change management memegang peran krusial dalam upaya mensukseskan reformasi perpajakan. Bukan merupakan hal yang mudah, mengingat berdasarkan best practice, hanya 30% dari program transformasi berskala besar yang menggiring kepada intended outcome (CTO, 201 6). Resistensi pegawai dan perilaku manajemen yang tidak mendukung perubahan menjadi dua faktor utama penyebab kegagalan transformasi di berbagai organisasi dunia (Balogun, 2016). Dengan kata lain, dalam konteks reformasi perpajakan, komunikasi internal organisasi merupakan faktor utama penentu keberhasilan upaya change management. Menyadari adanya keterbatasan resources, maka dalam rangka efektivitas menciptakan strategi komunikasi dalam change management, perlu dianalisis dan dipetakan seluruh stakeholders berdasarkan interest dan power of influence terhadap reformasi pajak. Dengan memanfaatkan stakeholder analysis tersebut, kantor pajak dapat menentukan stakeholders prioritas baik internal maupun eksternal yang sesegera mungkin harus dilakukan pendekatan tertentu. Kelompok stakeholders tersebut (key players) harus dilibatkan segera karena mereka memiliki pengaruh paling besar dan cepat pada reformasi pajak. Setelah itu, stakeholders engagement dan komunikasi yang efektif merupakan bagian penting dari rangkaian change management dalam reformasi perpajakan. Komunikasi yang efektif mencakup siapa yang melakukan komunikasi, jalur komunikasi yang tepat, dan waktu melakukan komunikasi. Sebagai penutup, dalam mencapai optimalisasi penerimaan pajak, kepatuhan wajib pajak menjadi faktor yang sangat penting.Untuk mencapai hal ini dibutuhkan langkah terpadu dalam wujud reformasi pajak sehingga transformasi menjadi hal yang bersifat berkelanjutan terutama bagi well performing organisation. Kantor pajak perlu sigap mendeteksi dan mengantisipasi setiap perubahan global yang dinamis dan kompleks. Teori pajak optimal menurut ramsey untuk meminimalkan DWL dari system pajak, sekaligus meningkatkan jumlah tetap dari pedapatan, pajak harus ditetapkan di seua komoditas sehingga rasio marginal DWL terhadap penambahan pendapatan marginal sama di semua komoditas. Perpajakan yang optimal dilakukan dengan menyeimbangkan 2 aturan yaitu : aturan elastisitas dan Broad Base Rule.
-Aturan elastisitas : pajak dengan tariff rendah pada barang yang permintaannya lebih elastis. -Aturan Broad Base Rules : menerapkan pajak yang tidak terlalu besar pada banyak komoditas
Pajak komoditas yang optimal Dalam menentukan tariff pajak yang optimal untuk semua komoditas, pemerintah harus mempertimbangkan elastisitas, serta perbandingan marjinal DWL dngan marjial revenue yang sama untuk setiap komoditas. Selain itu pemerintah harus memperhatikan apakah barang barang tersebut dikonsumsi oleh orang-orang berpenghasilan tinggi atau t idak
Pajak optimal untuk pendapatan Misalnya semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi utilitas yang sama U1=U2=…=Un. Total pendapatan masyarakat tetap, tidak ditetukan oleh pilihan individu yang dapat merespon tingkat pajak System pajak penghasilan yang optimal adalah yang membiarkan semua orag dengan level yang sama melaporkan pajak penghasilannya. Orang degan penghasilan dibawah rata-rata akan meneria transferan untuk meningktkan penghasilannya. Tarif pajak marjinal system ini adalah 100% untuk mereka yang berpenghasilan diatas rata-rata. Dengan asumsi tersebut munculah kurva Laffer
Artinya pemerintah dapat menentukan tariff pajak hingga titik terte ntu (Equilibrium point), jika ada penambahan lagi maka akan mengurangi tax revenue Hubungan benefit dengan pajak. Keterkaitan pajak-manfaat : hubungan langsung antara pajak yang dibayar dan manfaat yang diterima. Dengan mengenal keterkaitan ini akan memperkaya perubahan cerita, de ngan banyaknya pembayaran pajak akan secara langsung berkaitan dengan manfaatnya