MODEL-MODEL ANALISIS KEBIJAKAN KEBIJAKAN PUBLIK PUBLIK
Suatu Suatu kebijak kebijakan an merupa merupakan kan arah tindak tindakan an yang yang mempun mempunyai yai tujuan tujuan yang yang diambil seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Yang paling penting adalah manfaat yang dapat diperoleh dalam mencari ”alat” ”alat” untuk untuk memuda memudahka hkan n kita kita dalam dalam mengka mengkaji ji kebija kebijakan kan publik publik.. Model-m Model-mode odell analisis digunakan untuk mengenali proses pembentukan kebijakan publik. Masingmasing model digunakan secara konsisten guna mencapai pemahaman atas penjelasan yang diharapkan. Model-model analisis ini dapat digunakan untuk mengenali pola suatu kajian kebijakan publik. Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, antara lain: 1. Kebija Kebijakan kan merupak merupakan an proses proses yang komplek kompleks. s. Oleh karena karena itu, itu, sifat sifat model yang yang menyed menyederh erhana anakan kan realita realitass akan akan sangat sangat memban membantu tu dalam dalam memaha memahami mi real realit itas as yang yang komp komple leks ks ters terseb ebut ut.. Seba Sebaga gaii cont contoh oh,, mode modell impl implem emen entas tasii kebijakan kebijakan akan mempermud mempermudah ah untuk melihat variabel-variabel variabel-variabel apa saja yang berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan. 2. Sifat Sifat alamiah alamiah manusia manusia yang tidak tidak mampu memaha memahami mi realitas realitas yang komplek komplekss tanpa tanpa menyed menyederh erhana anakan kannya nya terlebi terlebih h dahulu dahulu,, sehing sehingga ga peran peran model model dalam dalam menjelaskan kebijakan publik akan semakin berguna.
Dibawa Dibawah h ini merupa merupakan kan penjab penjabara aran-pe n-penja njabar baran an dari dari model-m model-mode odell yang yang diguna digunakan kan dalam dalam analis analisis is kebijak kebijakan an publik publik berdas berdasark arkan an penjela penjelasan san klassi klassik k dan kontemporer.
Model-model menurut Penjelasan Klassik
Model Kelembagaan
Struktur-s Struktur-struktu trukturr dan lembaga-lemba lembaga-lembaga ga pemerintah pemerintah telah lama merupakan merupakan fokus fokus yang yang pentin penting g dari dari ilmu ilmu politi politik. k. Lembag Lembaga-le a-lemba mbaga ga pemerin pemerintah tahan an ataupu ataupun n lemb lembag aga-l a-lem emba baga ga yang yang beru beruru rusa san n deng dengan an peme pemeri rint ntah ahan an menc mencak akup up parl parlem emen en,, pemerintah pusat, pemerintah daerah, kehakiman, kejaksaan kepolisian, birokrasi sipil dan militer termasuk termasuk partai-partai partai-partai politik. Model studi studi kelembagaan kelembagaan menelaah peran
lembaga-lembaga di atas. Kebijakan publik dibuat oleh parlemen serta kemudian diterapkan oleh lembaga-lembaga yang berfungsi menerapkannya. Thomas R Dye menggambarkan bahwa lembaga-lembaga pemerintah berfungsi menjalankan kebijakan-kebijakan publik. Kebijakan publik bersifat wajib untuk dipatuhi oleh rakyat, dan pemerintah bertugas untuk menjamin pelaksanaannya. Kebijakan yang dibuat oleh lembaga keagamaan, organisasi profesi atau apapun mungkin sangat penting untuk diperhatikan, namun tidak mengandung kewajiban secara paksa padanya. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentik pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan. Kelemahan dari model ini yakni model lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan publik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, seperti struktur, organisasi, kewajiban, dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara struktur dan kebijkan publik secara luas tidak diselidiki.
Model Proses
Model ini menunjukkan bahwa terciptanya kebijakan-kebijakan publik adalah merupakan hasil dari suatu aktifitas politik. Rangkaian yang diamati di dalam proses pembentukan kebijakan publik adalah proses formulasi masalah, legitimasi atas kebijakan, implementasi kebijakan dalam arti setelah disahkannya suatu kebijakan, serta kemudian evaluasi atas pelaksanaan kebijakan publik. Model ini mengutamakan perhatian pada bagaimana proses pembentukan kebijakan publik itu berlangsung, dan bukan pada apa yang menjadi isi dari suatu kebijakan publik tersebut. Namun demikian, dengan model ini kita akan memperoleh
pemahaman bahwa proses-proses sangat berpotensi memengaruhi isi dari suatu kebijakan publik tertentu. Model elite-massa
Di sebagian besar negara berkembang atau negara-negara Dunia Ketiga yang mendasarkan pada sistem otoriter, seperti misalnya Kuba, Korea Utara, dan Indonesia pada era Orde Baru, model elite merupakan model yang cukup baik untuk menjelaskan pembentukan kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara itu. Teori elite mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan, didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Intinya, kebijakan publik merupakan produk elite, yang merefleksikan nilainilai mereka untuk penguatan kepentingan-kepentingan mereka. Model elite-massa bertolak dari asumsi bahwa masyarakat dilihat dalam wujud struktur vertikal dan hanya berlapis dua. Lapisan atas disebut sebagai elit dan lapisan bawah disebut lapisan massa. Model elite-massa menggambarkan bahwa masyarakat terdiri dari kategori elite dan massa. Cara pandang yang melihat proses pembuatan kebijakan demikian ini bertolak dari asumsi bahwa kebijakan-kebijakan publik mengalir begitu saja dari elite yang selalu berusaha mempertahankan status quo. Mengapa kelompok elite ini berusaha memengaruhi setiap kebijakan publik ialah
(interests )
karena kepentingan-kepentingan
kelompok elit akan terganggu, atau situasi yang sudah mapan akan
terguncang. Dari sisi massa sendiri, model analisis ini menjelaskan bahwa rakyat atau massa tidak memiliki akses terhadap informasi. Jadi model ini menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan yang kemudian mengatur dan mengikat perilaku rakyat merupakan keinginan elit untuk mempertahankan status quo.
Model Kelompok
Menurut kontributor utama teoritik kelompok seperti Arthur Bentley, David Truman, Earl Latham memandang bahwa konsep kelompok disebut the ultimate
”real” of politics. Secara garis besar model ini menjelaskan pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh
tingkah laku atau keperntingan yang sama. Bila suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya
menggunakan
politik
dan
pembentukan
kebijakan
publik
untuk
mempertahankan kepentingan kelompok. Dalam kepentingan
rangka
mempengaruhi
kebijakan
barangkali akan menggunakan
publik
kelompok-kelompok
berbagai macam
sumber untuk
mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti misalnnya uang, prestise, informasi, perhatian media massa, kepemimpinan dan keahlian-keahlian pengelolaan politik. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengrah kepada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun nonekonomis dan semakin jauh dari kepentingan kelompok-kelompok kecil. Dalam konteks proses terwujudnya suatu keputusan tertentu dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara dapat dianalis dari hal bagaimana kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan bermain dengan lobby-lobby politik mereka.
Model Rasionalis: Kebijakan sebagai Pencapaian Tujuan Rasional
Suatu kebijakan dinilai merupakan refleksi dari rasionalitas. Rasionalitas ialah adanya tujuan ( goals ) yang menjadi rujukan dari setiap perilaku. Rasionalitas berkonotasi ’melakukan pilihan’ (to choose) antara sejumlah alternatif penyelesaian atau tindakan yang pantas dilakukan. Dalam perspektif rasionalitas, bilamana manfaat dinilai sudah lebih besar dari pengorbanan (biaya), maka keputusan tertentu dapat dipilih. Suatu kebijakan yang didasarkan pada rasionalitas berpotensi mengabaikan aspek-aspek yang dipandang merugikan. Asumsi yang digunakan model rasional adalah bahwa pembuat keputusan akan mampu membuat perbandingan alternatifalternatif berdasarkan biaya dan keuntungan secara tepat serta preferensi masyarakat pun harus dapat diketauhi dan dinilai. Namun, para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan-kebutuhan, hambatan-hambatan, dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan-keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi. Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus: 1. Mengetahui semua keinginan masyarakat 2. Mengetahui semua alternatif yang tersedia
3. Mengetahui semua konsekuensi alternatif 4. Menghitung rasio pencapaian nilai sosial pada setiap alternatif 5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien
Sebagai contoh kebijakan yaitu program Bantuan langsung tunai(BLT). Program ini merupakan salah satu perwujudan dari model rasionalis karena alokasi dana untuk BLT berasal dari dikuranginya subsidi BBM. Alokasi dana untuk subsidi BBM dianggap tidak tepat sasaran karena dinikmati kebanyakan oleh kalangan menegah-keatas dengan kendaraan mewahnya. Dengan adanya BLT sebagai alternatif kebijakan diharapkan membuat alokasi dana untuk membantu ekonomi rakyat akan tepat sasaran sehingga ekonomi masyarakat menengah-kebawah akan lebih maju. Secara rasional jika kita mengalokasikan dana ke program BLT lebih baik ketimbang untuk mensubsidi BBM, Kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akan lebih cepat tercapai. Kebijakan model demikian ini ditandai dengan aksi-aksi dramatis di dalam penerapannya. Kegagalan dari kebijakan model ini antara lain karena (a) belum tentu semua nilai yang didambakan masyarakat telah dijajagi dengan lengkap; (b). Belum tentu alternatif tindakan yang paling sesuai dengan nilai-nilai sudah dieksplor dengan baik; (c). Belum tentu dampak atau akibat dari penerapan kebijakan telah diantisipasi dengan baik; (d). Belum tentu pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat bilamana kebijakan diterapkan telah diperhitungkan dengan baik, serta (e). Belum tentu dilakukan telaah mendalam atas alternatif kebijakan yang dinilai paling baik. Model Inkrementalis: Kebijakan sebagai variasi
Model inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik dari model rasionalis. Penjelasan dengan model inkrementalis melihat proses pembentukan kebijakan sebagai
proses
yang
merupakan
kesinambungan
dari
kebijakan-kebijakan
sebelumnya. Model ini dapat dikatakan model pragmatis/praktis yang mencoba untuk menyesuaikan dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralism dan demokrasi, maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia. Pendekatan ini biasa dipakai ketika pengambil kebijakan mengalami keterbatasan waktu, informasi, dan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan. Sementara itu, pengambil kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul disekelilingnya. Model ini
pun menggambarkan secara actual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Selain itu, model inkrementalis menilai alternatif secara tidak komprehensif tapi memusatkan perhatian hanya pada kebijakan yang berbeda secara incremental
sehingga
hanya
sejumlah
kecil
alternatif
kebijakan
yang
dipertimbangkan. Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial,
fragmentary , dan sebagian besar remedial sehingga dalam model ini tidak hanya ada satu keputusan atau keputusan yang benar untuk suatu masalah. Kebijakan yang dipandang sebagai wujud dari model ini merupakan pilihan kebijakan yang harus ditempuh, sementara dihadapi masalah keterbatasan biaya, keterbatasan pemahaman atas masalah, serta keterbatasan waktu untuk mengatasi masalah. Bukan hanya alasan kebijakan tetapi keberhasilan kebijakan masa lalu menciptakan rasa puas diri yang berkepanjangan. Sedangkan kelemahan dari kebijakan model ini ialah seringkali ketika sekadar meneruskan atau meningkatkan program-program yang sebelumnya, tidak lagi mengatasi masalah publik yang sudah mengalami perubahan. Kebijakankebijakan inkremental seringkali diterapkan pada program-program pendidikan. Sejumlah metoda pendidikan yang diterapkan ternyata tidak lagi dapat menghasilkan kapasitas yang diperlukan, bahkan sekadar menghasilkan kapasitas yang sudah tidak diperlukan lagi.
Model Teori Permainan
Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah, pertama, formulasi kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang intensif. Kedua, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke independen. Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif di dalam formulasi kebijakan. Konsep kunci dari teori permainan adalah strategi dimana konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Inti dari teori permainan adalah mengakomodasikan kenyataan yang paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintahan, masyarakat tidak hidup dalam kevakuman. Ketika mengambil sebuah keputusan, maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan yang dibuat.
Model Sistem
Menurut Paine dan Naumes, model ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembentukan kebijakan dan disusun hanya berasal dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembentukan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembentuk kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembentukan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara para pembentuk kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk inputs dan outputs . Menurut model sistem, kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas sistem politik. Sistem politik
adalah sekumpulan struktur dan
proses yang saling
berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Outputs dari sistem politik merupakan alokasi-alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik. Pada dasarnya terdapat 3 komponen utama dalam pendekatan sistem, yaitu: input , proses,
output . Selanjutnya perubahan lingkungan akan mempengaruhi demands dan support dari masyarakat karena masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan (demands) dan dukungan ( supports).
Model-model menurut Penjelasan Kontemporer Teori Pilihan rasional: Public Choice
Studi-studi Public choice bertolak dari ketidak-puasan mengapa pelayanan publik, yang seharusnya dipenuhi oleh negara tetapi justru terabaikan atau dengan kata lain, pemerintah bukannya memberikan pelayanan yang baik tetapi sibuk dengan urusan mereka
sendiri. Penggunaan istilah public choice bermakna bagaimana
hakikat pembuatan keputusan di sektor publik, sebagai ’pilihan’ oleh publik, sedangkan di sektor swasta ( private) setiap pilihan adalah pilihan individu. Oleh sebab itu perilaku pembuatan kebijakan publik juga dapat dilihat sebagai perilaku (pilihan) para aktor pada konteks transaksi di pasar.
Howlett dan Ramesh (2004)
mengatakan bahwa teori-teori public choice
bertolak dari asumsi bahwa aktor kebijakan bertindak ’rational’ sebagaimana layaknya perilaku para pihak dalam konteks ekonomi. Asumsi studi ini ialah bahwa perilaku para birokrat sama dengan perilaku para pelaku di dalam perekonomian, yang bekerja atas dasar kemanfaatan pribadi (self interest). Oleh sebab itu perilaku para birokrat dan politisi merupakan fokus perhatian studi-studi public choice. Mazhab public choice mengungkapkan bahwa di dalam praktik, setiap orang akan cenderung mencari manfaat tertinggi (rational utility maximizers ) di dalam setiap kesempatan. Tema sentral dari kerangka pemikiran public choice adalah bahwa institusi-institusi dipengaruhi oleh perilaku oknum yang memperdaya lembaga demi kemanfaatan pribadinya atas pengorbanan warga masyarakat. Kajian-kajian public
choice bertolak dari kerangka pemikiran bahwa peran negara dalam perekonomian harus dibatasi. Peran sentral negara ialah mendorong terjaminnya semua bentuk hak-hak kepemilikan (property rights)
rakyat, serta menjalankan perekonomian yang
dijalankan oleh masyarakat luas, termasuk eksistensi dunia usaha. Dengan cara itu maka kekuatan pasar (property rights market force) akan bekerja untuk menjamin berlangsungnya produksi barang dan jasa yang efisien, yang berguna untuk keseluruhan anggota masyarakat. Dari sudut pandang pertukaran, studi public choice menjelaskan bahwa para pelaku di parlemen mempertukarkan sesuatu yang dimilikinya dengan pihak lain, guna memenangkan dukungan para konstituen masingmasing.
Jadi yang sentral di dalam kajian public choice ialah bahwa perilaku
birokrasi dibangkitkan oleh adanya kepentingan rasional dari para aktor-aktor. Dalam kajian yang beranjak dari aplikasi premis-premis pada teori ekonomi mikro dijelaskan pula bagaimana pejabat terus-menerus memperbesar kapasitas biro atau departemen yang dipimpinnya namun pada dasarnya bukanlah karena perlu meningkatkan pelayanan kepada publik, tetapi untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari diperolehnya peningkatan anggaran. Dalam konteks metodologi, Hawlett and Ramesh menunjukkan bahwa teori-teori public choice menggunakan pendekatan deduktif dengan obyek analisis para aktor pelaku dalam pembuatan kebijakan publik.
Pendekatan Ekonomi Politik
Perkembangan ekonomi politik ditandai dengan dua asumsi yang berbeda.
Pertama, bahwa ekonomi dan politik merupakan dua kajian yang terpisah. Kedua,
bahwa disiplin ekonomi dan ilmu politik merupakan disiplin terintegrasi. Pemahaman tradisional atas ekonomi-politik ialah bahwa disiplin ini merupakan cabang dari seni pemerintahan. Dengan pemahaman demikian ini maka ekonomi politik dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengenali hakikat kesejahteraan negara. Ekonomi politik modern ditandai dengan pendekatan metodologis. Karakteristik spesifik dari ekonomi politik modern ialah upaya untuk menyajikan argumentasi-argumentasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Adam Smith mendefinisikan bahwa ekonomi politik merupakan upaya untuk menyejahterakan ekonomi negara (The Wealth of Nations , 1776). Ia memerlihatkan bahwa kemerdekaan (liberty ) merupakan sesuatu yang mendasar bagi pertumbuhan perekonomian. Proses penentuan harga yang merupakan penjajagan antara dua pihak mengarah pada adanya regulasi mandiri ( the self-regulating market ) yang kemudian secara bersamaan akan memenuhi kepentingan individual ( self-interest). Namun demikian, Adam Smith mengatakan perkembangan berikutnya adalah mustahil tanpa dua hal, yakni perluasan arena pasar dan peran negara ( role of the state ) yang tepat. Adam Smith menekankan bahwa negara ( state) tidak melakukan intervensi atas bekerjanya mekanisme pasar. Adapun penjelasan-penjelasan ekonomi politik yang berpengaruh pada studi-studi kebijakan publik antara lain adalah bahwa kelas-kelas sosial
diasumsikan tersusun berdasarkan pembagian kerja ( division of labour ).
Pembagian kerja mengarah pada adanya pengutamaan-pengutamaan atas dasar kepentingan masing-masing pihak. Konotasi ideologis selalu membayangi penjelasan-penjelasan ekonomi politik ( political economy). Sebagai upaya untuk menghadang tudingan itu berkembanglah bidang yang disebut sebagai political economics. Studi ini memusatkan perhatian pada peran para politisi di dalam membentuk dan mewujudkan kebijakan-kebijakan perekonomian, serta menganalisis
dampak dari kebijakan-kebijakan ekonomi
terhadap popularitas partai dan tokoh politik. Pada gilirannya dianalisis pula dampak kebijakan-kebijakan perekonomian terhadap suksesi pemerintahan secara demokratis dalam proses pemilihan umum. Pendekatan-pendekatan ekonomi politik modern ini selalu diperlihatkan oleh standar
adanya konstruksi penjelasan yang terkait erat dengan
penelitian sosial, yakni didasarkan pada adanya hipotesis dan model
ekonometrika (econometrics ). Ke semua perangkat analisis ini harus bersifat logis dan dapat diuji atau difalsifikasi ( falsifiability ).
Teori ekonomi politik modern dapat
terlihat dari penjelasan mengenai adanya kecenderungan pemerintah yang berkuasa menjelang pemilihan umum untuk menerapkan kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan ekonomi atau perluasan kesempatan kerja. Kendatipun ekonomi politik berhasil memberi sumbangan yang tidak kecil pada penjelasan studi-studi kebijakan publik, namun perlu dicatat bahwa konsep-konsep ekonomi politik lebih merupakan disiplin reflektif (reflexive discipline ) yakni mengamati dan kemudian menganalis peran negara di dalam perekonomian. Pluralis sebagai Model Distribusi Kekuasaan
Teori pluralis merupakan salah satu teori yang bertujuan untuk mengenal lebih jauh perilaku kekuasaan ( power ) dan ditribusinya. Kerangka teori pluralis dibagi menjadi dua, yakni teori pluralis klassik ( classic pluralism ) dan teori pluralis modern (modern Pluralism ). Pluralisme klasik adalah argumentasi bahwa politik dan pembentukan keputusan mengambil tempat pada kerangka pemerintahan, namun demikian kelompokkelompok non pemerintah dapat secara aktif bergerak serta kemudian memengaruhi kebijakan-kebijakan publik dengan mengandalkan potensi yang mereka miliki. Esensi pluralisme klassik ialah bagaimana perilaku kelompok-kelompok kepentingan yang berusaha memengaruhi pemerintah dan lembaga-lembaga yang secara formal menjadi pembuat kebijakan publik. Permasalahan atau pertanyaan sentral yang ditelusuri jawabannya dalam teori pluralisme klassik ialah
bagaimanakah sesungguhnya
distribusi kekuasaan dalam konteks demokrasi modern. Penjelasan pluralisme klassik memerlihatkan
bahwa
kelompok-kelompok
kepentingan
selalu
berusaha
menempatkan kepentingan mereka di dalam muatan-muatan kebijakan publik. Menurut perspektif teori pluralis, proses formulasi kebijakan berlangsung pada suatu arena yang menyertakan banyak aktor. Dalam situasi demikian, bilamana nilainilai demokratis yang menjadi panduan, maka tidak akan terdapat satu faksi politikpun yang cukup kuat untuk mendominasi kalangan lainnya. Kebijakan publik merupakan kompromi (compromises) antara sejumlah kelompok kepentingan (interests group ). Jadi, masing-masing kelompok kepentingan akan selalu berusaha melakukan kompromi.
Neo-pluralism merupakan koreksi atas konsep-konsep pluralis, yang melihat pluralisme klassik terlalu simplistis. Menurut neo-pluralis, kendatipun betul bahwa selalu berlangsung persaingan di antara kelompok-kelompok kepentingan untuk memengaruhi kebijakan, namun pemerintah jangan dilihat berposisi sebagai penjaga garis yang melakukan mediasi dan membantu penyesuaian atas persaingan di antara kelompok-kelompok kepentingan-kepentingan yang tengah berusaha merebut peluang untuk mendikte agenda politik dalam kebijakan publik. Di dalam pandangan neo pluralis aktor-aktor (dengan departemen pemerintahan yang berbeda)
juga berusaha
menjaga kepentingan mereka sendiri. Lebih jauh neo-pluralis menunjukkan bahwa aturan-aturan main yang dibangun atas dasar budaya politik tidak selalu efektif menopang tercapainya keseimbangan. Keragaman budaya menurut neo-pluralis adalah karena adanya ketimpangan distribusi kekuasaan sosio-ekonomi. Neo-pluralis menampilkan gagasan-gagasan yang lebih imperatif dengan tujuan untuk memberi apresiasi yang lebih tegas dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan.
Winarno, Budi. 2007. “Kebijakan Publik Teori dan Proses”. Yogyakarta: Media Pressindo