KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan petunjuk-Nya sehingga laporan kasus kepaniteraan klinik program pendidikan profesi dokter ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Laporan kasus ini disusun sebagai upaya integrasi pengetahuan biomedik yang didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di rumah sakit. Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu pemahaman yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang dibahas dalam laporan kasus ini. Laporan kasus kali ini mengangkat topik Gagal Jantung Kongestif yang merupakan suatu penyakit divisi Kardiologi Ilmu Penyakit Dalam. Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Diharapkan dengan membahas kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih kompleks mengenai jantung dan fungsinya serta penyakit jantung kongestif. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus kali ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan kasus ini kedepannya nanti.
Medan, Maret 2011 Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Davis, R., 2000).
Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa untuk menghantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan tubuh. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai disfungsi ventrikel. Sebenarnya istilah
gagal
jantung
menunjukkan
berkurangnya
kemampuan
jantung
untuk
mempertahankan beban kerjanya.
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit. Namun bagi kepentingan praktis, gagal jantung kronis didefinisikan sebagaji sindrom klinis yang kompleks yang disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda-tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat (Davis, R., 2000).
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 per
1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama (Maggioni, A., 2005).
Penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada masyarakat Barat, sementara penyakit katub jantung dan defisiensi nutrisi mungkin lebih penting di negara berkembang. Di Amerika Serikat, diperkirakan 550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang pasti. 1.2.
Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah: Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien
yang mengalami penyakit gagal jantung kongestif ini?
1.3.
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya: a. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis Congestive Heart Failure. b. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus Congestive Heart
Failure pada pasien secara langsung. c. Untuk memahami perjalanan penyakit Congestive Heart Failure.
1.4.
Manfaat Penulisan Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya: a. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit dalam,
khususnya mengenai Congestive Heart Failure. b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut topik
topik yang berkaitan dengan Congestive Heart Failure.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan - perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif akut (Dumitru, I., 2010). 2.2 Epidemiologi Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada
keadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan 550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang pasti (Maggioni, A., 2005). 2.3 Etiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung (Rodeheffer, R., 2005). Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000). Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati
dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel (Rodeheffer, R., 2005). Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan (Rodeheffer, R., 2005). Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
2.4 Klasifikasi Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan New York Heart Association (Santoso, A., 2007). Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian: •
Derajat I
: Tanpa gagal jantung
•
Derajat II
: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
•
Derajat III
: Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
•
Derajat IV
: Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
•
Kelas I (A)
: kering dan hangat (dry – warm)
•
Kelas II (B)
: basah dan hangat (wet – warm)
•
Kelas III (L)
: kering dan dingin (dry – cold)
•
Kelas IV (C)
: basah dan dingin (wet – cold)
Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan fungsional jantung yaitu:
•
Kelas 1
: Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
•
Kelas 2
: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
•
Kelas 3
: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
•
Kelas 4
: Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring.
2.5 Patogenesis
2.6 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut
jantung,
meningkatkan
kontraktilitas
serta
vasokonstriksi
perifer
(peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan
kontraktilitas
serta
vasokonstriksi
perifer
(peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan
peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih
normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri. (Harbanu H.M, 2007)
Manifestasi Klinis Umum
Deskripsi
Mekanisme
Sesak napas (juga disebut dyspnea)
Sesak napas selama melakukan aktivitas (paling sering), saat istirahat, atau saat tidur, yang mungkin datang tiba-tiba dan membangunkan. Pasien sering mengalami kesulitan bernapas sambil berbaring datar dan mungkin perlu untuk menopang tubuh bagian atas dan kepala di dua bantal. Pasien sering mengeluh bangun lelah atau merasa cemas dan gelisah.
Darah dikatakan “backs up” di pembuluh darah paru (pembuluh darah yang kembali dari paru ke jantung) karena jantung tidak dapat mengkompensasi suplai darah.Hal ini menyebabkan cairan bocor ke paru-paru.
Batuk atau mengi yang persisten
Batuk yang menghasilkan lendir darah-diwarnai putih atau pink.
Cairan menumpuk di paru-paru (lihat di atas).
Penumpukan kelebihan cairan dalam jaringan tubuh (edema)
Bengkak pada pergelangan kaki, kaki atau perut atau penambahan berat badan.
Aliran darah dari jantung yang melambat tertahan dan menyebabkan cairan untuk menumpuk dalam jaringan. Ginjal kurang mampu membuang natrium dan air, juga menyebabkan retensi cairan di dalam jaringan.
Kelelahan
Perasaan lelah sepanjang waktu dan
Jantung tidak dapat memompa cukup
kesulitan dengan kegiatan sehari-hari, seperti belanja, naik tangga, membawa belanjaan atau berjalan.
darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh.
Kurangnya nafsu makan dan mual
Perasaan penuh atau sakit perut.
Sistem pencernaan menerima darah yang kurang, menyebabkan masalah dengan pencernaan.
Kebingungan dan gangguan berpikir
Kehilangan memori dan perasaan menjadi disorientasi.
Perubahan pada tingkat zat tertentu dalam darah, seperti sodium, dapat menyebabkan kebingungan.
Peningkatan denyut jantung
Jantung berdebardebar, yang merasa seperti jantung Anda balap atau berdenyut.
Untuk "menebus" kerugian dalam memompa kapasitas, jantung berdetak lebih cepat.
( American Heart Association, 2011)
Gambar menunjukkan gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor. Kriteria Mayor: ·
Paroksismal nocturnal dyspnea
·
Distensi vena pada leher
·
Rales
·
Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
·
Edema paru akut
·
S3 ( Suara jantung ketiga )
·
Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
·
Hepatojugular refluks
·
Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan
Kriteria Minor: ·
Bilateral ankle edema
·
Batuk nokturnal
·
Dyspnea pada aktivitas biasa
·
Hepatomegali
·
Efusi pleura
·
Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
·
Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)
Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan dengan kondisi medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis, sirosis, asites, atau sindrom nefrotik). Kriteria Framingham Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk mengidentifikasi orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti. ( Medical Criteria.com, 2010 )
2.7 Diagnosis Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena jugular, hepatomegali dan edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga diketahui sekiranya pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi, diabetes, gagal ginjal atau penggunaan alkohol yang signifikan. Pemeriksaan fisik difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra dalam tubuh seperti suara-suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta pengkarakteristikan yang hati-hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung, suara-suara jantung, dan desah jantung (Nieminen, M.S., 2005). Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosisnya dapat ditegakkan dengan setidaknya dijumpai 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Framingham. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklid, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Singh, V., 2010). Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran
EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispnea pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan
abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure (Lee, T.H., 2005). 2.8 Diagnosis Banding Diagnosis gagal jantung kongestif mungkin dapat ditentukan dengan mengamati beberapa kombinasi manifestasi klinis gagal jantung, bersama dengan karakteristik yang ditemui dari satu bentuk etiologi penyakit jantung. Gagal jantung sulit dibedakan dengan penyakit paru. Emboli paru juga ada dalam manifestasi gagal jantung, tetapi hemoptisis, nyeri dada pleuritik, angkatan ventrikel kiri dan karakteristik yang tidak cocok antara ventilasi dan perfusi harus mengarah ke diagnosis ini. Edema pergelangan kaki mungkin disebabkan oleh vena varikosa, edema siklik, atau efek gravitasi tetapi pada pasien ini tidak ada hipertensi vena jugularis saat istirahat atau dengan penekanan di atas abdomen. Edema sekunder terhadap penyakit ginjal biasa dapat dikenal dengan tes fungsi ginjal yang sesuai dan urinalisis, serta jarang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena jugularis. Pembesaran hati dan asites terjadi dalam pasien dengan sirosis hepatitis dan juga dapat dibedakan dari gagal jantung dengan tekanan vena jugularis yang normal dan tidak adanya refluks abdominojugularis yang positif. Diagnosis banding untuk gagal jantung dirincikan sebagai berikut (Davies, M.K., 2000): •
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
•
Trauma Akut
•
Altitude sickness
•
Asma
•
Syok kardiogenik
•
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
•
Overdosis Obatan
•
Infark miokard
•
Pneumonia
•
Fibrosis Pulmonal
•
Respiratory failure
•
Sepsis
2.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara farmakologis dan non farmakologis. Keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut atau kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya (Santoso, A., 2007). Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prosthesis (Santoso, A., 2007).
Gagal jantung kronis bisa terkompensasi atau dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul seperti episode edema paru akut, malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat beraktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain seperti, diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, Beta-blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, dan obat positif inotropik. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan immobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel (Millane, T., 2000). Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dyspnea, takikardia serta cemas. Pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias yang terdiri daripada hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria dan cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokardia, aritmia (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya masalah mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca infark (Maggioni, A.P., 2005). Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongestif paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita pada posisi duduk disertai dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
merupakan tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta urin output dan oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess (BE) menunjukkan perfusi jaringan. Nilai BE yang rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat daripada metabolisme anaerob dan umumnya mempunyai prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis dan pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid (NSAID), sehingga harus dihindari (Millane, T., 2000). Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat mengurangkan kecemasan, nyeri, stress serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta edema paru. Dosis pemberian berbentuk 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai dengan kebutuhan. Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenous) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah, nitrat bertindak sebagai vasodilator pada vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi pada arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator pada pasien dengan gagal jantung refrakter dan pasien dengan gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside harus dihindari pada pasien dengan gagal ginjal berat dan mempunyai gangguan fungsi hati. Dosis pemberian adalah 0,3 – 0,5 μg/kg/menit (Santoso, A., 2007).
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang bersifat sebagai vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan oleh ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal serta dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, dan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dan dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg (Maggioni, A.P., 2005). Pemberian dopamine dengan dosis 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt. Sekiranya bertujuan untuk meningkatkan curah jantung, diperlukan dosis yang lebih tinggi yaitu 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi beta blocker, dosis yang dibutuhkan adalah lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan
dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderita gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi beta blocker yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt (Maggioni, A.P., 2005). Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang sering adalah penyakit jantung koroner dan sindroma koroner akut. Apabila penderita datang dengan hipertensi emergensi, pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun antagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai dengan penyakit dasar. Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah pamasangan pompa balon intra aorta, pacu jantung (pace maker), implantable cardioverter defibrilator, dan ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau dengan syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung (pace maker) bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik
dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebagian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik (Maggioni, A.P., 2005). Berikut pada mukasurat selanjutnya merupakan alogrithma untuk penanganan kasus gagal jantung kongestif:
2.10 Komplikasi Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Umumnya, berat badan akan mengalami hambatan yang lebih berat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan akibat daripada kompensasi jantung dan selanjutnya menimbulkan dyspnea. Pada gagal jantung kanan dapat terjadinya hepatomegali, asites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal. Menurut Brunner & Suddarth, potensial komplikasi mencakup syok kardiogenik, episode tromboemboli, efusi perikardium, dan tamponade perikardium. 2.11 Prognosis Prognosis CHF tergantung dari derajat disfungsi miokardium.
Menurut New
York Heart Assosiation, CHF kelas I-III mempunyai kadar mortalitas 1 tahun sekitar 25% dan kadar mortalitas 5 tahun sekitar 52%. Sedangkan kadar mortalitas 1 tahun untuk CHF kelas IV adalah sekitar 40%-50%.
BAB III STATUS PASIEN
KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD) CATATAN MEDIK PASIEN No.Reg. RS : 207793 Nama Lengkap: Fatieli Harefa Umur : 51 Thn Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : No. Telefon : Pekerjaan : Tentera Status : Kawin Pendidikan : Suku : Protestan Agama : Kristen
Dokter Muda
:
Dokter
:
Tanggal Masuk
: 13 Februari 2011
ANAMNESIS Automentesis
Heternomentesis
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Keluhan Utama : Bengkak di kaki Deskripsi : Hal ini dialami os sejak 15 hari yang lalu. Nyeri(-), nyeri tekan(-). Perut kembung selama 5 hari sebelum masuk rumah sakit dan os merasa menyesak akibat perut kembungnya. Nyeri tekan(+). Sesak napas(+), sewaktu melakukan aktivitas, penggunaan 3-4 bantal (-). Susah tidur(+), demam(-), menggigil(-), batuk(-), keringat malam(-), penurunan berat badan(-) BAK (+)N
BAB (+)N RPT: DM, hipertensi, PJK, GGK RPO: obat anti hipertensi RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU Tanggal
Penyakit
2005 2008 2008 2008
Stroke DM Hipertensi GGK
Tempat Perawatan
Pengobatan dan Operasi
RIWAYAT KELUARGA Laki-Laki
Perempuan
X Meninggal (sebutkan sebab meninggal dan umur saat meninggal)
51 tahun
Tahun Tahun (-) (-)
Riwayat Alergi Bahan/Obat Gejala Riwayat imunisasi (-) Jenis imunisasi (-) tidak jelas
RIWAYAT PRIBADI
Hobi
: Tidak ada yang khusus
Olahraga
: Bola Volley
Kebiasaan Makanan
: Tidak ada yang khusus
Merokok
:-
Minum Alkohol
:-
Hubungan Seks
:-
ANAMNESIS UMUM (Review of System) Berilah Tanda Bila Abnormal Dan Berikan Deskripsi Umum : Keadaan umum sedang Kulit : tidak ada keluhan Kepala dan Leher : Hemiparese NVII Mata : pandangan kabur Telinga : tidak ada keluhan Hidung : tidak ada keluhan Mulut dan Tenggorokan : tidak ada keluhan Pernafasan : sesak napas Payudara : tidak ada keluhan Jantung : tidak ada keluhan
Abdomen : nyeri ulu hati Ginekologi : tidak ada keluhan Alat Kelamin : tidak ada keluhan Ginjal dan Saluran Kencing : tidak ada keluhan Hematologi : tidak ada keluhan Endokrin/Metabolik : tidak ada keluhan Musculoskeletal : tidak ada keluhan Sistem Saraf : tidak ada keluhan Emosi : terkontrol Vaskuler : tidak ada keluhan
DISKRIPSI UMUM Kesan Sakit Gizi BB : 80 kg
Ringan
Sedang
Berat
TB : 170 cm
IMT : 23,5 kg/m2 , kesan: overweight TANDA VITAL Kesadaran
CM
Deskripsi : komunikasi baik
Nadi HR Tekanan darah
96 x/I 96 x/i Berbaring : Lengan Kanan : 200/120mmHg Lengan Kiri : 200/120 mmHg
Temperatur Pernafasan
Aksila : 36,8 Celcius Frekuensi: 24 x/i
Reguler, t/v: cukup kuat Duduk : Lengan Kanan : 200/120 mmHg Lengan Kiri : 200/120 mmHg Deskripsi : Toraks abdominal
KULIT : dbn KEPALA DAN LEHER : Simetris TVJ : R-2 cmH20, Trakea : medial, Pembesaran KGB (-), Struma (-) TELINGA: Meatus aurikula externus dbn HIDUNG: dbn RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN: dbn MATA: Konjungtiva palp. inf. Pucat +, sklera ikterik -, THORAX Depan Simetris SF ki=ka kesan normal Sonor SP: bronkial ST: -
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
Belakang Simetris SF ki=ka kesan normal Sonor SP: bronkial ST:-
JANTUNG Batas Jantung Relatif:
Atas
: ICR III sinistra Kanan : LSD Kiri : 2cm lateral LMCS, ICR V sinistra
Jantung: HR 96x/I, teratur, M1>M2, A2>A1, P2>P1, A2>P2, desah – ABDOMEN Inspeksi
: Simetris
Palpasi
: Kanan soepel, kiri mengeras H/L/R: L teraba, nyeri tekan -
Perkusi
: kanan- tempani, kiri beda, pekak hati -, pekak beralih -
Auskultasi
: Peristaltik +, double sound –
PUNGGUNG Simetris, tapping pain + EKSTREMITAS Superior: oedem -/Inferior : oedem +/+ Alat kelamin: dpn REKTUM: tdp NEUROLOGI: Refleks Fisiologis + Refleks Patologis – BICARA jelas PEMERIKSAAN LAB Darah rutin : Hb 8,40 g/dl; Leukosit 6,30/mm³; Hematokrit 26,90%; Trombosit 182/mm³; RFT: ureum 142, creatinin 5,7
URINALISA RUANGAN tdp FESES RUTIN tdp
RESUME DATA DASAR (Diisi dengan Temuan Positif) Oleh Dokter: Nama Pasien: Fatieli Harefa
No. RM: 20.77.93
1. KELUHAN UTAMA: Oedem di kedua ekstremitas inferior 2. ANAMNESIS: (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu,
Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.) Laki-laki, 51 tahun dengan keluhan utama oedem di kedua ekstremitas inferior, disertai dengan perut kembung dan susah tidur. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum sedang. Pada kepala, dijumpai hemiparese NVII, suara pernafasan bronchial dan nyeri tekan pada epigastrium. Foto toraks menunjukkan kesan kardiomegali dan bat wings. Hasil lab menunjukkan kesan ureum dan kreatinin meningkat.
RENCANA AWAL Nama Penderita: Fatieli Harefa No. RM: 207793 Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnose, penatalaksanaan dan edukasi) No
Masalah
Rencana Diagnosa Rencana Terapi
1
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
- D/V/F rutin - LFT/RFT/ Elektrolit - Foto thorax PA - EKG - KGD ad random
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -Injeksi Ranitidin 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg -Alprazolam 1x0,5mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1
Rencana Monitoring - Klinis - Laboratorium
Rencana Edukasi Menerangkan dan menjelaskan keadaan, penatalaksanaan, dan komplikasi penyakit kepada pasien dan keluarga.
Follow up Tgl
S
O
A
P Terapi
14/02 /1116/02 /11
Kaki bengkak, Nyeri ulu hati, nafsu makan turun
Sens : CM TD : 170/100 mmHg Pols : 78x/i RR : 20x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -Injeksi Ranitidin 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg -Alprazolam 1x0,5mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1
Diagnostik
17/02 /1120/02 /11
Kedua kaki bengkak +/+
Sens : CM TD : 170/100 mmHg Pols : 78x/i RR : 20x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -Injeksi Ranitidin 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg -Alprazolam 1x0,5mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1
21/02 /1122/02 /11
Bengkak di kedua kaki
Sens : CM TD : 150/100 mmHg Pols : 80x/i RR : 24x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: ronkhi basah(+) BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+ Foto thorax: kesan kardiomegali dan bat wings.
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -Injeksi Ranitidin 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1
23/02 /1124/02 /11
Demam dan bengkak di kedua kaki
Sens : CM TD : 180/110 mmHg Pols : 100x/i RR : 24x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: ronkhi basah(+) BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1 -Albumin 20% 1fl/24jam -Amoxicillin 4x500mg -Antasida syr 3xC1
25/02 /1101/03 /11
Bengkak pada kedua kaki
Sens : CM TD : 180/110 mmHg Pols : 100x/i RR : 24x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: ronkhi basah(+) BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1 -Inj. Ciprofloxacin 1fl/12jam -Antasida syr 3xC1 -Nifedipine 1x10mg
02/03 /1108/03 /11
Bengkak pada kedua kaki
Sens : CM TD : 170/100 mmHg Pols : 84x/i RR : 24x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: ronkhi basah(+) BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1 -Inj. Ciprofloxacin 1fl/12jam -Antasida syr 3xC1 -Klonidin 1x1 tab - Bisoprolol 1x1mg -Eas primer 1fl/ 24jam -Renogard 3x1
09/03 /11
Bengkak pada kedua kaki
Sens : CM TD : 160/100 mmHg Pols : 80x/i RR : 24x/i Temp: 36,5C Pemeriksaan fisik: Kepala: Konjunktiva palpebra inferior anemis pucat (+) Leher: Pembesaran KGB (-) Thoraks: SP: Bronkial, ST: ronkhi basah(+) BJ: I/II regular, desah (-) Abdomen: I : Simetris P: H/L/R: N, BU (+) P: timpani A: BU(+) Ekstremitas: Odema inferior +/+
CHF ec HHD + DM tipe 2 + Hipertensi stage 2
-Tirah baring -IVFD RL 8 tts/mnt -Injeksi Furosemide 1A/ 12jam -ISDN 3×1 -Aspilet 1x80mg - Simvastatin 1x1 -Bicnat 3x1 -Inj. Ciprofloxacin 1fl/12jam -Antasida syr 3xC1 -Klonidin 1x1 tab -Bisoprolol 1x1mg -Eas primer 1fl/ 24jam -Renogard 3x1 -KSR 1x1 -Balance cairan
43 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
44 DAFTAR PUSTAKA American Heart Association, 2011. Peringatan tanda-tanda gagal jantung. Available from
:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/WarningSignsforHea rtFailur e/Warning-Signs-of-Heart-Failure_UCM_002045_Article.jsp
[Accesed
5th March 2011] Davies, M.K., 2000. ABC of heart failure: Congestive heart failure in the community trends in incidence and survival in 10-year period.. BMJ : 297-300 Davis, R.C., 2000. ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ 320 : 39-42. Dumitru,
I.,
2010.
Heart
Failure.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview
from
[Accesed
5th
: March
2011] Harbanu H.M, 2007, et al. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/ RSUP Sanglah,
Denpasar.
Available
from
:
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf [Accesed 5th March 2011] Lee, T.H., 2005. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker : 449-65 Maggioni, A.P., 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements 2005 ; J15-J20. Medical Criteria.com, 2010. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti. Available
from
:
http://www.medicalcriteria.com/criteria/framingham.htm
[Accesed 5th March 2011] Millane, T., 2000. ABC of heart failure: acute and chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
45 Nieminen, M.S., 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure – full text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J : 256-351 Rodeheffer, R., 2005. Cardiomyopathies in the adult dilated, hypertrophic, and restrictive. In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005 : 137-56. Santoso, A., 2007. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC : 23-28. Singh,
V.,
2010.
Congestive
Heart
Failure
Imaging.
http://emedicine.medscape.com/article/354666-overview 2011]
Available [Accesed
5th
from
:
March