PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Disusun oleh : Kelompok 3
1. Tertia Ulima Rahma
(15312411)
2. Azimatul Ulya
(15312416)
3. Devi Oktia Anggraini
(15312417)
4. Faila Dewi Febriyana
(15312419)
5. Azizah Aprilia Utami
(15312422)
6. Putri Nur D
(15312423)
7. Ainun Kusumawati
(15312515)
8. Siti Nurcahyati
(15312516)
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi robbil ‘alamin, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan dengan judul ”Perencanaan ” Perencanaan Pajak Penghasilan Penghasilan Pasal 21” Makalah ini kami susun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh peroleh dari beberapa buku dan media elektronik sebagai salah satu syarat mata kuliah Perpajakan. Akhirnya, kami kami menyadari bahwa penulisan penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu melalui kata pengantar ini kami sangat terbuka menerima kritik serta saran yang membangun sehingga secara bertahap kami dapat memperbaikinya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 20 Mei 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 1 7.1 Pembagian Objek PPh Pasal 21 ....................................................................................... 1 7.3 Perbedaan Objek Pajak PPh Pasal 21 dan Objek PPh Pasal 23 ....................................... 10 7.3 Penentuan Saat Terutang Pajak ........................................................................................ 11 7.4 Memilih Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21 ......................................................... 12 7.5 Mencermati Perbedaan Perlakuan PPh Pasal 21 atas Cadangan Bonus .......................... 14 7.6 Menentukan Benefit in Cash atau Benefit Kind untuk Pegawai...................................... 17
iii
BAB II PEMBAHASAN
7.1
Pembagian Objek PPh Pasal 21
Pemahaman atas penghasilan yang menjadi objek dan non objek PPh Pasal 21 bertujuan agar Wajib Pajak dapat mengidenifikasi semua objek PPh Pasal 21 yang dicatat di buku besar. Selain itu, Wajib Pajak juga dapat menerapkan tax planning berikutnya. Pemahaman objek pajak ini menjadi pondasi perencanaan PPh Pasal 21. Tabel 7.1 dibuat dengan merujuk pada Pasal 4 ayat 1 huruf a dan Pasal 4 ayat 3 huruf d UU PPh. Untuk Tahun 2009, peraturan pelaksanaanya mengacu pada PrMenkeu No. 252/PMK.03/2008 juncto PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2009 juncto PerDirjen Pajak No. Per-57/PJ/2009 dan PerDirjen Pajak No. Per-31/PJ/2012. Tabel 1 menjelaskan bahwa objek PPh Pasal 21 terdiri dari imbalan tunai (benefit in cash) dan imbalan natura (benefit in kind ). Namun demikian, untuk menentukan apakah imbalan natura itu merupakan objek pajak atau tidak, ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberi penghasilan. Untuk rincian objek PPh Pasal 21, daftarnya terlihat pada Tabel 7.2. Seperti terlihat pada Tabel 7.1 imbalan natura akan menjadi objek PPh Pasal 21 manakala pemberi kerja penghasilannya adalah: 1. Non Wajb Pajak, 2.
Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, atau
3.
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemend profit ). Alasan yang mendasari hal tersebut adalah karena intensitikasi PPh Badan bagi ketiga
jenis entitas tersebut tidak dapat dilakukan.
1
Tabel 7.1 Klasifikasi Objek PPh Pasal 21 Jenis Penghasilan Pemberi Kerja
Benefit in Cash
Benefit in Cash
(BIC)
(BIC)
a. Pemerintah
Objek Pajak
Non Objek Pajak
b. Non Wajib Pajak
Objek Pajak
Objek Pajak
c. Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final
Objek Pajak
Objek Pajak
Objek Pajak
Objek Pajak
Objek Pajak
Non Objek Pajak
d. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan Berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit ) e. Wajib Pajak Lainnya
Sumber : diolah dari Pasal 4 ayat 1 huruf a dan Pasal 4 ayat 3 huruf d UU PPh dan peraturan pelaksanaan lainnya
2
No.
1
Jenis Penghasilan Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap berupa:
2 3
a) Penghasilan teratur yaitu penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. b) Penghasilan tidak teratur yaitu pengahasilan bagi pegawai tetap selain p enghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apa pun. a) Uang pensiun atau b) Penghasilan sejenisnya Uang pesangon (Peraturan Pemerintan No. 68/2009;
Pengurangan Biaya jabatan Iuran pensiun Iuran Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
Biaya pensiun PTKP --
Tarif PPh Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak disetahunkan
4
5
a. Uang Manfaat Pensiun, b. Tunjangan Hari Tua, atau c. Jaminan Hari Tua (Peraturan Pemerintah No. 68/2009) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas,
3
0% atas Ph bruto s.d. Rp 50 juta ; 5% atas Ph bruto di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta 15% atas Ph bruto di atas Rp 100 juta s.d. Rp 500 juta 25% atas Ph bruto di atas Rp 500 juta 0% atas Ph bruto s.d. Rp 50 juta; 5% atas Ph bruto di atas Rp 50 juta
sepanjang tidak dibayarkan secara bulanan, berupa (1) upah harian, (2) upah mingguan, (3) upah satuan, (4) upah borongan, atau (5) uang saku harian: a) Penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 200.000,00 ( Ketentuan lama Rp 150.000,00 menurut PerMenkeu No 254/PMK.03/2008) No.
Jenis penghasilan b) Penghasilan yang melebihi Rp 200.000,00 sehari (ketentuan lama Rp 150.000,00 sehari), sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00 (ketentuan lama Rp 1.320.000,00)
c) Penghasilan yang dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 2.025.000,00 (ketentuan lama Rp 1.320.000,00) tapi tidak melebihi Rp 7.000.000,00 (ketentuan lama Rp 6.000.000,00 menurut PerDirjen Pajak Per-31/PJ/2009 s.t.d.d Per-57/PJ/2009)
--
6
7
d) Penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 7.000.000,00 (ketentuan lama Rp 6.000.000,00) Penghasilan pegawai tidak tetap yang dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
Pengurangan Rp 200.000,00 sehari (ketentuan lama Rp 150.000 sehari) Iuran JHT/THT
PTKP yang sebenarnya, yaitu PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya dan PTKP sehari adalah PTKP dibagi 360 hari Iuran JHT/THT PTKP setahun Iuran JHT/THT PTKP setahun Iuran JHT/THT
PTKP (sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan 4
Tidak dipotong PPh
Tarif PPh
5%
5%
Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak yang disetahunkan Tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan kena pajak disetahunkan
Tarif Pasal 17 UU PPh x 50% x jumlah kumulatif penghasilan bruto dalam satu tahun kalender
pribadi antara lain: 1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris 2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya 3) olahragawan 4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator 5) pengarang, peneliti, dan penerjemah 6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan 7) agen iklan 8) pengawas dan pengelola proyek
hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak dan tidak memperoleh penghasilan lainnya)
5
dari sepanjang penghasilan tersebut bersifat berkesinambungan, yaitu dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender Tarif Pasal 17 UU PPh x 50% x jumlah penghasilan bruto sepanjang penghasilan tersebut tidak bersifat berkesinambungan
No
8
9
Jenis Penghasilan 9) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara 10) Penjaja barang dagangan yang tidak b erstatus sebagai pegawai 11) Petugas dinas luar asuransi, dan 12) Distributor perusahaan multi level marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. Imbalan kepada peserta kegiatan antara lain meliputi: a) Perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya b) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja c) Peserta atau anggota dalam satu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu d) Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang e) Peserta kegiatan lainnya dan imbalan lainnya antara lain berupa 1) Uang saku 2) Uang representasi 3) Uang rapat 4) Honorarium 5) Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan 6) Imbalan sejenis dengan nama apapun Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh: a. Bukan Wajib Pajak b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
Pengurangan
6
Tarif PPh
Tidak ada
Tarif pasal 17 UU PPh × jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utauh dan tidak dipecah
Jenis pengurangan yang diperbolehkan disesuaikan dengan jenis penghasilan pada butir 1 s.d 6 di atas karena penerimaan dalam
Tarif pasal 17 UU PPh × penghasilan kena pajak disetahunkan
10
No 11 12
13
14
15
final, atau bentuk natura ini digabungkan c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan dengan jenis penghasilan tersebut norma perhitungan khusus (deemed profit) Honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima Tidak ada atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama Jenis Penghasilan Pengurangan Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai Penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan Penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Diatur tersediri dalam PP No. negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau 80/2010 dan PerMenkeu No. diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI 262/PMk.03/2010 dan pensiunannya Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi yang tidak memiliki Disesuaikan dengan jenis NPWP penghasilannya
a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainn ya dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh Pemerintah dan Wajib Pajak [selain Wajib Pajak yang dikenakan Pajak 7
-
Tarif pasal 17 UU PPh × penghasilan bruto komulatif
Tarif PPh
Tarif pasal 17 UU PPh × 120% (hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final) Tidak dipotong pajak karena bukan objek pajak
Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit)] c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua keada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenag kerja yang dibayar oleh pemberi kerja d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yangbersangkutan. e. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 a yat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan dan persyaratan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03?2008
8
Pemberi penghasilan non wajib pajak yang dimaksud didalam Tabel 7.1 diantaranya adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional yang digolongkan sebagai non subjek pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan. Untuk persewaan tanah/bangunan, sedangkan WP dengan deemed profit diantaranya adalah: 1.
Perusahaan sewa pesawat (475/KMK.04/1996).
2.
Perusahaan pelayaran dalam negeri (416/KMK.04/1996).
3.
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang bergerak di bidang pelayaran/penerbangan dalam jalur internasional (632/KMK.04/1994), dan
4.
WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (634/KMK.04/1994). Dicontohkan PT Penyewaan Gedung dan PT Penyewaan Alat Berat sama-sama memberikan imbalan kesehatan kepada pegawainya. Imbalan tersebut berupa:
(a) tunjangan kesehatan, (b) medical reimbursement atau penggantian biaya kesehatan (c) premi asuransi dibayar pemberi kerja, dan (d) biaya rawat inap/jalan yang langsung dibayar pemberi kerja kepada rumah sakit/klinik. Perlakuan PPh Pasal 21 atas kasus ini terlihat pada Tabel 7.3 Deskripsi
Jenis Penghasilan
Objek/Nonobjek
1. PT Penyewaan Gedung a. Tunjangan kesehatan
Benefit in cash
OP
b. Medical reimbursement
Benefit in cash
OP
c. Premi asuransi dibayar pemberi kerja
Benefit in cash
OP
Benefit in cash
OP
a. Tunjangan kesehatan
Benefit in cash
OP
b. Medical reimbursement
Benefit in cash
OP
Benefit in cash/kind
OP/NOP
Benefit in kind
NOP
d. Biaya rawat inap/jalan yang langsung dibayar pemberi kerja kepada rumah sakit/klinik 2. PT Penyewaan Alat Berat
c. Premi asuransi dibayar pemberi kerja d. Biaya rawat inap/jalan yang langsung dibayar pemberi kerja kepada rumah sakit/klinik
Keterangan: OP = Objek PPh Pasal 21. NOP = Non Objek PPh Pasal 21
Dalam kasus pada Tabel 7.3 seluruh imbalan, baik natura ( benefit in kind ) ataupun tunai (benefit in cash) kepada pegawai PT Penyewaan Gedung merupakan objek PPh Pasal 9
21. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh. Untuk PT Penyewaan Alat Berat, objek PPh Pasal 21 hanya terdiri dari benefit in cash. Dalam hal ini, medical reimbursement merupakan benefit in cash karena pegawai menerimanya dalam bentuk tunai sehingga imbalan tersebut merupakan objek PPh Pasal 21. Khusus untuk premi asuransi kesahatan, perlakuan di PT Penyewaan Alat Berat mengacu pada pasal 9 ayat (1) huruf UU PPh. Jika dibayarkan atau menjadi deductible expense, premi tersebut menjadi objek PPh Pasal 21. Akan tetapi, jika tidak dibiayakan, premi tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Prinsip umum berupa deductible – taxability dan non-taxability berlaku dalam hal ini.
7.2
Perbedaan Objek Pajak PPh Pasal 21 dan Objek PPh Pasal 23
Pemotongan PPh pasal 21 terkait dengan ketentuan dalam Pasal 21 UU PPh yang mengatur tentang pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan:
Pekerjaan,
Jasa, atau
Kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Dalam hal ini, objek PPh pasal 23 juga diantaranya terdiri dari imbalan sehubungan jasa. Penerima Penghasilan
Jenis WP
Jenis PPh yang dipotong
Orang Pribadi
PPh Pasal 21
Badan
PPh Pasal 23
c. Kantor Pengacara Ani Pulagi, SH., LLM
Orang Pribadi
PPh Pasal 21
d. Notaris Ketty Puterus, SH ., MKn
Orang Pribadi
PPh Pasal 21
a. KAP Adigang b. KKP Adigung & Adiguna
Tabel Perbedaan Objek PPh Pasal 21 dan Objek PPh Pasal 23
Sebagai ilustrasi, PT MBR membayarkan biaya professional terhadap keempat konsultan yang terlihat pada tabel diatas. Tetapi, walaupun keempat kantor tersebut memiliki kantor, atas penghasilan KAP Adigang, Kantor Pengacara Ani Pulaga dan Notaris Ketty Puterus tetap dipotong PPh pasal 21 karena ketiga wajib pajak tersebut merupakan orang pribadi. Berbeda dengan KKP Adigung & Adiguna yang merupakan WP Badan maka dipotong menggunakan PPh pasal 23.
10
Kesalahan dalam penentuan objek PPh akan berakibat pemotongan tersebut dianggap belum dilakukan. Hal ini sering terjadi saat pemeriksaan pajak. Contoh, dalam pembayaran imbalan kepada Kantor Pengacara Ani Pulaga dipotong menggunakan PPh pasal 23 oleh PT MBR karena berupa imbalan. Lalu dalam sebuah pemeriksaan, petugas pajak memperoleh temuan ini. Petugas pajak akan menganggap bahwa PPh pasal 21 atas imbalan jasa kepada pengacara yang notabene Wajib Pajak orang pribadi belum dipotong. Akibatnya, KKP akan menagih PPh pasal 21 dan mengenakan sanksi bunga karena keterlambatan pembayaran pajak. Selanjutnya, PPh pasal 23 yang sudah disetor dan dilaporkan dapat dipindahbukukan oleh PT MBR. Contoh lainnya, PT MBR menggunakan jasa catering Ibu Ani untuk acara ulang tahun kantor dengan imbalan jasa sebesar Rp 50 juta. Maka dalam kasus ini, objek imbalan atas jasa catering tidak diatur dalam Pasal 21 UU PPh dan ketentuan pelaksanaannya, sedangkan di dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh diatur secara eksplisit, maka imbalan atas jasa catering merupakan objek PPh pasal 23 dengan tarif 2%. Penerimaan imbalan yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi tidak secara otomatis mengakibatkan imbalan sewa tersebut menjadi objek PPh Pasal 21.
7.3
Penentuan Saat Terutang Pajak
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU PPh, objek PPh pasal 21 terdiri dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Sesuai dengan pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 94/2010, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan pada akhir bulan: a. Terjadinya pembayaran; atau b. Terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Melanjutkan contoh sebelumnya, dimisalkan tagihan Kantor Pengacara Ani Pulaga kepada PT. MBR diterima tanggal 20 Desember 2012 sebesar Rp 100 juta sesuai tanggal tagihan. Di dalam tagihan tersebut, disebutkan bahwa jatuh tempo tagihan jatuh pada tanggal 20 Januari 2013. Akan tetapi, PT. MBR baru melunasinya pada tanggal 12 Februari 2013. Dalam kasus ini, jurnal transaksinya akan terlihat pada tabel di bawah ini.
11
No
Nama Akun
A.
Jurnal Akuntansi
1
Biaya Jasa
Tanggal
Debit (Rp)
20/12/2012
100.000.000
Utang Usaha
Kredit (Rp)
100.000.000
→ Untuk mencatat tagihan 2
Utang Usaha
12/02/2013
100.000.000
Bank
100.000.000
→Untuk mencatat pembayaran tagihan No
Nama Akun
B.
Jurnal Akuntansi dan Pajak
1
Biaya Jasa
Tanggal
Debit (Rp)
20/12/2012
100.000.000
Utang Usaha
Kredit (Rp)
100.000.000
→ Untuk mencatat tagihan 2
Utang Usaha
31/12/2012
2.500.000
Utang PPh Pasal 21
2.500.000
→ Untuk mencatat pengakuan utang pajak 3
Utang PPh Pasal 21
10/01/2013
2.500.000
Bank/Kas
2.500.000
→ Untuk mencatat pembayaran pajak 4
Utang usaha
12/02/2013
Bank
97.500.000 97.500.000
→ Untuk mencatat pembayaran tagihan Tabel Jurnal Transaksi PT. MBR
Dalam praktik, jurnal pada B.1. dan B.2. di dalam tabel di atas dapat digabungkan untuk mempermudah kontrol. Namun demikian, bukti potong dibuat pada akhir bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) PP No. 94/2010.
7.4
Memilih Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
Wajib Pajak yang menjadi pemberi kerja dan pemotong PPh pasal 21 akan mencatat utang PPh Pasal 21 jika saat terutang PPH sudah terjadi. Dari pegawai /karyawan, perlakuan akuntansi untuk PPh pasal 21 berupa:
12
1. Pajak ditanggung karyawan No Nama Akun
Debit (Rp)
Biaya gaji
Kredit (Rp)
1.000.000
Utang PPh 21
50.000
Bank
950.000
2. Pajak ditanggung pemberi kerja, tapi pemberi kerja tidak memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross) No
Nama Akun
Debit (Rp)
Biaya gaji (DE)
1.000.000
Biaya pajak (NDE)
50.000
Kredit (Rp)
Bank
1.000.000
Utang PPh 21
50.000
3. Pajak ditanggung pemberi kerja dan pemberi kerja memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up) No
Nama Akun
Debit (Rp)
Biaya gaji (DE)
1.000.000
Tunjangan pajak (DE)
56.632
Kredit (Rp)
Bank
1.000.000
Utang PPh 21
56.632
Menurut karyawan, model pertama (pajak ditanggung karyawan )merupakan model yang paling tidak disukai karena take home pay-nya hanya Rp 950.000 sedangkan bagi perusahaan perlu melihat aspek PPh badannya. Sedangkan bagi perusahaan perlu melihat aspek PPH Badannya. Berdasarkan ilustrasi Tabel 7.7. Jika perusahaan untung alternative sesuai butir c perlu dipilih. Akan tetapi,jika perusahaan rugi, perlu dipilih alternative b.
13
Tabel 7.7 Analisis Perencanaan Pajak Untuk Perlakuan Akuntansi atas PPH Pasal 21
Uraian
Alternatif Butir B
Penghasilan
Alternatif C
L.K Intern
L.K Fiskal
L.R Intern
L.R Fiskal
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
-
-
-
Biaya Operasi -Gaji -Biaya Pajak -Tunj.
50.000
Pajak
-
-
52.632
52.632
1.050.000
1.000.000
1.052.642
1.052.632
450.000
500.000
447.368
447.368
(gross-up)
Penghasilan Neto PPh
yang
dibayar -PPh
Badan
125.000
111.842
50.000
52.632
175.000
164.474
(25%) -PPh Pasal 21 (5%)
7.5
Mencermati Perbedaan Perlakuan PPh Pasal 21 atas Cadangan Bonus
Tujuan mencermati perbedaan perlakuan pajak atas cadangan bonus ini adalah untuk mengantisipasi temuan pemeriksa yang menerapkan teknik ekualisasi objek PPh Pasal 21. Di dalam praktek banyak dijumpai yang kurang menyadari hal ini. Sebagai akibatnya pada saat pemeriksaan pajak, terpaksa perusahaan harus membayar tambahan utang pajak yang berasal dari bonus tersebut.
7.5.1
Perlakuan Akuntansi atas Cadangan Bonus Banyak
perusahaan
mencatat
rencana
pembayaran,
bonus
dilaporan
keuangannya. Sedangkan pelunasannya dilakukan pada tahun berikutnya. Sebagian bonus yang sudah dicadangkan tersebut dibayarkan senilai cadangan. Sebagian lainnya dibayarkan lebih rendah karena pertimbangan tertentu dari manajemen ataupun keputusan RUPS (Rapat Usaha Pemegang Saham) perusahaan.
14
Sebagai ilustrasi, dimisalkan PT Aq-Aq mencatat cadangan bonus untuk tahun 20X1, 20X2, 20X3 masing-masing senilai Rp 2 Miliar, Rp 1,8 Miliar dan Rp 1,9 Miliar. Realisasi pembayaran bonusnya masing-masing tahun secara beruntun adalah 90%, 80%, dan 85%. Dengan dalih bahwa pembayaran bonus tersebut berbeda dengan pengakuan biayanya, perusahaan seringkali memotong PPh Pasal 21 pada saat realisasi pembayaran. Secara empiric di lapangan, minimal ada tiga cara penjurnalan untuk pengakuan cadangan bonus tersebut, yaitu utang bonus (bonus payable), bonus akrual (accrued bonus), dan provisi bonus (bonus provision). Ketiga akun bonus tersebut berada di pos akun liabilitas atau kewajiban. Perlakuan akuntansi untuk cadangan bonus ini mengacu pada PSAK 57 (Revisi2009): Provisi, Liabilitas Kontijensi, dan Aset Kontinjensi. Tabel 7.8 merangkum ketiga acara tersebut. Untuk mempermudah ilustrasi perhitungan, dimisalkan PPh Pasal 21 atas bonus ditetapkan sebesar 10%.
15
Tabel 7.8 Ilustrasi Perlakuan Akuntansi atas Cadangan Bonus
No
A 1
2
3
4
5
Nama Akun
Tahun
Jurnal Akuntansi Biaya bonus Provisi bonus (Untuk mengakui cadangan bonus 20X1)
20X1
Debit (Rp000)
Kredit (Rp000)
2.000.000 2.000.000
Provisi bonus Bank (Untuk mengakui pembayaran bonus 20X1)
20X2
Biaya bonus Provisi bonus (Untuk mengakui cadangan bonus 20X2)
20X2
Provisi bonus Bank (Untuk mengakui pembayaran bonus 20X2)
20X3
Biaya bonus Provisi bonus
20X3
1.800.000 1.800.000
1.800.000 1.800.000
1.440.000 1.440.000
1.900.000 1.900.000
(Untuk mengakui cadangan bonus 20X2) 6
Provisi bonus
20X2
Bank (Untuk mengakui pembayaran bonus 20X2) 7.5.2
1.615.000 1.615.000
Perlakuan Pajak atas Cadangan Bonus
Dari sisi perpajakan, jika pencadangan bonus tersebut senilai pembayaran bonus tidak akan muncul isu perpajakan karena sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) PP No. 94/2010, pemotongan bonus dilakukan pada saat dicatat sebagai biaya bonus. Akan tetapi, akan muncul masalah di dalam praktik jika nilai cadangan bonus tidak akan sama dengan realisasinya.
16
7.5
Menentukan Benefit in Cash atau Benefit Kind untuk Pegawai
Strategi efisien PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan. Berdasarkan tabel 7.9. 1.
Pada perusahaan yang memperoleh laba dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin pegawai diberikan kesejahteraan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible (lihat Alternatif B).
2.
Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benerfit) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil (lihat Alternatif A)
Berdasarkan analisi Tabel 7.9 perusahaan yang masih rugi perlu meningkatkan penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind agar PPh Pasal 21-nya dapat dihemat. Tabel 7.9 Analisis Perencanaan Pajak untuk Imbalan Tunai atau Imbalan Natura Uraian
Penghasilan Biaya Operasi - Benefid in Kind -
Alternatif A LR Intern 1.000.000
600.000 400.000
1.000.000 250.000
PPh pasal 21 (5%)
600.000 38.298
600.000 38.298
638.298 361.702
638.298 361.702 90.426 38.298
250.000
7.6
LR Fiskal 1.000.000
600.000
PPh yang dibayar - PPh Badan (25%) -
LR Fiskal LR Intern 1.000.000 1.000.000
Benefit in Cash Tunj. Pajak (gross-up)
Penghasilan Neto
Alternatif B
128.724
Membuat Kode Unik pada Deskripsi Jurnal Transaksi
Untuk mendukung langkah ekualisasi objek PPh Pasal 21 dan akun di buku besar, Wajib Pajak dapat memberikan kode unik pada deskripsi transaksi di setiap jurnal sepanjang yransaksi tersebut terkait dengan objek PPh Pasal 21. Kode unik tersebut misalnya adalah #21. Pada saat langkah ekualisasi dilakukan, seluruh akun buku besar yang terkait dengan objek PPh Pasal 21 diunduh. Selanjutnya, seluruh transaksi yang memiliki kode #21 tersebut dapat diseleksi menggunakan menu filter pada MS Excel. Hal ini akan mempermudah proses ekualisasi.
17