Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Dije Dijela lask skan an pert pertam amaa kali kali pada pada tahu tahun n 1922, 1922, sindr sindrom om Stev Steven enss-Jo Johns hnson on meru merupak pakan an hipers hipersens ensiti itivit vitas as yang yang dimedi dimediasi asi komple kompleks ks imun imun yang yang merupak merupakan an ekspre ekspresi si berat berat dari dari eritem eritemaa multiform multiforme. e. Sindrom Sindrom Stevens-Jo Stevens-Johnson hnson (SSJ) (SSJ) (ektodermo (ektodermosis sis erosiva erosiva pluriorif pluriorifisial isialis, is, sindrom sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002) SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SSJ. SSJ SSJ muncul muncul biasan biasanya ya tidak tidak lama lama setela setelah h obat disuntik disuntik atau atau diminu diminum, m, dan besarn besarnya ya kerusa kerusakan kan yang yang ditimb ditimbulka ulkan n kadang kadang tak berhubu berhubungan ngan lansun lansung g dengan dengan dosis, dosis, namun namun sangat sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema eritema multiform multiformee mayor tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom StevensJohnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi yang yang berbeda berbeda.. Dengan Dengan alasan alasan terseb tersebut, ut, banyak banyak yang yang menyeb menyebutk utkan an SSJ/N SSJ/NET. ET. SSJ SSJ secara secara khas khas mengen mengenai ai kulit kulit dan membra membran n mukosa mukosa.. Walaupu Walaupun n presen presentas tasii minor minor dapat dapat timbul timbul tetapi tetapi gejala gejala signifikan dari membran mukosa oral, nasal, mata, vaginal, uretral, gastrointestinal dan saluran napas bawah dapat terjadi selama perjalanan penyakit. Ikut sertanya gastrointestinal dan respiratori YARSI – RSUD Cilegon Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI
1
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON dapat berlanjut menjadi nekrosis. SSJ merupakan kelainan sistemik yang serius dengan potensi morbiditas berat dan mungkin kematian. Kesalahan diagnosis sering terjadi pada penyakit ini. Wala Wa laupu upun n beber beberapa apa skem skemaa klas klasif ifik ikas asii tela telah h dila dilapo pork rkan an,, yang yang palin paling g sede sederh rhana ana mengelompokkan penyakit ini sebagai berikut: 1. Sind Sindro rom m Stev Steven enss-Jo John hnso son n – Bent Bentuk uk minor minor dari dari NET NET, denga dengan n luas luas perm permuka ukaan an tubu tubuh h yang yang terkena kurang dari 10%. 2. SSJ/NET SSJ/NET – Luas permuka permukaan an tubuh tubuh yang terkena terkena sekitar sekitar 10-30%. 10-30%. 3. NET – Luas permukaan permukaan tubuh tubuh yang yang terkena terkena lebih dari 30%. Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, SSJ/NET, NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan negara-negara neg ara-negara Barat, penyebab pen yebab tersering di negara-negara neg ara-negara Asia Timur Timur dan Tenggara adalah allopurinol.
II.2 Epidemiologi
Insidensi SSJ dan nekrolisis epidermal toksik diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan dengan kausa kausa SSJ yang biasan biasanya ya diseba disebabkan bkan karena karena alerg alergii obat. obat. Pada Pada dewasa dewasa imunit imunitas as telah telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut. Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi berusia 3 bulan.
II.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik pada stase Kulit dan Kelamin. Selain itu, tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan orang lain yang membacanya karena SSJ merupakan penyakit pada kulit yang emergency dan membutuhkan penanganan segera agar tidak terjadi kematian.
YARSI – RSUD Cilegon Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI
2
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi SSJ
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxic epidermal necrolysis / TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006). Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Djuanda,2007) Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
II.2 Etiologi SSJ
1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut. 2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembang sepenuhnya. 3. Post vaksinasi 4. Penyakit graft-versus-host 5. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama. 6. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasien dengan SSJ. Obat-obatan lain seperti karbamazepin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriaxon dan zat adiktif. 7. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas. Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
3
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON 8. 4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik. ◦
Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie, hepatitis, influensa, variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia.
◦
Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae dan tifoid.
◦
Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan kemungkinan dari infeksi jamur.
◦
Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa.
◦
Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi.
◦
Etiologi dari antibiotik termausk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan barbiturat.
◦
Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan.
◦
SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.
Fitzpatrick, 2008
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
4
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
II.3 Faktor predisposisi SSJ
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).
II.4 Patofisiologi SSJ
SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi. SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. (Djuanda, 2008) Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) : 1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan 2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat 3. Kegagalan termoregulasi 4. Kegagalan fungsi imun 5. Infeksi Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
5
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004). Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko. Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP Adjunct Professor, School of Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti lain menghubungkan sitokin inflamatori pada patogenesis. Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.
II.5 Mortalitas dan Morbiditas SSJ
Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas. Ketika pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar 1-5%. Akan tetapi, ketika pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin mencapai 50%. Bakteremia atau sepsis juga berkontribusi terhadap kematian. Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan pseudomembran mukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan fungsi dari sistem organ yang terkena. Striktur esofagus dapat terjadi ketika terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya mukosa di trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan. Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10% pasien. Stenosis vaginal dan scar penis pernah dilaporkan. Komplikasi renal jarang terjadi.
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
6
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
II.6 Gejala Klinis SSJ
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitasnya belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat, kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas. Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus. Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006). Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) : a) Ruam Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
7
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah. f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.
II.7 Pemeriksaan Fisik SSJ Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson (Djuanda, 2008)
1. Kelainan pada kulit
Kemerahan pada kulit bermula sebagai macula eritema yang berkembang menjadi vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi yang luas pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.
Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.
Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batang Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
8
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON tubuh.
Dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat, kelainannya generalisata.
2. Kelainan pada Selaput lendir di orifisium
Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia, jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
Gejala pada mukosa mulut berupa vesikel dan bula yang gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan
Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan Mata Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis. Selain trias diatas, dapat juga terjadi nefritis dan onikolisis.
Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
Demam
Ortostasis
Takikardia
Hipotensi
Penurunan kesadaran
Epistaksis
Konjungtivitis
Ulkus kornea
Vulvovaginitis erosiva atau balanitis
Kejang, koma Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
9
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
Pengelupasan kulit yang ekstensif pada pasien SSJ
Krusta kehitaman/hemorrhagik
Konjungtivitis kataralis pada SSJ
Simblefaron
Sindrom Stevens Johnson pada anak
Lesi pada mukosa mulut
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
10
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
II. 8 Diagnosis Banding SSJ
Ada penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson : 1.
Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2.
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).
3. Eritema Multiforme. Merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang selaput lendir dan gambaran khas bentuk iris.
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
11
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
12
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON II.9 Pemeriksaan Penunjang SSJ Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ. a)
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat.
b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. c)
mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.
d)
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
e)
Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah lainnya.
f)
Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi.
g)
Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan. Pemeriksaan Histopatologi:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat. Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiform, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainannya berupa: •
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial
•
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
•
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
•
•
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang adneksa Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
13
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
A. Nekrosis eosinofil pada epidermis dengan sedikit respon inflamasi di dermis B. Nekrosis epidermis komplit
II.10 Diagnosa SSJ
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Jika didapatkan leukositosis, kemungkinan penyebabnya bakteri. Jika terdapat eosinofilia, kemungkinan karena alergi. Kalau penyebabnya infeksi, bisa dilakukan kultur darah. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
14
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).
II.11 Komplikasi SSJ
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring , stenosis vagina
Pulmonari – pneumonia
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002). Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari,
dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
15
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON II.12 Penatalaksanaan SSJ
Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya kehilangan cairan yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang mengalami luka bakar luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang mengarah kepada gangguan hemodinamik. Peran utama dokter UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkin dan memulai penanganannya. Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang sangat penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien. 1. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan dan koreksi elektrolit. 2. Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar. 3. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway dan stabilitas hemodinamik, status cairan, penanganan lesi k ulit dan kontrol nyeri. 4. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan pemberian kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan imunoglobulin.
Rawat lesi oral dengan obat kumur.
Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberi kesempatan kepada pasien untuk mendaapat cairan.
Berikan profilaksis untuk tetanus.
Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl fisiologis.
5. Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat yang menjadi penyebab harus langsung dihentikan. 6. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa steroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti. Pasien dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan memburuk dengan pemberian steroid. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa steroid IV dan terapi imunoglobulin tidak meningkatkan atau memperbaiki keadaan umum pasien. 7. Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti adanya keuntungan dari berbagai terapi spesifik. Studi ini memperhatikan mortalitas pasien yang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid. Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
16
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Dermatologis merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis, dengan atau tanpa biopsi. •
Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan ban tuan daari ahli bedah plastik.
•
Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan pasien.
•
Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejala okular.
•
Berdasarkan
sistem
organ
yang
terkena,
konsultasi dengan
gastroenterologis,
pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.
Medikamentosa SSJ
Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada terapi SSJ. Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab infeksi tersebut. Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada aliran darah memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum antara lain Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacteriaceae. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman
dari sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama
3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
17
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4,
dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Siklosporin A. Merupakan agen imunosupresif yang sangat kuat berhubungan dengan
efek biologi yang secara teori berguna untuk SSJ: aktivasi sel T helper 2sitokin, inhibisi mekanisme sitotoksik CD8+ dan efek antiapoptosis.
Plasmaferesis atau hemodialisis. Dengan mengurai metabolit atau mediator inflamasi
seperti sitokin. Terapi ini tidak direkomendasikan karena resiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular.
Anti-TNF antibodi monoklonal telah berhasil sebagai terapi beberapa pasien SSJ.
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
18
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON Follow-Up SSJ
Untuk pasien rawat inap: 1.
Kompres larutan garam fisiologis dapat diberikan pada kelopaak mata, bibir dan hidung.
2.
Inspeksi harian sangat diperlukan untuk monitor adanya superinfeksi sekunder.
3.
Antibiotik sistemik profilaksis tidak berguna terutama pada saat ini dimana terdapat resistensi obat multipel.
4.
Antibiotik diindikasikan pada kasus infeksi kulit atau traktus urinarius, dimana infeksi tersebut dapat menyebabkan bakteremia.
Untuk pasien rawat jalan: 1.
Walaupun pasien dengan eritema multiforme minor dapat diterapi rawat jalan dengan pemberian steroid topikal tetapi pasien dengan eritema multiforme mayor atau SSJ harus dirawat inap.
2.
Penyebab dari eritema multiforme minor harus diperhatikan seksama. Beberapa ahli menyarankan follow-up setiap hari. Untuk pencegahan, pasien haarus dihindarkan dari pajanan lanjutan terhadap agen yang
menyebabkan SSJ. Rekurensi sangat mungkin terjadi.
II.13 Prognosis SSJ •
Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele.
•
Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang terkena.
•
Sampai dengan 15% ddari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk. Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatan mortalitas.
•
Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah:
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
19
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON
Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN) Risk Factor*
Score 0
1
Age
< 40 yr
≥ 40 yr
Associated cancer
No
Yes
Heart rate (beats/min)
< 120
≥ 120
Serum BUN (mg/dL)
≤ 28
> 28
Detached or compromised body surface
< 10%
≥ 10%
Serum bicarbonate (mEq/L)
> 20
≤ 20
Serum glucose (mg/dL)
≤ 250
> 250
Data diambil dari Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative Dermatology 115:149–153, 2000.
Angka mortalitas sebagai berikut: •
0–1 = 3.2% (CI: 0.1 to 16.7)
•
2 = 12.1% (CI: 5.4 to 22.5)
•
3 = 35.3% (CI: 19.8 to 53.5)
•
4 = 58.3% (CI: 36.6 to 77.9)
•
≥ 5 = > 90% (CI: 55.5 to 99.8)
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
20
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON BAB III KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Manifestasi SSJ pada kulit berupa eritema, vesikel, bula, kadang terdapat purpura, pada selaput lendir orifisium berupa vesikel dan bula yang gampang pecah, mata dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa. Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
21
Desember 2011 SINDROM STEVENS JOHNSON DAFTAR PUSTAKA
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik . In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. p:163-165. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92. Wolff, Klaus, Goldsmith, Lowell, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Ed. McGraw Hill. United States of America. 2008. Parrilo, S. : Steven Johnson Syndrome In Emergency Medicine. Philadelphia University. 2010. Access on : May 15, 2011. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/756523overview. Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative Dermatology 115:149–153, 2000.
Fatika Berliantari 1102006095 | FK YARSI – RSUD Cilegon
22