BAB I PENDAHULUAN
Undesensus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Sepertiga kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan,dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayiakan diikuti 1,5,6
dengan penurunan insiden UDT.
Insidensnya 3 ± 6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Setelah 100 tahun penelitian mengenai UDT, masih terdapat beberapa aspek yang menjadi kontroversial. Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang rendah, kecil untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian estrogen pada p ada trimester pertama.
1,2
. Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya
mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis oblikuseksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di 1,3
regio femoral. . UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 - 77% pada usia 3 bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum,antara lain: (Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial) yaitu: 1. Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau gubernakulum 2. Peningkatan tekanan abdomen 3. Faktor hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen 4. Perkembangan epididimis 5. Perlekatan gubernakular 6. Genito-femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP) 7. Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.
Gambar 1. Undescended testis Alasan utama dilakukan terapi adalah meningkatnya risiko infertilitas,meningkatnya risiko keganasan testis, meningkatnya risiko torsio testis, reisikotrauma testis terhadap tulang 1,2
pubis dan faktor psikologis terhadap kantongskrotum yang kosong. . Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 ± 10 kali. Atrofi testis terjadipada usia 5 ± 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 ± 2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormaltestis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal,penurunan sel geminal mencapai 41% dan 1,5,6
20%.
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi 5,6
hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus adalah suatu keadaan dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantung skrotum, tetapi masih 1,2,5,6.
berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus normal.
Kriptorkismus berasal dari
kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis. Harus dijelaskan lagi apakah yang dimaksud sebagai kriptorkismus murni, testis ektopik ataupun pseudo kriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.
5,6
2.2. Epidemiologi UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka 5,6,11
ini hampir sama dengan populasi dewasa.
Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan Farrington ( 1971)
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral. Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami 1,2,5,6
desensus testis secara spontan.
2.3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis Pada minggu ke enam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke genital ridge. Dengan adanya gen SRY ( sex deter mining region Y) , maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF(Müller ian Inhibiting Factor ), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig . Pada minggu ke-10 dan 11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus 5,11,12
Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.
Faktor yang mempengaruhi penurunan testis adalah : 1)
Anti Mullerian Hormon
2)
Tekanan intraabdomen
3)
Faktor Hormon Androgen
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik(anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal berbeda.
dan fase inguinoscrotal . Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang
1,9,10,11
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, dimana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal initerjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculums (ligament yang melekatkan bagian inferior testis ke segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region abdomino pelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum. Selanjutnya 1,2,10,11
fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.
Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson
Keterangan gambar :Antara minggu ke- 8±15 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke skrotum terjadi pada minggu k e- 28 . Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin generelated peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral
untuk
mengeluarkan
CGRP
yang
menyebabkan
kontraksi
ritmis
dari
gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 5,10,11
9-12 bulan.
2.4. Etiologi Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial) yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor hormonal: testosteron, MIS, dan extrinsic estrogen (4) Perkembangan epididimis, (5) Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin generelated peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan 5,6,7
ikat.
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulumtestis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yangmemacu proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi 5,6
prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri ( isolated anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex,dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai 5,9
dengan kelainan kromosom (sekitar 12 ± 25 %). . Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated , di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2 ± 9,8% mempunyai saudara laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang 5,6,10
mempunyai anggota keluarga UDT dibandingdengan populasi umum. 2.5. Klasifikasi UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya ( true undescended : testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba ( impalpable) 2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penu runan yang normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya. Klasifikasi berdasarkan etio patogenesis : 1. Mekanis / anatomik (perleketan-perleketan, kelainan kanalis inguinalis d ll) 2. Endokrin / hormonal ( kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis) 3. Disgenetik (kelainan interseks multiple) 4. Herediter/ genetik
Klasifikasi berdasarkan lokasi : 1. Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40 % 2. Intrakanalikuler ( inguinal ) : 20 % 3. Intraabdominal (abdominal) : 10% 4. Terobstruksi : 30 %
Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.
2.6. Patogenesis dan Patofisiologi 0
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-2 C lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis 1,5,6
normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis.
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada diskrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi 5,8
maligna.
2.7. Diagnosis 5,10
ANAMNESIS
a. Tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum b. Riwayat operasi daerah inguinal c. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan kembar, prematuritas d. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu,dismorfik, 1,5,10
hipospadia, atau genitalia ambigua.
Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan posisi seperti frog-leg atau crosslegged . Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau
baseball catcher’s .
menghindari tertariknya testis ke atas.
Tangan pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk
UDT dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi: 1. Skrotum atas 2. Intrakanalikuler (Inguinal) 3. IntraAbdomen
Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi, klasifikasi cukup dibedakan menjadi teraba atau tidak. Pemeriksaan testis kontralateral juga perlu dilakukan . Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superior iliac spine, meraba daerah inguinal dari lateral ke medial dengan tangan yang tidak dominan. Jika teraba testis, testis dipegang dengan tangan dominan dan ditarik ke arah skrorum. Pemeriksaan skrotum untuk: hypoplastic, bifid, rugae,transposition, 14
pigmentation. Pemeriksaan fisik juga untuk menyingkirkan ektopik testis.
Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan intraabdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi UDT 5,6,10
tersebut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxy 5,6,10
progesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH,dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG ( human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosterone disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.
5,6,10
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada
hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
5,6,10
Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama didaerah inguinal, di 3
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) 5,11
testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intraabdomen.
1,6,9
Hal ini tentunya sangat tergantung daripengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih 7,8,9
baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun).
MRI juga dapat
9
mendeteksi kecurigaan risiko keganasan testis.
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis 5
(pada anorchia). Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih 5,10,13
besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukupaman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain 5,9
tidak dapat mendeteksi adanya testis diinguinal.
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama
laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis ( patent atau non9
patent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfiann ya. Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorchia(44%),
testis intraabdomen(36%), dan struktur cord (vasa dan vasdeferens) yang keluar ke-dalam cincin 5,10
inguinalis interna.
2.8. Diagnosis Banding Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada 2,5,6
saat neonatus.
2.9. Penatalaksanaan Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada diskrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun 6,10
pembedahan.
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, 5,6
penurunansel geminal mencapai 41% dan 20%.
Gambar 4. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.
Gambar 5. Penatalaksanaan kriptorkismus
Terapi Hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang diberikan adalah hCG,gonadotropin releasing hormone(GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosterone dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur
hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi 5,6,9
hormonal.
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250IU/ kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6 ± 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambutpubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat menginduksi fusie piphyseal
5,10
plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.
. Pemberian hormonal pada
kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah 9
hormone hCG yang disemprotkan intranasal. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah orchiopexy . Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologisanak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.. Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke 7
dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos. Prinsip dasar orchiopexy adalah :
5,7
1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah 2. Ligasi kantong hernia 3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.
Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan. Penelitian melaporkan spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.
Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah
5,7
1. kegagalan terapi hormonal 2. testis ektopik 3. terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis yang terbuka
Berbagai teknik operasi pada testis yang tidak teraba dapat dilakukan, seperti berikut (Tabel 2.):
Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat Keberhasilannya
Gambar 6. Orchiopexy Keterangan gambar: Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E). Komplikasi Orchiopexy Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy antara lain:
5,10
1.Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidakkomplit (10%kasus) 2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%kasus) 3.Trauma pada vas deferens ( 1±2% kasus)
4.Pasca-operasi torsio 5.Epididimoorkhitis 6.Pembengkakan skrotum
2.10. Komplikasi UDT Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi padaUDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis. Di sampingitu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.
5,10
A. Risiko Keganasan
Terdapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis 5,10,11
abdominal mempunyai risikomenjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,tetapi akan lebih 5,10,11
mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy . B. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
5,10,11
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkandengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan
UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang normal.
5,10,11
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelahumur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.
5,10,11
BAB III PENUTUP
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulumtestis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis. Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan lebih awal sehingga penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal. Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapkan terjadi penurunan risiko yang terjadi pada testis terutama risiko infertilitas.Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan(orchiopexy).
DAFTAR PUSTAKA
1. Moh. Adjie Pratignyo. 2011. Bedah Saluran Cerna Anak. Edisi 1. SAP Publish Indonesia: Tangerang 2. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC 3. Seymour, Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6 . Jakarta : EGC
4. Purnomo BB.Dasar -dasar urologi . Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003.h.137-40. 5. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbellµs Urology Vol 1. 8 thedition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000. 6. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System. Dalam:Tanagho EA, McAninch JW.Smith¶s General Urology . Edisi 17. California:The McGraw Hill companies; 2000. h.23-45. 7. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W.Cromie.The Undescended Testicle:Diagnosis and Management.American Family Physician,62 (November 1,2000): 2037±2044, 2047±2048. 8. Batubara JRL.Terapi hormonal pada kriptorkismus.Disampaikan padaSimposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta 9. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 18 Juli 2013) 10. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC; 2000. h.280-310 11. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 18 Juli 2013) 12. Himawan S. Segi patologik kriptokismus. Disampaikan pada Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismis, Jakarta 13. Kolon. TF, Patel RP, Huff DS, Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long term prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31:7- 18. 14. Riedmiller H, Androulakakis P, Beurton D, Kocvara R, Kohl U. Guidelines on paediatric urology. European Association of Urology,2005.
15. Hutson JM, Hasthorpe S, Heyns CF. Anatomical and functional aspects of testicular descent and cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997,18(2); 259-80.