REFERAT TATALAKSANA RINITIS ALERGI DAN VASOMOTOR KRONIS
Penyusun : Nadia Fernanda 030.13.133 Pembimbing : dr. Donald Marpaung, Sp.THT
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO PERIODE 2 OKTOBER - 3 NOVEMBER 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN Nama
: Nadia Fernanda
NIM
: 030.13.133
Universitas
: Universitas Trisakti
Fakultas
: Fakultas Kedokteran
Program Studi
: Program Studi Profesi Dokter
Bidang Pendidikan
: Ilmu Penyakit THT
Periode
: 2 Oktober - 3 November 2017
Judul
: Tatalaksana Rinitis Alergi dan Vasomotor Kronis
Pembimbing
: dr. Donald Marpaung, Sp.THT
TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL:
Bagian Ilmu Penyakit THT RSAL Dr. Mintohardjo Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, Oktober 2017 Pembimbing,
dr. Donald Marpaung, Sp.THT
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tatalaksana Rinitis Alergi dan Vasomotor Kronis”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama kepada dr. Donald Marpaung, Sp.THT selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi saran dan masukan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit THT.
Jakarta, Oktober 2017
Nadia Fernanda 030.13.133
ii
DAFTAR ISI HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ i KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2 2.1 Anatomi Hidung ................................................................................................... 2 2.2 Fisiologi Hidung ................................................................................................... 3 Rinitis Alergi ............................................................................................................... 4 2.3 Definisi .................................................................................................................. 4 2.4 Patofisiologi .......................................................................................................... 4 2.5 Klasifikasi ............................................................................................................. 5 2.6 Diagnosis .............................................................................................................. 6 2.7 Tatalaksana ............................................................................................................ 8 Rinitis Vasomotor ..................................................................................................... 11 2.8 Definisi ................................................................................................................ 11 2.9 Etiologi ................................................................................................................. 11 2.10 Patofisiologi ....................................................................................................... 11 2.11 Diagnosis ............................................................................................................ 12 2.12 Tatalaksana ......................................................................................................... 13 BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 17
iii
iv
BAB I PENDAHULUAN Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut. Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.1 Berdasarkan pada penelitian mengenai Health-Related Quality of Life (HRQL) terhadap penderita rinitis alergi kelompok usia remaja oleh para ahli di berbagai negara, rinitis alergi mempengaruhi kinerja anak-anak dan remaja di sekolah serta memiliki korelasi dengan gangguan ansietas dan depresi yang dapat mempengaruhi prestasi dalam belajar dan berkurangnya produktifitas.1 Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat.2 Rinitis vasomotor merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada 1025 % dari populasi dunia.3 Dampak dari rinitis vasomotor sering diabaikan oleh pasien yang secara signifikan dapat mengganggu kesehatan dan kualitas hidup. Selanjutnya, masalah ini akan berdampak pada sosioekonomi.3 Tetapi dengan dilakukannya evaluasi dan tatalaksana rinitis yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang.4
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang mengubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum.2 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka (konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus (meatus inferior, meatus medius dan meatus superior).2
2
Gambar 1. Dinding lateral hidung Bagian atas ronga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari ujung a. palatina mayor an a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid posterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).2
3
Gambar 2. Perdarahan hidung Bagian depan dari atas rongga hidung mendapat persafaran sensoris dari n. etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius.2 2.2 Fisiologi Hidung Fungsi fisiologi hidung adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi surara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran teekanan dan mekanisme imonologik lokal; 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3)
4
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) Refleks nasal, iritasi pada mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.2
Rinitis Alergi 2.3 Definisi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut.1 Gejala rinitis alergi adalah hidung berair, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, dan bersin berulang yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan.5 2.4 Patofisiologi Reaksi alergi fase cepat Reaksi alergi fase cepat terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar alergen. Pada fase cepat, histamin dilepaskan oleh sel mast sehingga menimbulkan vasodilatasi, edema mukosa dan stimulasi saraf. Proses ini menghasilkan gejala seperti bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.6 Paparan alergen pada kontak pertama menimbulkan sensitisasi, Antigen Presenting Cell (APC) menangkap alergen di mukosa hidung. Komplek peptida Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II terbentuk dan dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Melalui IL-1 Th0 berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Berbagai sitokin akan dihasilkan oleh Th2 yang nantinya akan mengaktifkan sel limfosit B sehingga dihasilkan imunoglobulin E (IgE). Di jaringan mukosa hidung IgE berikatan pada reseptor di permukaaan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang berikatan dengan IgE ini akan tersensitisasi oleh alergen yang sama sehingga terjadi degranulasi. Preformed mediator terutama Histamin dan mediator lain seperti
5
prostaglandin D2, leukotrien, bradikinin, platelet activating factor (PAF) serta sitokin yang merupakan hasil degranulasi fase cepat akan menimbulkan gejala gejala dalam hitungan menit. Mediator-mediator ini merekrut sel-sel inflamasi ke mukosa hidung untuk masuk ke tahap reaksi fase lambat.6
Reaksi alergi fase lambat Reaksi alergi fase lambat terjadi beberapa jam setelah terpapar alergen. Mediatormediator pada fase cepat melalui even yang lebih komplek merekrut sel inflamasi lain ke mukosa seperti netrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Dimana mediator yang dihasilkan oleh sel mast memfasilitasi leukosit dari sirkulasi untuk menempel pada sel endotel melalui proses kemotaktik sehingga terjadi penumpukan sel inflamasi pada mukosa hidung. Selain itu IL-5 memicu kemoatraktif eosinofil, netrofil, basofil, limfosit dan makrofag bermigrasi ke mukosa hidung dan mempertahankan reaksi inflamasi di hidung.6 Eosinofil sebagai sel yang predominan dalam proses inflamasi kronik rinitis alergi, melepas sejumlah mediator proinflamatory seperti cationic proteins, eosinophil peroksidase, major basic protein dan sistenil leukotrien. Eosinofil juga melepas sitokin seperti IL-3, IL-5, IL13, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, platelet activating factor dan tumor necrosis factor.6 Kaskade rinitis alergi ini cukup komplex dan gejala yang ditimbulkan sesuai dengan jumlah sel inflamasi dan mediator yang dikeluarkan. Rangkaian proses ini menghasilkan inflamasi kronik dan efek primming.6 2.5 Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma):7 Persisten Intermiten > 4 hari per minggu ≤ 4 hari per minggu Dan ≥ 4 minggu Atau ≤ 4 minggu Ringan Tidur normal Tidak ada gangguan pada aktivitas harian, olahraga, santai Bekerja dan sekolah normal Tidak ada keluhan yang mengganggu
Sedang-Berat Satu atau lebih hal berikut: Tidur terganggu Gangguan pada aktivitas harian, olahraga dan santai Gangguan pada kegiatan pekerjaan dan sekolah Keluhan yang mengganggu
6
Tabel 1. Klasifikasi rinitis alergi ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) 2.6 Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.2 Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid. Disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, gejala ini disebut Allergic Shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai Allergic Salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian 1/3 bagian bawah yang disebut Allergi Crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dengan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tounge).2 Pemeriksaan penunjang In vitro, hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
7
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Pemeriksaan penunjang In vivo, alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan Universitas Sumatera Utara SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan
8
2.7 Tatalaksana
9
Tabel 2. Algoritma tatalaksana rinitis alergi Seperti pada Tabel 2. Tatalaksana pada rinitis alergi adalah sebagai berikut, tatalaksana
utama
adalah
penghindaran
alergen.
Sedangkan
pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1 generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan airfluid level atau deviasi septum nasi.7 Rinitis alergi intermiten ringan: Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.7 Rinitis alergi intermiten sedang/berat: Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25 mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.7 Rinitis alergi persisten ringan: Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau flutikason propionat.7
10
Rinitis alergi sedang/berat: Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis alergi intermiten sedang/berat. Pada tabel 3. Dijelaskan golongan obat, nama generik, mekanisme kerja obat, efek samping serta keterangan lain mengenai obat tersebut.
11
Tabel 3. Medikamentosa rinitis alergi Rinitis Vasomotor 2.8 Definisi Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).2 Gejalanya adalah penyumbatan hidung, sekresi meningkat, atau keduanya, namun bersin dan pruritus kurang umum terjadi.8 2.9 Etiologi Rinitis vasomotor dapat secara khusus menyebabkan gejala hidung yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi lingkungan, seperti perubahan suhu atau kelembaban relatif, bau (misalnya, parfum atau bahan pembersih), perokok pasif, alkohol, gairah seksual, dan faktor emosional.8 2.10 Patofisiologi
12
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.9 Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptida-peptida ini tidak diperantaraioleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.9 Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosi atau fisik).9 2.11 Diagnosis Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusif, yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.2 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya
13
sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.2 Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadang IgE spesifik tidak meningkat. 2 Pada tabel 4. menjelaskan diagnosis rinitis vasomotor, antara lain riwayat penyakit sekarang, pemeriksaan THT, pemeriksaan radiologi, bakteriologi dan tes alergi. Riwayat Penyakit
Pemeriksaan THT
Radiologi
X-ray / CT Scan
Bakteriologi Tes alergi
IgE total Prick Test RAST
Tidak berhubungan dengan musim Tidak ada riwayat keluarga Tidak ada riwayat alergi saat masih anak-anak Gejala timbul setelah dewasa Keluhan gatal dan bersin tidak ada Struktur hidung normal, tidak ada deviasi Tanda-tanda infeksi tidak ada Adanya pembengkakan mukosa Adanya hipertrofi konka inferior Tidak ada bukti keterlibatan sinus Adanya penebalan mukosa Tidak ada infeksi bakteri yang ditemukan Normal Negatif atau positif lemah Negatif atau positif lemah
Tabel 4. Diagnosis rinitis vasomotor 2.12 Tatalaksana Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
14
gejala yang menonjol. Penatalaksanaan rinitis vasomotor terbagi menjadi:9 1) Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy); 2) Pengobatan konservatif (Farmakoterapi), antara lain: dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan
untuk
Pseudoephedrine
mengurangi dan
keluhan
Phenylpropanolamine
hidung (oral)
tersumbat. serta
Contohnya
Phenylephrine
: dan
Oxymetazoline (semprot hidung), anti histamin : untuk golongan rinore, kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone dan anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray); 3) Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal), antara lain: kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara elektrik (lectricalcautery), diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of the inferiorturbinate), bedah beku konka inferior (cryosurgery), reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection) -Turbinektomi dengan laser (laser turbinectomy), neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukuptinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Pada tabel 5 menjelaskan terapi operatif berdasarkan gejala klinik yang ditemukan. Gejala Klinik Obstruksi Hidung
Jenis Terapi Reduksi Konka
Reseksi Konka
Prosedur Kauterisasi konka (chemical atau electrical) Diatermi sub mukosa Bedah baku (crysurgery) Turbinektomi parsial atau total Turbinektomi dengan laser
15
Rinore
Vidian Neurectomy
Eksisi nervus vidianus Diatermi nervus vidianus
Tabel 5. Terapi operatif rinitis vasomotor
Tabel 6. Algoritma tatalaksana rinitis vasomotor
BAB III KESIMPULAN Rinitis alergi dan rinitis vasomotor merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang, dimana akan mengakibatkan
16
gangguan ansietas, depresi dan berkurangnya produktifitas, hal ini akan berdampak pada sosioekonomi. Rinitis alergi dan rinitis vasomotor dapat ditangani dengan tatalaksana yang tepat, tatalaksana utama rinitis alergi adalah penghindaran alergen, sedangkan medikamentosa dapat berupa antihistamin H1 generasi 1 maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal dan stabilisator sel mast. Dapat juga dilakukan tindakan bedah untuk beberapa kasus misalnya sinusitis dengan airfluid level atau deviasi septum nasi. Sedangkan tatalaksana rinitis vasomotor adalah menghindari pencetus, medikamentosa antara lain dekongestan, antihistamin, kortikosteroid topikal, anti kolinergik dan terakhir tindakan operatif. Namun, rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan rinitis alergi, sehingga sangat diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan kemunginan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor.
DATAR PUSTAKA 1.
Rafi M, Adnan A, Masdar H. Gambaran Rinitis Alergi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014. Jom FK. 2015;2(2):1-1
2.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
17
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012 3.
Lauriello M, et al. Association between Vasomotor Rhinitis and Irritable Bowel Syndrome. Allergy Rhinol. 2016;7:e249–55
4.
Nyenhuis S, Mathur SK. Rhinitis in Older Adults. Curr Allergy Asthma Rep. 2013 April;13(2):171–7
5.
Pasaribu PS, Nurfarihah E, Handini M. Prevalensi dan Karakteristik Rinitis Alergi Anak 13-14 Tahun di Pontianak pada Maret 2016 Berdasarkan Kuesioner ISAAC dan ARIA-WHO 2008. CDK-252. 2017;44(5):333-6
6.
Huriyati E, Budiman BJ, Octiza R. Peran Kemokin dalam Patogenesis Rinitis Alergi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014;3(2):248-56
7.
Rinitis Alergi pada Anak. Available at http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/04/AI02_Rintis-Alergi.pdf disitasi pada 28 Oktober 2017
8.
Amin H, Sief EI, Badee S, Mohammed T, Kadah S. A Deeper View in the Pathogenesis of Vasomotor Rhinitis. Journal of American Science. 2013;9(10): 115-9
9.
Permatasari IP, Aulia MP, Ramadhani QN, Satyani V. Rinitis Vasomotor. Available
at
https://www.scribd.com/document/359754961/REFREAT-
RHINITIS-VASOMOTOR-pdf disitasi pada 29 Oktober 2017
18