Referat
: 17 Januari 2012
Oleh
: Hasna Dewi
Pembimbing : dr. Makmuri Yusuf, Sp.PA (K)
PNEUMONIA
I.
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru-paru yang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit, akan tetapi dapat pula disebabkan iritan bahan kimia atau benda asing yang teraspirasi. Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat pada foto polos dada. Pneumonia dapat mengenai bayi, anak-anak, remaja, maupun orangtua. Angka kejadian pneumonia sekitar 15-20%. Pneumonia lebih banyak banyak ditemukan pada anak-anak dengan insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya bertambahn ya usia anak. Pneumonia dapat di klasifikasikan berdasarkan klinis dimana atau bagaimana peradangan ini didapat, penyebab dan berdasarkan anatomi atau penampakan patologi dari paru-paru yang terlibat. Pneumonia menurut Ackerman (2011) terbagi dalam Acute interstitial pneumonia (AIP), Organizing pneumonia, Lipoid pneumonia, Aspiration pneumonia, Eosinophilic pneumonia, Pneumocystis pneumonia dan pneumonia lain, sedangkan menurut Robbins (2010) terbagi dalam Community-acquired acute pneumonia, Community-acquired atypical pneumonia, Hospitalacquired pneumonia, Aspiration pneumonia, dan pneumonia kronis.
Gambaran histopatologi akan tampak reaksi peradangan pada parenkim paru, disekitar bronkiolus dan alveoli. Septum antar alveoli biasanya mengandung sel radang yang terdiri atas sel limfosit, histiosit, dan kadang-kadang sel plasma, dan dapat juga tampak pembentukan membrane hialin. Pada referat ini akan dibahas tentang berbagai jenis pneumonia, patogenesis, gambaran histopatologi, dan diagnosis banding pneumonia.
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi dan Histologi Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau
konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paruparu kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen. Darah yang akan dideoksigenasi dibawa oleh
arteri pulmonalis. Jaringan paru-paru
mendapat nutrisi dan oksigen dari arteri Bronchiales kiri dan kanan. Vena bronchiales membawa darah veous dari paru ke vena azygos, vena hemiazygos, atau vena intercostalis posterior. Plexus pulmonalis anterior dan posterior di depan dan belakang radix pulmonalis dibentuk oleh cabang-cabang nervus vagus yang terdiri dari serabut-serabut parasimpatis dan truncus sympathetis. Serabut-serabut eferen simpatis bersifat bronchodilator dan vasodilator, demikian pula serbut-serabut eferen parasimpatis disamping bekerja juga sebagai pemacu sekresi kelenjar. Serabut aferen berasal dari mukosa bronchus dan baroreseptor dinding alveoli. Serabut-serabut ini berjalan didalam syaraf simpatis dan parasimpatis menuju alveoli sistem syaraf pusat. Percabangan bronkus dimulai dari bronkus primer yang akan masuk ke paru melalui hilus yang akan bercabang menjadi bronkus sekunder (lobar), bercabang menjadi bronkus tersier (segmental), bercabang menjadi
bronkiolus terminalis. Ke arah distal bronkiolus terminalis,
yang akan bercabang menjadi 2 atau lebih bronkiolus respiratorius, semakin ke distal akan membentuk duktus alveolaris yang akan berakhir di sakus alveolaris yang akan berisi kumpulan alveoli.
2
Trakea hingga bronkiolus dilapisi oleh epitel
kolumnar berlapis semu, bersilia, dan
bersel goblet yang semakin ke distal semakin memendek seperti sel kuboid dengan silia dan sel goblet yang semakin sedikit. Pada dinding bronkus terdapat tulang rawan hialin dan kelenjar seromukosa, sedangkan pada bronkiolus hingga alveoli tidak terdapat lagi tulang rawan dan kelenjar pada dinding mukosanya. Lapisan otot polos terdapat pada dinding bronkus, lebih menonjol pada bronkiolus, dan
tidak dijumpai lagi pada alveoli. Duktus alveolaris sampai
alveoli dilapisi sel alveolar gepeng yang sangat tipis Alveoli merupakan tempat terjadi pertukaran gas. Pada dinding alveoli terdapat sel endotel yang melapisi kapiler, sel alveolar gepeng (sel pneumosit tipe I) yang berfungsi untuk melindungi permeabilitas pertukaran gas. Sel pneumosit tipe II yang akan berfungsi untuk regenerasi sel pneumosit dan penghasil surfaktan.
2.2
Klasifikasi
Secara umum, pneumonia berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :
Pneumonia non-infeksi
Pneumonia infeksi
Pneumonia dalam Ackerman (2011) terbagi dalam :
Diffuse pulmonary injury and interstitial lung disease
-
Acute interstitial pneumonia (AIP)
-
Usual interstitial pneumonia (UIP)
-
Desquamative interstitial pneumonia (DIP)
-
Lymphoid interstitial pneumonia (LIP)
-
Giant cell interstitial pneumonia (GIP)
-
Nonspecific interstitial pneumonia (NSIP)
Organizing pneumonia
-
Bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia (BOOP)
Lipoid pneumonia
Aspiration pneumonia
Eosinophilic pneumonia
Pneumocystis carinii pneumonia 3
Other pneumonia
Sedangkan Robbins (2010) membagi pneumonia menjadi :
Communityy-acquired acute pneumonia
Community-acquired atypical pneumonia
Hospital-acquired pneumonia
Aspiration pneumonia, dan
Pneumonia kronis
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri mempunyai 2 pola distribusi anatomik, yaitu : -
Bronkopneumonia
-
Pneumonia lobaris
2.3
Epidemiologi Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak di
dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja, meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Di Amerika Serikat pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2 tahun. UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada musim hujan.
4
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%.
2.4
Etiologi dan patogenesis Etiologi pneumonia sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme ( virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia/benda asing yang teraspirasi atau bahkan tidak diketahui. Umumnya mikroorganisme dapat sampai ke paru-paru melalui saluran nafas atas, akan tetapi penyebaran hematogen dari organ lain dapat pula terjadi.
Pneumonia
dapat terjadi jika mekanisme pertahanan pada saluran pernafasan bawah terganggu atau jika resistensi pejamu menurun. Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi mencakup adanya penyakit kronik, defisiensi immunologik dan pengobatan immunosupresif. Beberapa hal yang dapat menyebabkan mekanisme pertahanan terganggu adalah hilangnya atau tertekannya reflek batuk, cedera pada perangkat mukosilia, gangguan pada fungsi fagositik makrofag alveolus, kongesti dan edema paru serta adanya akumulasi sekresi. Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi. Pada neonatus Streptococcus group monocytogenes merupakan penyebab pneumonia
paling banyak. Virus
B dan Listeriae adalah penyebab
terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering
didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus, sedangkan pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus
dan batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas,
adalah isolat yang
tersering ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia.
5
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur. Umur
Lahir-20 hari
Penyebab yang sering
Bakteria
Penyebab yang jarang
Bakteria
Escherichia colli Haemophillus influenzae Listeria monocytogenes
Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus
3 minggu- 3 bulan
Bakteria
Bakteria
Clamydia trachomatis Streptococcus pneumoniae
Virus
Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza typeable
type
B
&
non
Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
influenza virus 1,2 and
4 bulan-5 tahun
3
Virus
Bakteria
Bakteria
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus
Clamydia pneumoniae
Moxarella catarrhalis
Mycoplasma pneumoniae Virus
influenza type B
Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus
5 tahun- remaja
Bakteria
Bakteria
Clamydia pneumoniae
Haemophillus
influenza type B
Mycoplasma pneumoniae
Legionella species
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
Virus
6
Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi Communityy-acquired acute pneumonia Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae Moraxella catarrhalis Staphylococcus aureus Legionella pneumophila Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp. Community-acquired atypical pneumonia Mycoplasma pneumoniae Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis) Coxiella burnetii (Q fever) Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B (adults); adenovirus (military recruits); SARS virus Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae ( Klebsiella spp., Serratia marcescens, Escherichia coli) and Pseudomonas spp. Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant) Pneumonia kronis Nocardia Actinomyces Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis
Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi local imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan 7
ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas. Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal, disertai eksudasi masif eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri yang mengisi rongga alveolus. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi merah. Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan disintegrasi progresif eritrosit dan menetapnya eksudat fibrinosupuratif. Pada tahap akhir resolusi, eksudat yang sudah mengalami proses enzimatik yang menghasilkan debris granular yang dapat diresorbsi, difagosit oleh makrofag, dan dibatukkan keluar, atau mengalami organisasi oleh fibroblas. Virus
menginvasi bronkiolus dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan mengenai
banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam bronkiolus. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam bronkiolus maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga terjadi pada ruang intersitial. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Pneumonia aspirasi terjadi karena terhirupnya isi lambung secara tidak sengaja atau karena muntah berulang, biasanya pada pasien-pasien yang mengalami gangguan reflek menelan dan muntah. Jika bahan yang teraspirasi berupa materi lemak atau minyak maka akan terjadi lipoid pneumonia tipe eksogen. Jika sumber lemak berasal dari endogen, disebut
lipoid
pneumonia tipe endogen, yang biasanya berhubungan dengan emboli lemak, proteinosis alveolus
paru dan gangguan penyimpanan lemak. Pada acute interstitial pneumonia (AIP), etiologinya tidak diketahui, biasanya terjadi pada dewasa muda yang sebelumnya menderita penyakit mirip influenza. Pada pasien yang 8
selamat, dapat terjadi kekambuhan dan menjadi penyakit interstitium kronik berupa Usual interstitial pneumonia (UIP), Desquamative interstitial pneumonia (DIP), Lymphoid interstitial pneumonia (LIP), Giant cell interstitial pneumonia (GIP) dan
Nonspecific interstitial
pneumonia (NSIP). Eosinophilic pneumonia ditandai oleh infiltrasi eosinofil. Beragam penyakit yang
umumnya bersifat immunologis seperti rheumatoid arthritis, poliarteritis nodosa, scleroderma, atau pada infeksi cacing, hipersensitif obat-obatan seperti nitrofurantoin, filarial dan aspergillus dapat menyebabkan eosinophilic pneumonia, akan tetapi mekanismenya belum dapat diketahui. Kebanyakan kasus pneumocystis carinii pneumonia ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis yang berat dan dengan system immune yang rendah, dapat pula ditemukan pada anak berusia 6 minggu hingga 6 bulan. Pneumonia ini disebabkan oleh parasit binatang pneumocystis carinii. Organizing pneumonia merupakan peradangan intraalveolar, yang ditandai dengan
adanya organisasi eksudat sehingga menjadi terlokalisir. Beberapa kasus ini disebabkan oleh infeksi Haemophilus influenza dan Streptokokkus pneumonia. Jika disertai obstruksi fibrotik pada bronkiolus disebut Bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia (BOOP),
yang
kejadiannya dihubungkan dengan beberapa kondisi seperti infeksi, obat-obatan dan collagenvascular disease.
2.5
Patologi
Acute interstitial pneumonia (AIP)
Merupakan bentuk progresif pneumonia interstisial yang berlangsung cepat. Pada stadium awal, paru tampak merah, padat, berat dan bengkak. Secara mikroskopis tampak edema interstisium, perdarahan intraalveolar, dan deposit fibrin. Dinding alveolus dilapisi oleh membrane hialin seperti lilin. Di tahap organisasi, sel pneumosit II mengalami proliferasi sebagai upaya untuk membentuk kembali lapisan dinding alveolus. Terjadi organisasi eksudat fibrin yang menyebabkan fibrosis intraalveolus, diikuti penebalan yang mencolok pada septum alveolus akibat priliferasi fibroblast dan pengendapan kolagen.
9
Usual interstitial pneumonia (UIP)
Merupakan bentuk kronis pneumonia interstisial dengan gambaran paru yang membentuk sarang lebah (honeycombing) yang merupakan hasil dari proses fibrotik yang irregular, proliferasi otot polos, dan pembentukan mikrokistik. Secara mikroskopis, tampak infiltrasi berbagai sel radang (heterogen) yang menonjol dengan latar yang sedikit.
Desquamative interstitial pneumonia (DIP)
Terdapat sel-sel besar mononuclear didalam rongga alveoli dengan sedikit perubahan pada interstisium. Tidak terdapat nekrosis, membrane hialin dan fibrin.
Lymphoid interstitial pneumonia (LIP)
Karakteristik berupa adanya infiltrasi limphosit yang menonjol, dapat pula ditemukan histiosit dan sel plasma pada jaringan interstitium.
Giant cell interstitial pneumonia (GIP)
Merupakan bentuk paling jarang dari pneumonia interstiasial. Terdapat sel raksasa berinti banyak (multinucleated giant cells) beserta sel radang lainnya.
Nonspecific interstitial pneumonia (NSIP)
Secara mikroskopis mempunyai 2 pola yaitu pola selular dan pola fibrotikans. Pola selular terutama terdiri dari peradangan interstisium kronik ringan sampai sedang , terdiri dari limfosit dan beberapa sel plasma dengan distribusi merata atau bebercak. Pola fibrotikans terdiri dari fibrosis interstisium difus atau bebercak dengan tidak dijumpai heterogenitas sel radang
Organizing pneumonia
Terjadi organisasi eksudat fibrin sehingga terlokalisir dan tampak sebagai daerah – daerah konsolidasi padat, berbatas tegas, berwarna abu-abu kemerahan sampai merah kekuningan pada peribronkus dan subpleura. Secara mikroskopis tampak eksudat terdiri atas fibrin dan sel radang yang mengalami organisasi seperti bola ( Masson body) didalam alveoli. Tidak dijumpai fibrosis interstisium dan honeycombing.
10
Lipoid pneumonia
Tampak lesi berbatas tegas, terdiri dari materi lipid yang sudanophilic, sel-sel radang, proliferasi sel alveoli . Alveoli tampak terisi makrofag yang mengandung vakuol – vakuaol besar dan jernih.
Aspiration pneumonia
Karakteristiknya adalah ditemukannya materi benda asing pada jaringan paru, disertai sel radang dan sel raksasa benda asing. Sering disertai nekrotik.
Eosinophilic pneumonia
Infiltrasi sel radang eosinofil yang menonjol merupakan karakteristik dari pneumonia ini, dapat dijumpai sel plasma dan histiosit.
Pneumonia lobaris Merupakan infeksi bakteri akut yang menyebabkan konsolidasi fibrinosupuratif satu bagian besar atau keseluruhan sebuah lobus. Terdapat 4 tahap respon peradangan yaitu : 1.
Stadium kongesti
Makroskopis : lobus yang terkena akan berat, merah penuh dengan cairan, pada irisan keluar cairan kemerah-merahan Mikroskopis : kapiler melebar dan kongestif, rongga alveolar mengandung cairan jernih (serous), neutrofil yang menyebar dan banyak bakteri. Susunan alveolar masih tampak. 2.
Stadium hepatisasi merah
Makroskopis : lobus paru-paru tampak lebih padat sehingga konsistensinya menyerupai jaringan hepar. Pada irisan, tampak kering, granuler dan berwarna merah Mikroskopis : rongga alveolus dipenuhi oleh neutrofil yang bertambah banyak, sel darah merah, fibrin dan pleura biasanya memperlihatkan eksudat fibrinosa atau fibrinopurulen. Semua sel tampak jelas dan berbatas tegas 3.
Stadium hepatisasi kelabu ( konsolidasi )
Makroskopis : paru menjadi kering, berwarna pucat kelabu dan padat. Mikroskopis : Sel-sel tamapak kabur karena aktivitas enzim proteolitik. Fibrin lebih menggumpal, dan bakteri tidak tampak lagi. Makrofag dijumpai. 11
4.
Stadium resolusi
Makroskopis : parenkim paru kembali basah, dan pada irisan keluar cairan keruh Mikroskopis : tampak eksudat di dalam alveolus sebagian mengalami absorpsi, arsitektur paru tetap utuh dan tampak fibrosa atau perlekatan permanen
Bronkopneumonia (Pneumonia lobularis) Karakteristik dominan adalah konsolidasi paru yang berbercak. Makroskopis : akan tampak bercak-bercak di satu atau beberapa lobus, terutama dilateral dan basal. Paru akan tampak lebih meninggi, berdiameter 3 atau 4 cm, berwarna merah abu-abu hinggá kuning. Mikroskopis : Konsolidasi dapat berbentuk bercak yang menyebar di satu lobus atau lebih sering multilobus, bilateral dan pada bagian basal berada disekitar bronkiolus. Pada dinding bronkiolus bersebukan sel radang akut, lumen berisi eksudat dan sel epitel tampak rusak. Eksudat supuratif yang mengisi bronkus, bronkiolus dan rongga alveolus. Paru-paru disekitarnya sebagian tampak normal, sebagian mengalami emfisema.
Pneumocystis carinii pneumonia
Kedua paru-paru mengalami konsolidasi berwarna kelabu-putih. Alveolus berisi cairan berbuih yang mengandung kista dan spora parasit.
Pneumonia kronis Umumnya merupakan suatu lesi lokalisata pada pasien immunokompeten, dengan disertai peradangan granulomatosa berupa sel-sel epiteloid, infiltrasi limfosit, sel raksasa dengan atau tanpa nekrosis.
2.6 Gejala klinis Gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-gejala meliputi biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti 0
dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 C , sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi, Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah, dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal 12
waktu bernafas dengan suara napas bronchial Kadang-kadang melemah. Didapatkan ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar.
2.7 Diagnosis Diagnosis
pneumonia
utamanya
didasarkan
klinis,
berdasarkan
anamnesis
dan
pemeriksaan fisik, dibantu oleh pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi. Diagnosa pasti dapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologik berupa kultur sputum untuk mengetahui mikroorganisme penyebab.
2.8 Diagnosis Banding. Diagnosis banding pneumonia interstisium dengan gambaran makroskopis adanya honeycombing adalah emphisema dan asbestosis. Diagnosis banding organizing pneumonia dengan gambaran radiologik berupa bayangan radioopaque bulat-oval berbatas tegas adalah tumor paru. Diagnosis banding pneumonia kronik aleh karena histoplasma berupa adanya granuloma adalah dengan tuberculosis Paru
2.9 Terapi Idealnya tatalaksana pneumonia tergantung etiologi dan kuman penyebab. Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Walaupun pneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa antibiotika, tetapi pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus
dengan bakteri,
kesulitan
disamping
diagnosis
kemungkinan
virologi
infeksi
dan kesulitan
dalam
isolasi
penderita,
bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. Golongan beta
itu
laktam
(Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam) merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri
seperti Streptococcus
pneumoniae,
Haemophillus
influenza
dan
Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan sefalosporin sebagai
pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin. Pada umumnya ampisilin
dan kloramfenikol
pasien
pneumonia
masih sensitif.
yang
Pilihan
community
berikutnya
acquired,
adalah obat
golongan sefalosporin 13
Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian
antibiotik harus segera dimulai saat
tanda awal
pneumonia
didapatkan
dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3. Dapat dipertimbangkan juga pemberian: -
Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
-
Anti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus
-
Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena jamur
-
Pemberian imunoglobulin
Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14 hari.
2.10 Prognosis Prognosis pneumonia secara umum baik, tergantung dari kuman penyebab dan penggunaan antibiótika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik serta intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit. Prognosis pneumonia interstisial dipengaruhi pola morfologi mana yang dominan, apakah fibrosis atau seluler. Pola fibrosis yang dominan mempunyai prognosis lebih buruk.
14
III. PEMBAHASAN Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru-paru yang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit, akan tetapi dapat pula disebabkan iritan bahan kimia atau benda asing yang teraspirasi. Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi. Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli . Pneumonia akut sebagian besar disebabkan oleh bakteria, dan tidak jarang infeksi ini terjadi setelah infeksi saluran napas atas. Streptococcus pneumonia atau pneumococcus merupakan bakteria tersering penyebab pneumonia akut. Infeksi pneumococcus meningkat frekuensinya pada pasien penyakit kronis seperti pada penyakit PPOK, pasien dengan Immunocompromised. Orgnisme lain yang sering diperkirakan berperan dalam pneumonia akut adalah
haemophilus
influenza,
moraxella
catarralis,
staphylococcus
aureus,
klebsiella
pneumoniae, pseudomonas aeruginosa, legionella pneumophilia. Communityy-acquired acute pneumonia adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.
Banyak variabel, misalnya mikroba etiologi, reaksi pejamu dan luas keterlibatan jaringan paru, menentukan bentuk pneumonia. Misalnya, pada pneumonia lobaris sebagian besar disebabkan oleh streptokokkus pneumoni (90-95 %). Kata atipikal pada Community-acquired atypical pneumonia menunjukkan keadaan berupa : sputum dalam jumlah sedang, tidak ada tanda adanya konsolidasi, peningkatan sedang hitung leukosit, dan tidak adanya eksudat alveolus. Penyebab terseringnya adalah infeksi mycoplasma. Penyebab lain adalah respiratory syncytial virus, virus parainfluenza, adenovirus Penumonia nosokomial adalah infeksi paru yang diperoleh sewaktu pasien dirawat di rumah sakit. Penumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman misalnya S.pneumoniae, H.Influenzae, Methicillin sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman multi drug resistance (MDR) misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi. Infeksi nosokomial sering terjadi pada pasien dengan penyakit berat, imunosupresi, terapi antibiotik yang berkepanjangan dan pasien yang mendapat ventilator merupakan kelompok yang sangat berisiko.
15
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang muntah berulang sehingga pasien akan menghirup isi Lampung pada saat tidak sadar, misalnya pada pasien estela stroke, dimana pasien ini memiliki gangguan réflex tersedak dan menelan yang mempermudah aspirasi. Inflamasi pada paru merupakan infeksi karena bahan yang teraspirasi mungkin mengandung bacteria aerob dan anaerob, seperti Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Haemophillus influenza, pseudomonas aeruginosa. Diagnosis banding pneumonia interstisium dengan gambaran makroskopis adanya honeycombing adalah emphisema dan asbestosis. Pada emfisema terbentuk blebs atau bula akibat
alveoli-alveoli yang berdekatan berkonfluen membentuk rongga udara yang besar, tidak terdapat fibrosis dan peradangan interstisial seperti pada pneumonia interstisium. Pada asbestosis lanjut, dapat dijumpai honeycombing, akan tetapi selain itu juga dijumpai pleural fibrosis dan asbestos bodies.
Diagnosis banding organizing pneumonia dengan gambaran radiologik berupa bayangan radioopaque bulat-oval berbatas tegas adalah tumor paru. Secara radiologik, sulit dibedakan bayangan yang dihasilkan tumor paru dan organizing pneumonia. Pemeriksaan patologi penting dilakukan untuk membuktikan adanya organizing pneumonia. Diagnosis banding pneumonia kronik oleh karena histoplasma berupa adanya granuloma adalah dengan tuberculosis Paru. Gambaran mikroskopisnya akan tampak berupa granulomagranuloma yang terdiri dari makrofag yang membentuk struktur seperti sel epitel yang disebut epiteliod dan sel epiteliod ini yang saling menyatu membentuk formasi giant sel dengan Inti berbaris di pinggir sitoplasma disebut sel langhans. Pusat dari granuloma ini seringnya mengalami nekrosis dan jeringan nekrotik tersebut seperti keju sehingga disebut nekrosis perkejuan. Pada infeksi histoplasma, dapat dijumpai granuloma dengan nekrosis, dan ditemukan pula bentuk ragi 3-5 mm berdinding tipis yang terpulas dengan perak metenamin.
16
IV..KESIMPULAN Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang disebabkan oleh bakteria, virus, jamur, atau parasit. atau bahan iritan/kimia yang teraspirasi. Pneumonia dapat di klasifikasikan berdasarkan klinis dimana atau bagaimana peradangan ini didapat, penyebab dan berdasarkan anatomi atau penampakan patologi dari paru-paru yang terlibat. Pneumonia dapat mengenai bayi, anak-anak, remaja, maupun orang tua. Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologik kultur sputum. Pengobatan yang adekuat berdasarkan etiologi sangat penting, biasanya berupa pemberian antibiotik. Prognosis pneumonia pada umumnya baik dan tergantung dari penanganan dan penatalaksanaannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Robbin S.L, Cotran R.S, Kumar V, Collins T, Basic Pahtology of Disease, 8
th
ed WB
Sounders Company, Philadelphia, 2010:710-720. 2. (On Line) 4 Aug 2010 http://www.Medical new today.com 3. Rosai J. Rosai and Ackerman’s Surgical Pathology.9 th e d. Toronto:Mosby, 2004: 379-382 4. Junquire LC, Carneiro J.Basic Histology Text and Atlas 11 th ed. McGraw Hill 2005 : 345358. 5. Eroschenco VP, Atlas Histology di Fiore dengan Korelasi fungsional, edisi 9, EGC, Jakarta 1997 : 239-243. 6. http:/en.Wikipedia.Org/Wiki/pneumonia. 7. Sectish TC, Prober CG.Pneumonia. Dalam:Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting, Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke – 17. Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1432-5 8. Ostapchuk M, Robert Dm, Haddy R. Community Acquired Pneumonia in Infant and Children. Am Fam PHysician 2004; 70:899-908. 9. 3 Aug 2009 Pneumonia is an infetion of the lungs that is caused by bacteria, virases, fungi, or parasites. www.medicalnewstoday.com/articles . 10. Correa Ag, Starke JR. Bacterial pneumonias. Dalam : Chernick V, Boat F, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke – 6. Philadelphia :WB Saunders. 1998 : 485-503 11. Castro AV, Carvalho CMN, Oliveira FN, Neto CA, Andrade SC, Loureiro LS dkk. Additional Markers to refine the World Health Organization Algorithm for Diagnosis of Pneumonia. Indian Pediatr 2005 ; 42:773-81 12. http://astaquliyah.com/2010/07 13. American Thoracic Society. Guidelines for Management of adults with community – acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2011:1730-1754
18