PAJAK DAN EFEK TERHADAP AKTIVITAS OPERASI BAGIAN I
A. Sentralisasi PPN terutang
Sentralisasi PPN terutang adalah tempat tempat tinggal, tempat kedudukan, kedudukan, atau tempat kegiatan usaha yang dipilih sebagai tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang. Istilah pemusatan PPN terutang sering dikenal oleh beberapa kalangan sebagai sentralisasi PPN yang artinya melakukan pemusatan tempat penerbitan dan pengkreditan Faktur Pajak juga sebagai tempat penyampaian pelaporan SPT Masa PPN. Sebagaimana kita ketahui adakalanya wajib pajak (Pengusaha) memiliki cabang-cabang dibeberapa kota dalam propinsi yang ada di Indonesia, sehingga dengan melakukan pemusatan (sentralisasi PPN) maka setiap cabang tidak t idak perlu menerbitkan Faktur Pajak atas setiap transaksi, karena Pusat (sebagai tempat pemusatan PPN) lah yang menerbitkan Faktur Pajak dan yang melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai.
B. Tempat pemusatan PPN terutang
Dalam pasal 12 ayat (2) UU PPN Tahun 1984 disebutkan “Atas “ Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.” terutang.” Dalam penjelasan pasal 12 ayat (2) tersebut dijelaskan Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Limitasi Tempat Pemusatan PPN Terutang Berdasarkan pengertian Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang, maka Direktur Jenderal Pajak memiliki otoritas mengeluarkan ketentuan tentang tempat pemusatan PPN Terutang.
PER-25/PJ/2013 tanggal 03 Juli 2013 tentang tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha bagi Wajib Pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya yang melakukan usaha di bidang pengalihan tanah dan/atau bangunan. Dalam pasal 2 PER ini bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha di bidang pengalihan tanah dan/atau bangunan yang terdaftar pada KPP Madya di Jakarta dan KPP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus, kewajiban pendaftaran dan/atau pelaporan PPN/PPNBM ditetapkan pada : KPP Madya di Jakarta dan di lingkungan Kanwil DJP WP Besar dan Kanwil DJP Jakarta khusus bagi WP yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah DKI Jakarta. KPP tempat kegiatan usaha tersebut berada bagi WP yang mempunyai tempat kegiatan usaha di luar wilayah DKI Jakarta. Bagi Wajib Pajak yang tempat kegiatan usahanya berada di luar wilayah DKI Jakarta dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha tersebut berada. Kesimpulan dari PER ini adalah Setiap pengusaha (Jenis Real Estate/developer) tidak diperkenankan melakukan tempat Pemusatan PPN Terutang (Sentralisasi PPN). PER- 13/PJ/2014 tentang perubahan PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha bagi wajib pajak pada kantor pelayanan pajak dilingkungan kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak wajib pajak besar, kantor pelayanan pajak dilingkungan kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya Dengan otoritas yang dimiliki sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU KUP dan Pasal 3 (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor -73/PMK.03/2012 maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan PER tersebut di atas yang pada intinya mengatur tempat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi pengusaha-pengusaha tertentu.
C. Mekanisme Sentralisasi PPN Terutang
Permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan PPN dimohonkan dan diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum saat dimulainya pemusatan. Permohonan dapat dikabulkan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipusatkan tidak menyelenggarakan administrasi penjualan dan administrasi pembelian, semua administrasi dilakukan di tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang; b. Fungsi tempat kegiatan usaha yang dipusatkan hanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli barang atau penerima jasa atas perintah tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai; c. Semua Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang; d. Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan tidak membuat Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan, kecuali Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan yang dicetak berdasarkan data yang diinput secara on line dari Kantor Pusat ata u tempat pemusatannya; dan e. Kantor Cabang Unit yang dipusatkan hanya mengadministrasi persediaan dan administrasi kegiatan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak untuk keperluan operasional kantor atau unit bersangkutan yang dananya berasal dari kaskecil (petty cash).
Permohonan tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai bagi Pedagang Eceran dapat dikabulkan apabila kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang tersebar di berbagai tempat, dipusatkan di tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai dimohonkan.
Atas permohonan tersebut dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan untuk memperoleh keyakinan dipenuhinya syarat-syarat tersebut.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima lengkap. Apabila setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan Kepala Kantor Wilayah tidak memberikan keputusan, maka permohonan Pengusaha Kena Pajak dianggap diterima dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai harus diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut berakhir.
Keputusan Persetujuan Pemusatan berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal berlakunya pemusatan dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlakunya. Bila tidak diajukan permohonan perpanjangan pada waktunya, Kepala Kantor Wilayah mencabut ijin pemusatan tersebut.
D. Efek Sentralisasi PPN Terhutang Bagi Perusahaan
Keseragaman manajemen perusahaan, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan dan pembelajaran.
Organisasi perusahaan menjadi lebih ramping dan efisien, karena seluruh aktivitas organisasi perusahaan terpusat sehingga pengambilan keputusan lebih mudah.
Perencanaan dan pengembangan organisasi perusahaan lebih terintegrasi.
Menghasilkan strategi yang konsisten dalam organisasi.Memudahkan koordinasi dan kendali manajerial.
Meningkatkan penghematan ekonomi dan mengurangi biaya berlebih bagi perusahaan.
Mampu meningkatkan spesialisasi.
Mempercepat pembuatan keputusan perusahaan.
E. Sistem Pembukuan Wajib Pajak
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan: 1. Wajib Pajak (WP) Badan; 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
F.
Jenis Sistem Pembukuan Wajib Pajak
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi, misalnya stelsel
pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan atau metode penyusutan dan amortisasi. Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai, termasuk pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT) dan Real Estate. Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai, penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran karena dalam penggunaannya harus memperhatikan syarat-syarat tertentu.
G. Piutang
Piutang adalah salah satu jenis transaksi akuntansi yang mengurusi penagihan konsumen yang berhutang pada seseorang, suatu perusahaan, atau suatu organisasi untuk barang dan layanan yang telah diberikan pada konsumen tersebut. Pada sebagian besar entitas bisnis, hal ini biasanya dilakukan dengan membuat tagihan dan mengirimkan tagihan tersebut kepada konsumen yang akan dibayar dalam suatu tenggat waktu yang disebut termin kredit atau pembayaran. Piutang juga disajikan dalam keuangan negara sejak penerapan sistem akuntansi berbasis akrual pada pelaporan keuangan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
H. Metode Pengakuan Piutang Tak Tertagih
Ada dua metode dalam melakukan pengakuan Piutang tak tertagih, yaitu Metode Penghapusan (write-off) dan Metode Penyisihan (Pencadangan) - Bad debt allowance. 1.
Metode Penghapusan Piutang (Write-off) Metode ini langsung menghapus piutang yang dinilai tidak dapat tertagih lagi, yaitu dengan langsung membebankan piutang yang dihapus dan mengkreditkan Piutang tersebut.
Contoh: Manajemen Perusahaan menghapus Piutang Usahanya sebesar 1.000.000 karena sudah benar-benar tidak dapat tertagih lagi. Maka jurnalnya adalah: Beban Penghapusan Piutang
1.000.000
Piutang
1.000.000
Untuk melakukan ini Perusahaan harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh undangundang Pajak Penghasilan (UU No.36 tahun 2008) Metode penghapusan langsung piutang tak tertagih dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk di antaranya adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh. Sebagai ketentuan pelaksanaan dari Pasal 6 Ayat (1) huruf h ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010.
2.
Metode Cadangan Piutang ( Bad debt allowance) Metode ini dilakukan dengan cara membentuk cadangan atas piutang yang diperkirakan tidak akan tertagih. Berbeda dengan metode penghapusan piutang langsung, metode ini tidak langsung "membuang" piutang yang diperkirakan tidak tertagih tersebut. Dengan metode ini maka di laporan keuangan akan muncul saldo Cadangan Kerugian Piutang, biasanya disajikan dengan angka minus di bawah Piutang Usaha, atau bisa juga disajikan secara net-off dengan Piutang Usaha. Contoh: Manajemen mencadangkan Piutang Usaha sebesar 1.000.000 atas Piutang Usaha yang kemungkinan besar tidak dapat tertagih lagi. Jurnalnya yaitu sebagai berikut. Beban Cadangan Piutang Tak Tertagih
1.000.000
Cadangan Piutang Tak Tertagih
1.000.000
Dalam menentukan besaran pencadangan piutang, manajemen memiliki beberapa cara antara lain:
Persentase penjualan, dari pengalaman yang dimiliki perusahaan biasanya mereka memiliki persentase atas piutang usaha yang tidak tertagih.
Analisa Umur, cara ini dilakukan dengan menganalisa umur dari masing-masing Piutang. Manajemen biasanya membuat batasan untuk umur piutang. Misal: Perusahaan akan mencadangkan Piutang yang berumur lebih dari 2 tahun.
Penghapusan Piutang yang di cadangkan, Misal dari yang dicadangkan sebesar 1.000.000, ada piutang sebesar 400.000 yang benar-benar tidak tertagih dan harus dihapus, jurnal yang dibuat: Cadangan Piutang Tak Tertagih Piutang
I.
400.000 400.000
Piutang Dalam Undang Undang Perpajakan
Dalam hukum positif Indonesia, hal-hal terkait piutang tak tertagih diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang berbunyi,“piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu)
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses).” Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sebagai berikut : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan
utang
antara
kreditur
dan
debitur
yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut dijelaskan: “Piutang yang nyatanyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak (red. Kreditur) telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir, misalnya melakukan somasi secara patut kepada Debitur, mengadakan pertemuan untuk melakukan penyelesaianutang piutang dengan Debitur, dan upaya maksimal lainnya.” Secara spesifik, konsekuensi/dampak hukum yang muncul akibat dipergunakannya ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh (unsur butir 4) di atas adalah sebagai berikut: Utang Debitur Lunas, berlaku ketentuan Pasal 1439 KUH Perdata yang pada intinya menggaris bawahi bahwa,” Pembebasan utang adalah suatu perikatan yang menyatakan bahwa kreditur dengan SUKARELA membebaskan debitur dari segala kewajiban utangnya.” Pembebasan utang tersebut berakibat bahwa Debitur mendapatkan keuntungan karena utangnya lunas sehingga mewajibkan Debitur untuk membayar kewajiban perpajakannya (Pasal 4 ayat [1] huruf k UU PPh);[3] Piutang Kreditur yang tidak bisa ditagih tersebut bergeser menjadi Biaya dalam laporan laba rugi Kreditur (red. Biaya Piutang Tak Tertagih) yang menjadi faktor pengurang terhadap penghasilan kena pajak (taxable income) bagi Kreditur.
J.
Contoh Kesalahan Melakukan Pembukuan Oleh Staf Akuntansi
Kasus Kredit Macet BRI Cabang Jambi 2010 Kredit Macet Hingga Rp. 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat.Seorang akuntan publik yang menyusun laporan keuangan Raden Motor yang bertujuan mendapatkan hutang atau pinjaman modal senilai Rp. 52 miliar dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Jambi pada tahun 2009 diduga terlibat dalam kasus korupsi kredit macet. Terungkapnya hal ini setelah Kejati Provinsi Jambi mengungkap kasus tersebut pada kredit macet yang digunakan untuk pengembangan bisnis dibidang otomotif tersebut. Fitri Susanti, yang merupakan kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI Cabang Jambi yang terlibat kasus tersebut, Selasa [18/5/2010] menyatakan, setelah klien-nya diperiksa dan dicocokkan keterangannya dengan para saksi-saksi, terungkap adaa dugaan keterlibatan dari Biasa Sitepu yang adalah sebagai akuntan publik pada kasus ini.Hasil pemeriksaan yang kemudian dikonfrontir keterangan tersangka dengan para saksi Biasa Sitepu, terungkap ada terjadi kesalahan dalam pelaporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam pengajuan pinjaman modal ke BRI Cabang Jambi.Ada 4 aktivitas data pada laporan keuangan tersebut yang tidak disajikan dalam laporan oleh akuntan publik sehingga terjadi kesalahan dalam proses kreditnya dan ditemukan dugaan korupsi-nya“Ada 4 aktivitas laporan keuangan Raden Motor yang tidak dimasukan kedalam laporan keuangan yang diajukan ke Bank BRI, hingga menjadi sebuah temuan serta kejanggalan dari pihak kejaksaan untuk mengungkap kasus kredit macet ini.” tegas Fitra. Keterangan serta fakta tsb. terungkap setelah tersangka Effendi Syam, diperiksa dan dibandingkan keterangannya dengan keterangan saksi Biasa Sitepu yang berperan sebagai akuntan publik dalam kasus ini di Kejati Jambi. Seharusmya data-data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan harus lengkap, tetapi didalam laporan keuangan yang diberikan oleh tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan RadenMotor ada data-data yang diduga tidak disajikan dengan seharusnya dan tidak lengkap oleh akuntn publik.Tersangka Effendi Syam berharap penyidik di Kejati Jambi bisa melaksanakan pemeriksaan dan mengungkap kasus secara adil dan menetapkan pihak pihak yang juga terlibat dalam kasus tersebut, sehingga semuanya terungkap. Sementara itu, penyidik Kejaksaan masih belum mau berkomentar lebih banyak atas temuan tersebut.Kasus kredit macet itu terungkap, setelah pihak kejaksaan menerima laporan tentang adanya penyalah-gunaan kredit yang diajukan oleh tersangka Zein Muhamad sebagai pemilik Raden Motor. Sementara ini pihak Kejati Jambi masih menetapkan 2 tersangka, yaitu Zein Muhamad sebagai pemilik Raden Motor
yang mengajukan kredit dan Effedi Syam dari pihak BRI cabang jambi sebagai pejabat yang menilai pengajuan sebuah kredit.
K. Biaya Entertainment
Biaya entertainment merupakanbiaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) sepanjang ada hubungan dengan kegiatan wajib pajak dan dibuatkan daftar nominatifnya. Dengan demikian biaya entertainment yang tidak dilengkapi dengan daftar nominatifny amerupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan. Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya sepanjang untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008. Contoh Biaya "entertainment", representasi, jamuan dansejenisnya adalah jamuan makan untuk relasi bisnis. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil). Bagi Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan atau PPh Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan berupa daftar nominatif yang berisi: 1. Nomor urut. 2. Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. 3. Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. 4. Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. 5. Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan. 6. Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas berisi: nama posisi, nama perusahaan, dan jenis usaha.