LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)
I.
KONSEP DASAR A. Definisi 1. Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). 2. Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). 3. Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001) 4. Cidera kepala ringan adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. B. Etiologi Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah : 1. Kecelakaan lalu lintas. 2. Terjatuh 3. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala. 4. Olah raga 5. Benturan langsung pada kepala. 6. Kecelakaan industri.
C. Epidemiologi Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).
D. Klasifikasi Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan morfologi cidera. 1. Berdasarkan Mekanisme : a. Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul) b. Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya. 2. Berdasarkan Tingkat Keparahan : Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu: a. Reaksi membuka mata (Eye responses) Score 4: Membuka mata dengan spontan Score 3: Membuka mata bila dipanggil Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun b. Reaksi berbicara (Verbal responses) Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Score 4 : Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang
Score 3 : Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk gerakan Score 2 : Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata Score 1 : Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun c. Reaksi Gerakan lengan / tungkai (Motoric responses) Score 6 : Mengikuti perintah Score 5 : Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau tempat Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi : Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah). Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ). Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang), hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat
mengalami
fraktur
tengkorak,
disorientasi
ringan
( bingung ). Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat), hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema
3. Berdasarkan morfologi a. Fraktur tengkorak Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup. Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /tanpa kelumpuhan nervus VII b. Lesi intracranial Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak. Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus. Anatomi Kepala a. Kulit kepala Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi. b. Tulang kepala Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan
prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural. c. Lapisan Pelindung otak / Meninges Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter areknol dan diameter. Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter yaitu melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ) dan membentuk periosteum tabula interna. Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala. Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system vena. d. Otak. Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1.
Efek langsung trauma pada fungsi otak, 2. Efek-efek lanjutan dari selsel otakyang bereaksi terhadap trauma. Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak. Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial). e. Tekanan Intra Kranial (TIK). Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
E. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan
tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
F. Komplikasi 1. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat. 2. Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa 3. Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
4. Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal. 5. Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
G. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik 1. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. 2. MRI : sama dengan CT Scan 3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma 4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. 5. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak. 6. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang. 7. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 8. Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid. 9. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid. 10. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental. 11. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibatpeningkatan tekanan intrkranial
H. Penatalaksanaan Pedoman resusitasi dan penilaian awal 1. Menilai jalan nafas Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi. 2. Menilai pernapasan Tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi. 3. Menilai sirkulasi Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala. 4. Obati kejang Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Pedoman penatalaksanaan 1.
Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2.
Elevasi kepala 300
3.
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut : a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri. b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis,
kimia
darah,
glukosa,
ureum,
kreatinin,
masa
protrombin, atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu. 4.
Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jikaCT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya : a. Hematoma epidural b. Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel c. Kontusio dan perdarahan jaringan otak d. Edema serebri e. Obliterasi sisterna perimesensefalik f. Pergeseran garis tengah g. Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
5.
Pasien dengan cedera kepala ringan umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal b. Foto servikal jelas normal c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan. Kriteria perawatan di rumah sakit : Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun Adanya tanda atau gejala neurologis fokal Intoksikasi obat atau alcohol Adanya penyakit medis komorbid yang nyata Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
II.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada… tanggal…. Jam…. 1. Identitas pasien Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, no register, dan diagnosa medis. Penanggung jawab Nama,umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, agama, alamat, hubungan dengan pasien 2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit sekarang c. Riwayat penyakit dahulu d. Riwayat penyakit keluarga 3. Pengkajian primer a. Airway b. Breathing c. Circulation d. Disability e. Exposure 4. Pengkajian sekunder a. Aktifitas b. Integritas ego c. Eliminasi d. Pola nutrisi e. Hygiene 5. Pemeriksaan penunjang
B. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko ketidafefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. 2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. 3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala. 4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah. 5. Resiko
injuri
berhubungan
dengan
meningkatnya tekanan intrakranial.
menurunnya
kesadaran
atau
C. Intervensi 1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Intervensi : Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis. Hindari
hal-hal
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
tekanan
intrakranial: Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan) Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral. Monitor intake dan out put. Lakukan kateterisasi bila ada indikasi. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi. Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan pasien dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2. Resiko tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal. Intervensi: Kaji Airway, Breathing, Circulasi Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebral Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lender Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat. Oksigen sesuai program. 3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala. Tujuan : pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan pasien tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi : Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin. Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri. Kurangi rangsangan. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah. Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. Intervensi : Kaji intake dan out put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubunubun atau mata cekung dan out put urine. Berikan cairan intra vena sesuai program. 5. Resiko
injuri
berhubungan
dengan
menurunnya
kesadaran
atau
meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan : pasien terbebas dari injuri. Intervensi : Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. Berikan analgetik sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC Doenges, Marilynn E. et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perwatan Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta : EGC. Iskandar. (2004). Memahami Aspek-aspek Penting Dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007 – 2008, NANDA International, Philadephia. Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika Smeltzer, Suzanna C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. (Alih bahasa Agung Waluyo), Edisi 8. Jakarta: EGC.