MAKALAH KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL (Dosen Pengampuh: Ali Irfan, S.E., M.Si., Ak., BKP.)
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Pada Mata Kuliah Manajemen Perpajakan
Oleh: YUDIANTO AMELIA PUTRI NANNA
(2014240922) (2014240915)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA JUNI 2015
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang bidan g perpajakan. Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-negara yang melakukan melak ukan kerjasama ker jasama tersebut. te rsebut. Ini menjadi menjad i penting pentin g agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang melakukan transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara harus 1
tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah Konvensi Wina. Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban
tersebut
adalah
dengan
melakukan
penghindaraan
pajak
berganda
internasional.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Perpajakan International 1. Definisi Pajak International
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian
Perpajakan
Eropa,
Kantor
Pusat
Direktorat
Jendral
Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya. Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina Pacta ( Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut. Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu: a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri, dan b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri (domestik). Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward , outbound transaction ) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward , inbound transaction ) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan 3
luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country). 2. Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional. 3. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan pemajakan internasional: 1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri. 2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku. 3. National Neutrality : Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba. 4. Pemajakan Lintas Negara
4
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan
pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial ( source principle ) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia. Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual resident , dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura. Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber ( source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat
subjek
pajak
bertempat
tinggal,
berkedudukan
atau
berdomisili
berdasarkan ketentuan perpajakan. Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
B. Konsep Ju r idi cal Ver sus Economic Double Taxati on 1. Juridical Versus Economic Double Taxation
5
Dalam Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara pajak berganda yuridis ( juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic double taxation ). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik). Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga. Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject ). Di pihak lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject ). 2. Sumber Hukum Perpajakan Internasional
Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti 6
sempit adalah (Agus Setiawan, 2006): “Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),” Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah: “Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.” Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional
dalam arti luas termasuk sebagai berikut: a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lainlain perjanjian internasional; c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu : 1) Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum; 2) Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan; 3) Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht . Menurut Rosendorff , Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia. Menurut PJA Adriani, Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masingmasing negara. Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai : a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri; b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda; c. Traktat-traktat.
7
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut : a. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri ( National External Tax Law); National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri). b. Hukum Pajak Luar Negeri ( Foreign Tax law); Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. c. Hukum Pajak Internsional ( Internasioanal Tax Law); Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan. 3. Kaidah Hukum Pajak Nasional/Inilateral Yang Mengandung Unsur Asing
Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilateral yang mengandung unsur asing, antara lain: a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT); c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak; d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak
8
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap; e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan; f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri; g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Sedangkan kaedah-kaedah yang berasal dari traktat adalah: a. Perjanjian bilateral; b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). c. Perjanjian multirateral. Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
4. Keputusan Hakim Nasional Atau Komisi Internasional Tentang Pajak-Pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan. Berdasarkan Pasal 32A UU PPh, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara
guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara. Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan 9
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya. Kekuasaan Negara tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewenang ini. Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut. 5. Prinsip Non D iskri minasi
Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas. Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi: a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance). 10
b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance ). Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering
dipergunakan
untuk
menyatakan
penghindaran
pajak
yang
tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning . Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam
koridor
hukum
tapi
tidak
berdasarkan
” bonafide
dan
adequate
consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang
(the intention of parliament ). Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yan g
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal ) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif. Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan
bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan 11
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (1) transfer pricing , (2) thin capitalization, (3) treaty shopping , dan (4) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk: a. Substantive tax planning , yang terdiri atas: 1) Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 2) Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 3) Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. b. Formal tax planning. Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
C. Konsep Anti Tax Avoidance
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini: a. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing , (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping , dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
12
b. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis. Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut: a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan. b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya. c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds ). d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang. e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak. f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.
di Indonesia Tax Avoidance
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning , agresive tax planning , acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance . Dengan demikian, dalam
praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan 13
aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga perpajakan
berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan
disalahgunakan
oleh
Wajib
Pajak
untuk
semata-mata
tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning , tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur
secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.
D. Penghindaran Pajak Berganda (P3B) 1. Definisi P3B
Perjanjian
Penghindaran
Pajak
Berganda
(P3B)
adalah
perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. 2. Tujuan P3B
Tujuan P3B adalah sebagai berikut: a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan ikim dunia usaha; b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri; c. Peningkatan sumber daya manusia; 14
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak; e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara. 3. Azas P3B
Azaz utama yang dijadikan landasan untuk mengenakan pajak adalah: a. Azas domisili atau azas kependudukan; b. Azas Sumber; c. Azas Nasionalitas atau azas kewarganegaraan. 4. Metode P3B
Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan berganda, antara lain: a. Metode Pemajakan Unilateral Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita lain karena hail itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita. b. Metode Pemajakan Bilateral Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat Tax Treaty. c. Metode Pemajakan Multilateral
15
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Metode Penghindaran Pajak Berganda adalah: a. Pembebasan / Pengecualian; b. Kredit Pajak; c. Metode Lainnya. 5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda:
a. Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development ); b. Model UN (United Nation); c. Model Indonesia (Gabungan antara model OECD dan UN). 6. Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. 16
E. Tr ansfer Pr icin g 1. Proses Terjadinya Transfer Pricing
Transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang memiliki
hubungan berkembang
istimewa.Pertumbuhan pesat
turut
kegiatan
memacu
ekonomi
perkembangan
internasional
korporasi
yang
multinasional
(multinational company). Kegiatan korporasi multinasional sebagai group-group
perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan strategi yang lebih luas. Transfer pricing (harga transfer) merupakan sebutan atau istilah yang umum
digunakan untuk penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota group korporasi multinasional. Transfer pricing dapat ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, namun dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer pricing ini merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain: a. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan; b. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri; c. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah; d. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor; e. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha; f. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan;
17
g. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri. Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi multinasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan junto Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (associated enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement (APA) atau kesepakatan harga transfer mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang dilakukan antar mereka. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat mengakibatkan kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Transfer
pricing
sering
digunakan
oleh
perusahaan-perusahaan
multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi. Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country . Artinya, ada pergeseran kewajiban perpajakan dari Negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke Negara yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut yang mengakibatkan potensi penerimaan suatu Negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak akan berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan sumber 18
daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak dari salah satu perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing dilakukan oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka akan sangat berbahaya. Perusahaan lokal yang menjadi subsidiari dari perusahaan asing akan “dikorbankan”. Artinya,
perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya perusahaan lokal tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran pajak oleh kedua perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi pada industri batu bara. Jenis tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang multinasional. perusahaan asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara lokal. Dari sinilah akan timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi justru praktik transfer pricing. Jika batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing, maka tidak mungkin
perusahaan lokal itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang berkonspirasi untuk merugikan suatu perusahaan, hal ini sudah pasti transfer pricing. Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UndangUndang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir”. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa “kesepakatan
harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengan Wajib Pajak tersebut”. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan 19
antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing harus memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak serta memenuhi definisi hubungan istimewa. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa dianggap ada apabila: a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung; atau c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. 2. Metode Tr ansfer Pri cing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut: a. Harga transfer dasar biaya (cost based transfer pricing )
20
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh ( full cost ), biaya penuh ditambah mark-up ( full cost plus markup ), dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee). b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing) Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling memadai, karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.
c. Harga transfer negosiasi (negotiated transfer prices) Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrol abilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang dinegosiasikan. 3. Tr ansfer Pri cing Pada Perusahaan Multinasional
Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional, yaitu: a. Performance evaluation Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya
dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, divisi
penjual
menginginkan
harga
transfer
yang
tinggi
yang
akan
meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-nya. Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan
21
dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan harga transfer. b. Optimal determination of taxes Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif pajak yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi. 4. Tr ansfer Pri cing Atas Royalti
Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional membuat suatu perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai pasar dan mendekatkan diri dengan konsumen yang berada di berbagai Negara. Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di berbagai Negara mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan multinasional. Dalam konsep perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh perusahaan induk terhadap anak perusahaan di berbagai Negara seringkali menyebabkan terjadinya transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan
yang
memiliki
hubungan
istimewa
seringkali
menimbulkan
ketidakwajaran harga transfer. Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis ataupun untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung perusahaan akibat transaksi lintas Negara.
22
Contoh Kasus Tr ansfer Pricing
Jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya US$100 ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar PPh di Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan afiliasi SQ di Singapura dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ menjual kepada XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan QS sebesar US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di Singapura US$16). Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar US$6, dan HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat penghematan pajak sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat kedudukan perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam mata rantai perdagangan, semakin besar pula penghematan pajak dari praktik transfer pricing ini.
23
BAB III PEMBAHASAN KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestik (Negara P)
200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
100.000.000
Penghasilan global
300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
75.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 – 75.000.000 Pajak Penghasilan kurang bayar
(25.000.000) 50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut : Penghasilan domestik (Negara P)
200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
(50.000.000)
Penghasilan global
150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar: 25% x 150.000,000
37.500.000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured ) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada 24
tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba domestik 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya adalah: Penghasilan domestik (Negara P)
250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
(150.000.000)
Penghasilan global
400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)
100.000.000
Eksemsi pajak Penghasilan luar negeri
150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu
(50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi
100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25%
(25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar
75.000.000
25