BAB I KASUS 1.1 IDENTITAS
Nama
: Tn. U
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 34 tahun
Alamat
: Jl. Baru HHII Dalam RT 12/01 No. 12, Jakarta Utara
No. RM
: 163624
Tanggal Pemeriksaan
: 27 November 2012
1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) Keluhan Utama : Bersin-bersin terus menerus sejak 6 tahun yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.
Riwayat Penyakit Dahulu : Os belum pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga : Keluhan yang sama di keluarga disangkal
Riwayat Alergi : Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap makanan, dan obat-obatan, disangkal.
Riwayat Pengobatan : Sebelumnya pasien hanya mengobati keluhan hanya dengan menggunakan obat warung.
Riwayat Kebiasaan : Pasien bekerja sebagai petugas pengamanan, dan untuk berangkat ke tempat bekerja, pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak menggunakan masker saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital Tekanan darah
: tidak diukur
Pernafasan
: 20 x/ menit
Nadi
: 84 x/menit
Suhu
: Afebris
Status Lokalis Telinga Bagian Preaurikula
Aurikula
Kelainan Kelainan kongenital Radang Tumor Trauma Nyeri tekan Kelainan kongenital Radang Tumor Trauma
Auris Dextra -
Sinistra -
Nyeri tarik Retroaurikula
Edema Hiperemis Nyeri tekan Radang Tumor Sikatriks Canalis Acustikus Kelainan kongenital Externa Kulit Sekret Kloting Serumen Edema Jaringan granulasi Massa Cholesteatoma Membrana Timpani Intak Reflek cahaya
-
-
+ +
+ +
Fungsi Pendengaran Batas atas dan batas bawah Tes Rinne Tes Swabach
Aurikula Dextra
Aurikula Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Rinne positif
Rinne positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tes Weber
Tidak ada lateralisasi
Hidung Bentuk
: normonasi
Cavum nasi
: lapang (+/-), perdarahan mengalir (-/-), blood clotting (-/-)
Mukosa
: Hiperemis (-/+)
Concha
: concha inferior eutrofi (+/-)
Septum
: C-Shape deviasi ke arah sinistra
Sinus paranasal
: nyeri tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi (-), tidak terlihat pembengkakan pada daerah muka
Tenggorokan : Mukosa
: Hiperemis (-/-), Granul (-/-)
Uvula
: Deviasi (-/-)
Tonsil
: T1 – T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)
1.4 RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 6 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan koana nasalis sinistra menyempit, hipertrofi konka nasalis inferior sinistra, hiperemis pada konka nasalis inferior sinistra, dan Cshaped deviasi ke arah sinistra.
1.5 DIAGNOSIS
Suspect Rhinitis Alergika Intermiten Ringan
1.6 PENATALAKSANAAN
Non- Medikamentosa a. Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan masker saat bekerja dan berkendara
Medikamentosa a. Antihistamin H2
: Lorantadin
1x1
b. Dekongestan
: Pseudoefedrin
3x1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).1 Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.1
2.2 Patofisiologi Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.1 Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu 1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya 2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1
Gambar 1 Patofisiologi Rinitis Alergi 2
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek peptida MHC kelas II (Major Histo-compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1 Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1
Gambar 2 Teori perkembangan alergi2
2.3 Gambaran histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1 Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui sun-tikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan iebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.1 Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.1 Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : 1. Respons primer: Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder. 2. Respons sekunder: Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier: Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.1 Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu : o tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity), o tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, o tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan o tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.1
2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan diban-dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.1 Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlang-sungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari , 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.1 Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu 2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.1
2.5 Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1.
Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satusatunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 2.
Pemeriksaan fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior ampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1
Gambar 3 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi 3
Gambar 4 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi dengan Kelainan Warna Membran Mukosa Hidung 3
Gambar 5 Rasa Gatal pada Hidung 3
3.
Pemeriksaan penunjang : In vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
Gambar 6 Skema Pemeriksaan In Vitro 4
In vivo : Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri. Skin Endpoint Titration/SET), SET dilakukan untuk aiergen inhalan dengan menyuntikkan aiergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge Test"). Alergen ingestan secara tuntas lenyap :ari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu :ada "Challenge Test", makanan yang dicurigai ; berikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1 TES ALERGI UJI KULIT ALERGI : Prick Test Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan imunologi dapat dilakukan walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis pemeriksaan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang berbeda. Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam.5 Alergi Tipe 1 (IgE mediated) adalah hasil dari produksi IgE spesifik untuk alergen oleh alergi individu. Kondisi di mana alergi yang dimediasi IgE dapat memainkan peran utama termasuk rhinitis alergi, asma, dermatitis atopik, anafilaksis, urticaria dan angioedema akut, alergi makanan, alergi racun serangga, lateks alergi dan beberapa obat alergi.Tes untuk alergi serum IgE spesifik (juga disebut sebagai tes RAST) juga berguna dalam situasi tertentu.
Gambar 7 Skin Prick Test
Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel). Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.5 1.
Uji kulit intradermal Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi mungkin untuk mendeteksi
racun dan diagnosis alergi obat. Ini
membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis. 5 2.
Uji tusuk Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji
tusuk.Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. 5 Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01% histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin. Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit. 5 Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10 menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas dapat disimpan untuk dokumentasi. 5 Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit
alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. 5 Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting. 5
Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.
Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan harus diperhatikan.
Uji gores
kulit
harus
dilakukan
oleh
yang
terlatih
dan
berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik (anafilaksis).
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi eksposur termasuk faktor-faktor lokal.
Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di lokasi
pelatihan
yang
memadai
sangat
penting
untuk
mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.
Kontrol positif dan negatif sangat penting.
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tandatanda.
Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.
Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan lingkungan setempat. 5 Pengakuan terhadap keterbatasan Uji gores kulit penting, yaitu.
terbatasnya kemampuan dalam prediksi tipe alergi reaksi lambat. positif palsu atau negatif karena karakteristik alergi
pasien atau kualitas.
Adanya IgE tanpa gejala klinis dan tes negatif tidak mengecualikan gejala yang disebabkan oleh non-IgE mediated alergi / intoleransi atau penyebab medis lainnya . 5 Patch test. Metode lain adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan yang memicu dermatitis kontak alergi. Jika ada alergi antibodi dalam sistem anda, kulit anda akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini berarti Anda alergi terhadap zat tersebut5 Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit. 5 Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal. Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans, trikofiton, dan proteus. Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan kandida, dan akan mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5 tahun. 5
Gambar 8 Alergen Patch Test
Gambar 9 Patch Test
Gambar 10 Patch Test
Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton, dan proteus) serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji. 5 Persiapan Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai, perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah berkontak sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan. 5 Melakukan uji Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi antigen. 5 Hasil pemeriksaan Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih. 5 Efek samping Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen. 5 Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo. 5
2.6 Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi, Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah diterik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin dan levosetirisin.1 Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.1 Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.1 Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.1 Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.1
Gambar 11 Skema Terapi Rinitis Alergi 2 3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.1 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada a, inhalan dengan gejala yang bera: sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: antibody dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan sublingual.1
2.7 Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah : 1. Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung 2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak 3. Sinusitis paranasal1
Gambar 12 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pada pasien dengan Riniris Alergi perlu diketahui alergen penyebab pada pasien dan keteraturan terapi pada pasien untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan mengurangi resiko kearah komplikasi pada rinitis alergi, seperti sinusitis, polip, ataupun otitis media.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134. 2. Snow Jr, James B. Ballenger, John Jacob. 2003. Balllenger’s Otorhinolarynology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton : BC Decker Inc. Hal : 708 – 739. 3. Hawke, Michael et all. 2002.Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. New York: Material. Hal :91-155 4. Lalwani, Anil K. 2008. Current Diagnosis and TreatmentOtolaryngology Head and Neck Surgery Second Edition.New York : Mc Graw Hill. Hal : 267 - 272 5. AP, Arwin Dkk. 2007.Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi 2. Jakarta :IDAI . Hal : 76 - 88