Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan ridhoNya lah kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Pajak Penjualan atas Barang Mewah” yang merupakan tugas kedua dari mata kuliah Pajak Penjualan Barang Mewah dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PPnBM dan PTLL). Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Richard Richard Eddy atas bimbingan dan bantuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berisi tentang : (1) Pengertian Pengertian fasilitas fasilitas di bidang PPN (2) Perbedaan fasilitas PPN terutang tidak tidak dipungut dan dibebaskan dibebaskan dari pengenaan PPN (3) Objek PPN yang mendapat fasilitas di bidang PPN
Kami harapkan makalah yang telah kami susun dapat memberikan manfaat bagi pembaca makalah ini, khususnya kami sebagai bahan pembelajaraan materi pertama dalama mata kuliah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan.
Tangerang Selatan, 19 Maret Maret 2012
Tim Penyusun
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Tax Treaty Pendahuluan Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP (gross domestic product), yang menjadi salah satu indikator kemakmuran suatu negara. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hambatan perdagangan internasional. Selain itu, liberalisasi berdampak pada mobilitas sumber daya manusia baik secara permanen maupun temporer. Setiap orang dapat mencari lapangan pekerjaan di negara lain dengan alasan mencari tingkat hidup yang lebih baik, kondisi kerja dan standar yang lebih tinggi dan alasan alasan lainnya. Perkembangan kegiatan ekonomi di era globalisasi yang telah melewati batas-batas yurisdiksi negara, menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Setiap negara mempunyai kedaulatan dalam memajaki baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang ada di negaranya. Prinsip tersebut mempengaruhi perlakuan perpajakan terhadap subjek maupun objek pajak luar negeri (Surahmat, 2001). Untuk memberikan gambaran, berikut ini adalah beberapa asas pemajakan yang dikemukakan oleh Prof Rochmat Sumintro : a. Asas domisili b. Asas sumber c. Asas kewarganegaraan Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut di masing-masing negara menjadi cikal bakal munculnya pajak berganda internasional (international double taxation). Pajak Internasional pada dasarnya berdasarkan pada ketentuan pemajakan domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain pada ketentuan domestik, pajak internasional juga berdasarkan pada perjanjian perpajakan dan praktek perpajakan global (Gunadi, 1997). Dengan kata lain pajak internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterima dari Indonesia dan bagaimana
pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan berdasarkan UU domestik dan UU negara lain serta perjanjian perpajakan (tax treaty). Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengertian perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum itnernasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Unsur-unsur perjanjian internasional berdasarkan pengertian konvensi wina adalah sebagai berikut: 1. Suatu perjanjian internasional 2. Dibuat oleh negara-negara 3. Dalam bentuk tertulis 4. Didasarkan pada hukum internasional Sesuai dengan pasal 18 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, suatu perjanjian internasional berakhir jika: 1. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian 2. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai 3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian 4. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian 5. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama 6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional 7. Objek perjanjian hilang 8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional Penjelasan pasal 18 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, suatu perjanjian internasional dapat berakhir apabila salah satu butir dalam pasal ini sudah terjadi. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian internasional akan berahir pada saat perjanjian internasional tersebut berakhir. “hilangnya objek perjanjian” sebagaimana dimaksud pada butir (g) pasal ini dapat terjadi apabila objek dari perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi. “kepentingan nasional” sebagaiman dimaksud pada butir (h) pasal ini harus diartikan sebagai kepentingan umum (public interest), perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yuridiksi kedaulatan Republik Indonesia.
Pengertian Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) adalah perjanjian perpajakan antara dua negara atau lebih yang dibuat dengan tujuan meminimalisir terjadinya penghindaran pajak dan pajak berganda yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pada pihak persetujuan. Dengan adanya perjanjian perpajakan ini maka setiap negara yang telah memiliki tax treaty dapat menentukan perlakuan pajak terhadap transaksi atau kegiatan yang menimbulkan timbulnya kewajiban perpajakan yang terjadi di negara mereka masing-masing yang berhubungan dengan negara lainnya. Perjanjian ini dianggap sah dan dapat dijalankan oleh penduduk antar negara bila disahkan atau badan yang berwenang di negaranya, dalam hal ini untuk Indonesia bisa Presiden atau DPR. Pengesahan tersebut dikenal dengan istilah ratifikasi. Perjanjian ini berakhir bila waktu berlakunya perjanjian ini telah berakhir atau bila salah satu negara memberikan pemberitahuan bahwa perjanjian ini sudah tidak berlaku bagi negaranya. Tax Treaty ini mengikat suatu negara dengan negara lainnya dalam hal perlakuan pajak, oleh karena itu di dalam perjanjian ini akan selalu berisi pasalpasal yang terdapat dalam sebuah Tax Treaty dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan Tax Treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran dan bagian yang mengatur hal hal lainnya.
Dasar Hukum Di Indonesia Tax Treaty diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan. Undang-Undang ini diubah terakhir oleh UndangUndang nomor 36 tahun 2008. Pasal 32A ini berbunyi “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan penghindaran pajak”. Kedudukan Tax Treaty adalah lex specialist terhadap Undang-Undang domestic. Artinya, jika ada ketentuan dalam Undang-Undang domestik yang bertentangan dengan Tax Treaty maka Tax Treaty-lah yang akan dimenangkan Sementara itu dalam pembentukan Tax Treaty ini seperti perundingan, ratifikasi dan pemberlakuannya tunduk kepada Undang-Undang nomor 24 tahun 2000 pasal 4 ayat 1 tentang perjanjian Internasional yang berbunyi “ Peme rintah
Republik Indonesia membuat perjanjian Internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”.
Tujuan Tax Treaty Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda mempunyai tujuan secara garis besar yaitu : 1. memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara : a) menghindarkan pengenaan pajak berganda b) memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas beberapa bentuk penghasilan tertentu
2. merupakan alat bagi kedua negara pihak persetujuan untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya sehingga dapat mengurangi adanya praktek penghindaran pajak, misalnya dengan memungkinkan masingmasing negara pihak persetujuan untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama atau mengadakan mutual agreement.
Manfaat dan tujuan lain Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua manfaat utama yaitu pertama menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Di samping dua manfaat utama di atas, terdapat pula tujuan lain yang sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengn negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu negara. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak, memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar negara. 1.
Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)
Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yusrisdiksi perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini timbul karena dua yusrisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama. Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A dan negara B. Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual residence. Untuk memecahkan masalah-masalah seperti di atas akibat penerapan ketentuan perpajakan dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ini nantinya akan diatur tentang hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Dalam kasus dual residence, suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda akan membuat ketentuan sedemikian sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal 2 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda. Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga dalam suatu transasksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.
2.
Mencegah Pengelakan Pajak
Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan
perpajakan. Apabila penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan, maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun demikian, jika penghindaran ini dilakukan dengan ”mengakali” peraturan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini perlu dipermasalahkan. Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax rate juga merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini. Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi yang semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty. Pendirian conduit company, paper box company atau special purpose company biasanya digunakan untuk mendapatkan manfaat suaty tax treaty.
perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) yang di bentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax heaven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung. Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).
Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal. 3.
Pertukaran Informasi
Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tinda pidana perpajakan.
Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda OECD Model, ketentuan tentang pertukaran informasi dimuat dalam Pasal 26. Sementara itu aturan internal di Indonesia untuk melakukan proses pertukaran informasi diatur dalam SE-61/PJ/2009.
Bentuk-Bentuk Perjanjian Sejarahnya OECD Model terbentuk adalah dimulai dengan EEC (europe economic community) dimana para ahli dari negara-negara industrialis pada saat itu, sedang mencari cara bagaimana untuk menghindari pajak berganda internasional, lembat laun, organisasi tersebut menjadi bentuk OECD yang ada sekarang, dan memilliki porsi besar untuk mengedepankan kepentingan mereka. Indonesia hingga saat ini tidak tergabung dalam OECD maupun UN model atau bahkan US Model, sehingga indonesia lebih flexible dalam menerapkan model yang di pilih sesuai dengan kepentingan dan kondisi yang ada. benar adanya bahwa UN Model menyediakan keuntungan yang paling adil bagi kedua negara, akan tetapi kita perlu melihat lagi kondisi yang ada sekarang. kondisi tersebut antara lain adalah:
1. kita belum memiliki pelobi-pelobi yang ulung untuk membawa negara maju unutk mau memasuki UN Model 2. Kondisi yang ada sekarang lebih mengedepankan Foreign Direct Investment, hal ini terkait dengan adanya heaven countries yang menawarkan banyak fasilitas, tentunya jika kita ingin bersaing dengan negara-negara tersebut, maka kita pun harus memuiliki sesuatu yang ditawarkan.
Perbedaan Model Tax Treaty OECD, UN dan US Untuk mengetahui perbedaan model Tax Treaty antara OECD, PBB dan Amerika Serikat pada dasarnya dapat dilihat dari sejarah yang melatarbelakangi pembentukan konvensi pajak internasional. Model OECD dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan volume perdagangan antar negara maju yang menimbulkan masalah pajak internasional. Sebagai organisasi yang beranggotakan negaranegara maju, penetapan persetujuan penghindaran pajak berganda sesuai dengan kepentingan negara-negara anggota. Lain halnya dengan United Nations, derasnya arus modal dari negara maju ke negara berkembang menimbulkan masalah pajak internasional. PBB berkewajiban untuk melindungi kepentingan negara berkembang dalam masalah perpajakan internasional. Berbeda dengan Amerika Serikat yang hanya berkepentingan untuk melindungi negaranya semata. Latar belakang tersebut menimbulkan perbedaan-perbedaan penting antara OECD model dengan UN model. OECD model dianggap diskriminatif dalam menyelesaikan masalah pajak internasional antara negara maju dengan negara berkembang karena dalam OECD model terdapat : hak eksklusif bagi negara domisili untuk memungut pajak atas penghasilanpenghasilan tertentu, seperti royalti, keuntungan penjualan saham dan sekuritas lain, pembayaran dana pensiun swasta, pembatasan hak memungut pajak dari negara sumber atas penghasilan-penghasilan tertentu, seperti dividen yang boleh dikenakan pajak hanya 5%, bunga hanya boleh dikenakan pajak oleh negara sumber sebesar 10%, keuntungan dari usaha hanya boleh dikenakan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) sedangkan untuk adanya BUT harus dipenuhi syarat-syarat tertentu yang cukup sulit untuk dipenuhi. 1.
Model OECD
OECD adalah organisasi internasional dari negara-negara industri yang berorientasi pada ekonomi pasar. Saat ini kurang lebih ada 29 negara yang menjadi anggotanya. Dalam sejarahnya, para anggota OECD telah secara intens membicarakan mengenai berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pajak, aliran data antar negara, dan hak-hak privacy. Di tahun 1997, sebuah dokumen hasil kajian berjudul “Emergence of Electronic Commerce” dihasilkan dan didistribusikan dalam momen konferensi internasional berjudul “Dismantling the Barriers to Global Electronic Commerce”. Hasil dari konferensi ini dijadikan sebagai dasar dari sebuah pertemuan resmi OECD Ministerial Conference di
tahun 1998 yang mengambil tema “A Borderless World – Realizing the Potential of Global Electronic Commerce”. Kelanjutan dari konferensi ini adalah disusunnya berbagai dokumen yang berisi usulan kebijakan-kebijakan yang kelak diimplementasikan oleh para anggota OECD. Satu hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa walaupun OECD hanya beranggotakan 29 negara, namun keseluruhan anggota ini merupakan pemain utama dalam perdagangan dunia. Dan berdasarkan pengalaman yang lampau, kerap kali hasil atau kebijakan dari OECD menjadi panutan bagi negara-negara non anggota lainnya, yang berarti pula bahwa naskah kerja e-commerce yang dihasilkan akan menjadi bahan dasar penyusunan kebijakan-kebijakan di masing-masing negara lain.
Ciri Tax Treaty model OEDC : 1. Hak pemajakan ada pada negara domisili sehingga negara sumber harus mengalah untuk tidak melakukan pemungutan pajak. 2. Apabila baik negara sumber maupun negara domisili diperbolehkan untuk menerapkan ketentuan pajak domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta kredit pajak atau pembebasan pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara sumber. 3. Biasanya dipakai oleh Negara-negara dengan perekonomian maju dimana memiliki perputaran transaksi ekonomi yang besar
2. Model UN Berbagai badan dibentuk oleh U.N. untuk mempelajari permasalahan yang ditimbulkan karena fenomena e-commerce. Sebagai contoh adalah The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang mengadopsi “Model Law on Electronic Commerce” di tahun 1996. Badan ini kemudian secara berturut-turut bertemu setahun sekali (1998-2000) untuk memperbaiki konsep kualitas aspek-aspek hukum dan regulasi yang berkaitan dengan e-commerce, termasuk di dalamnya prinsip-prinsip implementasi tanda tangan elektronik (elektronik signature) dan certification authorities. Badan lainnya adalah The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang pada tahun 1997 mengadakan konferensi internasional mengenai “Ethical, Legal, dan Social Aspects of Digital Information”. Sementara padan lainnya yaitu U.N. Commsission on Trade and Development (UNCTAD) telah pula berpartisipasi di tahun 1998 untuk mengajak berbagai negara membicarakan mengenai kesenjangan digital yang menimpa beberapa negara di dunia. Ciri Tax Treaty model UN :
1. Terdapat pembagian penerimaan pajak antara negara sumber dan negara domisili 2. Biasanya dipakai oleh negara-negara berkembang.
Struktur Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara negaranegara yang berdaulat sesuai dengan hukum internasional. Negara-negara yang membuatnya wajib memastikan bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda dapat diterapkan dalam hukum domestiknya. Terdapat dua aliran dalam menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda di dalam negeri: Monistic Principle dan Dualistic Principle
Monistic Principle: •
Hukum internasional dan Hukum nasional menjadi hukum domestik dan Hukum Nasional tunduk kepada Hukum Internasional (”doctrine of incorporation”)
•
Treaty yang telah disepakati dapat segera diberlakukan (”self executing”)
•
Treaty secara otomatis menjadi bagian hukum domestik
•
Tidak perlu diundang-undangkan
•
•
Negara-negara yang menerapkan, seperti: Perancis, Jepang, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, Switzerland. Beberapa negara mensyaratkan prosedur formal di tingkat eksekutif, contoh: Indonesia, Austria, Belgia, Jerman, USA.
Dualistic Principle:
Hukum internasional terpisah dari Hukum nasional Agar dapat diberlakukan Treaty harus dijadikan hukum domestik terlebih dulu melalui proses legislasi (”doctrine of transformation”) Beberapa negara yang menerapkan: Australia, Canada, Denmark, India, Israel, New Zealand, Norwegia, Swedia, UK
Kelebihan dan Kekurangan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda :
Setiap Tax Treaty (perjanjian perjanjian penghindaran pajak berganda) memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini dikarenakan kedua negara pembuat treaty masing-masing memiliki kepentingan dan kehendak yang tidak dapat dipaksakan. Isi perjanjian dalam Tax Treaty dipastikan berbeda-beda, karena keinginan setiap negara berbeda dan perjanjian baru bisa dijalankan jika telah terjadi kesepakatan bersama. Kelebihan perjanjian penghindaran pajak berganda : •
Menghindari Pengenaan atas Pajak Berganda
Menghindari Penggelapan Fiskal seperti penghindaran pajak (Tax Avoidance) dan pengelakan pajak (Tax Evasion) •
•
Memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak
•
Mekanisme pembagian hak pemajakan (taxing right)
•
Memperlancar transaksi ekonomi dan kerjasama antarnegara
•
Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP)
Kekurangan perjanjian penghindaran pajak berganda : Perjanjian penghindaran pajak berganda dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, seperti kemudahan pendirian perusahaan yang memungkinkan pendirian paper box company •
Pengusaha sering berusaha memanfaatkan perjanjian penghindaran pajak berganda yang memberikan tarif PPh Pasal 26 yang lebih rendah •
•
Treaty Shopping
•
Kelemahan Standard Operational and Procedures
•
Dual Residence Problem
•
Tax Treaty tidak diterapkan secara efektif
Kurang Efektif dan EfisiennyaMutual Agreement Procedures (MAP) yang ada •
•
Sulit menentukan Beneficial Owner
Metode penghindaran pajak berganda yang sering digunakan di kebanyakan negara adalah : 1. a)
Metode pembebasan/pengecualian Pembebasan subjek
Pembebasan ini umumnya dikenakan terhadap anggota perwakilan diplomatik, konsulat, dan organisasi internasional. Pembebasan ini biasanya dengan mempertimbangkan zas timbal balik (reprositas) Contoh : Mr John seorang duta besar perwakilan negara X ditempatkan dan bertugas di negara Y. Selama bertugas di negara Y , penghasilan Mr John berupa gaji dibayar oleh negaranya (negara X). Apabila negara Y menganut metode pembebasan subjek, maka negara Y tidak akan mengenakan pajak atas penghasilan berupa gaji yang diterima Mr John selaku duta besar negara X selama bekerja di negara Y
b)
Pembebasan objek
Pembebasan objek juga dikenal dengan sitilah full exemption atau exemption without progression. Dalam metode ini penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis pemajakan atas wajib pajak dalam negeri di suatu negara. Contoh : Mr Smith seorang wajib pajak dalam negeri (WP DN) dari negara X. Penghasilan yang diperoleh Mr Smith di dalam negeri sebesar Rp. 100.000.000. Selain itu, Mr Smith juga memperoleh penghasilan dari luar negeri yang bersumber dari negara Y sebesar $2.000. Apabila negara X menganut metode pembebasan objek, pemajakan yang dikenakan di negara X hanya dihitung dari penghasilan sebesar Rp. 100.000.000, sedangkan atas penghasilan sebesar $ 2.000 hak pemajaknnya sepenuhnya diberikan kepada negara sumber (negara Y).
c)
Pembebasan pajak
Metode pembebasan pajak (tax exemption) atau dikenal dengan istilah exemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya
penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik namun untuk keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Contoh : Wajib pajak A yang bertempat kedudukan di negara X mendapat penghasilan dari luar negeri bersumber dari negara Y sebesar $ 10.000. Atas penghasilan sebesar $ 10.000 tersebut telah dikenakan pajak sesuai tarif pajak yang berlaku di negara Y sebesar 30%. WP A juga mempunyai penghasilan yang bersumber dari dalam negeri di negara X sebesar Rp 200.000.000. Tarif pajak yang berlaku di negara X adalah 25%. Apabila negara X menerapkan metode pembebasan pajak, maka pajak terutang dan pajak yang kurang dibayar dihitung sebagai berikut : Penghasilan dalam negeri (negara X)
200.000.000
Penghasilan dari luar negeri (negara Y)
100.000.000
($1= Rp 10000) Jumlah penghasilan global Pajak terutang (tariff 25%)
300.000.000 75.000.000
Pembebasan Pajak : 100.000.000 x 75.000.000
25.000.000
300.000.000 Pajak yang kurang dibayar
2. Metode kredit
a)
Metode Kredit Penuh
50.000.000
Metode ini mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak dalam negeri yang dikenakan terhadap penghasilan tersebut. Contoh : Wajib pajak A yang bertempat kedudukan di negara X mendapat penghasilan dari luar negeri yang bersumber dari negara Y sebesar $ 10.000. Atas penghasilan sebesar $ 10.000 tersebut telah dikenakan pajak sesuai tarif pajak yang berlaku di negara Y sebesar 20%. WP A juga mempunyai penghasilan yang bersumber dari dalam negeri di negara X sebesar Rp 200.000.000.Tarif pajak yang berlaku di negara X adalah 25%. Apabila negara X menerapkan metode kredit pajak penuh, maka pajak terutang dan kurang dibayar dihitung sebagai berikut : Penghasilan dari dalam negeri (negara X) Penghasilan dari luar negeri (negara Y) (1$=Rp 10.000) Jumlah penghasilan global Pajak terutang (25%)
200.000.000 100.000.000 300.000.000 75.000.000
Jumlah pajak yang telah dibayar di negara Y sebesar 20% atau $ 2000 atau Rp 20.000.000 dikreditkan terhadap penghasilan global sebesar Rp 75.000.000. Karena tarif pajak di negara X lebih tinggi dari negara Y maka atas penghasilan dari negara Y tersebut, Wajib Pajak harus membayar pajak lagi sebagai tambahan sebesar (25%-20% x Rp 100.000.000 = Rp 5.000.000.
b)
Metode Kredit Biasa
Metode ini memberikan keringanan pajak berganda internasional berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak domestik yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri dan pajak yang sebenarnya dibayar di luar negeri. Contoh : Wajib pajak A yang bertempatkedudukan di negara X mendapat penghasilan dari luar negeri berseumber dari negara Y sebesar $ 10.000. Atas penghasilan sebesar $ 10.000 tersebut telah dikenakan pajak sesuai tarif pajak yang berlaku di negara Y sebesar 20%.WP A juga mempunyai penghasilan yang bersumber dari dalam negeri di negara X sebesar Rp 200.000.000.Tarif pajak yang berlaku di negara X adalah 25%.
Apabila negara X menerapkan metode kredit pajak biasa, maka pajak terutang dan kurang dibayar dihitung sebagai berikut : Penghasilan dari dalam negeri (negara X) Penghasilan dari luar negeri (negara Y) (1$=Rp 10000) Jumlah penghasilan global Pajak terutang (25%)
200.000.000 100.000.000 300.000.000 75.000.000
Mengingat tarif pajak di negara Y sebesar 20% maka jumlah pajak yang terutang di negara Y sebesar $ 2000 atau Rp 20.000.000 semuanyan dapat dikreditkan karena batas maksimal 25% x Rp 100.000.000 atau Rp 25.000.ooo lebih tinggi dari pajak yang telah dibayar di luar negeri sebesar Rp 20.000.000. Apabila tarif pajak di negara Y sebesar 35% maka pajak yang dikreditkan adalah sebesar batas kredit pajak maksimal yaitu Rp 25.000.000, walaupun sebenarnya yang telah dibayar Rp 35.000.000.
STRUKTUR P3B Model OECD Untuk mendapat gambaran tentang struktur Perjanjian Perpajakan, Model OECD sbb:
JUDUL DAN PREAMBUL
Bab III PAJAK ATAS PENGHASILAN. •
•
•
Bab I RUANG LINGKUP PERJANJIAN. •
•
Pasal 1 Orang atau badan yang tercakup perjanjian. Pasal 2 Pajak-Pajak yang tercakup perjanjian.
Bab II PENGERTIANPENGERTIAN. •
•
•
Pasal 3 Pengertian Umum.
•
Pasal 7 Laba Usaha. Pasal 8 Pelayaran, pengangkutan danau dan sungai, dan penerbangan jalur Internasional. Pasal 9 Perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
•
Pasal 10 Dividen.
•
Pasal 11 Bunga.
•
Pasal 12 Royalty.
•
Pasal 4 Penduduk. Pasal 5 Bantuk Usaha Tetap.
Pasal 6 Penghasilan Dari Barang Tak Gerak.
•
Pasal 13 Keuntungan karena pemindahan tanganan harta. Pasal 14 Pekerjaan bebas.
•
•
•
•
Pasal 15 Hubungan pekerjaan. Pasal 16 Pembayaran penghasilan direktur.
•
Bab VII KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 17 Para artis dan olahragawan.
•
•
•
Pasal 19 Jabatan Pemerintah. Pasal 20 Mahasiswa dan pelajar. Pasal 21 Penghasilan lain-lain.
Bab IV PAJAK ATAS KEKAYAAN. •
Pasal 22 Kekayaan.
Bab V METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA. •
•
Pasal 23A Metode pembebasan (exemption method) Pasal 23B Metode pengkreditan pajak (credit method).
Bab VI KETENTUAN KHUSUS. •
•
•
•
Pasal 29 Berlakunya perjanjian.
Pasal 18 Pensiun. •
•
Pasal 28 Perluasan wilayah berlaku perjanjian.
Pasal 24 Non diskriminasi. Pasal 25 Prosedur kesepakatan bersama. Pasal 26 Pertukaran informasi. Pasal 27 Para Diplomat dan Pejabat Konsular.
Pasal 30 Penghentian perjanjian.
Hampir semua perjanjian perpajakan Indonesia dengan Negara partner memakai model ini.
UN Model JUDUL DAN PREAMBULE •
•
Pasal 1 Orang dan badan yang tercakup dalam perjanjian. Pasal 2 Pajak-Pajak yang tercakup dalam persetujuian
•
Pasal 3 Definisi- definisi umum
•
Pasal 4 Penduduk
•
Pasal 5 Bentuk Usaha Tetap
•
•
•
•
Pasal 6 Penghasilan deari harta tak gerak Pasal 7 Laba Usaha Pasal 8 Perkapalan dan pengangkutan udara Pasal 9 Perusahaanperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa
•
Pasal 10 Dividen
•
Pasal 11 Bunga
•
Pasal 12 Royalti
•
Pasal 13 Keuntungan dari pemindahtanganan harta
•
Pasal 14 Pekerjaan bebas
•
Pasal 15 Pekerjaan dalam hubungan kerja
•
Pasal 16 Imbalan Direktur
•
Pasal 17 Para artis dan atlet
•
Pasal 18 Pension
•
Pasal 19 Pejabat Pemerintah
•
Pasal 20 Guru dan Peneliti
•
Pasal 21 Siswa dan Pemagang
•
Pasal 22 Penghasilan lainnya
•
Pasal 23 Methode Penghindaran Pajak Berganda
•
Pasal 24 Non diskriminasi
•
Pasal 25 Tata cara persetujuan bersama
•
Pasal 26 Pertukaran informasi
•
Pasal 27 Pejabat diplomatic dan konsuler
•
Pasal 28 Berlakunya persetujuan
•
Pasal 29 berakhirnya persetujuan.