ETIKA PERENCANAAN PAJAK
Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal Salah satu isu yang paling underestimated bisnis modern adalah dimensi etika dari pajak dan perencanaan pajak. Hal ini dikarenakan sebagian besar bisnis menganggap pajak sebagai sebuah persoalan yang paling besar. Secara mengejutkan masih sedikit yang telah ditulis atau diteliti pada subjek ini secara jauh dan penelitian masih menekankan menekank an pada dua pilar dari bisnis kontemporer yaitu profitabilitas dan moralitas.
Etika Pajak
Walter (1990) mengemukakan beberapa etos bagi profesi akuntansi. Berkenaan dengan isu etika dan khususnya menyangkut pajak, Dox (1992) menyakini bahwa sekarang ini praktisi pajak haruslah menjadi agile tightrope-walker, mampu untuk menyeimbangkan permintaan yang saling berbeda. Mereka harus berurusan dengan permintaan yang bertentangan dari klien dan aparat pajak (fiskus) dan pada saat yang sama harus mematuhi kode profesinya sendiri. The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (ICAEW) (1995), dalam publikasinya “Professional Conduct in Relation to Taxation), memberikan seperangkat pedoman etis untuk praktisi etis. Ini berkaitan dengan pertanyaan berapa banyak kebutuhan yang akan diungkapkan kepada aparat pajak (fiskus). Mereka juga mengambil sudut pandang bahwa tax adviser adalah seorang agen yang bertugas untuk melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan pribadi dari klien dan tidak untuk masyarakat secara keseluruhan. Implikasinya adalah bahwa kewajiban pajak klien seharusnya menjadi subjek untuk diminimalisasi pada batasan kejujuran. Kata kejujuran mempunyai subjektifitas uang tinggi dan dapat memberi makna yang berbeda pada orang yang berbeda. Secara paradoks, Hanson et. Al. (1992) menyakini bahwa meminimalkan kewajiban pajak tidak selalu cocok dengan kode perilaku profesional dan etika. Lynch (1995) menyatakan praktisi pajak tidak berbeda dengan profesi lainnya terkait dengan kesesuaiannya dengan standar etika, mempunyai tingkat keahlian, pengetahuan dan kompetensi. Hal ini adalah vital saat mendiskusikan isu moral, untuk menyakinkan bahwa definisi yang paling jelas yang digunakan. Hal ini karena beberapa penulis bingung melalui kurangnya pemahaman tentang proses bisnis strategis. Perencanaan pajak didesain untuk hubungan individual atau organisasi dalam rangka memaksimalkan pengembalian setelah pajak. Bisnis secara substansial dinilai pada kinerja mereka dalam hubungannya dengan laba setelah pajak dan oleh karenanya gain dikaitkan dengan meminimalkan kewajiban pajak mereka. Ketika pajak dan perencanaannya adalah bahwa mereka berhubungan dengan tingkat pengelakan atau penghindaran. Secara definisi, pengelakan adalah illegal dan tidak etis. Sedangkan penghindaran adalah dapat diterima, sebagaimana dapat
mengurangi kewajiban pajak dengan segala alat legal yang memungkinkan dan oleh karenanya secara basis dapat diterima secara etis. Former dapat membawa pada tuntutan dan hukuman penjara yang seringkali merefleksikan penyesalan dari klien. Namun, sebagaimana klaim Lynch (1995), hidup dan khususnya pajak tidak sesimpel itu. James dan Nobes (1996) mengatakan bahwa pada satu sisi, ada tingkatan dalam tax evasionsedang dalam tax avoidance biasanya ada perbedaan antara kelonggaran dan skema artifisial meminimalkan pembayaran pajak. Yang terakhir seringkali alat penghindaran yang tidak disukai oleh klien. Kata campuran“avoision” mengimplikasikan bahwa baik evasion maupun avoidance boleh dalam beberapa lingkungan yang tidak dapat dibedakan karena tidak hanya garis baik antara evasion dan avoidance namun sebuah area abu-abu yang berkabut (a foggy grey area). Pengaruhnya adalah kerugian pendapatan yang dialami aparat pajak (fiskus) dan masyarakat secara keseluruhan. Beberapa ide yang disajikan oleh Jackson (1996), dalam hubungannya dengan etika dan pajak. Jackson menyatakan bahwa pembayaran ahli pajak untuk memberi nasehat dalam cara pengurangan kewajiban pajak yang legal telah menjadi strategi bisnis dan terhormat secara etika. Dalam cara ini, tidak ada penyalahgunaan kepercayaan dalam pembayaran tidak melebihi yang dipersyaratkan secara legal. Ia menyakini bahwa jika ada lubang dalam aturan yang dibuat oleh legislator maka tugas merekalah untuk menggantinya dan bahwa tidak ada kebutuhan bagi pebisnis untuk merasakan kewajiban untuk memusatkan pada lubang tersebut. Bagaimanapun, menurutnya pertimbangan itu seharusnya berbeda jika organisasi melalui loophole, tidak secara legal tidak membahayakan kesehatan dan keamanan masyarakat. Sebagaimana yang diklaim oleh Stainer dan Stainer (1993) ada kebutuhan bisnis untuk menyeimbangkan diantara aturan hukum, profit dan etika, dimana aturan hukum seharusnya menjadi denominator terendah dari perilaku etis yang dapat diterima. Hal ini sesuai dengan Macintosh (1995), hal ini merupakan sindrom perilaku yang dapat diterima secara sosial. Oleh karenanya, perilaku etika dasar seharusnya seragam dalam lingkungan yang bagaimanapun dan tanggung jawab sosial seharusnya tidak hanya berhubungan dengan isu-isu tertentu seperti kesehatan dan keamanan, namun juga pada setiap aspek bisnis. Apa yang benar-benar dibutuhkan dalam diskusi bisnis yang beretika merupakan filosofi dari stakeholder. RSA Inquiry into Tomorrow’s Company (1995) mendukung pandangan ini dan merekomendasikan pendekatan yang inklusif, yang mengimplikasikan pengakuan stakeholder dan hubungan bersama. Sebagaimana Evers (1996) mencatat, seperti pengakuan sebagian besar pemikiran dalam etika bisnis, mempromosikan apa yang Mahoney (1995) deskripsikan sebagai kualitas bisnis yang beretika. Lebih dari itu, Stainer dan Stainer (1996) menganjurkan pendekatan berbasis nilai untuk kinerja bisnis melalui Value Index for Business Excellence (VIBE). Indeks ini mencakup 5 elemen kunci keberhasilan yaitu kepuasan pelanggan, efektifitas pasar, efektifitas sumber daya, efektifitas sosial, dan kepuasan tempat kerja. Metodologi stakeholder ini berbeda dengan Sternberg (1994), dalam mendiskusikan tujuan bisnis dan etika
bisnis, mempertahankan bahwa tujuan utama adalah maksimalisasi nilai pemilik dalam jangka panjang.
Perencanaan Pajak Dalam Konteks
Secara fundamental, pajak merupakan transfer kekayaan dari rakyat kepada publik. Laba setelah pajak ditentukan oleh kedua hal yaitu level tarif pajak dan efisiensi dari sistem pengumpulan pajak. Hal ini berarti bahwa penghasilan ini mengatur standar hidup individu dan menjalankan peluang dan ancaman untuk bisnis. Oleh karena itu, perencanaan pajak dapat dipandang dari sudut pandang sosial maupun kepentingan pribadi. Penghindaran pajak (tax avoidance) mempunyai konotasi yang tidak baik utamanya menyangkut manipulasi terhadap aturan hukum. Pengelakan pajak (tax evasion) didefinisikan oleh Tamari (1995) dengan istilah “human greed” atau ketamakan manusia yaitu sisi gelap dari manipulasi itu. Akuntan dan praktisi pajak merujuk pada manuver penghindaran sebagaimana perencanaan pajak atau kelonggaran pajak yang menekankan pada aspek legalnya dan dapat diterima secara etika. Sandford (1973) menitikberatkan bahwa istilah “penghindaran” seharusnya digunakan untuk mengartikan sesuatu yang berbeda dengan spirit hukum dan menyelesaikan tujuan sebelum pajak. James dan Nobes (1996) mengemukakan pandangan bahwa ada sedikit informasi yang sulit mengenai penghindaran atau pengelakan dan bahwa tidak ada estimasi kuantitatif yang akurat mengenai kepentingannya. Fiskus secara terus menerus khawatir oleh urusan negaranya dan mencari loophole melalui penasehat pajak secara kontinyu. Ini menunjukkan, suatu kemungkinan yang tidak disebabkan oleh hambatan etika pada pembayar pajak melainkan ini lebih pada hasil pengembangan dan perbaikan Ramsay Principle (1982), yang melihat realitas beberapa penyusunan legal yang kelihatan sangat artifisial yang mereka mungkin melihatnya sebagai pengelakan.
Dimensi Etika
Sesuai dengan Prodhan (1994), etika dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku manusia yang memasukkan tujuan, norma, baik, benar dan pilihan dalam hubungannya dengan lainnya. Keuangan seringkali dilihat sebagai disiplin positif yang bernilai netral, mempertimbangkan efisiensi tanpa memperdulikan konsekuensi sosial yang menyertainya. Boone dan Kurtz (1987) menyakini bahwa bisnis menghadapi berbagai isu etika setiap hari dan dalam hubungannya dengan investor dan komunitas keuangan tidak ada tempat dimana ekspektasi publik lebih besar level moralitas bisnis daripada dalam arena transaksi-transaksi keuangan. Eksekutif diharapkan untuk standar perilaku etika yang tertinggi berkaitan dengan praktik-praktik keuangan dalam rangka untuk membenarkan kepercayaan publik yang dialamatkan pada mereka. Lebih jauh Hosmer (1991), ada kenaikan bertahap piramid hierarki dari tanggung jawab manajerial dari
operasional, untuk fungsional, teknologi, konseptual dan pada akhirnya untuk etika. Kunci bagi kinerja bisnis yang baik sesuai dengan Creelman (1996), adalah untuk menemukan bagaimana manusia, organisasi dan konsumen dapat diseimbangkan sehingga dapat menciptakan nilai. Perencanaan pajak, sinonim dengan penghindaran pajak, membawa reaksi yang berbeda dalam individu yang berbeda. Tiga petunjuk untuk perencanaan pajak yang mereflesikan pengembangan historis sebagaimana dijelaskan berikut: 1) Diktum Lord Clyde (1929) bahwa pembayar pajak adalah diberi pilihan menjadi lihai untuk mencegah deplesi harta oleh Penghasilan”. 2) Pernyataan Lord Tomlin (1936) bahwa “Setiap laki-laki diberi pilihan, jika ia mampu, untuk urusannya sehingga pencapaian pajak berdasarkan tindakan yang tepat adalah kurang dari sebaliknya”. 3) Opini yang disampaikan oleh Lord Simon of Glaisdale (1974) bahwa “Ketidaksetujuan yang mungkin adalah beberapa pembayar pajak melarikan diri apa yang tampak sebagai bagian yang wajar dari beban umum pengeluaran nasional. Selanjutnya, dapat dilihat bahwa etika dan perencanaan pajak adalah masalah yang kontroversial, bahkan dalam hukum sekalipun. Dan dalam melihat isu etika dalam kinerja praktik pajak Dox (1992) berpendapat bahwa praktisi pajak kontemporer dihadapkan dengan banyak sekali permintaan konflik sama baiknya dengan kebanyakan penalti dari aparat pajak. Alasan dari anggapan seperti ini adalah bahwa beberapa klien berkeinginan untuk melangkah ke dalam wilayah abu-abu. Bagaimanapun juga, praktisi pajak harus mempunyai level kesesuaian yang dapat diterima dengan strategi pajak dan respon klien sebelum merekomendasikan peluang adanya perencanaan pajak. Sebuah jalan adalah Recker dkk. (1994) mendemonstrasikan bahwa pengembangan model pengambilan keputusan pajak berfokus pada faktor-faktor ekonomi dan keperilakuan yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dengan keyakinan etika pajak menjadi faktor yang banyak dilihat. Hasil mengindikasikan bahwa etika pajak adalah signifikan dalam keputusan pengelakan pajak dan mungkin menjadi satu diantara variabel-variabel yang lepas dalam model pengambilan keputusan pajak. Erard dan Feinstein (1994) menyatakan bahwa model konvensional kepatuhan pajak menekankan pada kenyataan bahwa pembayar pajak membuat laporan pajak strategis mealui pelaporan kurang pendapatan pada perluasan bahwa perilaku akan diberi reward secara keuangan. Sorell dan Hendry (1994) mendeskripsikan praktik pajak di Italia dimana utilitarianism tindakan bekerja lebih baik dibanding dengan utilitarianism aturan. Dengan konvensi, bisnis di Italia kurang menyatakan kewajiban mereka untuk pajak dan selanjutnya negosiasi, hasil dalam persetujuan bisnis untuk membayar lebih pajak. Perusahaan multinasional mengkalkulasi kewajiban pajaknya dengan benar dan jujur pertama kali, merasa melanggar penyusunan ini, sebagaimana dipersyaratkan untuk membayar tagihan pajak lebih besar yang seharusnya dimiliki. Ulititarisnism tindakan telah merekomendasikan kepatuhan dengan praktik Italian yang dapat diterima dianding dengan aturan yang menyatakan kebenaran. Namun utilitarisnism aturan
datang kedalam diirnya sendiri klaim ketika ada pertanyaan apakah klaim utilitarianism untuk menjadi teori moral. Argandona (1994) mengobservasi dalam tahun 1991 sejumlah organisasi besar di Spanyol yang dituduh menggunakan faktur yang salah untuk mengindari pembayaran PPN. Di Inggris, praktik penghindaran pajak yang meragukan kedudukan etika seringkali diterima secara umum. Beberapa kasus seperti bonus yang dibayarkan dalam bentuk natura daripada kas, untuk mengurangi tambahan kontribusi asuransi nasional – loophole tertutup secara sebagian – dan praktik “bed -and- breakfast” untuk mengurangi capital gain. Ada semacam kritik yang diberikan yaitu bahwa sistem pajak di Inggris adalah regresif, sebagaimana dilaporkan oleh Institute of Fiscal Studies (IFS) (1997). Pajak regresif adalah dimana tarif marjinal pajak kurang dari tarif rata-rata, sehingga proporsi income yang diambil dalam pajak meningkat.
Kesimpulan Sesuai dengan The Economist (1997), setiap orang yang berkepentingan dalam pajak dan birokrat yang menjalankan European Union (EU) tidak terkecuali. Usaha mereka di masa lalu untuk mengharmonisasikan pajak yang telah sedikit berhasil mereka mensyaratkan persetujuan anggota UE yang tetap jealous dengan kedaulatan fiskalnya. Namun pajak adalah kembali pada agenda EU dan sebuah tangisan baru terdenagr dari Jerman, Prancis, Italia dan Belgia, adalah untuk mengakhiri kepada apa yang mereka sebut dengan persaingan pajak yang tidak wajar. Mario Monti, komisioner pasar tunggal, lebih suka melihat kode perilaku yang baik untuk menghentikan kompetisi pajak yang merugikan. Bagaimanapun juga, siapa yang menetukan bahwa ini adalah merugikan? Clarke (1990) menyatakan bahwa dalam setiap negara otoritas pajak adalah tergantung pada tingkat substansial dari kemauan kepatuhan dari pembayar pajak. Lebih jauh, sistem akan melibatkan operasi yang mahal jika mempunyai sumber daya yang komprehensif daripada pelaksanaan seleksi. Mereka menyakini bahwa beberapa sanksi dalam sebuah demokrasi bukanlah alat penangkis yang efektif dan bahwa negosiasi dan penempatan merupakan jalan yang lebih efektif daripada penuntutan. Hal ini terlihat bahwa garis dasar sebagaimana perencanaan pajak adalah dikaitkan dengan kejujuran. Di Inggris, pentingnya etika pajak adalah untuk mengakselerasikan masa mendatang, terutama dengan pengenalan pendekatan self assessment untuk pengumpulan pajak. Perencanaan pajak harus dilatihkan dalam sebuah atmosfer integritas, mutual trust dan semuanya diatas, sebuah iklim etika yang baik. Praktisi pajak harus objektif dalam pendekatan perencanaan pajak mereka sebaik ketika mereka menjalankan tugas profesionalnya. Financial Times (1995) mengobeservasi, “Hal ini menajdi bagian dari sebuah masyarakat bahwa orang, didalam bisnis dan diluar bisnis bertindak secara moral. Tidak lebih dan tidak kurang.” Hal ini haruslah menjadi pelajaran untuk milenium mendatang.
The Ethic of International Transfer Pricing
Messaoud Mehafdi
Transfer pricing (TP), penetapan harga dari transaksi intraperusahaan barang berwujud dan tidak berwujud TP telah menjadi sebuah persoalan pajak internasional, penghindaran pajak dan penggelapan melalui peningkatan harga transfer. TP telah menjadi perbincangan dalam litigasi pajak internasional karena diduga miliaran dolar pendapatan pajak telah hilang pada “TP blackhole” melalui pencatatan akuntansi palsu. TP adalah permasalahan manajemen yang kompleks dan cenderung memunculkan permasalahan etika. Kegiatan TP yang tidak etis merusak perusahaan dan ekonomi negara tuan rumah. Manajemen batas organisasi dan kompetisi untuk sumber daya yang langka sering mengakibatkan munculnya kontrol politik di atas praktek TP. Jurnal ini memberi penjelasan isuisu etis dalam proses ini, mengamati pada awal bahwa, meskipun TP menjadi sumber pertentangan antara transnational corporations (TNC) dan otoritas pajak, masalah TP tidak hanya tentang harga transfer. Karena mereka kebanyakan ditentukan di dalam perusahaan, harga transfer dibatasi oleh dan tidak terpisahkan dari karakteristik organisasi, manajerial dan budaya TNC. Transfer Pricing di Dunia: Perdagangan Intra-Perusahaan dan FDI
Signifikansi internasional dari TP dapat dilihat dari jumlah perdagangan intra-perusahaan secara global di awal 1990-an yang mencapai milyaran dolar dan sekarang diestimasi mencapai $1,6 trilyun atau sepertiga dari perdagangan dunia. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat transnasionalitas perusahaan dan level baru dari investasi asing langsung ( Foreign Direct Investment , FDI ) dengan aliran tahunan saat ini mencapai lebih dari $ 400 miliar dan modal dasar sekitar $ 3 trilyun. Negara-negara anggota OECD sendiri memiliki sekitar 60% dari arus masuk investasi dan 85% dari arus keluar dan bagian intra – perusahaan dari arus ini secara teratur dipantau dalam Activities of foreign Affiliates yang disusun oleh OECD. FDI dan perdagangan intra-perusahaan hampir tidak terpisahkan karena melalui intra-perusahaan langsung. Dalam melakukan FDI, TNC menempatkan berbagai tahap produksi di berbagai negara, biasanya untuk mengambil keuntungan dari perbedaan input biaya, menggunakan perdagangan intra-perusahaan sebagai penghubung antara berbagai lokasi. Ini melibatkan investasi jangka panjang dan kontrol manajemen dari entitas di tiap negara. Perdagangan intra-perusahaan sangat tinggi ketika FDI merupakan perusahaan berorientasi ekspor seperti Compaq di Singapura dengan 81 % outputnya berada pad anak perusahaan di lain Negara. Kerangka Analisis Etika TP
Etika bisnis adalah tentang code of conduct perusahaan dalam mengejar penciptaan kekayaan. Dalam usaha untuk membingkai etika TP, empat pengamatan perlu dibuat.
1. Pertama, dengan tidak adanya peraturan pelaporan keuangan yang memaksa, perusahaan akan terus menjaga kebijakan TP mereka tersembunyi dan mencegah pengamatan langsung dari aspek non-pajak mereka. Hal ini menjadi hambatan dalam riset empiris TP 2. Kedua, meskipun literatur etika bisnis mengakui bahwa kegiatan TNC menimbulkan kontroversi etis, mereka hanya membahas transaksi komersial antara pihak yang tidak berhubungan dan mengabaikan etika perdagangan intra-perusahaan dan harga. Hal ini diperparah oleh kurangnya lembaga untuk mengontrol kegiatan bisnis lintas internasional. 3. Ketiga, selain dari referensi lewat Knowles dan Mathur ( 1985) terhadap pentingnya perspektif etika dan hukum, literatur TP yang luas yang umumnya didasarkan pada pandangan kesatuan neo-klasik perusahaan telah terkonsentrasi pada menemukan "rumusan harga ajaib" untuk transaksi internal. 4. Keempat, kesalahpahaman akuntansi umum adalah melihat TP sebagai masalah biaya murni internal dan bahwa jual beli internal dan eksternal saling membatalkan, dengan efek nihil resultan pada keuntungan perusahaan dan arus uang. Ini adalah pandangan sempit yang mengabaikan proses pengambilan keputusan yang dalam perdagangan intra perusahaan. Dalam proses ini, organisasi dan faktor pribadi yang mengatur transaksi intra – perusahaan menentukan ketepatan moral dari tindakannya, dengan manajemen pusat dan manajer dari divisi perdagangan sebagai pemain kunci. Struktur profit center di perusahaan besar membutuhkan transferors dan transferees untuk berperilaku seperti pemasok independen dan pelanggan, masing-masing ingin meraih kesepakatan terbaik. Jika aspirasi mereka dan tujuan dihalangi oleh aturan yang mengatur perdagangan internal, hal ini secara alami memicu perilaku oportunistik dan sub – optimal pengambilan keputusan yang nmembelanjakan sumber daya yang langka, menghancurkan nilai dan menimbulkan biaya-biaya yang tidak perlu yang mempengaruhi keuntungan dan arus kas Karena TP adalah proses, pembahasan aspek etika harus fokus pada unsur utama dalam proses ini meliputi: 1. 2. 3. 4. 5.
Keputusan untuk menginternalisasi perdagangan Keputusan penetapan harga Hubungan pemasok-pembeli internal Peran sentral manajemen Pihak eksternal
Unsur-unsur proses ini dikondisikan oleh proses konteks organisasi di mana suatu iklim etika berlaku. Pusat analisis adalah bahwa bisnis TP tidak selalu etis dan dengan demikian dapat menimbulkan biaya tersembunyi atau eksternalitas yang tidak tercermin dalam harga transfer, terlepas dari apakah harga berdasarkan pasar atau biaya.
Etikalitas Perdagangan Intra-Perusahaan dan Pengadaan Keputusan
Pembenaran Ekonomi Perdagangan Intra-Perusahaan Dalam sebuah perusahaan, perdagangan internal mungkin melibatkan inti atau kegiatan strategis serta kegiatan non inti, sehingga membuatnya sulit untuk dipahami, setidaknya dari studi empiris yang ada, apapun alasan yang sah untuk internalisasi perdagangan di tempat pertama. Meskipun penelitian tentang TP menjelaskan sangat sedikit tentang besarnya perdagangan intra-perusahaan dalam masing-masing perusahaan, tiga pembenaran pasar untuk internalisasi perdagangan disebutkan dalam literatur bisnis, yaitu: 1. Penghematan pada biaya transaksi 2. Fitur unik produk atau tingkat spesifisitas asset 3. Paradigma kepemilikan-lokasi – internalisasi yang menekankan ketidaksempurnaan pasar untuk membenarkan fdi Yang mendasari argumen ini adalah mengejar pertumbuhan ekonomi dan memaksimalkan keuntungan yang merupakan alasan utama banyak TNC, terutama ketika di bawah tekanan dari pasar modal untuk hasil keuangan jangka pendek. Perdagangan Intra-Perusahaan dari Segi Etika Walaupun ketika harga transfer telah ditetapkan dan tidak dapat dilampaui, alasan perdagangan intra-perusahaan dapat dibantah oleh alasan etis untuk setidaknya lima alasan: 1. Ada banyak bukti bahwa perusahaan-perusahaan terlibat dalam perdagangan internal untuk menghindari pembatasan gerakan dana dan mengaburkan tagihan pajak 2. Berbagai perdagangan internal dilaporkan oleh penelitian atau dilaporkan dalam kasus pengadilan tengara menentang logika fdi. Dengan kata lain, fdi dapat menghasilkan saldo pembayaran poritif ketika tnc terlibat dalam impor produk kepada dan dari afiliasi mereka dengan harga murah dan menggeser penghasilan kena pajak ke negara-negara pajak rendah. 3. Produk setengah jadi atau final, mungkin jatuh ke dalam kategori produk tidak etis terutama ketika tnc membeli ke berbagai negara untuk lingkungan peraturan rendah sehingga membuat perdagangan internal secara etis tidak dibenarkan 4. Ketika produk setengah jadi mungkin diasumsikan "sempurna secara etis", internalisasi dari transaksi masih bisa dipertanyakan. 5. Akhirnya, terkait dengan poin di atas adalah masalah pembangunan berkelanjutan yang sampai sekarang tidak dijelaskan dalam perdebatan TP lebih luas. Dampak sosial dan ekologi perdagangan intra-perusahaan perlu pemeriksaan serius. didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan memaksimalkan keuntungan, Praktek TP TNC dapat menghambat pembangunan berkelanjutan dengan menghabiskan sumber daya alam di negara-negara tuan rumah, dengan atau tanpa persetujuan dari politisi lokal. Bagi banyak
TNC, sumber daya alam merupakan faktor penentu kunci FDI. Sebuah perusahaan dapat menggunguli hutan, mencemari sungai dan memindahkan seluruh masyarakat, namun membayar pajak penghasilan sedikit untuk pemerintah tuan rumah melalui akuntansi TP palsu. Tanggung jawab moral terletak pada semua pihak dalam perdagangan internal, yaitu pusat manajemen, pentransfer dan penerima transfer dan, jika memungkinkan, pemerintah.
Etikalitas dari Harga Internal
Luas Masalah Dari sudut pandang etika, baik praktek transfer pricing oleh transnational corporation dan pendekatan tangan besi yang diadopsi oleh beberapa negara untuk memeriksa praktek-praktek tersebut mungkin masih dipertanyakan. Dalam etika dunia bisnis, tidak ada tempat untuk praktek TP yang meragukan, apakah mereka berbasis pasar atau berbasis biaya dan apakah mereka merugikan pelanggan internal atau pemerintah. Di kancah internasional, TP digunakan sebagai alat manajemen laba oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang membebankan harga transfer yang meningkat untuk produk setengah jadi dan jasa kepada anak perusahaan di negara pajak tinggi dalam rangka mengalihkan keuntungan kepada perusahaan induk atau anak perusahaan lain di negara pajak yang rendah. Hal ini mengubah FDI dan TP menjadi penutup manajemen laba meragukan, terutama ketika FDI berorientasi pasar lokal dan tarif tinggi yang dikenakan oleh negara tuan rumah pada impor. Jasa yang ditransfer meliputi keuangan, konsultasi manajemen, dan properti intelektual. Setiap TNC menyalahgunakan sistem TP yang mungkin bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi tertentu dan kepentingan jangka pendek, tetapi merugikan negara tuan rumah, dan mungkin negara sendiri. Keuntungan melalui mekanisme TP yang dilarang hanya dapat berkontribusi terhadap kemiskinan dan hilangnya kedaulatan di negara tuan rumah. TNC seharusnya menghasilkan lebih baik dan bukan bahaya untuk negara tuan rumah dan kondisi saat ini memerlukan kode etik TP global, bukan hanya perubahan undang-undang pajak untuk mengekang penyalahgunaan transfer price internasional. Karena peraturan pelaporan keuangan yang ada tidak memaksa perusahaan untuk mengungkapkan TP mereka, etika pelaporan keuangan harus dipelajari juga di masa depan. Harga Transfer Yang Berbasis Pasar Selama lebih dari setengah abad, kebijaksanaan akademik menganjurkan harga transfer yang berbasis pasar setiap kali pasar produk setengah jadi ada. Bukti Empiris tampaknya mendukung teori karena harga transfer berbasis biaya banyak digunakan. Meskipun ada implikasi asumsi
pertumbuhan ekonomi dan kekayaan mendasari arm’s length principle, sebuah harga pasar tidak menunjukkan berapa banyak biaya dieksternalisasi oleh perusahaan yang bersaing dalam pasar produk setengah jadi. TNC yang lulus " tes pajak " karena mereka tampaknya mematuhi aturan arm’s length, mungkin sebenarnya menemukan kepatuhan tersebut sangat nyaman karena biaya eksternalisasi mereka tidak diketahui atau belum ditemukan. Oleh karena itu, keberadaan eksternalitas membuat harga pasar tidak berarti kecuali penyesuaian yang tepat dilakukan untuk mengimbangi bahaya TP. Harga Transfer yang Berbasis Biaya Ketika pasar produk setengah jadi tidak ada, harga transfer sepenuhnya didasarkan pada biaya. Namun, harga transfer berbasis biaya akan penuh segala macam anomali karena biaya subyektif klasifikasi dan alokasi. Ketika harga transfer cost based , hanya ada sedikit insentif bagi divisi pentransfer untuk menggunakan sumber daya secara efisien karena biaya terjadi diteruskan ke divisi tertransfer yang meneruskan ke konsumen akhir. Tidak peduli apakah biaya standard atau aktual. Etika undang-undang “arm’s length” dan tindakan otoritas pajak
Sikap keras yang diadopsi oleh Internal Revenue Service di U.S.A. sejak akhir 1980 berbicara banyak tentang jenis perilaku kepatuhan “arms’s length” yang diperlukan perusahaan untuk menghentikan mereka menyebabkan kerugian keuangan TP. Pedoman OECD juga telah mendorong pemerintah di seluruh dunia untuk merevisi undang-undang yang sudah ada atau membuat yang baru untuk menjaga kepentingan nasional mereka. Seperti halnya di Negara Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, Argentina, Korea dan Rusia. perusahaan yang tertangkap mengutak-atik TP, mengalamik revisi paja dan dihukum dengan denda yang besar. Otoritas pajak dengan kekuatan tak terbatas harus meneliti dan menghukum praktek TP perusahaan yang dapat menyebabkan kelebihan karena perusahaan dapat dengan mudah menjadi sasaran empuk bagi petugas pajak, terutama karena masih tidak ada peraturan pelaporan keuangan pada TP. Walaupun perusahaan masuk ke dalam apa yang disebut kesepakatan harga di depan ( advanced price agreement atau APA ) tidak ada jaminan bahwa hal ini tidak akan diselidiki untuk tahun sebelum APA. demi keadilan, kode etik dan independensi badan arbitrasi menjadi suatu keharusan. Tanggung jawab pemerintah di negara TNC dalam penyalahgunaan TP juga harus dibentuk ketika menangani etika. Sejauh ini hanya perusahaan yang telah menjadi subyek dari undangundang TP internasional dan penyelidikan pajak. Dalam etika, otoritas pajak di negara asal sebuah TNC seharusnya tidak menerima penghasilan pajak dari keuntungan yang tidak diperoleh. Sebaliknya otoritas harus bekerja sama dengan otoritas pajak negara tuan rumah TNC dan mengembalikan bagian dari keuntungan yang muncul melalui manipulasi harga transfer.
Who Blows the Whistle?
Mengandalkan undang-undang ketat yang membebani perusahaan dengan kepatuhan dokumentasi dan membuat mereka rentan terhadap permasalahan pajak dapat dengan sendirinya mendorong TNC ke kegiatan yang tidak etis yang baru. Tidak peduli seberapa baik otoritas pajak dilengkapi, kemungkinan bahwa setiap TNC akan diselidiki untuk penggelapan pajak sangat kecil. Alasan utama untuk ini adalah bahwa perdagangan intra-perusahaan sebagian besar tunduk pada keputusan internal tidak untuk kekuatan pasar. Oleh karena itu, whistleblowing yang melibatkan manajer divisi dan auditor eksternal dapat memainkan peran pencegahan. Pada saat ini, laporan keuangan konsolidasi tidak melaporkan transaksi intra-perusahaan ; hanya transaksi dengan pihak eksternal yang akan ditampilkan. Ketika rekening keuangan dimasukkan ke pertanyaan karena diduga ada kekeliruan TP dan penggelapan pajak, auditor jarang memusatkan perhatian pada akun ini. Dengan membuat TP menjadi bagian integral dari rencana audit, auditor dapat menetapkan validitas dan keandalan harga transfer TNC. auditor eksternal akun keuangan harus diberdayakan sebagai “whistle blower” jika mereka mencurigai penyimpangan TP, sehingga hal ini menghilangkan kebutuhan investigasi panjang oleh otoritas pajak. Kode etik TP dapat memainkan peran konstruktif dalam self-regulation bisnis intra-perusahaan dengan standar pengaturan terhadap kesempurnaan yang dapat membuat manajer mampu menilai ketepatan moral dari kebijakan dan praktek TP. Pengenalan dan implementasi secara bertahap kode tersebut akan menciptakan kesadaran dengan mendidik manajer tentang Etika terkait TP Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perusahaan yang berkomitmen terhadap etika menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik. Oleh karena itu, prosedur whistleblowing yang tepat dapat menghentikan konflik internal atas perdagangan intra-perusahaan dan penetapan harga. Kepatuhan etis kemudian menjadi tanggung jawab manajemen senior yang harus menjawab otoritas pajak jika penyimpangan TP ditemukan.
Daftar Pustaka
Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal. Etika Perencanaan Pajak Messaoud Mehafdi. The Ethic of International Transfer Pricing