Pengertian PCR (Polimerase Chain Reaction)
Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR ( polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi replikasi))DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme organisme.. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR ( Polimerase Chain Reaction) atau reaksi berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya.
2.2.
Komponen
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain yang dibutuhkan adalah:
1. a.
Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Jadi jangan membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh DNA bakteri E. coli yang panjangnya kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita inginkan. 1. b.
dNTP (deoxynucleoside triphosphate)
dNTP alias building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. 1. c.
Buffer
Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.
1. d. o
Ion Logam
Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai k ofaktor bagi enzim DNA polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.
o
2.3.
Ion logam monovalen, kalsium (K+).
Prinsip Kerja
Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20 –30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus: 1. Tahap peleburan ( melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94 –96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan
siap menjadi templat (“patokan”) bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit. 2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45 –60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1 –2 menit. 3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit. Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara ksponensial Pada tahap denaturasi, pasangan untai D NA templat dipisahkan satu sama lain sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA templat. Biasanya, kedua primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur(reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA templat, primer mengalami polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga ujung 5’ DNA templat (ingat polimerisasi DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai templatnya) . Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi
pertama akan diperoleh dua pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa sepasang untai DNA. Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi akan menjadi templat pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada putaran yang ke n diharapkan akan n
diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2 – 2n. Fragmen DNA pendek yang dimaksudkan adalah
fragmen yang ukurannya sama dengan jarak antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang merupakan urutan targ et yang memang dikehendaki untuk digandakan (diamplifikasi). Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada akhir reaksi akan 20
diperoleh fragmen urutan target sebanyak 2 – 2.20 = 1.048576 – 40 = 1.048536 ! Jumlah ini masih dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya hanya satu untai ganda. Padahal kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA templat awal hanya berupa satu untai ganda. Jika DNA templat awal terdiri atas 20 untai ganda saja, maka jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720, suatu jumlah yang sangat cukup bila akan digunakan sebagai fragmen pelacak.
2.4.
Perancangan Primer
Tahapan PCR yang paling menentukan adalah penempelan primer. Sepasang primer oligonukleotida (primer maju dan primer mundur) yang akan dipolimerisasi masing-masing harus menempel pada sekuens target, tepatnya pada kedua ujung fragmen yang akan diamplifikasi. Untuk itu urutan basanya harus komplementer atau setidak-tidaknya memiliki homologi cukup tinggi dengan urutan basa kedua daerah ujung fragmen yang akan diamplifikasi itu. Padahal, kita belum mengetahui dengan pasti urutan basa sekuens target. Oleh karena itu, diperlukan cara tertentu untuk merancang urutan basa kedua primer yang akan digunakan. Dasar yang digunakan adalah urutan basa yang diduga mempunyai kemiripan dengan urutan basa sekuens target. Urutan ini adalah urutan serupa dari sejumlah spesies/strain organisme lainnya yang telah diketahui/dipublikasikan. Sebagai contoh, untuk merancang sepasang primer yang diharapkan dapat mengamplifikasi sebagian gen lipase pada isolat Bacillus termofilik tertentu dapat digunakan informasi urutan basa gen lipase dari strain-strain Pseudomonas fluorescens , P. mendocina , dan sebagainya, yang sebelumnya telah diketahui. Urutan-urutan basa fragmen tertentu dari berbagai strain tersebut kemudian dijajarkan dan dicari satu daerah atau lebih yang memperlihatkan homologi tinggi antara satu strain dan lainnya. Daerah ini dinamakan daerah lestari (conserved area). Sebagian/seluruh urutan basa pada daerah lestari inilah yang akan menjadi urutan basa primer. Sebenarnya, daerah lestari juga dapat ditentukan melalui penjajaran urutan asam amino pada tingkat protein. Urutan asam amino ini kemudian diturunkan ke urutan basa DNA. Dari satu urutan asam amino sangat mungkin akan diperoleh lebih dari satu urutan basa DNA karena setiap asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Dengan demikian, urutan basa primer yang disusun dapat merupakan kombinasi beberapa kemungkinan. Primer dengan urutan basa semacam ini dinamakan primer degenerate. Selain itu, primer yang disusun melalui penjajaran urutan basa DNA pun dapat merupakan primer degenerate karena urutan basa pada daerah lestari di tingkat DNA pun tidak selamanya memperlihatkan homologi sempurna (100%). Urutan basa pasangan primer yang telah disusun kemudian dianalisis menggunakan program komputer untuk mengetahui kemungkinan terjadinya primer-dimer akibat homologi sendiri (selfhomology) atau homologi silang (cross-homology). Selain itu, juga perlu dilihat kemungkinan
terjadinya salah tempel(mispriming), yaitu penempelan primer di luar sekuens target. Analisis juga
dilakukan untuk mengetahui titik leleh ( T m) masing-masing primer dan kandungan GC-nya. Sepasang primer yang baik harus mempunyai T m yang relatif sama dengan kandungan GC yang cukup tinggi.
2.5.
Aplikasi teknik PCR
Kary B Mullis yang telah menemukan dan mengaplikasikan PCR pada tahun 1984. Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan, diantaranya: 1. a.
Isolasi Gen
Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA manusia saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung ribuan gen. Sebagaimana kita tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA ditranskrip menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai asam amino alias protein. Dari sekian panjang DNA genome, bagian yang
menyandikan protein inilah yang disebut gen, sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’ yang fungsinya belum dike tahui dengan baik. Kembali ke pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin langsung dari pankreas sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan tentu saja mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari sapi atau babi tidak benar-benar sama dengan insulin manusia. B erkat teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli) agar bakteri dapat memproduksi insulin juga. Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan dalam tubuh manusia, dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah, dan te ntunya lebih murah ketimbang cara konvensional yang har us
‘mengorbankan’ sapi atau babi. Untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang memiliki urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut. 1. b.
DNA Sequencing
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method) yang sudah dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan. 1. c.
Forensik
Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau tidak mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu atau
bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka bisa dipastikan identitas orang yang dimaksud. Konon banyak kalangan tertentu yang memanfaatkan pengujian ini untuk
menelusuri orang tua ‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu. 1. d.
Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan diagnosa yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.
Gambar proses prinsip kerja PCR (Polimerase Chain Reaction)
BAB III KESIMPULAN
Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan dari istilah bahasa Inggris polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakanorganisme. Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara dua puluh sampai tiga puluh kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap yaitu Tahap peleburan ( melting) atau denaturasi, Tahap penempelan atau annealingdan Tahap pemanjangan atau elongasi. Lepas tahap ketika, siklus diulang kembali mulai tahap satu. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.
DAFTAR PUSTAKA Brown, T.A (2002) DNA in Genomes, 2nd ed., David, J. C, Jannet L.,Comparison of Vitek® 32 and Microlog® ML3 System for Identification of Select Biological Warfare Agents , Armed Force Institute of Pathology, American Registry of Pathology, Washington, DC, 2001de Nogueira L., Bittrich, V.P.C., Shepherd, G. J., Lopes A. V., and Marsaioli, A. J. 2001.
Marlina, Radu, S., Kqueen, C. Y., Napis, S., Zakaria, Z., Mutalib, S. A. and Nishibuchi, M. Occurrence of tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticusisolated from Corbicula moltkiana Prime in West Sumatera, Indonesia.Southeast Asian Journal of Tropical Medical Public Health Vol.38 No. 2 March 2007.
Marlina, Zulqifli, Anamerta, L., Revadiana, I., Radu, S., Kqueen, C. Y. and Nishibuchi, M. Identification of Vibrio parahaemolyticus from clinical samples in West Sumatera Using Polymerase Chain Reaction Methods. Acta Pharmaceutica Indonesia 31 (2): 2007, 96-99.
Retnoningrum, D.S. 1997. Penerapan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk diagnosis penyakit infeksi. Jurusan Farmasi FMIPA. Bandung: ITB.
Polymerase Chain Reaction (PCR) A. Pengertian PCR
Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai P olymerase Chain Reaction (PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk melipatgandakan suatu sekuens nukleotida tertentu secara in vitro. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Kary B. Mulis pada tahun 1985. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetic. Pada awal perkembanganya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitas molekul mRNA. Dengan menggunakan metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula, sekitar 106-107 kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan amplifikasi urutan non-target. Metode PCR dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5µg, oligonukliotida yang digunakan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50-100 µl. DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuens DNA dalam genom bakteri. Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dapat dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerasi.
B. Komponen – Komponen PCR
Ada beberapa macam komponen utama dalam proses PCR, yaitu antara lain: 1.
DNA cetakan
DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denatirasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas selama 1 – 2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi sekitar sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hydrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan dengan sekuen primer. Suhu yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah ( ). 2.
Oligonukleotida primer
Oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada
ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1 – 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hydrogen dengan DNA cetakan. D NA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hydrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA yang baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu ingkubasi menjadi . Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi sapai 25 – 30 klai (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada kosentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Paling tidak, diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopin sekuen DNA target di dalam genom mamalia agar hasilnya dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan elektroforosis gel agarose. Akan tetapi, pada umumnya kosentrasi DNA polimerasi Taq menjadi terbatas setelah 25 – 30 siklus amplikasi. 3.
Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP)
Shanghai ShineGene Molecular Biotech,Inc. (2009) menyatakan bahwa campuran dNTP adalah larutan air pada pH 7,0 yang mengandung dATP, dCTP, dGTP dan dTTP, masing-masing pada konsentrasi akhir baik 10mm atau 25mm. dNTP yang siap digunakan merupakan solusi yang dirancang untuk menghemat waktu dan untuk menyediakan reproduktifitas yang lebih tinggi dalam aplikasi PCR dan lainnya. 4.
DNA Polimerase
Pada awal perkembangannya, DNA polymerase yang digunakan dalam PCR adalah fragmen Klenow DNA polymerase I yang berasal dari Escherichia coli (Mullis dan Fallona, 1989). Fragmen Klenow
adalah DNA polymerase yang telah dihilangkan aktivitas eksonuklease (5’ → 3’) -nya. Beberapa kelemahan fragmen Klenow antara lain adalah bahwa enzim ini tidak tahan panas, laju polemerase untuk menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara terus-menerus tanpa terdisosiasi dari komplek primer-DNA cetakan. Hampir semua DNA polymerase mempunyai prosesivitas yang rendah sehingga akan terdisosiasi dari komplek primer-DNA cetakan setelah menggabungkan kurang dari 10 nukleotida. Salah satu perkecualian adalah T7 DNA polymerase yang mampu menggabungkan ribuan nukleotida tanpa terdisosiasi dari komplek primer-DNA c etakan. a.
Taq DNA Polimerase
Taq DNA polymerase yang beraasal dari bakteri Thermus aquaticus BM, yaitu suatu strain yang tidak mempunyai endonuklease retriksi TaqI. Taq DNA polymerase tersusun atas satu r antai polipeptida dengan berat molekul kurang lebih 95 kD. Enzim ini mempunyai kemampuan polimerasi DNA yang
sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease 3’ → 5’. Enzim ini paling aktif pada pH9 (pada suhu 200 C) dan suhu aktivitas optimumnya sekitar 750C – 800C. Kelebihan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan. Dengan kelebihan semacam ini maka tidak diperlukan penambahan enzim pada tiap-tiap siklus PCR seperti yang harus dilakukan kalau enzim yang dig unakan adalah fragmen Klenow DNA polymerase I (Gelfand dan White, 1990). Kelebihan lain enzim Taq DNA polymerase adalah laju polimerasinya yang sangat tinggi serta prosesivitasnya yang juga lebih tinggi disbanding dengan fragmen Klenow. Taq DNA polymerase mempunyai suhu optimum yang tin ggi untuk sintesis DNA yaitu 5 – .
aktivitas spesifik enzim ini dalam menggabungkan nukleotida mencapai 15 nukleotida per detik per molekul enzim. aktu paruh (half -time) Ta DNA polymerase pada suhu 95 adalah 4 menit (Gelfand dan White, 1990). Deterjen non-ionik Tween 20 (0,5 -1 % ) dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi Taq DNA polymerase. Senyawa tambahan l ain yang juga dapat meningkatkan efisiensi polimerasi Taq DNA polymerase adalah DMSO, gelatin, gliserol, dan ammonium sulfat. Salah satu kelemahan enzim Taq DNA polymerase adalah bahwa enzim tersebut mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan dalam menggabungkan nukleotida sehingga ada kemungkinan terjadi mutasi pada fragmen gen hasil amplifikasi. Meskipun demikian dengan kondisi yang tepat, kesalahan penggabungan nukleotida semacam itu tidak terjadi seperti misalnya hasil amplifikasi fragmen gen HIV-1 (5400 nukleotida) dengan siklus amplifikasi 30 kali. Demikian juga halnya dengan hasil amplifikasi gen ß-globin (14990 nukleotida). Dengan demikian , rata-rata frekuensi kesalahan penggabungan nukleotida sekitar 5 X kesalahan per nukleotida yang digabungkan per siklus, dengan menggunakan 25 siklus. Taq DNA polymerase mempunyai keunikan yaitu bahwa enzim ini mampu menambahkan satu nukleotida,terutama dATP, pada ujung -3’ fragmen DNA hasil polimerasi meskipun tanpa ada cetakanya. Dengan demikian, ujung fragmen D NA hasil polimerasi dengan metode PCR pada umumnya tidak pepat (blunt-ended), melainkan ada tambahan satu nukleotida pada kedua ujungnya. Kenyataan semacam ini mempunyai implikasi penting karena f ragmen DNA hasil polimerasi dengan metode PCR dapet diligase dengan suatu plasmid vector tertentu tanpa menggunakan enzim DNA ligase. Hal ini juga perlu diperhatikan jika frag men DNA hasil PCR akan diligasikan dengan suatu plasmid dengan metode ligasi pepat (blunt-ended ligation). Sebelum dilakukan ligasi , fragmen DNA
tersebut harus dibuat pepat/tumpul dengan menggunakan aktivitas polymerase 5’ → 3’ fragmen Klenow.
Aktivitas Taq DNA polymerase dipengaruhi oleh kosentrasi ion magnesium. Aktivitas Taq DNA polymerase mencapai maksimal pada kosentrasi sebesar 2,0 mM jika kosentrasi dNTP yang digunakan adalah 0,7 – 0,8 mM. kosentrasi lebih tinggi dari 2,0 mM akan menghambat aktivitas Taq DNA polymerase. Di samping itu, aktivitas enzim polymerase ini juga akan menurun 20-30% jika kosenrasi total dNTP yang digunakan mencapai 4-6 mM. b.
Tth DNA polimerse
Enzim DNA polimerse lain yang juga dapat digunakan untuk melakukan PCR adalah Tth DNA polimerse. Enzim ini diisolasi dari eubakteri thermofilik Thermus thermophilus HB8. Tth DNA
polimerse mempunyai prosesivitas yang tinggi dan tidak mempunyai aktivitas eksonuklease 3’ → 5’. Enzim ini menunjukkan aktivitas tertinggi pada pH 9 (pada suhu 25 ) dan suhu sekitar . Selain aktivitas polymerase, enzim ini juga mempunyai aktiviatas transcri ptase balik (reverse transcriptase) intrinsik yang sangat efisien dengan adanya ion mangan. Aktivitas trankriptase balik tersebut jauh lebih tinggi disbanding dengan aktivitas serupa yang dimiliki oleh DNA polymerase I yang ada pada Escherichia coli maupun pada Taq DNA polymerase. Tth DNA polimerse juga dapat menggunakan substrad yang dimodifikasi sehingga juga dapat digunakan untuk melabel fragmen DNA dengan radionukleotida, digoxigenin maupun biotin. Oleh karena enzim Tth DNA polimerse mempunyai aktivitas transkiptase balik yang tinggi pada suhu tinggi maka enzim ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya struktur skunder pada molekul RNA. Dengan demikian, enzim ini dapat digunakan untuk melakukan RT-PCR (reverse Transkriptase PCR). Molekul cDNA yang diperoleh dari hasil reaksi transkripsi balik dapat sekaligus diamplifikasi dengan menggunakan Tth DNA polimerse dengan adanya ion . Enzim ini dapat dilakukan untuk melakukan RT-PCR molekul RNA sampai ukuran 1000 pasangan basa. c.
Pwo DNA polymerase
Enzim Pwo DNA polymerase diisolasi dari archaebacterihiperthermofilik Pyrococcus woesei. Enzim Pwo DNA polymerase mempunyai berat molekul sekitar 9 0 kD. Enzim ini mempunyai prosesivitas
polimerasi 5’ 3’ yang tinggi, mempunyai aktivitas eksonuklease , dan tidak menunjukkan aktivitas eksonuklease . Pwo DNA polymerase mempunyai stabilitas thermal yang lebih tinggi dibandingkan dengan Taq D NA polymerase. Waktu paruh enzim ini lebih dari 2 jam pada suhu , sedangkan Taq DNA polymerase
hanya mempunyai waktu paruh 5 menit pada suhu ini. Aktivitas eksonuklease 3’ 5’ (aktivitas proof reading dalam proses sintesis DNA) yang dimiliki oleh Pwo DNA polymerase meningkatkan ketepatan (fidelity) proses sintesis DNA sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan ketepatan yang dimiliki oleh Taq DNA polymerase. Jika Taq DNA polimerse digunakan untuk mengamplikasi sekuen D NA sepanjang 200 bp sebanyak satu juta kali maka kurang lebih 56% produk amplifikasinya akan mangandung satu atau lebih kesalahan. Sebalikya, jika enzim Pwo DNA polymerase yang digunakan untuk amplifikasi maka hanya 10% produk amplifikasinya yang mengandung kesalahan. Ketepatan proses polimerasi DNA secara in vitro merupakan salah satu parameter paling penting dalam PCR. Hal ini terutama sangat penting jika DNA atau RNA cetakan yang digunakan hanya berjumlah sangat sedikit. Hasil amplifikasi menggunakan Pwo DNA polymerase adalah molekul DNA dengan ujung pepat/tumpul (blunt-ended) sehingga dapat digunakan dalam proses ligasi ujung tumpul secara langsung tanpa harus dilakukan modifikasi terhadap ujung-ujung molekul DNA. Oleh karena sifat ketepatanya yang tinggi maka enzim ini sangat berguna untuk aplikasi: 1)
Cloning produk PCR
2)
Studi polimorfisme alel dalam transkrip RNA individual
3)
Karakterisasi mutasi yang jarang di dalam suatu jaringan
4)
Karakterisasi status alel suatu sel tunggal atau DNA molekul tunggal
5)
Karakterisasi populasi sel dalam suatu kultur
d.
Pfu dan Tli DNA polymerase
DNA polymerase lain yang dapat digunakan untuk PCR adalah Pfu DNA polymerase dan Tli DNA polymerase. Pfu DNA polymerase diisolasi dari Pyrococcus furiosis, mempunyai berat molekul 92 kD, aktif pada suhu dan mempunyai aktivitas eksonuklease . Enzim ini diketahui mempunyai laju kesalahan yang paling kecil disbanding dengan enzim DNA polymerase yang lain. Produk amplifikasi dengan menggunakan enzim ini adalah molekul DNA dengan ujung tumpul. Tli DNA polymerase diisolasi dari jasad Thermococcus litoralis, sangat stabil terhadap panas, aktivitas optimum pada suhu dan dapat berfungsi meskipun diinkubasi pada suhu . Berat molekul enzim ini dalah 90 kD. Enzim juga mempunyai aktivitas eksonuklease . 5.
PCR buffer dan konsentrasi Mg2+
Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50mM KCl, 10mM Tris-Cl (pH8.3) dan 1.5mM MgCl2. Buffer standard ini akan bekerja dengan baik untuk DNA template dan primer dengan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak optimum dengan kombinasi yang lain. Produk PCR buffer ini terkadang dijual dalam bentuk tanpa atau dengan MgCl2. Konsentrasi ion magnesium dalam PCR buffer merupakan faktor yang sangat kritikal, karena kemungkinan dapat mempengaruhi proses annealing primer, temperatur dissosiasi untai D NA template, dan produk PCR. Hal ini disebabkan konsentrasi optimal ion Mg2+ itu sangat rendah. Hal ini penting untuk preparasi DNA template yang tidak mengandung konsentrasi chelating agent yang tinggi, seperti EDTA atau phosphat. Ion Mg2+ yang bebas bila terlalu rendah atau tidak ada, maka biasanya tidak menghasilkan produk akhir PCR, sedang bila terlalu banyak ion Mg2+yang bebas akan menghasilkan produk PCR yang tidak diinginkan.
C. Peralatan Khusus yang Digunakan dalam PCR
PCR memerlukan alat khusus dalam prosesnya, alat-alat tersebut antara lain: 1. Mighty-small II SE-250 vertical gel electrophoresis unit (Hoefer) 2. Perkin-Elmer/Cetus Thermal Cycler 3. Perkin-Elmer/Cetus Thermal Cycler adalah peralatan laboratorium yang digunakan untuk analisis PCR, atau replikasi cepat dari urutan DNA tertentu. 4. Sterile Thin-wall 0.5 ml Thermocycler microfuge tubes: (TC-5, Midwest Scientific). Alat ini memiliki sebuah thermal block dengan lubang-lubang untuk memasukkan tabung campuran PCR. D. Tahapan Proses PCR
Berdasarkan gambar diatas, Polymerase Chain Reaction (PCR) terdiri dari tiga proses, yaitu: A. Denaturasi
Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal. Tahap denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 – 95 oC. Denaturasi awal dilakukan selama 1 – 3 menit diperlukan untuk meyakinkan bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai tunggal.
Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna dapat menyebabkan utas DNA terputus. Tahap denaturasi yang terlalu lama dapat mengaki batkan hilangnya aktivitas enzim polimerase. 2. Annealing
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing dan primer. Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya pita elektroforesis yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kespesifikan amplifikasi. Kenaikan suhu setelah tahap annealing hingga mencapai 70 –740C bertujuan untuk mengaktifkan enzim TaqDNA polimerase. Proses pemanjangan primer (tahap extension) biasanya dila kukan pada suhu 72 oC, yaitu suhu optimal untuk TaqDNA polimerase. Selain itu, pada masa peralihan suhu dari suhu annealing ke suhu extension sampai 70 oC juga menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan tidak spesifik antara DNA cetakan dengan primer karena ikatan ini bersifat lemah. Selain suhu, semakin lama waktu extension maka jumlah DNA yang tidak spesifik semakin banyak. 3. Extension
Extension merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan pemanjangan primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini akan berubah dari satu siklus ke siklus selanjutnya mengikuti perubahan konsentrasi DNA. Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template) pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap akhir siklus. Dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan menjadi milyaran amplifikasi DNA target.
E. Aplikasi PCR
PCR dirancang pada tahun 1985 dab telah memberikan dampak besar pada penelitian biologis dan bioteknologi. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari berbagai macam sumber mi salnya fragmen DNA kuno dari gajah purba (mammoth) berbulu yang telah membeku selama 40.000 tahun; DNA dari sedikit darah;, jaringan, atau air mani yang ditemukan di tempat kejadian perkara kriminal; DNA dari sel embrionik tunggal untuk diagnosis kelainan genetik sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel yang diinfeksi oleh virus yang sulit terdeteksi seperti HIV (Campbell dkk., 2004:395). Menurut Darmo dan Ari (2000), teknik PCR dapat didayagunakan (kadang dengan modifikasi) guna fasilitasi analisis gen. Selain itu telah dikembangkan banyak sekali aplikasi praktis. Sebagai contoh teknik dan aplikasi PCR dapat disebutkan sebagai berikut: kloning hasil PCR; sekuensing hasil PCR; kajian evolusi molekular; deteksi mutasi ( penyakit genetik; determinasi seks pada sel prenatal; kajian forensik (tersangka kriminal, tersangka ayah pada kasus paternal); dan masih banyak lainnya. Pendapat lain mengenai manfaat dan aplikasi PCR juga dikemukakan oleh Sunarto (1996) yang menyebutkan bahwa PCR dapat digunakan sebagai al at diagnosis penyakit thalesemia. Menurut Sunarto sebelum cara PCR ditemukan analisis DNA dilakukan dengan prosedur yang panjang dan rumit, yaitu pertama-tama membentuk perpustakaan (library construction) melalui digesti dengan endonuklease restriktif dan kloning, kemudian skrining, ma pping, subkloning dan terakhir sekuensing. Tetapi dengan adanya PCR dalam waktu 24 jam sejak pencuplikan vili korialis (chorionic villous sampling) diagnosis prenatal sudah dapat ditegakkan dan berdasarkan prinsip PCR telah
dikembangkan cara diagnostik molekular yang terbukti sangat akurat. Berdasarkan uraian diatas penemuan dan manfaat teknik P CR ini berdampak sangat luas terhadap kemajuan sains dan teknologi secara umum yaitu antara lain sebagai berikut: 1. Memperkuat gen spesifik sebelum diklon. 2. Membuat fragmen gen DNA secara berlimpah 3. Dapat mendeteksi DNA gen virus yang sulit untuk dideteksi 4. Dapat mendeteksi/ mendiagnosis DNA sel embrionik yang mengalami kelainan sebelum dilahirkan. 5. Bidang kedokteran forensik. Contohnya mendeteksi penyakit yang dapat menginfeksi, variasi dan mutasi dari gen. 6. Mengetahui hubungan kekerabatan antar spesies atau untuk mengetahui dari mana spesies tersebut berasal. 7. Melacak asal usul seseorang dengan membandingkan “finger print" F. Kelebihan dan Kelemahan PCR
1. Kelebihan
1.
Memiliki spesifisitas tinggi
2.
Sangat cepat, dapat memberikan hasil yang sama pada hari yang sama
3.
Dapat membedakan varian mikroorganisme
4.
Mikroorganisme yang dideteksi tidak harus hidup
5.
Mudah di set up
2. Kelemahan
Sangat mudah terkontaminasi
Biaya peralatan dan reagen mahal
Interpretasi hasil PCR yang positif belum tervalidasi untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi pasif atau laten)
Teknik prosedur yang kompleks dan bertahap membutuhkan keahlian khusus untuk melakukannya.
Daftar Pustaka
Anonim. (2011). Hoefer®, Inc: The Most trusted Name in Electrophoresis Since 1967. Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari http://www.hoeferinc.com/. Biotektanaman. (2009). Mendeteksi produk PCR melalui DNA elekterphoresis . Diakses pada tanggal
28 Februari 2012 dari http://biotektanaman.wordpress.com/2009/06/25/mendeteksi-produk-pcrmelalui-dna-elektrophoresis/. Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. (2002). Biologi jilid 1. Jakarta: Erlangga. Dadan, S dan Imran. (2010). Optimalisasi templat DNA genom udang galah Macrobrachium rosenbergii dalam proses PCR-RAPD . Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari
www.sidik.litbang.kkp.go.id/index.php/searchkatalog/.../561-565.pdf Darmo, H & Ari, R. (2000). Prinsip umum dan pelaksanaan Polymerase Chain Reakction (PCR). Diakses pada tanggal 26 Februari 2012 dari http://repository.ubaya.ac.id/35/1/ART002.pdf
Erma, S. (2007). Polymerase Chain Reaction (PCR): era baru dan diagnosis managemen penyakit infeksi . Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari http://isjd.lipi.go.id/admin/jurnal/11071725.pdf.
Fatchiyah. (2012). DNA amplification (PCR). Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari http://fatchiyah.lecture.ub.ac.id/general/bbbb/. James, K. (2010). Polymerase chain reaction (PCR). Diakses pada tanggal 28 Februari 2012 dari http://id.shvoong.com/exact-sciences/bioengineering-and-biotechnology/2040144-polymerasechain-reaction-pcr/#ixzz1MHQdPbsh John E. Smith. (1985). Prinsip bioteknologi. Jakarta: Gramedia.
NCBI. (Tanpa tahun). PCR. Diakses pada tanggal 23 Februari 2012 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/projects/genome/probe/doc/TechPCR.shtml. Scientific Support, Inc. (2012). Perkin-Elmer Cetus DNA Thermal Cycler PCR. Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari http://www.sci-support.com/items/Perkin-Elmer-Cetus-DNA-Thermal-CyclerPCR-1088.htm. ShineGene. (2011). dNTP mix . Diakses pada tanggal 24 Februari 2012 dari www.synthesisgene.com/tools/dNTP.pd. Triwibowo, . (2010). Teori dan Aplikasi PCR. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Wikipedia. (2012). Polymerase chain reaction. Diakses pada tanggal 23 Februari 2012 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Polymerase_chain_reaction.