MORFOLOGI KOTA
1. MORFOLOGI KOTA 2. KOMPONEN MORFOLOGI 3. TEORI MORFOLOGI KOTA 4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA 5. KAJIAN BENTUK-BENTUK KOTA 6. ANALISA PERANCANGAN KOTA 7. ANALISA MORFOLOGI SECARA STRUKTURAL
1. PENGERTIAN KOTA Dalam pengertian geografis, KOTA ITU ADALAH SUATU TEMPAT YANG PENDUDUKNYA RAPAT, rumah-rumahnya berkelompok kelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian. Bintarto, 1987, KOTA DALAM TINJAUAN GEOGRAFI ADALAH SUATU BENTANG BUDAYA YANG DITIMBULKAN OLEH UNSUR-UNSUR ALAMI DAN NON ALAMI DENGAN GEJALA-GEJALA PEMUSATAN PENDUDUK YANG CUKUP BESAR, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas masih sangat kabur dalam arti akan sulit untuk menarik batas yang tegas untuk mendefinisi kota dan membedakannya dari wilayah desa apabila menginginkan tinjauan tersebut. Tinjauan di atas merupakan batasan kota dari segi sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu SEGI FISIK , ADMINISTRATIF, SOSIAL FUNGSIONAL. Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota, mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaka secara umum. KOTA DALAM TINJAUAN FISIK ATAU MORFOLOGI MENEKANKAN PADA BENTUK-BENTUK KENAMPAKAN FISIKAL DARI LINGKUNGAN KOTA.
Menurut pendekatan morfologi, kota dapat didefinisikan sebagai berikut: a. Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat KUMPULAN BANGUNAN DAN MANUSIA. (cities are place made up of buildings and people)
b. Menurut Sandi Siregar, kota adalah ARTIFAK YANG DIHUNI. Kota sebagai lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar dan kompleks, terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik lainnya) serta manusia dengan konfigurasi tertentu membentuk satu kesatuan ruang fisik (physical-spatial entity).
c. Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah ARTIKULASI RUANG YANG MEMBERIKAN SUATU PENGALAMAN RUANG TERTENTU KEPADA PARTISIPATOR. Oleh karena itu, lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap jika meliputi bangunan, setting dan karakter kota.
d. Menurut Ali Madanipour bahwa KOTA ADALAH KUMPULAN BERBAGAI BANGUNAN DAN ARTEFAK (A COLLECTION OF BUILDINGS AND ARTEFACT) SERTA TEMPAT UNTUK BERHUBUNGAN SOSIAL (a site for social relationships). Morfologi kota merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan yang bersifat sosio-spatial (the geometry of a socio-spatial continum). e. Menurut Also Rossi18 bahwa kota adalah KARYA KOLEKTIF .
f. Menurut Paul D. Spereiregen juga menekankan pada PENGERTIAN KOTA SEBAGAI BENTUKAN FISIK yang secara keseluruhan saling mengisi satu sama lainnya dan membentuk satu kesatuan penampilan kota.
g. Kota menurut Gallion and Eisner20, (1992 : 64) adalah suatu laboratorium tempat pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaan-percobaan diuji mengenai bentukan-bentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik kota adalah perwujudan kehidupan manusia ; polanya dijalin dengan pikiran dan tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan. Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang juga mengemukakan lambang-lambang pola-pola ekonomi, sosial, politis dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota merupakan ekspresinya. 2. MORFOLOGI KOTA Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu rumusan bahwa morfologi kota adalah “SEBUAH PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI KOTA SEBAGAI SUATU KUMPULAN KONFIGURASI
GEOMETRIS KESATUAN
BANGUNAN RUANG
FISIK
DAN
ARTEFAK
TERTENTU
DENGAN
PRODUK
DARI
PERUBAHAN SOSIO-SPATIALNYA “ Pemahaman kita tentang “morfologi kota” tidak dapat dilepaskan dari wujud fisik kota yang terbentuk utamanya oleh kondisi fisiklingkungan maupun interaksi sosial – ekonomi masyarakat yang dinamis. Sebagai sebuah cabang ilmu geografi dan arsitektur, morfologi mempelajari perkembangan bentuk fisik di kawasan perkotaan, yang tidak hanya terkait dengan arsitektur bangunan, namun juga sistem sirkulasi, ruang terbuka, serta prasarana perkotaan (khususnya jalan sebagai pembentuk struktur ruang yang utama). Secara garis besar, wujud fisik kota tersebut merupakan manifestasi visual dan parsial yang dihasilkan dari interaksi komponen-komponen penting pembentuknya yang saling mempengaruhi satu8 sama lainnya (Allain, 2004). Secara garis besar Hadi Sabari Yunusmenitik beratkan kajian morfologi pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud ciri-ciri atau karakteristik kota yaitu analisis bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi ; (1) BENTUK-BENTUK KOMPAK ; bentuk bujur sangkar (the square cities), bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat (rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang (octopus / star shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned cities), (2) BENTUK TIDAK KOMPAK ; bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk berantai (chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities), (3) PROSES PEREMBETAN (urban sprawl) ; perembetan konsentris, perembetan memanjang, dan perembetan meloncat, (4) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK KOTA ; faktor bentang alam/geografis, sosial, ekonomi, transportasi dan regulasi.
kota ditekankan pada bentuk bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan yang dapat diamati dari kenampakannya meliputi unsur (1) sistem jalan-jalan yang ada, (2) blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri), (3) bangunan-bangunan individual. smailes menekankan lingkup kajian morfologi meliputi: (1) penggunaan lahan (land use) (2) pola-pola jalan (street) dan (3) tipe-tipe bangunan.
Herbert, lingkup kajian morpologi
(architectural style of buildings & their design). Dari sinilah pertama kalinya muncul istilah Townscape.. Johnson24 (1981) memfokuskan pada kajian (1) rencana jalan (The plan of streets), (2) tata bangunan (Buildings), dan (3) kaitan fungsional jalan dan bangunan (Fungtions performed by its streets, and buildings). Hamid Sirvani membahas kota dari elemen-elemen fisiknya yang meliputi
(1) penggunaan lahan (land use), (2) bentuk dan massa bangunan (building form and massing) (3) sirkulasi dan parkir (circulation and parking), (4) ruang terbuka (open space), (5) jalur pedestrian (pedestrian way), (6) dukungan aktivitas (activity support), (7) tata informasi (Signage), dan ( (8) preservasi (preservation).
kajian kota sebagai konfigurasi massa kota sebagai konfigurasi ruang. Studi ini kelompokkan dalam teori figure-ground yang memfokuskan pada hubungan perbandingan tanah/lahan yang ditutupi bangunan sebagai massa yang padat (figure) dengan void-void terbuka (ground). Teori dan metode ini meliputi analisis ; (1) pola, (2) tektur (3) solid-void sebagai elemen perkotaan. Le Corbusier, Charta Athen memfokuskan Sedangkan Rob krier mengemukakan
MORFOLOGI berarti ilmu tentang bentuk. Dalam kontek perkotaan, Carmona et al (2003: 61) berpendapat bahwa morfologi adalah STUDI MENGENAI FORM DAN SHAPE DARI LINGKUNGAN PERMUKIMAN. Form berarti BENTUK YANG DAPAT DIAMATI DAN MERUPAKAN KONFIGURASI DARI BEBERAPA OBJEK, SEMENTARA SHAPE ADALAH FITUR GEOMETRIK ATAU BENTUK EKSTERNAL DAN OUTLINE DARI SEBUAH BENDA. Meskipun memiliki pengertian yang hampir sama, kedua kata ini (form dan shape) memiliki pemahaman dasar yang berbeda, dimana FORM MENEGASKAN BENTUK YANG TERDIRI DARI BERBAGAI UNSUR DAN MASING-MASING UNSUR DAPAT DIAMATI SECARA JELAS KARAKTERISTIKNYA SERTA SECARA VISUAL masing-masing unsur tersebut berada dalam satu kesatuan (konfigurasi). Sebagai contoh: sebuah koridor jalan secara visual terbentuk dari deretan bangunan dengan ketinggian tertentu dan tersusun dalam jarak tertentu dari batas jalan. Shape menekankan BENTUK EKSTERNAL DARI FORM, ATAU DENGAN KATA LAIN SILUET YANG DALAM KONTEKS TOWNSCAPE SERING DISEBUT SEBAGAI SKYLINE. Sekumpulan objek yang terletak di atas permukaan tanah akan membentuk pola tertentu (shape), seperti linier, grid, konsentris, radial, klaster, dan lain sebagainya. Kata kunci lainnya adalah ‘LINGKUNGAN PERMUKIMAN’. Kata kunci ini demikian penting sebab dalam literatur-literatur perencanaan dan perancangan kota disebutkan bahwa peradaban dimulai dari kegiatan bermukim. Kompleksitas dalam pertumbuhan permukiman kemudian membentuk unit-unit lingkungan yang lebih besar yaitu kota. Jadi lingkungan kota tidak akan dapat dipisahkan dari lingkungan permukiman. MORFOLOGI BUKAN KAJIAN YANG STATIS, dimana hanya mempelajari bentuk fisik seperti ketinggian bangunan, susunan jaringan jalan, serta komposisi dan proporsi bangunan dalam suatu bentang kota (townscape), melainkan justru berusaha menggali proses yang melatarbelakangi perubahan dan dinamika terbentuknya lingkungan perkotaan dengan lingkungan fisik sebagai representasinya. Dengan demikian dengan mempelajari morfologi, seorang perancang kota dapat tanggap akan keberadaan pola-pola lokal dari proses terbentuk dan terbangunnya suatu lingkungan perkotaan (Carmona et al. 2003: 61).
Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu MORF yang berarti bentuk dan LOGOS yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota BERARTI : ILMU YANG MEMPELAJARI PRODUK BENTUK-BENTUK FISIK KOTA SECARA LOGIS. PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BENTUK LOGIS SEBUAH KOTA SEBAGAI PRODUK PERUBAHAN SOSIO-SPATIAL. Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi. Markus Zahn; memberi pengertian istilah MORFOLOGI SEBAGAI FORMASI SEBUAH OBJEK BENTUK KOTA DALAMSKALA YANG LEBIH LUAS. Morfologi biasanya digunakan untuk SKALA KOTA DAN KAWASAN. TIPOLOGI SEBAGAI KLASIFIKASI WATAK ATAU KARAKTERISTIK DARI FORMASI OBJEK-OBJEK BENTUKAN FISIK KOTA DALAM SKALA
LEBIH KECIL. Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.
1. KOMPONEN MORFOLOGI Meskipun masing-masing mahzab di atas memiliki fokus amatan yang berbeda, tetapi masingmasing menerapkan disiplin yang sama, yaitu adanya skala observasi dan komponen observasi. Skala observasi merupakan penjenjangan tingkat kedetailan pengamatan (resolusi) yang berimplikasi pada jenis komponen fisik dasar yang observasi. Secara umum, resolusi pengamatan dalam analisis morfologi antara lain terdiri dari :
PLOT, merupakan skala pengamatan morfologi dengan resolusi yang paling rendah karena hanya fokus ke komponen-komponen fisik yang berada pada potongan lahan yang sama. Objekobjek dalam sebuah plot tidak dibatasi oleh ruas jalan apapun, dengan demikian kita dapat menemukan komponen bangunan dan guna lahan di dalamnya. Plot yang terdiri dari beberapa beberapa kapling biasanya disebut blok.
•
DISTRIK, merupakan sekumpulan plot beserta komponen fisik di dalamnya yang dihubungkan oleh ruas-ruas jalan. Distrik sudah dapat memperlihatkan kompleksitas kawasan karena didalamnya dapat diamati sebaran blok dengan karakteristik fisik lingkungan dan demografi.
•
KOTA, secara morfologis merupakan satu kesatuan wilayah dengan kompleksitas struktur dan pola ruang sebagai pusat permukiman.
•
WILAYAH, merupakan satu kesatuan wilayah yang tersusun dari pusat-pusat permukiman secara berjenjang.
2. TEORI MORFOLOGI KOTA Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan. Sementara itu Conzen (1962) dalam Yunus (1994) juga mengemukakan unsur -unsur yang serupa dengan dikernukakan Smailes, yaitu plan, architectural style and land use. Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi kota
berkisar
antara
karakteristik
bangunan,
pola
jalan
dan
penggunaan lahan.Unsur-unsur ini yang paling sering igunakan untuk mengenali suatu daerah secara, morfologis, kota atau bukan A. Komponen Morfologi ; Muratorian.
Pendekatan ini menganggap tipologi bangunan merupakan akar dari bentuk kota (Moudon, 1997). Dengan demikian, selain mempergunakan empat skala amatan (bangunan/plot, distrik, kota dan wilayah), pendekatan ini mempergunakan empat aspek analisis, antara lain : 1. ELEMEN DESAIN, yaitu komponen-komponen yang mendukung kelengkapan desain, misalnya bangunan terdiri dari atap, pintu, dan lain sebagainya; suatu distrik terdiri dari bangunan-bangunan dan ruang terbuka, dan lain sebagainya. 2. STRUKTUR INTERNAL ELEMEN, yaitu posisi atau hubungan antara elemen desain. Misalnya sebaran ruang tebuka hijau menurut sebaran bangunan, dan lain sebagainya.Hubungan antara bentuk dan kegunaan, yaitu komponen yang menjelaskan bagaimana dimensi dan proporsi ruang serta komponen fisik lainnya dapat mengakomodasi fungsi ruang. 3. ASPEK FORMAL ATAU PERWUJUDAN FISIK, yaitu bagaimana desain bangunan dan kawasan secara fisik mencerminkan makna dan kegunaan. Misalnya pemakaian tutupan lahan berupa rumput tanpa pagar pada suatu ruang terbuka menandakan bahwa rumput dapat dipergunakan sebagai alas duduk atau tempat beristirahat, berbeda halnya apabilakawasan berumput ini diberi pagar vegetasi atau komponen pembatas lainnya. Dalam analisisnya, ada beberapa dalil yang harus diperhatikan, antara lain :
BANGUNAN DAN LINGKUNGAN TIDAK DAPAT DIPISAHKAN.
BAGIAN DARI SEBUAH KOTA TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI KOTA SECARA KESELURUHAN.
SEBUAH KOTA HANYA DAPAT DIPAHAMI DARI DIMENSI SEJARAHNYA KARENA KOTA MUNCUL SEBAGAI SUKSESI DARI REAKSI AN PROSES PERTUMBUHAN.
B. KOMPONEN MORFOLOGI; CONZENIAN. M.G.R. Conzen memandang bahwa sangat perlu untuk memperhatikan empat komponen morfologi (Carmona et al. 2003: 61), antara lain : 1. GUNA LAHAN. GUNA LAHAN (LAND USES) MERUPAKAN KOMPONEN POKOK DALAM PERTUMBUHAN KAWASAN. Komponen ini dianggap sebagai generator sistem aktivitas (activity system) yang sangat menentukan pola dan arah pertumbuhan kawasan (Kaiser, 1995). Komponen ini memiliki tingkat temporalitas yang sangat tinggi dalam hal dapat literatur dengan mudah berubah, terutama dikaitkan dengan nilai ekonomi yang dimilikinya. Guna lahan sangat mempengaruhi perwujudan fisik kawasan, terutama dalam menentukan pengembangan kawasan terbangun dan tidak terbangun. Beberapa penelitian dan literatur menjelaskan bagaimana tingkat pencampuran (mixture) guna lahan sangat mempengaruhi vitalitas kawasan, nilai ekonomi dan beberapa komponen kualitas lingkungan lainnya (Choi dan Sayyar, 2012; Barton et al, 2003:194). 2. STRUKTUR BANGUNAN. KOMPONEN INI MERUPAKAN REPRESENTASI DARI TYPOLOGY DALAM ANALISIS MORFOLOGI DAN DAPAT DIBAHAS DALAM DUA ASPEK, ANTARA LAIN PENATAAN MASSA DAN ARSITEKTUR BANGUNAN. Penataan massa terkait dengan bagaimana bangunan tersebar di dalam tapak berikut kepadatan dan intensitasnya sementara arsitektur bangunan lebih perwujudan fisik ruang dan bangunan yang merepresentasikan budaya, sejarah dan kreatifitas suatu komunitas. 3. POLA PLOT. KOMPONEN INI DAPAT DIBAHAS DARI ASPEK UKURAN (DIMENSI) DAN SEBARANNYA. Ukuran plot akan mempengaruhi intensitas pemanfaatan lahannya sementara sebaran plot akan mempengaruhi pembentukan jaringan penghubung. Secara umum, pola plot ini sangat dipengaruhi oleh potensi alamiah terutama kontur dan kondisi geologi. Secara hukum, plot dibatasi oleh batas kepemilikan yang sangat mempengaruhi pola penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan ruang. 4. JARINGAN JALAN. KOMPONEN INI MERUPAKAN FUNGSI DERIVATIF DARI GUNA LAHAN. SEBAGAI JALUR PENGHUBUNG, JARINGAN JALAN SANGAT MEMPENGARUHI EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS FUNGSI KAWASAN. Jaringan jalan sebagai representasi dari ruang publik dianggap sebaga generator inti dari vitalitas kawasan sebagaiman dijelaskan dalam teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier, 2007).
C. KOMPONEN TYPO-MORPHOLOGY. Moudon menjelaskan bahwa pendekatan TIPO-MORFOLOGI merupakan refleksi dari dialektik antara tipologi bangunan dengan morfologi kota . Tradisi dialektik ini menghendaki adanya analisis untuk menemukan kebenaran mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam perwujudan lingkungan bangunan
secara horisontal (plan / morphology) dan vertikal (perwujudan desain arsitektural). Dengan demikian, pendekatan ini mempergunakan komponen-komponen yang dipergunakan dalam pendekatan tipologi dan morfologi. Dalam kajian kontemporer mengenai perkotaan, pendekatan ini dapat dipergunakan untuk menguraikan komponen place dengan memasukkan komponen baru yaitu persepsi mengenai makna. Carmona et al (2003: 89) menjelaskan konsep yang dipergunakan Kevin Lynch dalam menguraikan komponen place dengan mempergunakan tiga buah atribut, yaitu:
identitas, struktur makna. Ketiga atribut ini secara jelas mendefenisikan susunan ruang perkotaan dalam lima tipologi, yaitu ; district, edge, path, landmark node (Zahnd, 1999).
4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA Pertumbuhan kota dapat dipahami dengan melakukan pengamatan pada komponenkomponen morfologi, baik dengan mempergunakan PENDEKATAN CONZENIAN MAUPUN TIPO-MORFOLOGI.
SECARA FUNGSIONAL DAN EKONOMI, PERTUMBUHAN KAWASAN DIPENGARUHI OLEH GUNA LAHAN, BANGUNAN, PLOT DAN JARINGAN JALAN. Kawasan perkotaan terbetuk dari sistem aktivitas yang
secara kompleks dihubungkan oleh jaringan pergerakan. Interaksi antara kedua sistem ini, sistem aktivitas dan sistem pergerakan, membuat kawasan perkotaan memiliki nilai ekonomi atau nilai properti yang distribusinya sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik alamiah dan keterdukungan kedua sistem tersebut. Conzenian memandang pertumbuhan kota dapat diamati secara geografis dibantu oleh ilmu peta (kartografi). Dengan mempergunakan peta, sebaran potensi fisik alamiah dan buatan dapat dengan mudah diobservasi dan dianalisis. Guna lahan, kepadatan bangunan, ukuran dan penguasaan lahan serta jaringan jalan dapat dipetakan dan dijelaskan secara logis hubungannya satu sama lain. Sama halnya dengan pendekatan Conzenian, pendekatan tipo-morfologi juga berkembang dengan adanya ilmu dan teknik pemetaan. Dalam pendekatan ini, arsitektur kota dipandang sebagai SATU KESATUAN DENGAN KOMPONENKOMPONEN TEKNIS (FIRMNESS), KOMPONEN FUNGSIONAL (COMMODITY) DAN ESTETIKA (DELIGHT). Konsep yang dahulu diperkenalkan oleh Vitruvius ini (Adams dan Tiesdell, 2013) masih dipandang relevan untuk menanggapi kompleksitas pemasalahan perkotaan dimana secara geografis, aspek-aspek fisik perkotaan harus dapat diparalelkan dengan aspek-aspek kognitif penghuninya. Dalam pendekatan tipo-morfologi, pertumbuhan kota harus dapat dikendalikan sedemikian rupa agar pemahaman (kognisi) penghuni akan identitas, struktur dan makna ruang dapat seimbang dengan pertumbuhan motor penggerak ekonomi dan aktivitas perkotaan. Dewasa ini teah berkembang beberapa teori kontemporer yang berusaha menjelaskan bagaimana ruang secara geografis dapat bertumbuh dan mempengaruhi (atau dipengaruhi) oleh perilaku penghuninya. Para environmentalis mempergunakan iklim mikro (micro climate) sebagai salah satu parameter perubahan dan pertumbuhan kota yang diyakini mempengaruhi kognisi dan aktivitas penghuninya, selain juga mempengaruhi keberlanjutan (sustainability) lingkungan. Morfologi kota mempengaruhi iklim mikro dengan beberapa cara (Carmona et al. 2003: 85), antara lain: Konfigurasi ruang, yang akan mempengaruhi efisiensi energi, terutama energi pergerakan dan polusi. Keterbukaan terhadap cahaya matahari dan pengendalian angin melalui penataan massa bangunan. Pengendalian kebisingan dan polusi. Pengendalian suhu udara, dimana fenomena urban heat island telah menjadi isu global di kawasan perkotaan.
Aspek perkotaan lain yang juga masih terkait kelestarian dan kesehatan alam adalah energi.Morfologi kota mempengaruhi efisiensi energi dalam beberapa cara (Leang, 2000) antara lain : Pemanfaatan energi surya yang sangat dipengaruhi oleh penataan bangunan meliputi arah hadap bangunan, ketinggian bangunan dan topografi. Pemanfaatan dan pengolahan air bersih dan air tanah yang sangat dipengaruhi oleh potensi alamiah kawasan perkotaan dan daya dukung lingkungan. Pengendalian angin yang sangat dipengaruhi oleh penataan blok bangunan. Efisiensi dalam sistem infrastruktur, baik terkait sistem pergerakan, pengelolaan sampah, dan lain sebagainya. Pendekatan lain yang merupakan bagian dari perkembangan ilmu morfologi adalah teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier 2007; Carmona et al, 2003:171). Teori ini memberi penjelasan logis terhadap konfigurasi ruang dalam kaitannya dengan perilaku pergerakan manusia.
Pendekatan ini menganggap konfigurasi ruang sebagai akar atau generator pertumbuhan kawasan yang secara logis berkaitan dengan persepsi dan perilaku penghuni serta berimplikasi pada beberapa aspek ekonomi ruang kota seperti nilai guna lahan . Dalam kajian perkotaan kontemporer, penelitian konfigurasi ruang dengan mempergunakan pendekatan space syntax diarahkan untuk membangun konsep yang kuat dalam menggabungkan kawasan lama (historic district) dengan kawasan baru (Karimi, 2000). Susunan ruang dianggap sebagai bentuk warisan budaya yang mengalami perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Dalam hal ini, budaya tidak dianggap sebagai artefak yang mati (Hillier, 2007:30), tetapi sebagai unsur organik yang harus dijaga integritasnya dengan lingkungan yang baru agar tujuan fungsional, sosial budaya dan lingkungan dalam pembentukan kawasan perkotaan dapat tercapai.
Morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi perkotaan adalah penataan atau formasi keadaan kota yang sebagai objek dan sistem yang dapat diselidiki secara struktural, fungsional, dan visual (Zahnd, 1999). Tiga unsur morfologi kota yaitu unsur-unsur
penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe-tipe bangunan. Dari sinilah pertama kali muncul istilah “Townscape” (Smailes, 1955).
DARI PENGERTIAN-PENGERTIAN TERSEBUT, MORFOLOGI KOTA SECARA SEDERHANA DAPAT DIARTIKAN SEBAGAI : BENTUK-BENTUK FISIK KOTA DENGAN DIKETAHUI SECARA STRUKTURAL, FUNGSIONAL DAN VISUAL. MORFOLOGI KOTA SATU DENGAN KOTA LAIN DAPAT BERBEDA-BEDA SEHINGGA MORFOLOGI KOTA INI MENJADI PEMBENTUK KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHAS SUATU KOTA.
5. KAJIAN BENTUK-BENTUK KOTA MORFOLOGI BIASANYA DIGUNAKAN UNTUK SKALA KOTA DAN KAWASAN. Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu analisa bentuk kota dan faktorfaktor yang mempengaruhinya (Yunus, 2000). Jadi morfologi kota tidak hanya sebatas menganalisa bentuk kota tetapi juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota tersebut. Birkhamshaw, Alex J and Whitehand (2012) menyatakan bahwa dalam aspekaspek urban morfologi, penetapan karakteristik perkotaan dari berbagai jenis bentuk adalah hal yang mendasar terutama dalam kaitannya untuk membedakan dan melakukan pemetaan wilayah yang kebijakan setiap wilayah juga berbeda-beda. Dengan adanya teori tersebut maka dalam suatu penelitian morfologi kota, memerlukan kajian morfologi kota dengan berbagai jenis bentuk atau aspek. Menurut Conzen dalam Birkhamshaw, Alex J and Whitehand (2012), morfologi kota memiliki tiga komponen yaitu : 1. Ground Plan (pola jalan, blok bangunan), 2. Bentuk bangunan (tipe bangunan) 3. Utilitas lahan/bangnan. Analisa bentuk kota meliputi: A. BENTUK-BENTUK KOMPAK Terdiri atas: bentuk bujur sangkar (the square cities), bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat (rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang (octopus/star shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned cities). B.BENTUK-BENTUK TIDAK KOMPAK Terdiri atas : bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk berantai (chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities). Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota yaitu faktor bentang alam atau geografis, transportasi, sosial, ekonomi dan regulasi. Morfologi kota selain dilihat dari sisi bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya juga dapat dilihat berdasarkan tipe morfologi kota (Urban Morphology Type). Tipe morfologi kota dapat dirinci berdasarkan penggunaan lahan utama/ Primary Land Use) (Philip James dan Daniel Bound, 2009). Tipe morfologi kota ini sering dikenal sebagai penggunaan lahan. Teori tipe morfologi kota ini sering dikenal sebagai fungsi bangunan. Kajian morfologi kota secara struktural, fungsional dan visual serta perancangan kota dapat dijelaskan sebagai berikut:
KAJIAN MORFOLOGI KOTA (1) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA STRUKTURAL (2) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA FUNGSIONAL (3) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA VISUAL 5.1.KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA STRUKTURAL Analisa struktural menyatakan adanya pemisahan tingkatan-tingkatan yang dikaitkan dengan tastes, preferences dan life styles. Seperti yang diungkapkan oleh Alonso yang menggunakan pembagian zona konsentris dari Burgess untuk menjelaskan spatial distribution-residential mobility (dalam Yunus, 2000).
5.2. KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA FUNGSIONAL Pada tahun 1748 Giambattista Nolli (Zahnd, 1999), seorang arsitek Italia, menemukan suatu
cara analisa suatu tekstur perkotaan dari segi fungsi massa dan ruang serta bagaimana hubungannya secara fungsional. Adapun cara yang harus dilakukan yaitu dengan menunjukkan secara analitis semua massa dan ruang perkotaan yang bersifat publik (dan semipublik) ke dalam suatu gambaran figure/graund secara khusus. Cara analisa tersebut diberi nama Nolliplan yaitu semua massa yang bersifat publik atau semipublik tidak lagi diekspresikan sebagai massa (dengan warna hitam), melainkan digolongkan bersama tekstur ruang (warna putih).
5.3.
KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA VISUAL
Kajian morfologi kota secara visual dapat dilihat pada analisa linkage (penghubung) yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai aspek sebagai suatu generator (pengerak) perkotaan. Dalam analisa linkage dikemukakan tiga pendekatan diantaranya linkage visual. Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen (bagian atau pecahan sesuatu) kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Lima elemen.
6. ANALISA PERANCANGAN KOTA Seperti yang dikemukkan dalam buku Perancangan Kota Secara Terpadu yang ditulis oleh Markus Zahnd bahwa, di dalam perancangan kota dikenal tiga kelompok analisa perancangan kota (figure/ground, lingkage, place) yaitu sebagai berikut:a. ANALISA FIGURE/ GROUNDPada analisa ini meliputi pola sebuah tempat yang membahas mengenai fungsi dan sistem pengaturan, dua pandangan pokok terhadap pola kota yang meliputi organisasi lingkungan, figure yang figuratif dan ground yang figuratif serta sistem poche, tekstur figure/ ground.b. ANALISA LINKAGEAda tiga macam cara penghubung, yaitu linkage visual, linkage struktural, serta linkage bentuk kolektif. Semua bentuk tersebut merupakan dinamika perkotaan yang dianggap sebagai generator kota.c. ANALISA PLACE Pada analisa ini akan dibahas mengenai makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat perkotaan. Analisa Place pada penelitian ini adalah analisa konteks kota dan citra kota yang terdiri dari path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), node (simpul), landmark (tengeran).
7. ANALISA MORFOLOGI SECARA STRUKTURAL Analisis morfologi secara struktural yang dilihat dari elemen morfologi kota. Adapun elemen tersebut adalah: a. BANGUNAN-BANGUNAN Pada bangunan-bangunan menjelaskan mengenai fungsi bangunan atau disebut dengan peruntukan bangunan, serta menjelaskan mengenai hubungan antar bangunan. Fungsi atau peruntukan bangunan di lokasi studi penelitian terdiri dari perdagangan dan jasa, perkantoran, fasilitas umum, perumahan dan industri. b. KAPLING ATAU KADASTER Kapling atau kadaster merupakan elemen morfologi yang paling lama bertahan. Kebanyakan kapling yang berada pada lokasi penelitian, khususnya yang berada pada pusat kota berupa kapling tunggal yang terletak sebagai deretan atau sebagai koridor-koridor pada jalan-jalan besar dipusat kota. Blok kota yang ada di lokasi penelitian meliputi blok untuk perumahan, blok perdagangan dan jasa, serta blok fasilitas umum. c. POLA JARINGAN JALAN Pola transportasinya adalah konsentris radial dengan sistem lingkar dalam dengan pola grid.Ditinjau dari fungsi pelayanannya, jaringan jalan Kota Malang di bedakan atas dua sistem utama yaitu sistem primer dan sekunder. Sistem primer merupakan penghubung antara fungsi primer di Kota Malang sedangkan sistem sekunder merupakan penghubung fungsi sekunder dalam Kota malang. Jenis jaringan jalan yang ada pada lokasi penelitian dibagi atas jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal/ jalan lingkungan, sedangkan pola jaringan jalannya adalah pola linier arah Utara-Selatan serta pola grid pada beberapa perumahan. Secara keseluruhan transportasi memusat pada kawasan CBD (pusat kota) dan alun-alun kotak di Jalan Tugu yang merupakan kawasan dengan hirarki tinggi di Kecamatan Klojen. Apabila ditinjau dari fungsi pelayanannya maka jaringan jalan yang ada di lokasi penelitian ternasuk dalam sistem sekunder yang merupakan penghubung fungsi sekunder dalam Kota Malang. Sistem jaringan jalan sekunder di lokasi penelitian meliputi jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder serta beberapa jalan lingkungan.
Kota Malang sebagai suatu kota dengan morfologi/bentuk bunga
8. PROSES PERLUASAN AREAL KEKOTAAN Secara garis besar ada tiga macarn PROSES PERLUASAN AREAL KEKOTAAN (urbansprawl) menurut Hadi Sabari Yunus, yaitu: 1. PEREMBETAN KONSENTRIS Tipe pertama ini dikemukakan oleh Haevey Clark dengan. Jenis perembetan ini berlangsung paling lambat karena perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan fisik kota. Proses perembetan ini menghasilkan bentuk kota yang relatif kompak dan peran transportasi tidak begitu besar. 2. PEREMBETAN MEMANJANG Tipe ini dikenal dengan RIBBON DEVELOPMENT LINEAR yang menunjukkan, ketidak merataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi luar dari kota utarna. Perernbetan paling cepal terlillat disepapJang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari dari pusat kota. 3. PEREMBETAN YANG MELONCAT Tipe ini dikenal sebagai leaf ftog development dan dianggap paling merugikan. Hal ini karena perembetan ini tidak efisien dalam arti ekonorni, tidak mempunyai estetika dan tidak. menarik. Perkernbangan lahan terjadi berpencaran secara sporadis dan menyulitkan pernerintah kota untuk membangun prasarana fasilitas kebutuhan hidup penduduknya. Tipe ini sangat cepat menimbulkan darnpak negatif terhadap kegiatan pertanian, memunculkan kegiatan spekulasi lahan, dan menyulitkan upaya penataan ruang kota. 9. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM PERKEMBANGAN KOTA Aspek perkernbangan dan pengernbangan wilayah tidak dapat lepas dari adanya ikatan-ikatan ruang perkernbangan wilayah secara geograris. Menurut Yunus (1981) proses perkembang,ini dalam arti luas tercermin. Chapin (dalam Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2 hal yang mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnva menyebabkan perubahan penggunaan lahan yaitu: 1. Adanya perkembangan penduduk dan perekonomian, 2. Pengaruh sistem aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem lingkungan. Variabel yang berpengaruh dalarn proses perkembangan kota menurut Raharjo (dalam Wdyaningsih, 2001), adalah: 1. Penduduk, keadaan penduduk, proses penduduk, lingkungan sosial penduduk 2. Lokasi yang strategis, sehingga aksesibilitasnya tinggi 3. Fungsi kawasan perkotaan, merupakan fungsi dorminan yang mampu menimbulkan 4. Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi yang merupakan faktor utama timbulnya
5. perkembangan dan pertumbuhan pusat kota 6. Kelengkapan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas penduduk ke segala arah 7. Faktor kesesuaian lahan 8. Faktor kemajuan dan peningkatan bidang teknologi yang mempercepat proses pusat kota mendapatkan perubahan yang lebih maju.
10. STRUKTUR TATA RUANG KOTA Struktur tata ruang kota dapat membantu dalam memberi pernahaman tentang perkernbangan suatu kota. Ada 3 (tiga) teori struktur tata ruang kota yang berhubungan erat dengan perk embangain guna lahan kota dan perkembangan kota, yaitu (Chapin,1979). A. TEORI KONSENTRIK (concentriczone concept) yang dikemukakan EW.Burkss.Dalam teori konsentrik ini, Burgess mengemukakan bahwa bentuk guna lahan kota membentuk suatu zona konsentris. Dia mengemukakan wilayah kota dibagi dalam 5 (lima) zona penggunaan lahan yaitu: 1. Lingkaran dalam terletak pusat kota (central business distric atau CBD) yang terdiri bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan 2. Lingkaran kedua terdapat jalur peralihari yang terdiri dari: rumahrumah sewaan, kawasan industri, dan perumahan buruh 3. Lingkaran ketiga terdapat jalur wisma buruh, yaitu kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik. 4.Lingkaran keempat terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja kelas menengah 5.Lingkaran kelima merupakan zona penglaju yang merupakan tempat kelas menengah dan kaum berpenghasilan tinggi. B. TEORI SEKTOR (SECTOR CONCEPT) yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Dalam teori ini Hoyt mengemukakan beberapa masukan tambahan dari bentuk guna lahan kota yang berupa suatu penjelasan dengan penggunaan lahan permukiman yang lebih memfokusan pada pusat kota dan sepanjang jalan transportasi. Dalam teorinya ini, Hoyt membagi wilayah kota dalam beberapa zona, yaitu: 1. Lingkaran pusat, terdapat pusat kota atau CBD 2. Sektor kedua terdapat kawasan perdagangan dan industri 3. Sektor ketiga terdapat kawasan tempat tinggal kelas rendah 4. Sektor keempat terdapat kawasan tempat tinggal kelas menengah 5. Sektor kelima terdapat kawasan ternpat tinggal kelas atas. C. TEORI BANYAK PUSAT (MULTIPLE-NUCLEI CONCEPT) yang dikernukakan oleh R.D.McKenzie. Menurut McKenzie teori banyak pusat ini didasarkan pada pengamatan lingkungan sekitar yang sering
terdapat suatu kesamaan pusat dalam bentuk pola guna lahan kota daripada satu titik pusat yang dikemukakan pada teori sebelumnya. Dalarn teori ini pula McKenzie menerangkan bahwa kota meliputi pusat kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian dan pusat lainnya. Teori banyak pusat ini selanjutnya dikembangkan oleh Chancy Harris dan Edward Ullman yang kemudian membagi kawasan kota menjadi beberapa Pusat kota atau CBD (1)Kawasan perdagangan dan industri (2) Kawasan ternpat tinggal kelas rendah (3)Kawasan ternpat tinggal kelas menengah (4)Kawasan tempat tinggal kelas atas (5)Pusat industri berat (6)Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran (7)Kawasan tempat tinggal sub-urban (8)Kawasan industri suburban
11. TIPE-TIPE STRUKTUR TATA RUANG KOTA Menurut Yunus, tipe-tipe struktur tata ruang kota diatas merupakan tipe struktur ruang yang berdasarkan pendekatan ekologikal. Pendekatan ekologikal memandang manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai hubungan interrelasi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk penggunahn lahan yaitu merupakan proses bertempat tinggal, mengembangkan keturunan, dan tempat mencari makan (Yunus, 1999). Struktur tata ruang kota juga dapat dijelaskan berdasarkan pendekatan morfologikal, Beberapa sumber mengernukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota.ditekankan pada bentuk-bentuk- fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistern jalan- jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan bangunan individual (Herbert, 1973 dalam Yunus,1999 J07). Ada tujuh pola struktur tata ruang kota. yang didasarkan pada pendekatan morfologikal ini (Hudson dalam Yunus, 2003) yaltu: 1. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. 2. Bentuk stelar atau radial 3. Bentuk cincin 4. Bentuk linier bermanik 5. Bentuk inti/kompak 6. Bentuk memencar 7. Bentuk kota. bawah tanah Apabila pola jalan sebagai indikator morfologi kota, maka ada tiga sistem pola jalan yang dikenal. (yunus, 2000: 142), yaitu: 1. Sistern pola jalan tidak teratur 2. Sistim pola jalan radial koilswitris 3. Sistem pola jalan bersudut siku/grid
12. KONSEP GUNA LAHAN 12.1. Pengertian Guna Lahan Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat. penting bagi kehidupan manusia. Dikatakan sebagai sumber daya alam yang penting karena lahan tersebut merupakan tempat nianusia melakukan segala aktifitasnya. Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebualh hunian mempunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah suatu sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi (Lichrield dan Drabkin, 1980). Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh Sujarto (1985) dan Drabkin (4980) adalah sebagai berikut: 1. Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan penurtman nilai dan harga, dan tidak terpengaruhi oleh waktu, Lahan juga merupakan aset yang terbatas dan tidak bertambah besar kecuali melalui reklamasi. 2. Perbedaan antara lahan tidak terbangun dan lahan terbangun adalah lahan tidak terbangun tidak akan dipengarahi oleh kemungkinan penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun nilainya cenderung turun karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada di atasnya. Tetapi penurunan nilai struktur bangunan juga dapat meningkatkan nilai lahannya karena adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya. 3. Lahan tidak dapat dipindahkan tetapi sebagai substitusinya intensitas penggunaan lahan dapat ditingkatkam. Sehingga faktor lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama. 4. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai investasi jangka panjang (long-ferm investment) atau tabungan. Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan. Selain itu investasi lahan berbeda dengan investasi barang ekonomi yang lain, dimana biaya perawatannya (maintenance cost) hanya meliputi pajak dan interest charges. Biaya ini relatif jauh lebih kcill dibandingkan dengan keuntiungan yang akan diperoleh dari penjualan lahan tersebut. Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1989) selain itu penggunaan lahan dapat diartikan pula suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987). Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai wujud atau bentuk usaha
kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata, 1992). 12.2.Jenis Penggunaan lahan Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun. Lahan Terbangun terdiri dari dari perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian, perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan sumber daya alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu, wilayah, maka perlu diketahui komponen komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser, 1979). Menurut Maurice Yeates, komponen penggunaan lahan suatu wilayah terdiri atas (Yeates, 1980): 1.Permukiman 2. Industri 3. Komersial 4. Jalan 5. Tanah publik 6. Tanah kosong menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi (Hartshorne, 1980): 1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan permukiman, komersial, dan industri. 2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan rekreasi dan pendidikan. 3. Jalan menurut Lean dan Goodall , 1976), komponen penggunaan lahan dibedakan menjadi 1. Penggunaan lahan yang menguntungkan Penggunaan lahan yang menguntungkan tergantung pada penggunaan lahan yang tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan guna lahan yang tidak menguntungkan tidak dapat bersaing secara bersamaan dengan lahan untuk ftmgsi yang menguntungkan. Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan. guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang cenderung tidak menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk sekolah, rumah sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana. Pengadaan sarana dan prasarana yang Iengkap merupakan suatu contoh bagaimana. guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat inempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan dengan membangun kelengkapan untuk guna.lahan disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan secara umum, dan meningkatkan nilai-lahan. Dengan demikian akan
memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan. 2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan dan kantor pemerintahan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa guna lahan yang menguntungkan mempunyai keterkaitan yang besar dengan guna lahan yang tidak menguntungkan. Guna lahan utama yang dapat dikaitkan dengan fungsi perumahan adalah guna lahan komersial, guna lahan industri, dan guna lahan publik maupun semi publik (Chajin dan Kaiser, 1979). Adapun penjelasan masing masing guna lahan tersebut adalah: a. Guna lahan komersial, Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan melalui percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan perusahaan besar. b. Guna lahan industri,Keberadaan industri tidak saja dapat inemberikan kesempatan kerja namun juga memberikan nilai tambah melalui landscape dan bangunan yang megah yang ditampilkannya. Jenis industri yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak, industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang. c. Guna lahan publik maupun semi publik, Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain. 12.3. Perubahan Guna Lahan Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namundalam kajian land economics, pengertiannya difokuskan pada proses dialih gunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Perubahan guna lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, 1981). Perubahan guna lahan. ini dapat tejadi karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne. 1982): 1. Perluasan batas kota 2. Peremajaan di pusat kota 3. Perluasan jaringan infrastruktur 4. Tumbuh dan hilangnya pernusatan aktivitas tertentu Menurut Chapin, Kaiser, dan Godschalk perubaban guna lahan juga dapat terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan setempat yang merupakan rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa mendatang, proyek pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahanmasalah dari pernerintah daerah. Perubahan guna lahan juga terjadi karena kegagalan mempertermukan aspek dan politis dalam suatu manajemen perubahan guna lahan.
Menurut Chapin, 1996, perubahan guna lahan adalah interaksi yang disebabkan oleh tiga komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem pembangunan, sistem aktivitas dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks perekonomian aktivitas perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan mendukung aktivitas produksi diatas. Sedangkan pada kegiatan konsurnsi membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan. 12.4.AKSESIBILITAS Menurut Black (1981) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu dengan yang lain, dan mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan mudah atau sulit merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif, mudah bagi seseorang belum tentu mudah bagi orang yang lain, begitu pula dengan pernyataan sulit, oleh karena itu diperlukan kinerja kualitatif yang dapat menyatakan aksesibilitas. Menurut Black and Conroy (1977) aksesibilitas zona dipengaruhi oleh proporsi orang menggunakan moda tertentu. Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spesial tanpa melihat adanya perbedaan yng disebabkan oleh keragaman moda transprtasi yang tersedia, misalnya mobil dan angkutan umum. Mobil mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dari angkutan umum atau berjalan kaki. Banyak orang didaerah pemukiman mempunyai akses yang baik dengan mobil atau sepeda motor dan banyak juga yang tergantung kepada angkutan umum dan jalan. Pengukuran sikap seseorang atas suatu obyek dipengaruhi oleh stimuli. Sebagai stimuli adalah peubah-peubah bebasnya (Sudibyo, 1993). Metode pengukuran sikap diukur dalam mempersepsi sesuatu obyek. Sikap adalah respon psikologis seseorang atas faktor yang berasal dari suatu obyek, respon tersebut menunjukkan kecenderungan mudah atau sulit. Dengan demikian maka pengukuran aksesibilitas transportasi dari seseorang merupakan pengukuran sikap orang tersebut terhadap kondisi aksesibilitas transportasinya. Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spasial tanpa melihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh keragaman moda transportasi yang tersedia misalnya dengan berjalan kaki, berkendaraan pribadi atau angkutan umum. Banyak orang di daerah pemukiman baik mempunyai akses yang baik dengan mobil atau sepeda motor atau kendaraan pribadi, tetapi banyak pula yang bergantung pada angkutan umum atau berjalan kaki. Jadi aksesibilitas zona asal dipengaruhi oleh proporsi orang yang menggunakan moda tertentu, dan harga ini dijumlahkan untuk semua moda transportasi yang ada untuk mendapatkan aksesibilitas zona (Tamin, 1997). Menurut Black, 1978 jumlah atau jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi. Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan,
komersil) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda seperti jumlah lalulintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil), lalulintas pad waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas sepanjang hari) Menurut Wells, 1975 bangkitan pergerakan memperlihatkan bnyaknya lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran menunjukkan kemana dan darimana lalulintas tersebut. Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, 2000). Tarikan pergerakan dapat berupa arikan lalu lintas yang mencakup lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi. Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan arus lalu lintas. Menurut Tamin, 1997 pergerakan Lalu - lintas dalam suatu daerah kajian tertentu dipengaruhi oleh dua jenis zona yaitu Zona Eksternal dan Zona Internal. Zona Eksternal adalah Zona yang berada diluar daerah Kajian yang dianggap sedikit memberi pengaruh dalam pergerakan lalu - lintas dalam suatu daerah kajian tertentu. Zona internal adalah adalah zona yang berada di dalam daerah kajian yang dianggap berpengaruh besar terhadap pergeraakan arus lalu lintas dalam suatu daerah kajian tertentu. Adapun suatu daerah kajian transportasi dibatasi oleh daerah kajian disekelilinganay (Garis Kordon) dan semua informasi transportasi yang bergerak didalamnya harusa diketahui. Di dalam batasanya, daerah kajian dibagi menjadi N subdaerah yang disebut zona yang masing-masing diwakili oleh pusat zona. Pusat Zona dianggap sebagai awal pergerakan lalulintas dari zona tersebut dan akhir pergerakan lalulintas yang menuju zona tersebut Menurut IHT and DTp 1987 dalam Tamin, 1997 kriteria utama yang perlu diperhatikan dalam pembentukan Zona Transportasi adalah: 1. Ukuran zona harus konsisten dengan kepadatan jaringan yang akan dimodel. Biasanya ukuran zona semakin membesar jika semakin jauh dari pusat kota. 2. Ukuran zona harus lebih besar dari yang seharusnya untuk memungkinkan arus lalu lintas dibebankan ke atas jaringan jalan dengan ketepatatan yang disyaratkan. 3. Batas zona harus dibuat sedemikian rupa sehingga konsisten dengan jenis pola pengembangan untuk setiap zona, misalnya pemukiman, industri dan perkantoran. 4. Batas zona harus sesuai dengan batas sensus, batas administrasi daerah dan batas zona yang digunakan oleh daerah kajian. 5. Batas zona harus sesuai dengan batas daerah yang digunakan dalam pengumpulan data. Menurut Kevin Lynch, memfokuskan pada KEBUTuHAN PEMBENTUKAN KARAKTER KOTA YANG DIMULAI DENGAN PERSEPSI LINGKUNGAN, TANDA PENGENAL DAN KEMUDIAN CITRA KOTA. Oleh karena itu Lynch menekankan pada argumentasi adanya 8 kriteria terpadu dalam menciptakan bentuk yang kota adalah
(1) Singularity yaitu adanya batasan yang jelas baik antar kawasannya maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan sekitarnya (2) Continuity yaitu kaitan fungsional antara satu tempat dan tempat yang lain secara efektif dan efisien, (3) Simplicity yaitu kejelasan dan keterpaduan morfologi dan tipologinya, (4) Dominance yaitu memiliki bagian kota yang mempunyai karakter khusus danpenting, (5) Clarity of joint yaitu bagian strategis yang mampu berhubungan dengan sisi yang lain, (6) Visual scope yaitu tempat terbuka atau tinggi yang dapat memandang secara bebas dan lepas ke semua penjuru kota, (7) Directional differentiation yaitu beragam-beragam bentukan fisik yang diatur secara harmonis , (8) Motion awareness yaitu kemampuan menggerakan emosional yaitu perasaan nyaman dan dinamis
13. MORPOLOGI KOTA-KOTA DI JAWA PADA AWAL DAN AKHIR ABAD KE-20. 1. Setelah menguasai banyak kota-kota besar di sepanjang pantai Utara Jawa pada abad ke 18, Belanda sedikit demi sedikit mulai keluar dari bentengnya. 2. Kemudain mereka ini mendirikan sebuah pusat kota yang sering dinamakan sebagai ‘STADHUIS’. Daerah ini merupakan kombinasi dari ‘city hall’ dan ‘court of justice’, yang disekitarnya dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti gereja, kantor pos, rumah yatim piatu anak-anak Belanda dan fasilitas umum lainnya. Contoh dari kota-kota seperti ini adalah : Surabaya, Semarang, dan banyak kota-kota besar di Utara Jawa lainnya. 3. Pada abad ke 19, setelah Belanda berhasil menguasai seluruh P. Jawa, termasuk pedalamannya, maka bentuk dan struktur kota-kota di Jawa mengalami banyak
perubahan. Dalam periodisasi sejarah perkembangan kota Jawa, antara th. 1800-1900 ini sering disebut sebagai KOTA “INDISCH’. Pada prinsipnya bentuk kota ‘indisch’ ini terdiri atas pusat kota, yang berupa alun-alun dengan bangunan pemerintahan dan keagamaan di sekelilingnnya, serta bangunan fasilitas umum yang letaknya tidak jauh dari pusat kota tersebut. Pola permukimannya pada umumnya terbagi menjadi 3 kelompok etnis yang berorientasi pada pusat kota tersebut. Orang Eropa menempati daerah yang paling strategis dan nyaman dekat pusat kota. Daerah orang Cina yang disebut sebagai Pecinan, biasanya terletak dekat pasar atau daerah perdagangan lokal. Dan daerah penduduk setempat yang agak jauh dari pusat kota , suatu daerah yang dalam kedudukan kota kolonial terdiri atas kampung-kampung yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah kolonial. 4. Ronald G.Gill (1995), membagi kota Indisch terseut menjadi 2 bagian. : 1) disebut sebagai “OUD INDISCHE STAD” , 2) yang kedua disebut sebagai “NIEUWE INDISCHE STAD”. Yang dimaksud dengan kota Hindia Belanda lama (Oud Indische Stad) adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun), terdapat pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen atau Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili oleh Bupati). Jadi pada hakekatnya gedung pemerintahan yang termasuk mengatur kota tersebut dalam satu kota terpisah satu sama lain. Gedung pemerintahan Pribumi biasanya terletak di Selatan alun-alun. Sedangkan kantor Asisten Residen ada di bagian lain di kota tersebut. Contoh yang jelas seperti ini adalah Pasuruan, Pekalongan. Tegal, Blitar, Banyumas dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kota Hindia Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun) antara pusat pemerintahan Pribumi (Kabupaten) dengan pusat pemerintahan Kolonial Belanda (Kantor Asisten Residen) ada disekitar alun-alun tersebut. Contoh kota seperti itu misalnya adalah: Probolinggo, Bondowoso, Bojonegoro, Lumajang, dan sebagainya.
5. Kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya Malang dan sebagainya mengalami prubahan drastis pada bentuk dan strukturkotanya diawal abad ke 20. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan penduduk yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat di perkotaan. Sarana dan prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan kemajuan jaman. Antara th. 1905 sampai th.1930 , Jawa dan Madura bertumbuh dengan 27%, Sedangkan Batavia bertumbuh 130%, Surabaya 80%, Semarang 100%, Bandung 325% dan Malang 140%. Ledakan penduduk di kota-kota besar Jawa seperti data diatas jelas tidak bisa diatasi dengan sistim administrasi pemerintahan yang terpusat seperti yang dipakai pada abad ke 19. Oleh sebab itu pada th.1905 diputuskan suatu undangundang desentralisasi, yang pada pokoknya memberikan pemerintahan sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah. 6. Setelah itu menyusul timbulnya kotamadya-kotamadya di Jawa yang istilahnya waktu itu disebut sebagai “GEMEENTE’. Pada tahun 1905, yang ditentukan sebagai gemeente adalah Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara) dan Bogor. Kemudian pada th.1906 adalah Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya dan Kediri. Pada tahun-tahun berikutnya kota yang diberi status ‘gemeente’ ini terus bertambah. Sehingga sampai th. 1942 seluruh gemeente yang ada di Indonesia berjumlah 30. Delapan belas ada di Jawa dan sisanya 12 ada diluar Jawa.
7. Sebagian besar dari kota-kota yang disebut sebagai ‘ gemeente’ inilah yang mengalami perubahan drastis morpologi kotanya. Bentuk dan struktur kota yang sering disebut sebagai kota ‘Indisch’1 pada abad ke 19 tersebut segera mengalami perubahan pada awal abad ke 20 ini. Setelah adanya undang-undang desentralisasi th. 1905, kota-kota besar di Jawa mengalami ‘WETERNISASI’. Westernisasi tersebut memasuki berbagai sendi kehidupan kota di awal abad ke 20. Pusat kota lama yang berbau Indisch atau bahkan unsur tradisional yang dominan, ada kecenderungan untuk diperkecil
perannya. Pusat pemerintahan kota gaya Indisch yang terletak di alun-alun diganti dengan pusat pemerintahan modern di daerah yang baru yang lebih modern. Walikota sebagai penguasa kota yang sebelum adanya undangundang desentralisasi tidak ada dalam struktur administrasi kota, sekarang merupakan penguasa tertinggi di dalam kota. Sebagai akibatnya maka harus dibangun belasan gedung kotamadya baru diseluruh Jawa dengan arsitektur kolonial yang modern. 8. Daerah baru tersebut terlepas sama sekali dari daerah alun-alun sebagai pusat kota lama. Daerah ini biasanya terletak dekat dengan pusat hunian orang Eropa yang baru dikembangkan. Contoh nyata kota-kkota seperti itu misalnya adalah Malang, pusat kota lamanya di daerah alun-alun pada th. 1928 dipindahkan ke komplek baru di daerah alun-alun bunder dengan bangunan gedung kotamadya yang megah, terletak dekat komplek hunian orang Eropa yang dinamakan “Gouverneur General Buurt”. 9. pada bagian pertama abad 20 tersebut kota-kota besar di Jawa mengalami perubahan drastis, baik pada pemindahan pusat kotanya, tumbuhnya daerahdaerah perdagangan baru dan perkembangan daerah perumahan secara besabesaran. Semuanya ini merubah total morpologi kota yang sudah ada pada abad ke 19. Perubahan tersebut harus diatur dengan undang-undang perkotaan yang mempunyai kekuatan hukum. Karsten punya andil besar dalam rencana terbentuknya undang-undang tersebut, meskipun pengesahan resminya dipandang sangat terlambat sekali. Perubahan morpologi kota besar diJawa awal abad ke 20, meskipin melalui banyak hambatan dan pengorbanan, tapi pada umumnya dinilai sangat berhasil.
Pada awal tahun 1960-an, Jakarta tidak lebih dari sebuah “kampoeng besar” dengan sebuah hotel berbintang, Hotel Indonesia dan sebuah department store “Sarinah”. 13Namun dalam tempo 50 tahun terakhir, perkembangan yang sangat pesat telah terjadi. Jakarta telah bermetamorfosa menjadi sebuah kota metropolitan, dengan gedung-gedung modern pencakar langit yang megah (hotel, apartemen, kantorhingga mall/pusat-pusat perbelanjaan), khususnya di kawasan Segitiga Emas. Dalam prosesnya, transformasi sosio-fisik dilakukan dengan mengkonversi kampungkampung yang banyak berada di dataran rendah (rawa dan kebun)2 ke segala arah:Barat, Selatan dan Timur. Kini, dengan statusnya sebagai “multi-function”3 yang mengakumulasi berbagai fungsi tertinggi secara nasional (pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, bahkan kebudayaan), Jakarta telah menjema menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu, perkembangan yang sangat pesat terjadi di kawasan pinggiran, dimana tidak kurang dari 7 (tujuh) kotabaru.berskala besar telah terbangun di Jabodetabek sejak tahun 1980-an (Gani, 2010).
Kota Bandung sejak lama direncanakan sebagai salah satu pusat kegiatan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930-an apabila merujuk pada keberadaan Gedung Sate. Konsep yang dikembangkan awalnya adalah kota taman yang asri, sebagai unsur esensial dari sistem internal kotanya. Proses urbanisasi telah terjadi secara cepat mulai tahun 1980-an, ditandai dengan okupansi lahan-lahan di Bandung Utara dan Bandung Selatan. Perubahan morfologi kota semakin tajam pada awal tahun 2000- an, ditandai dengan pemekaran Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, serta 132dibukanya akses jalan tol Cipularang pada tahun 2005 yang memangkas jarak waktu Jakarta – Bandung secara signifikan. Bandung mengalami metamorfosa, dari kota tempat peristirahatan para mandor perkebunan « tempoe doeloe » menjadi kota tujuan wisata « urban tourism » dengan atraksi wisata kuliner, kesejukan alami. dataran tinggi, serta pusat belanja (factory outlets). Kawasan Dago, Setiabudi dan sekitarnya kini menjadi pusat kegiatan komersial utama di Kota Bandung, padahal lama sebelumnya ia direncanakan sebagai pusat hunian yang tenang. Sementara itu, kawasan Bandung Utara yang sebelumnya merupakan kawasan lindung untuk peresapan air, kini telah beralih fungsi menjadi salah satu pusat permukiman elit serta pusat kegiatan pariwisata yang dipadati oleh turis domestik saat weekend.
Kota Gorontalo hingga akhir tahun 1990-an « hanya » merupakan ibukota Kabupaten Gorontalo dengan fasilitas sosial-ekonomi yang sangat terbatas (hotel, rumah sakit, restoran, dsb.). Sejak beralih status menjadi kota otonom sekaligus Ibukota Provinsi Gorontalo pada tahun 1999, aliran investasi yang mengalir cukup deras dipicu
oleh kegiatan pemerintahan telah merubah wajah kota secara signifikan. Pusatpusat kegiatan komersial dan jasa (perbankan, restoran, hotel dsb). tumbuh subur. Infrastruktur sosial-ekonomi semakin membaik, khususnya yang berkaitan dengan sektor industri perikanan (pelabuhan) dan sektor pertanian tanaman pangan (industri pengolahan komoditas jagung). Wajah kota yang relatif sederhana, secara perlahan kini berubah mengikuti perkembangan zaman. Beberapa faktor tampaknya cukup dominan dalam proses tersebut : (1) ALIRAN INVESTASI YANG MENDORONG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KOTA, KHUSUSNYA YANG DIGERAKKAN OLEH INVESTASI SWASTA (2) KEBERADAAN INFRASTRUKTUR SOSIAL-EKONOMI, SEPERTI JALAN DAN PELABUHAN, SERTA (3) PENINGKATAN STATUS KOTA OTONOM (IBUKOTA PROVINSI). Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab utama terjadinya urbanisasi dan mengakselerasi alih-fungsi ruang perkotaan. Perbedaannya terletak pada titik awal terjadinya perubahan (Jakarta sejak 1960-an, Bandung sejak 1980-an, dan Gorontalo sejak 2000-an), serta kecepatan 132transformasi yang terjadi yang banyak ditentukan oleh peran sektor swasta.