BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Untuk optimalisasi hasil serta kontribusi positif tersebut, harus dapat diusahakan masuknya upaya kesehatan sebagai asas pokok program pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 10 ayat (2) menyebutkan, bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas ruang: …. d. ruang operasi; …. . Dalam Bagian Ketiga tentang Bangunan, pasal 9 butir (b) menyebutkan bahwa Persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Ruang operasi rumah sakit merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan medis di sarana pelayanan kesehatan. Dalam rangka mendukung Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka perlu disusun persyaratan teknis fasilitas ruang operasi rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Banyak penyakit yang timbul berhubungan dengan pekerjaan, baik karena kondisi lingkungan tempat kerja maupun jenis aktifitas dalam pekerjaan. Oleh karena itu dengan adanya UU No.36 tahun 2009 bab XII yang merupakan upaya kesehatan kerja, ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Dengan demikian dapat meminimalkan risiko yang akan terjadi.
1.2.Tujuan Tujuan Umum : Untuk mengetahui aspek K3 petugas instrumen di ruang operasi RS. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui tentang faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang operasi RS.
b. Untuk mengetahui tentang alat kerja yang digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas instrumen di ruang operasi RS. c. Untuk mengetahui tentang APD yang digunakan petugas instrumen di ruang operasi RS. d. Untuk mengetahui tentang ketersedian obat P3K di tempat kerja petugas instrumen di ruang operasi RS. e. Untuk mengetahui pemeriksaan kesehatan yang pernah dilakukan sesuai peraturan (sebelum kerja, berkala, berkala khusus) f. Untuk mengetahui tentang peraturan pimpinan RS tentang K3 di tempat kerja. g. Untuk mengetahui keluhan / penyakit yang dialami yang berhubungan dengan pekerjaan pada petugas instrumen di ruang operasi RS.
BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar tenaga kerja secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai persoalan di sekitarnya dan pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa keselamatan kerja adalah sesuatu yang penting untuk perlindungan tenaga kerja, sehingga kecelakaan yang timbul akibat mesin, proses pengolahan, lingkungan kerja dan sebagainya harus diberantas dan dikendalikan. Keselamatan dan kesehatan kerja harus sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun 1970 yang mana sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang menyangkut norma perlindungan tenaga kerja, khususnya yang berkaitan dengan hiperkes antara lain : a. Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dan tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat pekerjaannya yang akan diberikan kepadanya. b. Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan ditunjuk oleh direktur. c. Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. d. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul dalam tempat kerja. e. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang semua pengamanan alat pelindung diri yang diharuskan dalam tempat kerjanya. f. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan. g. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang cara-cara pelindung diri bagi yang bersangkutan. Kinerja setiap tenaga kerja merupakan hasil dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas, beban kerja, dan lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan beban tambahan bagi tenaga kerja. Apabila derajat kesehatan tidak maksimal maka produktivitas tenaga kerja
akan menurun dan apabila derajat kesehatan tenaga kerja tinggi maka produktivitas akan meningkat. Untuk itu tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum sehingga akan ter cipta derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Sumamur, 1996). Ada banyak pekerja profesional didalam ruang operasi. 1. operator : merupakan pembedah yang menentukan jalannya operasi. 2. asisten operator : membantu operator dalam bertindak. 3. scrub nurse : merupakan perawat yang bertugas memberikan alat atau instrumen operasi. 4. circulating nurse : perawat non steril yang membantu memfasilitasi operasi. 5. anestesi : bertugas membius pasien.
Kesehatan Kerja Kesehatan Kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan sebagai unsur-unsur yang menunjang terhadap adanya jiwa-raga dan lingkungan kerja yang sehat. Kesehatan kerja meliputi kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang dapat timbul atau terjadi oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini terjadi karena ulah manusia sendiri (man made disease) dan umumnya dapat dicegah. Oleh karena itu ada juga yang menggolongkan penyakit artificial timbul oleh adanya pekerjaan. WHO menyebut sebagai work related disease. Penyakit umum yang berkaitan dengan pekerjaan atau akibat terpapar oleh lingkungan kerjanya. Penyebab terjadinya penyakit akibat kerja dibagi menjadi empat golongan yaitu: 1. Golongan fisik, seperti suara bising, radiasi sinar radio aktif, suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tekanan yang tinggi, dan penerangan lampu yang kurang baik.
2. Golongan kimiawi, seperti debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut. 3. Golongan ergonomi, seperti kesalahan konstruksi mesin, sikap badan saat bekerja yang menyebabkan kelelahan fisik dan perubahan bentuk fisik pekerja. 4. Golongan mental atau psikologis, seperti hubungan kerja yang tidak baik atau membosankan. 5. Golongan biologi mencakup mikroorganisme. Keselamatan Kerja Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun jasa. Salah satu aspek penting sasaran keselamatan kerja, mengingat resiko bahayanya adalah penerapan teknologi, terutama teknologi yang lebih maju dan mutakhir. Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja adalah dari, oleh, dan untuk setiap tenaga kerja, dan masyarakat pada umumnya. Kecelakaan, adalah kejadian yang tak terduga dan tak diharapkan. Tak terduga oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan oleh karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian materiil maupun penderitaan dari yang paling ringan sampai kepada yang paling berat dan tidak diinginkan. Dalam hubungannya dengan kondisi dan situasi di Indonesia, keselamatan kerja di nilai sebagai berikut: a. Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan kematian akibat kecelakaan kerja. b. Analisa kecelakaan secara nasional berdasarkan angka-angka yang masuk atas dasar wajib lapor kecelakaan dan data kompensasinya dewasa ini seolah-olah relatif rendah dibandingkan dengan banyaknya jam kerja tenaga kerja. c. Potensi-potensi bahaya yang mengancam keselamatan pada berbagai sektor kegiatan ekonomi jelas dapat diobservasi, misalnya; sektor pertanian, sektor industri, sector jasa, dan lain sebagainya. d. Menurut observasi, angka frekuensi untuk kecelakaan-kecelakaan ringan yang tidak menyebabkan hilangnya satu atau dua jam kerja masih terlalu tinggi. Upaya secara lebih serentak diperlukan untuk memberantas kecelakaan-kecelakan ringan demikian. e. Analisa kecelakaan memperlihatkan bahwa untuk setiap kecelakaan ada factor penyebabnya. Sebab-sebab tersebut bersumber kepada alat-alat mekanik dan lingkungan serta kepada manusianya sendiri. Untuk mencegah kecelakaan, penyebabpenyebabnya ini harus dihilangkan. f. 85 % dari sebab-sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Maka dari itu, usaha-usaha keselamatan selain ditujukan kepada teknik mekanik, juga harus memperthatikan secara khusus aspek manusiawi. Dalam hal ini pendidikan tentang keselamatan kerja merupakan sesuatu hal yang sangat penting. g. Sekalipun upaya-upaya pencegahan telah maksimal, kecelakaan masih mungkin
terjadi dan dalam hal ini , peranan kompensasi kecelakaan sebagai jaminan sosial diperlukan adanya untuk meringankan beban penderita. Keselamatan kerja erat kaitannya dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Produktivitas adalah perbandingan di antara hasil kerja (output) dan upaya yang dipergunakan (input). Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produktivitas atas dasar : a. Dengan tingkat keselamatan kerja yang tinggi, kecelakaan-kecelakaan yang menjadi sebab sakit, cacat dan kematian dapat dikurangi atau ditekan sekecil-kecilnya, sehingga pembiayaan yang tidak perlu dapat dihindari. b. Tingkat keselamatan yang tinggi sejalan dengan pemeliharaan dan penggunaan peralatan dan bahan yang produktif dan efisien dan bertalian dengan tingkatan produksi dan produktifitas yang tinggi. c. Pada berbagai hal, tingkat keselamatan yang tinggi menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung kenyamanan serta kegairahan kerja, sehingga faktor manusia dapat diselasikan dengan tingkat efisiensi yang tinggi pula. d. Praktek keselamatan tidak bisa dipisah-pisahkan dari keterampilan keduanya berjalan sejajar dan merupakan unsur-unsur yang sesuai bagi kelangsungan suatu pemberian jasa di salon kecantikan. e. Keselamatan kerja yang dilaksanakan sebaik-baiknya dengan partisipasi pengusaha membantu bagi hubungan pegawai dan pengusaha yang merupakan landasan kuat bagi terciptanya kelancaran suatu jasa yang diberikan.
2.2. Terfokus Pada Ruang Operasi
1. Faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang operasi Menurut hasil laporan dari Natonal Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja pada industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, tergores/terpotong, dan penyakit infeksi lain. Salah
satu contoh kecelakaan kerja yang paling sering adalah Luka jarum suntik yang umum terjadi di kalangan petugas di ruang operasi. Sehingga peningkatan strategi pencegahan dan pelaporan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan kerja bagi petugas operasi tersebut. 2. Alat kerja yang dapat digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas instrumen di ruang operasi Alat kesehatan yang digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas instrumen diruang operasi adalah benda-benda tajam seperti skalpel dan jarum suntik yang dapat memberikan resiko terjadinya kecelakaan kerja. 3. Alat pelindung diri (APD) yang digunakan petugas instrumen diruang operasi Selain membersihkan tangan yang harus selalu dilakukan petugas kesehatan juga harus mengenakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur yang mereka lakukan dan tingkat kontak dengan pasien yang diperlukan untuk menghindari kontak dengan darah dan cairan tubuh. APD untuk keperluan kewaspadaan standar terdiri atas sarung tangan, gaun pelindung, pelindung mata, dan masker bedah. Peralatan tambahan, seperti penutup kepala untuk melindungi rambut, tidak dianggap APD, tetapi dapat digunakan demi kenyamanan petugas kesehatan. Begitu pula, sepatu bot juga dapat digunakan untuk keperluan praktis, misalnya bila diperlukan sepatu yang tertutup rapat dan kuat untuk menghindari kecelakaan akibat benda tajam. Bila digunakan dengan benar, APD akan melindungi petugas kesehatan dari pajanan terhadap jenis penyakit menular tertentu. 4. Ketersediaan obat P3K di tempat kerja petugas P3K merupakan pertolongan pertama yang harus segera diberikan kepada korban yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit mendadak dengan cepat dan tepat sebelum korban dibawa ke tempat rujukan. P3K sendiri ditujukan untuk memberikan perawatan darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih lengkap diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 Pasal 19: “Setiap badan, lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya harus menyediakan apotik atau pos P3K sendiri, memelihara apotik atau pos P3K bersama-sama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya dan mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K. ” Rumah sakit merupakan salah satu lembaga pemberi jasa dengan unit sterilisasi yang menjadi bagiannya. Dalam upaya pengawasan P3K maka perlu tersedia fasilitas dan personil P3K. Fasilitas dapat berupa kotak P3K, isi kotak P3K, buku pedoman, ruang P3K, perlengkapan P3K (alat perlindungan, alat darurat, alat angkut dan transportasi). Personil terdiri dari penanggung jawab: dokter pimpinan P3K, ahli K3, petugas P3K yang telah menerima sertifikat pelatihan P3K di tempat kerja.
Rekomendasi minimum failitas yang tersedia dalam kotak P3K tipe I yaitu kasa steril terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm), plester cepat, kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker, aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum, buku catatan, daftar isi kotak. Sedangkan pada kotak P3K tipe II terdiri dari kasa steril terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm), plester cepat, kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker, bidai, pinset, lampu senter, sabun, kertas pembersih (Cleaning Tissue), aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum. Secara umum penentuan jenis dan jumlah kotak yang disediakan tergantung dari jumlah pekerja. Jumlah Pekerja
Jumlah Kotak Tiap 1 (satu) Unit Kerja
Tempat Kerja dengan Faktor Resiko Rendah 0 s.d 25 Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IA 26 s.d 50 Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IB 51 s.d 100 Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IC Tabel 1. Jumlah kotak P3K tiap unit kerja
Tempat Kerja dengan Faktor Resiko Tinggi Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IIA Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IIB Minimal 1 Kotak P3K Bentuk IIC
Untuk jumlah personil P3K sendiri ditentukan oleh faktor risiko bahaya di tempat kerja dan jumlah pekerja. Jumlah Pekerja 25 – 150 > 150
Tempat Kerja dengan Faktor Resiko Rendah : Toko,Kantor,Perpustakaan 25 – 100 > 100 Tempat Kerja dengan Faktor Resiko Tinggi:
Jumlah Petugas 1 untuk 150 orang (2 orang untuk 300 orang, dst) 1 untuk 100 orang (2 orang untuk 200 orang, dst)
Konstruksi,Industri,Kimia Tabel 2. Jumlah petugas P3K 5. Peraturan pimpinan di rumah sakit tentang K3 di tempat kerja Upaya K3 di RS menyangkut tenaga kerja, cara/metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan K3 di RS dapat mengacu pada standar Sistem Manajemen K3 di RS diantaranya self assesment akreditasi K3RS dan SMK3. Perencanaan meliputi: 1. Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko. RS harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian faktor risiko. a. Identifikasi sumber bahaya Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan : • Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya. • Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya yang ada di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat resiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK. b. Penilaian faktor risiko Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan. c. Pengendalian faktor risiko Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana / peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah / tidak ada (engineering / rekayasa), administrasi dan alat pelindung pribadi (APP). 2. Membuat peraturan RS harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus dievaluasi, diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait. 3. Tujuan dan sasaran
RS harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya potensial dan risiko K3 yang bisa diukur, satuan / indikator pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian (SMART). 4. Indikator kinerja Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS. 5. Program K3 RS harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat serta dilaporkan. 6. Keluhan atau penyakit yang dialami yang berhubungan dengan pekerjaan pada petugas instrumen di ruang operasi. Para peneliti menyatakan bahwa di dalam kamar operasi terkandung kadar eter yang signifikan ketika “ the open drop technique” digunakan. Dan diketahui bahwa paparan obat anastesi inhalasi seperti diethyl eter, nitrous oxide dan cloroform lebih mengarah tentang infertilitas dan aborsi spontan, insidensi kelainan kogenital, kanker, penyakit hematopoietik, penyakit liver, dan penyakit saraf seperti psikomotor dan tingkah laku sebagai akibat paparan gas anastesi. 7. Upaya K3 lainnya yang dijalankan. Misalnya ada penyuluhan / pelatihan, pengukuran / pemantauan lingkungan tentang hazard yang pernah dilakukan. Bahaya potensial di RS dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Yaitu disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri dan jamur), faktor kimia (antiseptik, Gas anastesi), faktor ergonomi (cara kerja yang salah), faktor fisika (suhu, cahaya, bising, getaran dan radiasi), dan faktor psikososial (kerja bergilir, hubungan sesama atau atasan).
Bahaya potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di RS meliputi : No Bahaya Potensial 1
FISIK: Bising Geteran Debu Panas
Lokasi
Pekerja yang Paling Beresiko IPS-RS, laundry, dapur, CSSD, gedung Karyawan yang bekerja genset-boile, IPAL dilokasi tersebut Ruang mesin-mesin dan peralatan yang Perawat, cleaning service, dll menghasilkan getaran (ruang gigi, dll) Genset, bengkel kerja, laboratorium Petugas sanitasi, teknisi gigi, gigi, gudang rekam medis, incinerator petugas IPS dan rekam medis CSSD, dapur, laundry, incinerator, Pekerja dapur, pekerja boiler laundry, petugas sanitasi dab IP-RS
2
Radiasi
X-Ray, OK yang menggunakan c-arm, ruang fisioterapi, unit gigi
KIMIA: Disinfekta Cytotoxics
Semua area
Ethylene oxide Formaldehyde Methyl: Methacrylate, Hg(amalgam) Solvents
3
4
5
Ahli radiologi, radiotherapist dan radiografer, ahli fisioterapi dan petugas roentgen gigi. Petugas kebersihan, perawat
Farmasi, tempat pembuangan limbah, Pekerja farmasi, perawat, bangsal petugas pengumpul sampah Kamar operasi Dokter, perawat Laboratorium, kamar mayat, gudang Petugas kamar mayat, petugas farmasi laboratorium dan farmasi Ruang pemerisaan gigi Petugas / dokter gigi, dokter bedah, perawat Laboratorium, bengkel kerja, semua area di RS Ruang operasi gigi, OK, ruang pemuliahan (RR)
Teknisi, petugas laboratorium, petugas pembersih Gas-gas anaestasi Dokter gigi, perawat, dokter bedah, dokter/perawat anaestasi IGD, kamar operasi ruang pemeriksaan Dokter, dokter gigi, perawat, BIOLOGIK: AIDS, Hepatitis B gigi, laboratorium, laundry petugas laboratorium, petugas dan Non A- Non B sanitasi dan laundry Citomegalovirus Ruang kebidanan, ruang anak Perawat, dokter yang bekerja dibagian ibu dan anak Rubella Ruang ibu dan anak Dokter dan perawat Tuberculosis Bangsal, laboratorium, ruang isolasi Perawat, petugas laboratorium, fisioterapis Area pasien dan tempat penyimpanan Petugas yang menangani ERGONOMIK: Pekerjaan yang barang (gudang) pasien dan barang dilakukan secara manual Postur yang salah Semua area Semua karyawan dalam melakukan pekerjaan Pekerjaan yang Semua area Dokter gigi, petugas berulang pembersih, fioterapis, sopir, operator computer, yang berhubungan dengan pekerjaan juru tulis Semua karyawan PSIKOSOSISAL: Semua area Sering kontak dengan pasien, kerja bergilir, kerja berlebih, ancaman secara fisik
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Hasil 1. Hazard Lingkungan Kerja a. Faktor Kebisingan
Faktor kebisingan yang berlangsung di ruang operasi RS yaitu berasal dari alat suction, alat bor tulang, dan alat kauter. Bising yang timbul dari alat-alat tersebut muncul jika pintu ruang operasi yang sedang beroperasi terbuka. Selain bising bersumber dari peralatan kesehatan, bising juga berasal dari bunyi deringan telepon serta suara televisi yang menyala pada ruang dokter. Bising dari suara televisi yang muncul diakibatkan dua pintu yang menghubungkan ruang operasi dan ruang dokter tidak ditutup. Sumber-sumber bising tersebut menjadi polusi udara dan dapat di dengar sampai ke ruang ganti staf. b. Faktor Pencahayaan
Pencahayaan umum yang terdapat di ruang operasi berasal dari lampu yang di pasang di langit-langit. Terdapat pencahayaan alami seperti sinar matahari di ruangan namun tidak terlalu dominan, karena sedikitnya ventilasi yang ada. Terdapat juga bantuan pencahayaan dari lampu operasi yang berwarna putih kebiruan. c. Faktor Getaran Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan ruang operasi rumah sakit, pengelola bangunan ruang operasi rumah sakit harus mempertimbangkan jenis
kegiatan, penggunaan peralatan, atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan ruang operasi rumah sakit maupun di luar bangunan ruang operasi rumah sakit. Terdapat beberapa alat yang digunakan yang dapat menyebabkan getaran. Alat tersebut adalah bor dan suction. d. Faktor Biologis
Penerapkan cuci tangan tujuh langkah sebelum melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan. Bahkan diadakan pelatihan untuk prosedur cuci tangan para petugas medis maupun petugas non medis di ruangan operasi. Selain itu terdapat pula ruang tempat cuci tangan beserta dengan sabun serta larutan antiseptik. e. Faktor Ergonomi
Selama proses pembedahan berlangsung, para petugas medis berada dalam posisi berdiri yang cukup lama sampai operasi selesai. Sedangkan dari faktor kebersihan dan kerapian, ruang operasi RS harus tampak bersih dan rapi. f. Faktor Psikososial Jadwal jam dinas yang diterapkan pada ruang operasi yaitu dimulai pukul 07.00 4.00. Sedangkan jadwal jaga dibagi menjadi dua shift yaitu shift siang (14.00-21.00) dan shift malam (21.00-07.00). Hubungan para petugas harus terlihat cukup harmonis dan saling
menghargai tugas masing-masing. Petugas di ruang operasi harus mampu melakukan tugasnya masing-masing dengan baik. 2. Alat Kerja Yang Digunakan
Dari segi peralatan medis yang ada di Ruang Operasi RS harus memenuhi kriteria dari Permenkes No. 340 Tahun 2010. Alat kerja yang digunakan adalah alat-alat operasi, masker, mesin anestesi ventilator, electric suction, kauter, dan monitor. 3. Alat Pelindung Diri
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumah sakit sangatlah perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi berbahaya yang ada di rumah sakit
serta metode pengembangan program keselamatan dan kesehatan kerja perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik terhadap penyakit infeksi maupun non-infeksi. Strategi yang penting untuk mengurangi risiko pajanan patogen dan penularan infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan meliputi pengendalian administratif, pengendalian teknis dan lingkungan, serta yang tak kalah pentingnya yaitu penggunaan APD. Penggunaan APD pada ruang operasi berupa tutup kepala, masker, handscoon steril, pakaian OK, celemek, dan sepatu boot. Persediaan APD cukup harus memadai dan teratur sehingga tidak pernah terjadi kekurangan atau ketiadaan APD. APD dikenakan sesuai prosedur yang pernah didapatkan petugas dalam pelatihan. 4. Pemeriksaan Kesehatan Tidak ada pemeriksaan kesehatan secara berkala, namun petugas tetap yang bekerja diberi jaminan kesehatan sebesar Rp.1.500.000,00 dan juga jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK). Pemeriksaan dilakukan bila petugas mengalami keluhan dan memeriksakan dirinya. 5. Peraturan perusahaan mengenai K3 Para petugas medis harus mengetahui dan menjalankan peraturan-peraturan K3 yang ada pada RS. 6. Keluhan Kesehatan/Sakit Keluhan yang paling sering dialami oleh petugas berupa nyeri pinggang dan batuk. Apabila petugas sakit maka petugas akan berobat dengan menggunakan jaminan yang dimilikinya sehingga petugas tidak mengeluarkan biaya administrasi untuk berobat. Petugas tetap diberikan wewenang untuk mengambil cuti yaitu selama 12 hari jam kerja. 7. Upaya K3 lainnya Para petugas telah di berikan penyuluhan dan pelatihan mengenai K3 di ruang pertemuan. Sedangkan kepala perawatan sendiri mengikuti berbagai macam pelatihan dan penyuluhan sampai keluar daerah. Terdapat rambu-rambu bahaya dan rambu-rambu evakuasi yang tertempel pada dinding – dinding di lorong yang menuju ruangan operasi.
3.1. Pembahasan Ruang Operasi Rumah Sakit merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan medik di sarana pelayanan kesehatan. Dalam rangka mendukung Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka perlu disusun persyaratan teknis fasilitas ruang operasi rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja.
Ruang Operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit yang berfungsi sebagai daerah pelayanan kritis yang mengutamakan aspek hirarki zonasi sterilitas. Oleh karena itu kegagalan dalam pembedahan jangan sampai disebabkan oleh faktor perencanaan dan perancangan fisik bangunan dan utilitasnya yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Persyaratan Keselamatan pada Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit. Pelayanan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, termasuk “daerah pelayanan kritis”, sesuai SNI 03 – 7011 – 2004, Keselamatan pada bangunan fasilitas kesehatan”. 1. Sistem proteksi petir. a. Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk, ketinggian dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir, harus dilengkapi dengan instalasi proteksi petir. b. Sistem proteksi petir yang dirancang dan dipasang harus dapat mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir terhadap bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dan peralatan yang diproteksinya, serta melindungi manusia di dalamnya. c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir mengikuti SNI 03 – 7015 – 2004, Sistem proteksi petir pada bangunan gedung, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. 2. Sistem proteksi Kebakaran.
a. Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif. b. Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi, risiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/ atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit. c. Penerapan sistem proteksi aktif didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit.
Sistem proteksi aktif yang terdiri dari : - Hidran halaman - Sistem sprinkler otomatis - APAR - Sistem deteksi dan alarm kebakaran - Sistem pencahayaan darurat - Sistem peringatan bahaya - Tanda penunjuk arah
d. Apabila terjadi kebakaran di ruang operasi, peralatan yang terbakar harus segera disingkirkan dari sekitar sumber oksigen dan mesin anestesi atau outlet pipa yang dimasukkan ke ruang operasi untuk mencegah terjadinya ledakan. e. Api di ruang operasi harus dipadamkan, jika dimungkinkan, dan pasien harus segera dipindahkan dari tempat berbahaya. Peralatan pemadam kebakaran harus dipasang diseluruh rumah sakit. Semua petugas harus memahami ketentuan tentang cara-cara proteksi kebakaran. Mereka harus mengetahui persis tata letak kotak alarm kebakaran dan mampu menggunakan alat pemadam kebakaran tersebut. f. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif mengikuti : 1) SNI 03 – 3988 – 19950, atau edisi terakhir, Pengujian kemampuan pemadaman dan penilaian alat pemadam api ringan. 2) SNI 03 – 1736 – 2000, atau edisi terakhir, Tata cara perancangan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, 3) SNI 03 – 1745 – 2000, atau edisi terakhir,Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 4) SNI 03 – 3985 – 2000, atau edisi terakhir,Tata cara perencanaan, pemasangan dan pengujian sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 5) SNI 03 – 3989 – 2000, atau edisi terakhir, Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 6) atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. 3. Sistem kelistrikan. a. Sumber daya listrik. Sumber daya listrik pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, termasuk katagori “sistem kelistrikan esensial 3” , di mana sumber daya listrik normal dilengkapi dengan sumber daya listrik siaga dan darurat untuk menggantikannya, bila terjadi gangguan pada sumber daya listrik normal.
b. Jaringan. 1) Kabel listrik dari peralatan yang dipasang di langit-langit tetapi yang bisa digerakkan, harus dilindungi terhadap belokan yang berulang-ulang sepanjang track, untuk mencegah terjadinya retakan-retakan dan kerusakan-kerusakan pada kabel. 2) Kolom yang bisa diperpanjang dengan ditarik, menghindari bahaya-bahaya tersebut. 3) Sambungan listrik pada outlet-outlet harus diperoleh dari sirkit-sirkit yang terpisah. Ini menghindari akibat dari terputusnya arus karena bekerjanya pengaman lebur atau suatu sirkit yang gagal yang menyebabkan terputusnya semua arus listrik pada saat kritis. c. Terminal. 1) Kotak kontak (stop kontak) a) Setiap kotak kontak daya harus menyediakan sedikitnya satu kutub pembumian terpisah yang mampu menjaga resistans yang rendah dengan kontak tusuk pasangannya. b) Karena gas-gas yang mudah terbakar dan uap-uap lebih berat dari udara dan akan menyelimuti permukaan lantai bila dibuka, kotak kontak listrik harus dipasang 5 ft ( 1,5 m) di atas permukaan lantai, dan harus dari jenis tahan ledakan. 2) Sakelar. Sakelar yang dipasang dalam sirkit pencahayaan harus memenuhi SNI 04 – 0225 – 2000, Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL 2000), atau pedoman dan standar teknis yang berlaku. d. Pembumian. Kabel yang menyentuh lantai, dapat membahayakan petugas. Sistem harus memastikan bahwa tidak ada bagian peralatan yang dibumikan melalui tahanan yang lebih tinggi dari pada bagian lain peralatan yang disebut dengan sistem penyamaan potensial pembumian (Equal potential grounding system). Sistem ini memastikan bahwa hubung singkat ke bumi tidak melalui pasien. e. Peringatan. Semua petugas harus menyadari bahwa kesalahan dalam pemakaian listrik membawa akibat bahaya sengatan listrik, padamnya tenaga listrik, dan bahaya kebakaran. Kesalahan dalam instalasi listrik bisa menyebabkan arus hubung singkat, tersengatnya pasien, atau petugas. Bahaya ini dapat dicegah dengan : 1) Memakai peralatan listrik yang dibuat khusus untuk kamar operasi. Peralatan harus mempunyai kabel yang cukup panjang dan harus mempunyai kapasitas yang cukup untuk menghindari beban lebih. 2) Peralatan jinjing (portabel), harus segera diuji dan dilengkapi dengan sistem pembumian yang benar sebelum digunakan. 3) Segera menghentikan pemakaian dan melaporkan apabila ada peralatan listrik yang tidak benar.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem kelistrikan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti Permenkes 2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis Prasarana Instalasi Elektrikal RS. 4. Sistem gas medik dan vakum medik.
a. Vakum, udara tekan medik, oksigen, dan nitrous oksida disalurkan dengan pemipaan ke ruang operasi. Outlet-outletnya bisa dipasang di dinding, pada langit-langit, atau digantung di langit-langit. b. Bilamana terjadi gangguan pada suatu jalur, untuk keamanan ruang-ruang lain, sebuah lampu indikator pada panel akan menyala dan alarm bel berbunyi, pasokan oksigen dan nitrous oksida dapat ditutup alirannya dari panel-panel yang berada di koridor-koridor, Bel dapat dimatikan, tetapi lampu indikator yang memonitor gangguan/kerusakan yang terjadi tetap menyala sampai gangguan/kerusakan teratasi. c. Selama terjadi gangguan, dokter anestesi dapat memindahkan sambungan gas medisnya yang semula secara sentral ke silinder-silinder gas cadangan pada mesin anestesi. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem gas medik dan vakum medik pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti ”Pedoman Teknis Instalasi Gas Medik dan Vakum Medik di RS” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jendeal Bina Upaya Kesehan, Kenterian Kesehatan RI, Tahun 2011. C. Persyaratan kesehatan bangunan. 1. Sistem ventilasi. a. Ventilasi di ruang operasi harus pasti merupakan ventilasi tersaring dan terkontrol. Pertukaran udara dan sirkulasi memberikan udara segar dan mencegah pengumpulan gas-gas anestesi dalam ruangan. b. Dua puluh lima kali pertukaran udara per jam di ruang operasi yang disarankan.
c. Filter microbial dalam saluran udara pada ruang operasi tidak menghilangkan limbah gas-gas anestesi. Filter penyaring udara, praktis hanya menghilangkan partikelpartikel debu. d. Jika udara pada ruang operasi disirkulasikan, kebutuhan sistem scavenger untuk gas (penghisapan gas) adalah mutlak, terutama untuk menghindari pengumpulan gas anestesi yang merupakan risiko berbahaya untuk kesehatan anggota tim bedah. e. Ruang operasi menggunakan aliran udara laminair. h. Tekanan dalam setiap ruang operasi harus lebih besar dari yang berada di koridorkoridor, ruang sub steril dan ruang pencucian tangan (;scrub-up) (tekanan positif). i. Tekanan positif diperoleh dengan memasok udara dari diffuser yang terdapat pada langit-langit ke dalam ruangan. Udara dikeluarkan melalui return grille yang berada pada + 20 cm diatas permukaan lantai. j. Organisme-organisme mikro dalam udara bisa masuk ke dalam ruangan, kecuali tekanan positip dalam ruangan dipertahankan. k. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti “Pedoman Teknis Sistem Tata Udara pada Bangunan Rumah Sakit” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jendeal Bina Upaya Kesehan, Kenterian Kesehatan RI, Tahun 2011. 2. Sistem pencahayaan. a. Pencahayaan Umum. 1) Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya. 2) Ruang fasilitas / akomodasi petugas dan ruang pemulihan sebaiknya dibuat untuk memungkinkan penetrasi cahaya siang langsung/tidak langsung. 3) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan. 4) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat harus dipasang pada
bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman. 5) Semua sistem pecahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dibaca dan dicapai, oleh pengguna ruang. 6) Pencahayaan umum disediakan dengan lampu yang dipasang di langit-langit. 7) Disarankan pencahayaan ruangan menggunakan lampu fluorecent, dengan pemasangan sistem lampu recessed karena tidak mengumpulkan debu.
8) Pencahayaan harus didistribusikan rata dalam ruangan. 9) Dokter anestesi harus mendapat cukup pencahayaan, sekurang-kurangnya 200 footcandle (= 2.000 Lux), untuk melihat wajah pasiennya dengan jelas. 10) Untuk mengurangi kelelahan mata (fatique), perbandingan intensitas pencahayaan ruangan umum dan di ruang operasi, jangan sampai melebihi satu dibanding lima, disarankan satu berbanding tiga. 11) Perbedaan intensitas pencahayaan ini harus dipertahankan di koridor, tempat pembersihan dan di ruangannya sendiri, sehingga dokter bedah menjadi terbiasa dengan pencahayaan tersebut sebelum masuk ke dalam daerah steril. Warna-warni cahaya harus konsisten. b. Pencahayaan tempat operasi/bedah. 1) Pencahayaan tempat operasi/bedah tergantung dari kualitas pencahayaan dari sumber sinar lampu operasi/bedah yang menggantung (overhead) dan refleksi dari tirai. 2) Cahaya atau penyinaran haruslah sedemikian sehingga kondisi patologis bisa dikenal. Lampu operasi/bedah yang menggantung (overhead), haruslah : a) Membangkitkan cahaya yang intensif dengan rentang dari 10.000 Lux hingga 20.000 Lux yang disinarkan ke luka pemotongan tanpa permukaan pemotongan menjadi silau. Harus memberikan kontras terhadap kedalaman dan hubungan struktur anatomis. Lampu sebaiknya dilengkapi dengan kontrol intensitas. Dokter bedah akan meminta cahaya agar lebih terang jika diperlukan. Lampu cadangan harus tersedia. b) Menyediakan berkas cahaya yang memberikan pencahayaan diametral (lingkaran) dan mempunyai fokus yang tepat untuk ukuran luka pembedahan. Ini dilakukan dengan menyesuaikan tombol-tombol pengontrol yang terpasang di armatur/fixture lampu. Hal terpenting adalah menghindari terjadinya bagian yang gelap di daerah yang dibedah. Suatu fokus dengan ke dalaman 10 sampai 12 inci ( 25 sampai 30 cm) memberikan intensitas yang relatif sama pada permukaan dan kedalaman luka potong. Untuk menghindari kesilauan, suatu bagian berupa lingkaran dengan diameter 25 cm memberikan zona intensitas maksimum sebesar 5 cm di tengah bagian dan dengan 1/5 ( seperlima) intensitas disekelilingnya. c) Hilangkan bayangan. Sumber cahaya yang majemuk (banyak) atau reflektor yang majemuk (banyak) mengurangi terjadinya bayangan. Pada beberapa unit hubungannya tetap; yang lain mempunyai sumber sumber cahaya yang terpisah yang bisa diatur untuk mengarahkan cahaya dari sudut pemusatan. d) Pilihlah cahaya yang mendekati biru/putih (daylight). Kualitas cahaya dari tissue yang normal diperoleh dengan energi spektral dari 1800 hingga 6500 Kelvin (K). Disarankan menggunakan warna cahaya yang mendekati warna terang (putih) dari langit tidak berawan di siang hari, dengan temperatur kurang lebih 5000 K.
e) Kedudukan lampu operasi/bedah harus bisa diatur menurut suatu posisi atau sudut. Pergerakan ke bawah dibatasi sampai 1,5 m di atas lantai kalau dipergunakan bahan anestesi mudah terbakar. Jika hanya dipergunakan bahan tidak mudah terbakar, lampu bisa diturunkan seperti yang dikehendaki. Umumnya lampu operasi/bedah digantung pada langit-langit dan armature/fixturenya bisa digerakka /digeser-geser. Beberapa jenis lampu operasi/bedah mempunyai lampu ganda atau track ganda dengan sumber pada tiap track . Lampu operasi direncanakan untuk dipergunakan guna memperoleh intensitas cahaya yang cukup dan bayangan yang sekecil mungkin pada luka pembedahan. Armatur/fixture disesuaikan sedemikian hingga dokter bedah bisa mengarahkan sinar dengan perantaraan pegangan-pegangan yang steril pada armatur/fixture tersebut. Fixture/armature harus digerakkan seperlunya untuk mengurangi tersebarnya debu. f) Lampu operasi/bedah harus menghasilkan panas yang serendah rendahnya untuk menghindari luka pada jaringan (tissue) yang terekspos, untuk membuat ketenangan kerja tim, dan untuk mengurangi mikro organisme di udara. Ketika lampu memanas, aliran-aliran konveksi mengganggu mikroorganisme yang telah mapan dan menyebabkannya terbang mengudara. Panas yang dihasilkan beberapa armature/fixture di keluarkan oleh fan-fan ke luar ruangan. Panas yang dikeluarkan ke dalam ruangan oleh lampu operasi/bedah yang digantung, harus dapat didinginkan oleh sistem pengkondisian udara. Disarankan menggunakan lampu operasi jenis LED (Light Emmitted Diode) dengan temperatur lampu yang memenuhi sehingga dihasilkan lampu yang lebih fokus dan efek panas kecil. g) Lampu operasi/bedah menghasilkan kurang dari 25.000 microwatt per cm2 energi penyinaran (radiant energy). Jika mempergunakan banyak lampu (multi bulb), secara kolektip penyinaran tidak boleh melebihi limit tersebut pada satu tempat. Diluar jangkauan tersebut, energi penyinaran yang dihasilkan oleh sinar infra merah berubah menjadi panas di dekat permukaan jaringan yang terbuka. Sebagian gelombang infra merah dan gelombang panas diserap oleh mangkok filter yang menutupi bola lampu pijar. h) Lampu operasi harus mudah dibersihkan. Track (jalur) yang masuk ke dalam langit-langit dapat mengurangi akumulasi debu. Track yang tergantung atau suatu fixture/armatur
yang terpasang terpusat, harus mempunyai permukaan-permukaan yang halus yang mudah dicapai untuk pembersihan. i) Ikuti peraturan keselamatan instalasi listrik untuk lokasi anestesi. 3) Suatu lampu tambahan mungkin diperlukan untuk lokasi kedua di tempat operasi/bedah. Beberapa rumah sakit memiliki unit lampu satelit yang menjadi bagian dari armature lampu gantung. Lampu ini hanya bisa dipakai untuk lokasi kedua kalau pembuatnya menyatakan bahwa intensitas tambahannya masih dalam batas radiant energi yang aman jika digunakan bersamaan dengan sumber cahaya utama. 4) Suatu sumber cahaya yang berasal dari sirkit yang berlainan harus ada yang dapat dipergunakan pada saat sumber listrik utama terganggu. Ini memerlukan sumber daya listrik darurat yang terpisah. Terbaik jika lampu operasi dilengkapi sedemikian rupa sehingga suatu sakelar otomatik dipasang untuk sumber daya lampu darurat tersebut, jika sumber listrik yang normal terganggu. 5) Umumnya dokter bedah menyukai bekerja dalam kamar yang digelapkan dengan hanya pencahayaan yang kuat di tempat operasi/bedah. Kondisi ini terutama untuk dokter bedah dengan instrumen endoscopy dan mikroskop operasi. 6) Jika ruangannya berjendela, tirai yang tidak tembus cahaya boleh ditutup untuk menggelapkan ruangan jika peralatan tersebut sedang dipergunakan. Kemungkinan jatuhnya debu bisa terjadi pada rumah sakit yang mempunyai jendela dengan tirai-tirai tersebut. 7) Meskipun kondisi ruang operasi digelapkan, perawat atau dokter anestesi harus dapat dengan baik mengenali warna kulit pasien dan memonitor kondisinya. Jika pembiusan hanya menggunakan zat anestesi yang tidak mudah terbakar, semacam lampu tambahan bisa dipasang di lantai. 8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem pencahayaan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti: a) SNI 03 – 2396 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada bangunan gedung, b) SNI 03 – 6575 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada bangunan gedung, c) SNI 03 – 6574 – 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan darurat, tanda arah dan tanda peringatan, d) atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. 3. Sistem Sanitasi.
Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan. a. Sistem air bersih. 1) Sistem air bersih harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbang kan sumber air bersih dan sistem distribusinya. 2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau sumber air lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan peraturan perundangundangan. 3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan rehabilitasi medik harus memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan, sistem air bersih pada bangunan rehabilitasi medik mengikuti SNI 03 – 6481 – 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. b. Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah. 1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya. 2) Pertimbangan jenis air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk pemilihan sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang dibutuhkan. 3) Pertimbangan tingkat bahaya air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk sistem pengolahan dan pembuangannya. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah pada bangunan rehabilitasi medik mengikuti SNI 03 – 6481 – 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. c. Sistem pembuangan kotoran dan sampah.
1) Sistem pembuangan kotoran dan sampah harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.
2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah pada bangunan rehabilitasi medik, yang diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan volume kotoran dan sampah. 3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan lingkungannya. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pengolahan fasilitas pembuangan kotoran dan sampah pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. d. Sistem penyaluran air hujan. 1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota. 2) Setiap bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan. 3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diserapkan ke dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang berwenang. 5) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran. 6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan mengikuti SNI 03 – 6481 – 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. D. Persyaratan kenyamanan. 1. Sistem pengkondisian udara. a. Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, pengelola bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempertimbang kan temperatur dan kelembaban udara. b. Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan : 1) fungsi ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan. 2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan, dan 3) prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.
c. Sistem ini mengontrol kelembaban yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan. Kelembaban relatip yang harus dipertahankan adalah 45% sampai dengan 60%, dengan tekanan udara positif pada ruang operasi. d. Uap air memberikan suatu medium yang relatip konduktif, yang menyebabkan muatan listrik statik bisa mengalir ke tanah secapat pembangkitannya. Loncatan bunga api dapat terjadi pada kelembaban relatip yang rendah. e. Temperatur ruangan dipertahankan sekitar 190C sampai 240C. f. Sekalipun sudah dilengkapi dengan kontrol kelembaban dan temperatur, unit pengkondisian udara bisa menjadi sumber micro-organisme yang datang melalui filter-filternya. Filterfilter ini harus diganti pada jangka waktu yang tertentu. g. Saluran udara (ducting) harus dibersihkan secara teratur. h. Ruang operasi dilengkapi dengan sistem aliran laminar ke bawah dengan hembusan udara dari plenum ( 8 sampai 9 m2). Pada kondisi kerja dengan lampu operasi dinyalakan dan adanya tim bedah, suplai udara dan profil hembusan udara dipilih sedemikian rupa sehingga aliran udara tidak lewat melalui setiap sumber kontaminasi sebelum mengalir kedalam area bedah atau diatas meja instrumen. i. Jika pada area penyiapan instrumen/peralatan steril tidak dilakukan di bawah aliran udara aliran udara ke bawah dari langit-langit, preparasi steril dengan sistem aliran laminar kebawah harus dibuat sendiri dalam area preparasi steril atau tempat dimana preparasi steril dilakukan (contoh di koridor kompleks bedah). j. Sebaiknya dipastikan bahwa tidak ada emisi debu dari bagian bawah langit-langit pada area preparasi dan ruang operasi ke dalam ruangan. Langit-langit dengan bagian bawah yang rapat sebaiknya digunakan atau ruangan di bagian bawah langit-langit sebaiknya dapat menahan tekanan khususnya di area preparasi dan ruang operasi. k. Penting untuk memilih perletakan lubang ducting udara masuk dan keluar dari sistem ventilasi guna mencegah terkontaminasinya udara buang terisap kembali jika angin meniup dalam arah tertentu. l. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada bangunan rehabilitasi medik mengikuti SNI 03 – 6572 – 2001, atau edisi terakhir, Tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung , atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku. 2. Kebisingan a. Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, pengelola bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempertimbang kan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising lainnya baik yang berada pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit maupu di luar bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit b. Indeks kebisingan maksimum pada ruang operasi adalah 45 dBA dengan waktu pemaparan 8 jam.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan instalasi operasi mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. 3. Getaran. a. Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, pengelola bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempertimbang kan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit maupun di luar bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit. b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. E. Persyaratan kemudahan. 1. Kemudahan hubungan horizontal. a. Setiap bangunan rumah sakit harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit tersebut. b. Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang. c. Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan. d. Ukuran koridor sebagai akses horizontal antar ruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang dan jumlah pengguna. e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan pintu dan koridor mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. 2. Kemudahan hubungan vertikal. a. Setiap bangunan rumah sakit bertingkat harus menyediakan sarana hubungan vertikal antarlantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan rumah sakit tersebut berupa tersedianya tangga, ram, lif, tangga berjalan/eskalator, dan/atau lantai berjalan/travelator. b.
Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan rumah sakit, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan pengguna bangunan rumah sakit.
c. Setiap bangunan rumah sakit yang menggunakan lif, harus menyediakan lif kebakaran. d. Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif penumpang biasa atau lif barang yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan lif, mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. 3. Sarana evakuasi. a. Setiap bangunan rumah sakit, harus menyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu eksit, dan jalur evakuasi yang dapat dijamin kemudahan pengguna bangunan rumah sakit untuk melakukan evakuasi dari dalam bangunan rumah sakit secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat. b. Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu eksit, dan jalur evakuasi disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah dan kondisi pengguna bangunan rumah sakit, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman. c. Sarana pintu eksit dan jalur evakuasi harus dilengkapi dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan sarana evakuasi mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku. 4. Aksesibilitas. a Setiap bangunan rumah sakit harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk ke dan ke luar dari bangunan rumah sakit serta beraktivitas dalam bangunan rumah sakit secara mudah, aman nyaman dan mandiri. b. Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud meliputi toilet, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacat dan lanjut usia. 4. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas dan ketinggian bangunan rumah sakit. 5. Ketentuan tentang ukuran, konstruksi, jumlah fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan 1. Ada beberapa faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang operasi RS berupa: a. Kebisingan yang ditimbulkan oleh alat-alat pembedahan yang sedang beroperasi, dentingan telepon, dan suara televisi yang berasal dari kamar dokter. b. Faktor Kimia yang terdapat di ruang operasi RS berasal dari obat-obat anastesi dan bahan disinfektan. c. Faktor biologi yang terdapat pada tempat sampah yang masih belum ada tulisan pembeda antara sampah medis dan sampah non medis. d. Faktor ergonomik yaitu proses pembedahan yang pada umumnya memakan waktu cukup lama membuat petugas harus berada dalam posisi berdiri yang cukup lama. 2. Alat-alat yang digunakan di ruang operasi meliputi benda-benda tajam, beahan kimia dan juga alat yang berhubungan dengan listrik sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam pengoperasiannya. 3. Alat pelindung diri yang diterapkan pada petugas yang bekerja di ruang operasi telah memenuhi standar. 4. Ada tempat P3K di ruang operasi yang berada pada ruang penyimpanan obat-obatan. 5. Petugas di ruang operasi tidak ada pemeriksaan kesehatan berkala, namun mereka diberikan jaminan kesehatan sebesar Rp.1.500.000,00 dan juga JAMSOSTEK ataupun ASKES pada petuga tetap. 6. Ada peraturan dari pihak rumah sakit mengenai K3 namun petugas tidak mengetahui secara detail isi dari peraturan K3 tersebut. 7. Keluhan yang sering muncul pada petugas ruang operasi yaitu nyeri punggung belakang dan juga batuk. 8. Penyuluhan dan juga pelatihan mengenai K3 telah diberikan pada petugas ruang operasi. 9. Petugas di ruang operasi memahami cara pengoperasian tabung pemadam api serta lokasi penyimpanan dari tabung tersebut. Petugas juga mengetahui arah evakuasi apabila terjadi keadaan darurat.
Saran Agar tercapainya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang lebih terjamin, maka kami menyarankan agar usaha K3 yang dilakukan di rumah sakit khususnya di ruang operasi agar lebih di tingkatkan dan melengkapi peralatan ruang operasi baik alat bedah, mesih sterilisasi maupun tempat sampah medis dan non medis, serta memperhatikan dalam hal perawatan alat bedah dan penyimpanannya. Karena mengadakan sebuah fasilitas lebih mudah dibandingkan menjaga dan melakukan perawatan.
Daftar Pustaka
1. Javed S, Yaqoob T. Gender Based Occupational Health Hazards among Paramedical Staff in Pubic Hospitals of Jhelum. International Journal of Humanities and Social Science. 2011;1:175. 2. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 3. Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. 5. Supari S.F. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta : 2007. 6. Makary M.A, Al-attar A, Holzmueller C.G, Sexton J.B, Syin D, Gilson M.M, Sulkowski M.S, Pronovost P.J. Needlestick Injuries among Surgeons in Training. NEJM. 2007. p. 2693 7. WHO. Epidemic-prone & pandemic-prone acute respiratory diseases: Infection prevention & control in health-care facilities. Jenewa : 2007 8. Staff Dosen Emergency Medicine University of Sumatera Utara. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja. [Online on 2013] [Cited on September 2013]. Available from: http://ocw.usu.ac.id/course/detail/pendidikan-dokter-s1/1110000130emergency-medicine.html. 9. Tresnaningsih E. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan. Jakarta : 2008 10. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Ruang Operasi Rumah Sakit. Jakarta : 2012
LAMPIRAN
APD yang digunakan oleh petugas ruang bedah
Ruang Operasi utama bederta sumber pencahayaannya
Peralatan yang digunakan di ruang bedah