BAB 1 PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan keluarga, khususnya calon ibu. Selain merupakan anugerah, kehamilan merupakan juga menjadi satu hal yang mencemaskan. Dalam setiap keluarga, kehamilan diharapkan sebagai sumber pengharapan terbesar dari keluarga pada calon anak yang akan dilahirkan. Walau demikian, ada kalanya harapan ini tidak terwujud ketika bayi mengalami kematian sebelum sempat dilahirkan.7 Kehamilan itu sendiri adalah kondisi dimana seorang wanita memiliki janin yang sedang tumbuh di dalam tubuhnya (yang pada umumnya di dalam rahim). Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung dari awal periode menstruasi terakhir sampai melahirkan.7 Menurut National Center for Health Statistics dan The American College of Obstetricans and Gynecologist, Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah janin yang meninggal dan neonates yang lahir dengan berat 500 gram atau lebih. Sampai saat ini faktor penyebab kematian janin yaitu faktor maternal, factor fetal, dan faktor plasenta.1 Direktur Bina Ketahanan Lanjut Usia Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Syaiful M mengatakan, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia sudah berhasil diturunkan secara signifikan dari waktu ke waktu. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan terus mengalami penurunan sekitar 200 per 1.000 kelahiran pada 2010. Sesuai target Milenium Development Goals (MDGs), AKI harus diturunkan sampai 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015. 2 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan masih cukup banyak ibu hamil meninggal akibat faktor risiko 4 Terlalu, yaitu Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun) sebanyak 27 persen. Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6 persen, Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8 persen dan Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun). 1
Selain empat Terlalu itu, terjadinya kematian ibu juga terkait dengan penyebab yang dikategorikan tidak langsung seperti kasus tiga Terlambat yaitu Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan, Terlambat dirujuk dan Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.2 Jadi terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, seperti perdarahan, eklampsia, dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait dengan faktor akses, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi.2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
Kehamilan Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai partus adalah kira-kira 280 hari
(40 minggu), dan tidak lebih dari 300 hari (43 minggu). Kehamilan 40 minggu ini disebut kehamilan matur (cukup bulan). Bila kehamilan lebih dari 43 minggu disebut kehamilan postmatur. Kehamilan antara 28 sampai 36 minggu disebut kehamilan premature. Ditinjau dari tuanya kehamilan, kehamilan dibagi dalam 3 bagian; 1) kehamilan triwulan pertama (0-12 minggu); kehamilan triwulan kedua (12-28 minggu), kehamilan triwulan ketiga (28-40 minggu). Bila hasil konsepsi dikeluarkan dari kavum uteri pada kehamilan di bawah 20 minggu, disebut abortus. Bila terjadi di bawah 36 minggu disebut partus prematirus. Kelahiran dari 38 minggu sampai 40 minggu disebut partus aterm.11 Tanda pasti kehamilan pada primigravida dapat dirasakan gerakan janin oleh ibu pada kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Gerakan janin kadang-kadang pada 20 minggu dapat di rada secara objektif oleh pemeriksa, balotemen pada uterus dapat diraba pada kehamilan lebih tua. Dengan alat fetal electro cardiograph denyut jantung janin dapat dicatat pada kehamilan 12 minggu. Dengan memakai alat Doppler dapat pula dicatat denyut jantung. Dengna stetoskop Laennec bunyi jantung janin baru dapat di dengar pada kehamilan 18-20 minggu. Dalam triwulan terakhir gerakan janin lebih gesit. Bunyi jantung janin lebih jelas. Bagian-bagian janin bias teraba.11 Diagnosis pasti kehamilan dapat dibuat bila : 1) dapat diraba dan kemudian dikenal bagian-bagian janin; 2) dapat dicatat dan didengar bunyi jantung janin dengan beberapa cara; 3) dapat dirasakan gerakan janin dan balotemen; 4) pada pemeriksaan dengan sinar rongen tampak kerangka janin; 5) dengan USG dapat diketahui ukuran kantong janin, panjang janin, dan diameter biparietalis hingga dapat diperkirakan tuanya kehamilan, dan selanjutnya dapat dipakai untuk menilai pertumbuhan janin. Pula dapat dipakai bila ada kecurigaan dalam kehamilan mola, blighted ovum, kematian janin intra uterin, anensefali, kehamilan ganda, hidramnion, plasenta previa, dan tumor pelvis. Pemeriksaan dengan USG pada kehamilan 16-18 minggu yang 3
diperkirakan aman memang menjadi pegangan untuk pasien dan dokternya untuk pengawasan kehamilan lebih yakin dan mantap; 6) fetoskopi.11
4
II.2
Definisi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Kematian janin ialah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan
sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernapas atau menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, atau pulsasi tali pusat, atau kontraksi otot.11 Menurut WHO Expert Commitee on the Prevention of Perinatal Morbidity and Mortality (1970), yang dinamakan kematian janin ialah kematian janin yang pada waktu lahir berat badannya di atas 1000 gram. Kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu : Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh; Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu; Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late foetal
death); Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan
di atas.11 Kematian janin menurut National Center For Health Statistics dan American College Of Obstetricians And Gynecologists adalah janin yang meninggal dan neonatus yang lahir dengan berat 500 gram atau lebih.1 Intra uterine fetal death (IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah kematian
janin
dalam kehamilan sebelum
terjadi
proses persalinan pada
usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram.8 Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD.5
5
II.3
Etiologi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Penyebab dari kematian janin intra uterin yang tidak dapat diketahui sekitar
25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta.1
Gambar 1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian perinatal : 1. Faktor ibu (high risk mothers) : a. Status sosial ekonomi yang rendah;
b. Tingkat pendidikan ibu rendah; c. Umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurangg dari 20 tahun; 6
d. Paritas pertama dan paritas ke 5 dan lebih e. Tinggi badan ibu dan berat badan ibu; f. Kehamilan di luar perkawinan; g. Kehamilan tanpa pengawasan antenatal; h. Gangguan gizi dan anemia pada kehamilan; i. Ibu dengan anamnesis kehamilan dan persalinan sebelumnya yang tidak baik, misalnya kehamilan dan persalinan berakhir dengan kematian janin, kematian bayi yang dini, atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah; j. Riwayat persalinan yang diakhiri dengan tindakan bedah atau yang berlangsung lama; k. Riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi medik, seperti hipertensi dan diabetes; l.
Penyakit lupus eritematosus sistemik pada ibu;
m. Penyakit trombofilia herediter; n. Riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu;1, 11
2. Faktor bayi ( high risk infants) : a. Kelainan kromosom;
b. Gerakan sangat berlebihan; c. Cacat bawaan ;
d. Hidrops nonimun; e. Infeksi virus, bakteri, ataupun protozoa; f. Trauma lahir;
g. Berat badan lahir (BBL) < 2500 gr; h. BBL > 4000 gr; i. Bayi yang dilahirkan dari kehamilan kurang dari 37 minggu dan lebih dari 24 minggu; 7
j. APGAR kurang dari 7; k. Bayi yang lahir dengan infeksi intrapartum, trauma kelahiran, atau
kelainan kongenital.1, 9, 11 3. Faktor plasenta : a. Solusio plasenta; b. Infeksi plasenta dan selaput ketuban; c. Infark plasenta; d. Perdarahan janin ke ibu.1
8
II.4
Epidemiologi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas
dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 – 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000 kelahiran.10 Pada tahun 2005, data dari Laporan Statistik Vital Nasional menunjukkan tingkat nasional AS kelahiran mati rata-rata 6,2 per 1000 kelahiran. Pada tahun 2009, jumlah global diperkirakan saat dilahirkan adalah 2,64 juta (berkisar ketidakpastian, 2,14-3820000). Tingkat kelahiran mati di seluruh dunia menurun 14,5% dari 22,1 bayi lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 2009.10 Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003 mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan data mortalitas perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi kesehatan janin memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitas perinatal (39%) dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya angka kematian yang berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa jarak 15 bulan kehamilan dari persalinan terakhir dan usia ibu hamil di atas 40 tahun.10 Sedangkan tiga besar penyebab kematian perinatal/maternal, secara umum masih belum bergeser dari pola lama yaitu Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin dalam rahim (31,3%), asphyxia atau ganguan pernafasan (20,4%) dan premature (18,7%).6
9
II.5
Patogenitas dan Patofisiologi Sesuai dengan etiologi dari kematian janin dalam rahim atau Intra Uterine Fetal
Death (IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga permasalahan pokok yaitu kausa dari janin, kausa dari ibu, dan kausa dari plasenta.1 1. Kausa Janin.
1) Gerakan Sangat Berlebihan Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka pembuluh darah yang mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat. Gerakan janin yang sangat liar menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi.4 2)
Kelainan kromosom
Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik berat (trisomi). Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya banyak.4 Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan kromosom autosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neural-tube defect, hidrosefalus, penyakit jantung kongenital, hidrops dan lain-lain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan kelainan genetis yang mengancam hidup janin dan mengganggu kerja organ-organ vital.1 3)
Kelainan bawaan bayi
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari 10
banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya.4 4)
Malformasi janin
Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan menyebabkan kematian pada janin.4 5)
Kehamilan multiple
Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya bisa sampai 1000-1500 g). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin.4 6)
Intra Uterine Growth Restriction
Kegagalan janin untuk mencapai berat badan normal pada masa kehamilan. Pertumbuhan janin terhambat dan bahkan menyebabkan kematian, yang tersering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan hipoglikemi.4 7)
Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)
Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti, pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat kesejahteraan janin memburuk dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati.4
11
Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkat kegawatdaruratan janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi dari infeksi yang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin untuk dapat hidup di dalam uterus. Beberapa infeksi janin yang dapat membahayakan janin antara lain infeksi TORCH (CMV, Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan Streptococcus grup B, Salmonelosis atau demam tifoid, hingga gangguan pembekuan darah dan syok.1 Rubella dan Parovirus B19 merupakan salah satu agen paling teratogenik yang diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi rubella dan ruam selama 12 minggu akan mengalami infeksi kongenital, usia 13-14 minggu berjumlah 54 %, dan pada akhir trimester kedua sebanyak 25%. Adanya infeksi virus Rubella dan Parovirus ini akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin intra uterin yang berakibat pada kegagalan perkembangan jantung, defek susunan syaraf pusat, ikterus, hepatitis, hambatan
pertumbuhan
janin,
trombositopenia,
anemia,
dan
lain-lain.
Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan kecacatan perinatal dibandingkan dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan janin intra uterin. Infeksi CMV menyebabkan mikrosefalus, retardasi mental-motorik, defisit saraf sensori, hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindroma anti-fosfolipid.1 8)
Insufisiensi plasenta yang idiopatik
Merupakan bagian dari kasus hipertensi dan penyakit ginjal yang sudah disebutkan diatas. Pada beberapa kasus, insufisiensi plasenta ini terjadi pada kehamilan yang berturut-turut. Janin tidak mengalami pertumbuhan secara normal.4 9)
Cedera janin
Cedera tengkorak dan otak janin adalah yang tersering. Faktorny dapat disebabkan benturan antara kepala janin dan panggul ibu. Dapat juga kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelum lahir menyebabkan paraplegia dan kontraktur.1 2. Kausa Maternal Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal ternyata hanya memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu yang mempunyai kausa 12
tersering berupa hipertensi dan diabetes pada kehamilan. Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit rhesus merupakan sebab yang jarang jumlah kejadiannya. Pada intinya, kasus kematian janin yang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut mengganggu perfusi darah dari ibu ke janin.1 1) Lupus eritematousus sistemik. Penyakit yang etiologinya tidak diketahui,
terjadi karena kerusakan sel oleh autoantibodi dan kompleks imun yang menyerang inti sel. Hampir terjadi pada wanita, dan prevalensinya pada wanita subur adalah sekitar 1 per 500. Efek penyakit ini pada janin dan neonatus adalah menghambat pertumbuhan serta morbiditas dan mortalitas perinatal. Prognosis diperburuk dengan kekambuhan lupus, proteinuria signifikan, gangguan ginjal, dan hipertensi dengan atau tanpa preeklamsia. Penyebab tersering disertai infark placenta dan penurunan perfusi. Dapat menimbulkan anti-bodi anti-SS-A (Ro) dan anti-SS-B (La) daapat merusak sistem hantaran dan jantung janin sehingga menyebabkan kematian janin.1
Gambar 2.1
13
Gambar 3.1 2)
Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua mempunyai peran dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang berbeda tersebut memberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh janin, sehingga berakibat pada hiperkoagulitas darah dan reaksi autoimun janin. Hampir semua kasus ibu hamil dengan inkompatibilitas Rhesus berakibat pada kematian janin.4
3) Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu hipertensi
gestasional, pre-eklampsia, dan eklampsia. Ketiga jenis hipertensi kehamilan ini merupakan bagian yang berurutan, sesuai dengan tingkat keparahan. Hipertensi gestasional merupakan peningkatan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belum mengalami
proteinuria.
Hipertensi
gestasional
yang
memberat
akan
menyebabkan terjadinya pre-eklampsia. Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel disertai dengan adanya kombinasi antara hipertensi dan proteinuria yang nyata selama kehamilan. Bila pre-eklampsia tidak segera ditangani dengan baik, akan menimbulkan stadium pre-eklampsia berat yang 14
akhirnya mengakibatkan eklampsia. Eklampsia adalah terjadinya kejang grand mal pada seorang wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Hipertensi kehamilan sejatinya mengakibatkan vasospasme dan iskemia dalam pembuluh darah ibu. Pada hipertensi gestasional, terjadi peningkatan curah jantung yang bermakna. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan afterload jantung. Hal ini akan semakin parah bila mencapai tahap pre-eklampsia, dimana terjadi peningkatan resistensi perifer akibat vasospasme yang berlebihan dan berakibat pada penurunan mencolok curah jantung. Bila keadaan ini terus dibiarkan, maka akan mengganggu perfusi utero-plasenta dan mengakibatkan hipoksia janin. Hal ini akan berakibat pada kematian janin. Gejala dan tanda untuk masingmasing tipe hipertensi kehamilan hampir mempunyai gambaran yang sama, terutama pada keluhan nyeri kepala dan epigastrium. Pada hipertensi gestasional, dapat dikenali adanya nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan peningkatan tekanan darah yang nyata. Pre-eklampsia berat ditegakkan dengan adanya ekskresi protein urin dalam 24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dan proteinuria 2+ atau lebih yang menetap. Sedangkan pre-eklampsia ringan ditemukan proteinuria 1+ atau tidak ada sama sekali, dan merupakan kelanjutan dari hipertensi gestasional. Oleh karena itu, pada pre-eklampsia, pembedaan antara pre-eklampsia ringan dengan pre-eklampsia berat adalah sesuatu yang sangat vital karena berhubungan dengan tekanan onkotik dan volume cairan tubuh yang terganggu.1,4 4) Diabetes mellitus tipe 2 lebih merupakan faktor penyulit medis tersering pada
kehamilan. Pasien dipisahkan menjadi golongan yang mengidap diabetes sebelum hamil (overt), dan yang mengidap saat hamil (gestasional). Diabetes gestasional mengisyaratkan bahwa gangguan ini dipicu oleh kehamilan, yang mungkin terjadi akibat perubahan-perubahan fisiologis pada metabolisme glukosa. Keadaan ini dapat menimbulkan efek bagi ibu dan janin. Efek yang akan dialami janin adalah makrosomia disertai trauma lahir karena distosia bahu. Hal ini disebabkan oleh karena pengendapan lemak yang berlebihan di bahu dan badan. Hiperinsulinemia janin yang disebabkan oleh hiperglikemia ibu pun akhirnya akan merangsang pertumbuhan somatik yang berlebihan. Berkaitan dengan kematian janin, dugaan kematian janin oleh karena diabetes 15
gestasional masih merupakan permasalahan yang belum ditemukan secara pasti bagaimana teori terjadinya. Kemungkinan paling besar adalah adanya trauma janin saat lahir akibat distosia bahu atau diabetes dipandang sebagai pemicu hipertensi pada kehamilan yang akhirnya menimbulkan pre-eklampsia dan eklampsia.1,4 5) Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat
dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptur uteri ini antara lain adanya diproporsi janin dan panggul, partus macet, atau adanya partus traumatik, dimana terjadi trauma mekanis yang kuat yang dapat merobek miometrium uterus. Penilaian klinis pada rupture uterine ini berbeda antara pada uterus normal dengan pada uterus bekas sectio caesarea. Penilaian klinis rupture uteri pada uterus normal diawali oleh adanya lingkaran konstriksi (bald’s ring) hingga umbilicus atau diatasnya, nyeri hebat pada perut bagian bawah, hilangnya kontraksi uterus gravidus yang normal, perdarahan pervaginam, dan syok. Biasanya, penyebab utama dari ruptura uteri pada uterus normal adalah karena partus yang macet, trauma atau kecelakaan pada ibu, dan lain-lain. Sedangkan pada uterus bekas sectio caesarea, terjadi gejala nyeri yang khas, perdarahan bertambah sedikit dari normal, dan bradikardia pada janin. Ruptur tersebut terjadi sebelum atau pada fase laten persalinan, dan pada fase aktif / kala II bila insisi transversal SBR. Adanya ruptura uteri ini secara otomatis akan mengakibatkan adanya perdarahan mendadak pada ibu dan trans-plasenta, sehingga berakibat pada perdarahan janin yang masif dan kematian janin.1 3. Kausa Plasenta Kasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif bersifat dependent, tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari adanya penyebab yang lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan kematian janin antara lain solusio plasenta, infeksi plasenta dan ketuban, infark plasenta, dan perdarahan janin ke ibu.1 1) Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya
sebelum janin lahir. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes di antara selaput ketuban dan uterus kemudian lolos keluar yang menyebabkan perdarahan eksternal. Solusio plasenta terbagi menjadi 16
solusio plasenta totalis dan parsialis. Solusio plasenta diawali perdarahan ke dalam desidua basalis. Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahap paling awal
akan
memperlihatkan
pembentukan
hematom
desidua
yang
menyebabkan pemisahan, penekanan, dan destruksi plasenta di dekatnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya perfusi darah ke janin melalui plasenta dan berakibat pada kematian janin. Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehingga menyebabkan hematom retro plasenta, yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal atau tetap dalam uterus. Hal inilah yang membedakan antara solusio plasenta parsialis dengan totalis. Gambaran klinis solusio plasenta ringan hingga berat pun berbeda. Pada solusio plasenta ringan, terjadi ruptur sinus marginalis yang menyebabkan perdarahan pervaginam warna merah hitam dan agak tegang dengan bagian janin masih teraba. Solusio plasenta sedang terjadi sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar diraba, BJA sukar diraba dengan stetoskop biasa, dan terjadi kelainan pembekuan darah. Solusio plasenta berat merupakan gejala terberat dengan pelepasan solusio plasenta lebih dari duapertiga luas, uterus tegang seperti papan, nyeri hebat, dan ibujanin tiba-tiba mengalami syok hingga meninggal.1 2) Infeksi plasenta dan selaput ketuban yang secara klinis bermakna jarang
terjadi tanpa infeksi janin yang signifikan. Pada sebagian kasus, pemeriksaan mikroskopik terhadap placenta dan selaput ketuban dapat membantu identifikasi etiologi infeksi. Korioamnionitis ditandai oleh sebukan leukosit mononuklear dan po,imorfonuklear pada korion. Sementara banyak pihak yang menganggap bahwa ini nonspesifik dan tidak selalu terdapat pada infeksi janin dan ibu.1 3) Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark plasenta
terjadi karena akibat dari sumbatan pasokan vaskuler ibu, yaitu sirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran degenerasi fibrinoid 17
trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat oklusi arteri spiralis. Secara umum, etiologi dari infark plasenta ini terjadi karena penuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan gangguan sirkulasi uteroplasenta. Sinsisium yang mengalami penuaan mengalami degenerasi sinsisium. Sinsisium yang terurai tersebut
kemudian
langsung
terpajan
dengan
darah
ibu,
sehingga
menyebabkan bekuan darah pada vilus-vilus. Dari sini, terbentuklah trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan berakibat pada kalsifikasi plasenta. Pembentukan trombosis dan kalsifikasi ini mengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang berakibat kematian janin. Gambaran infark plasenta ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Patologi Anatomi dan Ultrasonografi.1 4) Perdarahan janin-ke-ibu dapat sedemikian berat sehingga menimbulkan
kematian janin. Penyebabnya adalah trauma yang meninbulkan gaya yang besar pada abdomen, dan terutama menyebabkan plasenta laserasi dan mengancam nyawa. 10-30% kasus trauma didapati perdarahan janin ke ibu.1
18
II.5
Diagnosis Intra Uterine Fetal Death(IUFD) Untuk diagnosis pasti penyebab kematian janin sebaiknya dilakukan otopsi
janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk analisis kromosom, juga kemungkinan terpapar infeksi utuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya.3 Tanda patologi Apabila janin mati pada kehamilan yang telah lanjut, terjadilah perubahan-perubahan sebagai berikut : 1) Rigor mortis (tegang mati) : Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin
menjadi lemas sekali. 2) Stadium maserasi I : Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.
3) Stadium maserasi II : Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati.
4) Stadium maserasi III : Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.12
Gejala-gejala IUFD : 1) BJA tidak terdengar lagi 2) Rahim tidak membesar dan fundus uteri turun 3) Pergerakan anak tidak teraba 4) Palpasi anak menjadi tidak jelas 5) Reaksi biologis menjadi negative, setelah anak mati kira-kira 10 hari 6) Pada foto rongen dapat terlihat : 19
a. Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi, disebabkan isi tengkorak berkurang karena otak mencair (tanda spalding), b. Tulang punggung janin sangan melengkung (tanda Naujokes), c. Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.12
20
II.6
Komplikasi Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi
bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan pada proses pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau internal bleeding. 2) Infeksi 3) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin. Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan secara normal, karena bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan jika ada halangan untuk melahirkan normal. Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau karena ibu mengalami preeklampsia.4
21
II.7
Penatalaksanaan Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya diobservasi
dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis. Selama observasi, 7090 % akan terjadi persalinan yang spontan.12 Apabila setelah 2 minggu belum lahir atau kita tidak dapat menunggu selama 2 minggu karena faktor psikologis, dilakukan induksi dengan amniotomi, dan pemberian oksitosin atau prostaglandin.12 Jika pemeriksaan Radiologi tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-tandanya
berupa
overlapping
tulang
tengkorak,
hiperfleksi
kolumna
vertebralis, gelembung udara didalam jantung dan edema scalp. USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin dan cairan ketuban berkurang.4 Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien.Sebaiknya pasien selalu didampingi oleh orang terdekatnya. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif. Penanganan aktif dilakukan pada serviks matang, dengan melakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin atau prostaglandin. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan amniotomi karena berisiko infeksi.4 Persalinan dengan sectio cesare merupakan alternatif terakhir. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah 6 jam. 4 Penanganan terhadap hasil konsepsi adalah penting untuk menyarankan kepada pasien dan keluarganya bahwa bukan suatu kegawatan dari bayi yang sudah meninggal :
22
a. Jika uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan maka pengosongan uterus
dilakukan dengan suction curetase b. Jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakan prostaglandin E2 vaginal supositoria dimulai dengan dosis 10 mg, c.
Jika kehamilan > 28 minggu dapat dilakukan induksi dengan oksitosin.
Selama periode menunggu diusahakan agar menjaga mental/psikis pasien yang sedang berduka karena kematian janin dalam kandungannya.4
23
II.8
Pencegahan Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Menurut prawirohardjo hal-hal dibawah ini sangat perlu menjadi perhatian
untuk dikembangkan seluas-luasnya dalam membina pelayanan kebidanan yang baik dan bermutu untuk mencegah masalah kematian maternal dan perinatal : 1) Semua ibu hamil harus mendapat kesempatan dan menggunakan kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam kehamilan, persalinan dan nifas. 2) Pelayanan yang diberikan harus bermutu 3) Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit namun bila ada komplikasi harus mendapat perawatan segera di rumah sakit 4) Diberikan prioritas bersalin di rumah sakit kepada : a. Wanita dengan komplikasi obstetric, seperti panggul sempit, pre-
eklamsia dan eklamsia, kelainan letak, kehamilan ganda dan sebagainya. b. Wanita dengan riwayat obsetri yang jelek, seperti perdarahan postpartum, kematian janin sebelum lahir, dan sebagainya pada kehamilan sebelumnya c. Wanita dengan kehamilan ke 5 atau lebih d. Wanita dengan umur 35 tahun ke atas e. Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan persalinan dengan aman. 5) Adanya statistik yang baik mengenai penduduk, mengenai kelahiran serta kematian maternal menurut umur dan paritas, mengenai kematian perinatal dan mengenai sebab-sebab kematian maternal dan perinatal. Semuanya ini diperlukan untuk terus membina dan menyempurnakan pelayanan kebidanan pada masa yang akan dating 6) Keadaan kesehatan fisik maupun mental wanita diperbaiki dan ditingkatkan 24
7) Ditambah pula dengan kemajuan terus menerus dalam ilmu dan praktek
kebidanan, pembatasan jumlah anak 2 atau 3 dan peningkatan taraf kehidupan rakyat pada umumnya.9
25
BAB III KESIMPULAN
Kematian janin menurut National Center For Health Statistics dan American
College Of Obstetricians And Gynecologists adalah janin yang meninggal dan neonatus yang lahir dengan berat 500 gram atau lebih.1 Penyebab dari kematian janin intra uterin yang tidak dapat diketahui sekitar
25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta.1 Gejala-gejala IUFD : BJA tidak terdengar lagi, Rahim tidak membesar dan
fundus uteri turun, Pergerakan anak tidak teraba, Palpasi anak menjadi tidak jelas, Reaksi biologis menjadi negative, setelah anak mati kira-kira 10 hari.12 Pada pemeriksaan penunjang dengan foto rongen dapat terlihat :
o Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi, disebabkan isi tengkorak berkurang karena otak mencair (tanda spalding), o Tulang punggung janin sangan melengkung (tanda Naujokes), o
Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.12
Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya diobservasi
dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis. Selama observasi, 70-90 % akan terjadi persalinan yang spontan. Apabila setelah 2 minggu belum lahir atau kita tidak dapat menunggu selama 2 minggu karena faktor psikologis, dilakukan
induksi
dengan
amniotomi,
prostaglandin.12
26
dan
pemberian
oksitosin
atau
DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, F.G., etc. 2005. Kematian Janin. Obstetri Williams vol. 2, edisi
21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm. 1200-1220. 2. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/18/51132/bkkn_angka_kemat
ian ibu_terus_menurun/ 3. http://www.docstoc.com/?doc_id=89217184&download=1penanganan
kematian janin dalam rahim 4. http://doktermaya.wordpress.com/tag/diagnosis/page/8/ 5. http://id.scribd.com/doc/101760700/IUFD 6. http://p4kundip.wordpress.com/tag/indonesia/ 7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20037/4/Chapter%20II.pdf 8. Moechtar R. 1998. Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, jilid 1, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. 9. Moechtar R. 1998. Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, jilid 2, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. 10. POGI : Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, edisi revisi. 2006. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta 11. Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 785-790. 12. Sastrawinata S, martaadisoebrata D, wirakusumah F.2004. Obsetri Patologi, edisi 2. Jakarta : EGC.
27
28