Kejang Demam
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK
KEJANG DEMAM
Pembimbing:
dr. Pulung M. Silalahi, Sp.A
Disusun oleh:
Faustine Bagya Rahardja (07120070069) (07120070069)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE 9 APRIL – 16 JUNI 2012
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
1
Kejang Demam
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK
KEJANG DEMAM
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto
Telah disetujui dan dipresentasikan pada Selasa, 8 Mei 2012
Disusun oleh: Faustine Bagya Rahardja (07120070069) (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Jakarta, 8 Mei 2012 Dosen Pembimbing
Dr. Pulung M. Silalahi, SpA
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
2
Kejang Demam
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK
KEJANG DEMAM
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto
Telah disetujui dan dipresentasikan pada Selasa, 8 Mei 2012
Disusun oleh: Faustine Bagya Rahardja (07120070069) (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Jakarta, 8 Mei 2012 Dosen Pembimbing
Dr. Pulung M. Silalahi, SpA
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
2
Kejang Demam
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Adapun maksud dan tujuan penulis dalam menyusun referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam program Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto. Referat yang berjudul “ Kejang Demam” Demam” berisi tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patogenesis/ patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang), diagnosis diagnosis banding, tata laksana, dan prognosis prognosis dari kejang demam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Pulung M. Silalahi, Sp.A yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu, saran yang membangun diharapkan oleh penulis. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Selamat membaca dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Mei 2012
Penulis
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
3
Kejang Demam
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Etiologi Kejang Demam ..................................................................... 12 Gambar 2. Mutasi genetik pada kejang demam ................................................... 15 Gambar 3. Membran potensial ............................................................................. 16 Gambar 4. Eksitabilitas neuron selama propagasi impuls ................................... 17 Gambar 5. Propagasi impuls sepanjang neuron .................................................. 18 Gambar 6. Patogenesis/ patofisiologi kejang demam ......................................... 19 Gambar 7. Bangkitan kejang tonik-klonik ........................................................... 20 Gambar 8. Tempat pengukuran suhu pada anak dan nilainya ............................. 22 Gambar 9. Algoritme kejang akut dan status epileptikus ..................................... 34
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
4
Kejang Demam
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3 DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 4 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 5 BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................... 7 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 7 1.2. Tujuan .......................................................................................................... 8 1.3. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8 1.4. Metode ......................................................................................................... 8 BAB II. PEMBAHASAN ....................................................................................... 9 2.1. Definisi ......................................................................................................... 9 2.2. Klasifikasi .................................................................................................... 9 2.3. Epidemiologi .............................................................................................. 12 2.4. Etiologi ....................................................................................................... 12 2.5. Patogenesis/ Patofisiologi .......................................................................... 15 2.6. Manifestasi klinis ....................................................................................... 19 2.7. Diagnosis .................................................................................................... 20 2.7.1. Anamnesis ........................................................................................... 21 2.7.2. Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 21 2.7.3. Pemeriksaan penunjang....................................................................... 23 2.8. Diagnosis Diferensial ................................................................................. 24 2.9. Tatalaksana ................................................................................................ 24 2.9.1. Penatalaksanaan saat kejang ............................................................... 25 2.9.2. Pemberian obat pada saat demam ....................................................... 26 2.9.3. Pemberian obat rumat ......................................................................... 26 2.9.4. Edukasi pada orang tua ....................................................................... 27 2.10. Prognosis .................................................................................................. 28 2.10.1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis ........ 28 2.10.2. Kemungkinan mengalami kematian ................................................. 28 2.10.3. Kemungkinan berulangnya kejang demam ....................................... 29
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
5
Kejang Demam
2.10.4. Faktor resiko terjadinya epilepsi ....................................................... 29 BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 30 3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32 LAMPIRAN.......................................................................................................... 34
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
6
Kejang Demam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan bentuk kejang pada anak-anak yang paling sering ditemukan.1,2 Keadaan ini sudah digambarkan sejak zaman Hipocrates. 3,4 Awalnya keadaan ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan gigi, karena paling sering terjadi pada anak berusia di bawah 3 tahun. 4 Pada abad ke-19, keadaan ini dianggap sebagai bentuk epilepsi yang dipicu oleh demam. 4 Saat ini kita mengerti bahwa kejang demam merupakan respon yang berhubungan dengan usia, dari otak yang imatur, terhadap demam, yang berbeda dari epilepsi.4 Selain itu, faktor genetik juga berkontribusi terhadap terjadinya kejang demam. 3,4 Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.3,5 Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun.5 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, tidak termasuk ke dalam kejang demam.5 Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.5 Berbagai pakar mengemukakan penggolongan kejang demam, diantaranya Prichard dan McGreal, Livingston, dan Fukuyama. 3 Penggolongan ini didasarkan pada jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.3 Menurut Konsensus UKK Neurologi IDAI 2006, kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. 5 Kejang demam sederhana terjadi pada sebagian besar kasus kejang demam, dimana kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), sifat kejangnya umum, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. 5 Kejang demam merupakan hal yang menakutkan, namun biasanya tidak membahayakan.3 Namun begitu, tatalaksana yang adekuat sangatlah penting. 6 Setelah kejang berhasil diatasi, dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan klinis neurologis, serta pemeriksaan penunjang untuk mencari
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
7
Kejang Demam
etiologi.6 Pengobatan lanjutan dilakukan pada kondisi tertentu. 6 Selain itu, edukasi kepadaorang tua juga penting dilakukan. 5 Prognosis dari kejang demam umumnya baik. Kematian dan kecacatan akibat kejang demam tidak pernah dilaporkan. 5 Kemungkinan berulangnya kejang demam adalah sebesar 10-15%.5 Sebanyak 5% dari kejang demam beresiko terhadap terjadinya epilepsi di kemudian hari. 3
1.2. Tujuan
Beberapa tujuan dari penyusunan referat ini, diantaranya: 1. Memahami definisi dari kejang demam 2. Memahami klasifikasi dari kejang demam 3. Mengetahui epidemiologi dari kejang demam 4. Memahami etiologi serta patofisiologi terjadinya kejang demam 5. Memahami manifestasi klinis dari kejang demam 6. Memahami diagnosis dan diagnosis diferensial dari kejang demam 7. Memahami tatalaksana dari kejang demam 8. Memahami prognosis dari kasus kejang demam
1.3. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam referat ini, yaitu: 1. Apakah definisi dari kejang demam? 2. Bagaimana klasifikasi dari kejang demam? 3. Bagaimana epidemiologi dari kejang demam? 4. Apakah etiologi dan bagaimana patofisiologi terjadinya kejang demam? 5. Apakah manifestasi klinis dari kejang demam? 6. Bagaimana diagnosis dan apa diagnosis banding untuk kejang demam? 7. Bagaimana tatalaksana kejang demam? 8. Bagaimana prognosis dari kejang demam?
1.4. Metode
Pembuatan referat ini menggunakan metode kajian pustaka.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
8
Kejang Demam
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Menurut National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun, berhubungan dengan demam, namun tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang. 4 Definisi ini mengeksklusi kejang dengan demam pada anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. 4 Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah bangkitan kejang yang berhubungan dengan demam, tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau ketidakseimbangan elektrolit akut, pada anak berusia lebih dari 1 bulan, yang tidak pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumnya.4 Menurut Konsensus Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Neurologi IDAI ), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.5 Definisi ini mengeksklusi anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. 5 Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. 5
2.2. Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.
Klasifikasi kejang demam menurut Prichard dan McGreal 3 Prichard dan McGreal membagi kejang demam menjadi:
Kejang demam sederhana
Kejang demam tidak khas
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
9
Kejang Demam
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut digolongkan sebagai kejang demam tidak khas.
Kejang bersifat simetris
Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun
Suhu 100°F (37,78°C) atau lebih
Lama kejang kurang dari 30 menit
Keadaan neurologis sebelum dan setelah kejang adalah normal
Elektroensefalografi setelah kejang normal
Klasifikasi kejang demam menurut Livingston3 Livingston membagi kejang demam menjadi:
Kejang demam sederhana o
Kejang bersifat umum
o
Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
o
Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun
o
Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun
o
Elektroensefalografi normal
Epilepsi yang dicetuskan oleh demam o
Kejang bersifat fokal
o
Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
o
Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun
o
Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun
o
Elektroensefalografi setelah anak tidak demam abnormal
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama3 Fukuyama membagi kejang demam menjadi:
Kejang demam sederhana
Kejang demam kompleks
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
10
Kejang Demam
Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.
Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga
Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
Lama kejang kurang dari 20 menit
Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)
Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca-kejang
Tidak ada abnormalitas neurologis atau perkembangan sebelumnya
Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus UKK Neurologi IDAI 5 Berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI, kejang demam diklasifikasikan menjadi:
Kejang demam sederhana ( simple febrile seizure) Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: o
Kejang lama. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
o
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
o
Kejang berulang. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
11
Kejang Demam
2.3. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. 5 Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan kejang demam kompleks. 5 Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam, sedangkan kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.5 Kejang demam lebih sering terjadi pada anak lakilaki daripada perempuan dengan perbandingan 1,4:1. 7
2.4. Etiologi
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.
Gambar 1. Etiologi Kejang Demam (Sumber: Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012; 79(3):10-13)
Infeksi yang berakibat pada kejang demam Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam. 8 Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama didasarkan atas reaksi demam yang terjadi. 3,9 Faktor lain yang mungkin berperan menyebabkan kejang demam, antara lain: 3,8
Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
12
Kejang Demam
Ensefalitis viral yang ringan yang tidak tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
Virus Influenza A dan B 4,10 Infeksi virus influenza A merupakan penyebab terpenting kejang demam, terutama di Asia. Hal ini berkaitan dengan tingginya insidensi kejang demam pada infeksi virus ini dibandingkan dengan infeksi virus saluran nafas lainnya, seperti adenovirus dan virus parainfluenza. Pada anak dengan infeksi virus Influenza A ditemukan suhu maksimal yang lebih tinggi, durasi demam yang lebih pendek sebelum timbulnya kejang, dan kejang fokal. Respiratory Synctitial Virus (RSV)4 Komplikasi neurologis, meliputi ensefalopati dengan hipotonus dan kejang atau ensefalopati yang bermanifestasi dengan kejang, dilaporkan berkaitan dengan infeksi RSV. Oleh karena itu, baik melalui proses inflamasi langsung ataupun tidak langsung, RSV memiliki efek neurotoksik dan menyebabkan ensefalopati selama infeksi saluran nafas akut. Enterovirus4 Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin “cytokine storm” pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi enterovirus-71. Kejang demam juga dapat disebabkan oleh infeksi enterovirus lainnya, seperti Coxsackievirus Grup A.
Rotavirus4 Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi tersering pada anak-anak berusia 3-24 bulan. Kejang sebelum onset gastroenteritis dilaporkan terjadi pada 40% kasus. Hilangnya cairan dan elektrolit pada diare rotavirus juga terlibat dalam patogenesis terjadinya kejang.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
13
Kejang Demam
Herpesvirus4 Beberapa
anggota
keluarga
herpesvirus
memiliki
neurotropisme
dan
menyebabkan gangguan neurologis pada anak, diantaranya: virus herpes simpleks 1, virus herpes simpleks 2, varicellazoster, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human herpes virus 6 , dan human herpes virus 7. Virus herpes simpleks 1, cytomegalovirus, human herpes virus 6 , dan human herpes virus 7 berkaitan dengan kejang demam. Berdasarkan penelitian, human herpes virus 6 , dan human herpes virus 7 berkaitan dengan kejang lama (30 menit atau lebih).
Bakteri4,11 Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang demam. Beberapa penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella dysenteriae (enteritis), Streptococcus pneumoniae (infeksi saluran nafas), dan Escherichia coli (infeksi saluran kemih) berkaitan dengan kejang demam.
Vaksinasi4,5 Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi. Kejang demam yang berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi. Kejang demam terutama terjadi pasca pemberian vaksin tertentu, khususnya vaksin dengan organisme yang dilemahkan, seperti vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) dan vaksin yang mengandung toksin atau vaksin dengan preparat sel utuh ( whole cell ), seperti vaksin whole cell pertusis. Angka kejadian pasca vaksinasi MMR adalah 25-34 per 100.000 anak, sedangkan pasca vaksinasi DTwP adalah 6-9 kasus per 100.000 anak. Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak yang mengalami kejang demam.
Genetik 4 Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang demam. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko terbesar pada keluarga tingkat pertama (orang tua dan saudara kandung). Namun, pola turunan dari kejang demam tidak diketahui. Sekitar 10-20% saudara kandung dari anak
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
14
Kejang Demam
dengan kejang demam akan mengalami kejang demam. Dalam penelitian pada saudara kembar dan orang tua, kejang demam dapat diturunkan sebesar 70%. Sebagian
besar
penelitian
mendukung
pola
pewarisan
poligenik
atau
multifaktorial. Jarang ditemukan pola pewarisan monogenik pada kejang demam.
Gambar 2. Mutasi genetik pada kejang demam (Sumber: Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.
2.5. Patogenesis/ Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam hingga saat ini belum sepenuhnya dimengerti. Kejang demam merupakan fenomena yang terkait dengan usia. 1 Beberapa penelitian mengemukakan terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu demam, imaturitas otak dan termoregulator, serta predisposisi genetik.1,4 Kejang merupakan kondisi akibat aktivitas neuronal yang berlebihan pada otak.1 Neuron (unit fungsional terkecil dari sistem saraf) memiliki sifat khusus, yaitu eksitabilitas, merupakan kemampuan untuk menciptakan sinyak elektrik, menintegrasikannya, dan mentransmisikannyake neuron lain dan efektor. 12
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
15
Kejang Demam
Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70 mV.12 Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di luar sel akibat pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel. 12
Gambar 3. Membran potensial (Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Pada neuron, perbedaan muatan di dalam dan di luar sel meupakan perbedaan jenis dan konsentrasi ion. konsentrasi K + lebih tinggi di dalam daripada di luar sel, sebaliknya konsentrasi Na+ lebih tinggi di dalam daripada si luar sel. Gradien konsentrasi K + keluar sel menyebabkan pergerakan pasif K + keluar sel ketika kanal selektif K + terbuka. Hal sama terjadi pada Na+, yaitu ketika gradient konsentrasi Na+ keluar sel, terjadi pergerakan pasif Na+ keluar sel ketika kanal selektif Na+ terbuka. Oleh karena lebih banyaknya kanal K + yang terbuka dibandingkan kanal Na + saat istirahat, permeabilitas membran terhadap K + lebih besar. Perbedaan konsentrasi ini dijaga oleh pompa Na+/K + ATPase.12 Sel saraf memiliki ambang batas untuk dapat tereksitasi. Stimulus dapat berupa elektrik, kimia, ataupun mekanik. Ada 2 respon sel saraf terhadap stimulus, yaitu potensial aksi dan potensial sinaptik. Hal ini terjadi karena konduksi ion-ion melewati membran sel saraf akibat perubahan kanal ion. 12
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
16
Kejang Demam
Sebagai respon terhadap stimulus yang mendepolarisasi, beberapa kanal Na+ terbuka, dan ketika potensi ambang batas tercapai, terjadilah potensial aksi. Setelah itu kanal Na+ menjadi inaktif (periode refraktori relatif dan absolut). Kemudian, terjadilah repolarisasi dengan terbukanya kanal K +. Kanal K + terbuka lebih lambat dan lebih lama daripada kanal Na+menyebabakan keadaan hiperpolarisasi.
Setelah
keadaan
hiperpolarisasi,
kondisi
berangsur-angsur
kembali lagi ke membran potensial istirahat. Setelah potensial aksi, respons propagasi terjadi yang secara elektrotonikal mendepolarisasi membran di depannya.12
Gambar 4. Eksitabilitas neuron selama propagasi impuls (Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Impuls ditransmisikan antara satu neuron dengan yang lain atau antara neuron dengan sel lain pada sinaps. Sinaps merupakan pertemuan antara akson (sel presinaps) dengan dendrit, soma, atau akson neuron lainnya atau pada otot dan kelenjar (sel post-sinaps). Komunikasi yang terjadi dapat berupa elektrik ataupun kimia. Pada sinaps kimia, terdapat celah sinaptik yang memisahkan antara sep
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
17
Kejang Demam
pre-sinaps dengan sel post-sinaps. Komunikasi dilakukan dengan mengirimkan sinyal kimiawi yang dapat berdifusi melalui celah sinaps dan menempel pada reseptor post-sinaps. Sedangkan pada sinaps elektrik, membran pre-sinaps dan post-sinaps saling berdekatan, membentuk gap junctions.12
Gambar 5. Propagasi impuls sepanjang neuron ( Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Selain itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada otak, diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak adalah glukosa. Melalui proses oksidasi, glukosa dipecah menjadi CO2 dan air.13 Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari K + maupun Na+ mengakibatkan terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
18
Kejang Demam
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadi kejang. 13 Selain itu, pada anak terdapat imaturitas mekanisme termoregulator dan kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan metabolisme energi selular. 4 Pada percobaan dengan binatang ditemukan bahwa eksitabilitas neuronal juga meningkat selama proses maturasi otak.4 Predisposisi genetik juga terbukti berkontribusi terhadap kejang demam dengan pola pewarisan poligenik. 4
Gambar 6. Patogenesis/ patofisiologi kejang demam (Sumber: http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/patofisiologikejang-demam.jpg)
2.6. Manifestasi klinis
Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara neurologis sebelum dan setelah kejang demam. 7 Serangan kejang pada kejang demam biasanya berkaitan dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39°C atau lebih) dan cepat. 1 Umumnyaserangan kejang terjadi dalam
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
19
Kejang Demam
24 jam pertama timbulnya demam.3 Sebagian besar serangan kejang demam berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan kejang berbentuk umum.3 Umumnya kejang tidak berulang dalam 24 jam. 3 Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama), ataupun kejang fokal.3 Saat kejang anak tidak sadar.3 Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan. 3 Pada fase setelah kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak kelelahan atau tertidur. Hal ini dapat terjadi hingga 15 menit atau lebih.7
Gambar 7. Bangkitan kejang tonik-klonik (Sumber: http://drdjebrut.files.wordpress.com/2010/01/grand-mal-seizure.jpg)
2.7. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 6
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
20
Kejang Demam
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu ditanyakan kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang mengenai kejang: jenis kejang, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang (termasuk kesadaran). Hal yang menyertai kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak, kemunduran, dan lainnya juga perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat kejang. Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi atau perlahan-lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul, apakah membaik dengan pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare, manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan. Hal ini bertujuan mengidentifikasi sumber infeksi. Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah anak mengalami gangguan neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan apakah anak mengkonsumsi obat-obatan anti kejang, atau obat-obatan lainnya. Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting ditanyakan. Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga. Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan riwayat kehamilan ibu, apakah pernah mengalami sakit selama kehamilan, apakah ibu merokok selama kehamilan. Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan usianya. Pada riwayat vaksinasi, ditanyakan apakah anak baru saja menerima vaksinasi MMR atau DTwP.
7
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan) dan status tumbuh kembang anak. Pasien kejang seringkali mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih menjadi normal kembali bila
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
21
Kejang Demam
kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang buruk merupakan tanda yang buruk. Pemeriksaan suhu tubuh pada anak dapat dilakukan di beberapa tempat, seperti pada gambar.
Gambar 8. Tempat pengukuran suhu pada anak dan nilainya (Sumber: http://netdoctor.co.uk/)
Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan neurologis, antara lain:
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan brudzinsky II
Pemeriksaan nervus kranialis I-XII
Tanda
peningkatan
tekanan
intrakranial:
ubun-ubun
membonjol,
papiledema
Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan patologis)
Pemeriksaan
sensorik:
sensibilitias
eksteroseptif,
propioseptif,
dan
diskriminatif
Pemeriksaan autonom
Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat juga dicari, seperti infeksi saluran nafas akut, otitis media akut, infeksi saluran kemih, enteritis, dan lainnya. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan, diantaranya pemeriksaan terhadap adanya fraktur kranial akibat trauma kepala, kelainan kraniofasial sebagai tanda gangguan perkembangan korteks serebri, korioretinitis sebagai tanda infeksi rubella, cytomegalovirus, dan toxoplasmosis, dan lainnya.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
22
Kejang Demam
2.7.3. Pemeriksaan penunjang
14,15,16
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam, diantaranya sebagai berikut.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 - 6.7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan
Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan
Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
23
Kejang Demam
Pencitraan Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis)
Paresis nervus VI
Papiledema
2.8. Diagnosis Diferensial6,7
Diagnosis diferensial dari kejang demam diantaranya:
Infeksi intrakranial: meningitis dan ensefalitis
Keracunan: alkohol, teofilin, kokain, dan lainnya
Gangguan
metabolik:
hipoksemia,
hipoglikemia,
hipokalsemia,
hiponatremia,
hipomagnesemia,
hipernatremia,
gangguan
asam-basa,
defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati
Gangguan metabolik bawaan
Trauma kepala
Penghentian obat antiepilepsi mendadak
Lain-lain: ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial
Idiopatik
2.9. Tatalaksana
5,6,17
Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang yang harus dilakukan adalah:
Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan fungsi sirkulasi yang adekuat. Bila anak datang dalam keadaan kejang, tanyakan beberapa hal penting saja agar tidak membuang waktu sambil memeriksa fungsi vital dengan cepat. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dilakukan setelah kejang teratasi.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
24
Kejang Demam
Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pasien diletakkan dalam posisi miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Lendir dihisap, diberikan oksigen 100%. Jangan memasukkan benda keras antara gigi yang sudah terkatup.
Terminasi kejang dan pencegahan kembalinya kejang.
2.9.1. Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0.3-0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0.5-0.75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan lebih dari 10 kg. Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam) Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemeberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0.30.5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah berhenti,
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
25
Kejang Demam
pemeberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
2.9.2. Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali deberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).
Antikonvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0.5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)
2.9.3. Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai berikut (salah satu) :
Kejang lama > 15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
26
Kejang Demam
hidrosefalus. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat
Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai fokus organik
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila : o
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
o
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
o
Kejang demam > = 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis
Lama pengobatan rumat Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
2.9.4. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
Memberitahukan cara penanganan kejang
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
27
Kejang Demam
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat untu mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
Tetap tenang dan tidak panik
Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
Tetap bersama pasien selama kejang
Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
2.10. Prognosis5,18
Prognosis dari kejang demam umumnya baik.
2.10.1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
2.10.2. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
28
Kejang Demam
2.10.3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah:
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Usia kurang dari 12 bulan
Temperatur yang rendah saat kejang
Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.
2.10.4. Faktor resiko terjadinya epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
Kejang demam kompleks
Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkianan epilepsi mejadi 10-49% (level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemebrian obat rumat pada kejang demam.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
29
Kejang Demam
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kejang demam (menurut UKK Neurologi IDAI) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Definisi ini mengeksklusi anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.
Berdasarkan
Konsensus
UKK
Neurologi
IDAI,
kejang
demam
diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana ( simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan kejang demam kompleks. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 1,4:1.
Kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan vaksinasi yang mempresipitasi terjadinya demam. Faktor genetik juga berkontribusi terhadap terjadinya kejang demam.
Kejang demam terjadi akibat lepasnya muatan listrik secara berlebihan sebagai akibat perubahan membran potensial. Perubahan ini diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme basal dan kebutuhan oksigen karena demam.
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis diferensial kejang demam diantaranya infeksi intrakranial, keracunan, gangguan metabolik, dan lainnya.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
30
Kejang Demam
Tatalaksana kejang demam: o
Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
o
Terminasi kejang dan pencegahan kembalinya kejang
Penatalaksaan saat kejang
Pemberian obat saat demam
Pemberian obat rumat
Edukasi pada orang tua
Prognosis kejang demam umumnya baik. neurologis berulangnya
dan
kematian
kejang
tidak
demam
pernah
adalah
Kecacatan atau kelainan dilaporkan.
sebesar
Kemungkinan
10-15%.Kemungkinan
terjadinya epilepsi di kemudian hari sebesar 5%.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
31
Kejang Demam
DAFTAR PUSTAKA 1. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Amerika Serikat: Elsevier Saunders, Inc.; 2011. 2. Hay W, Levin M, Sondheimer J, Deterding R. Current Diagnosis and Treatment: Pediatrics. Edisi ke-20. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011. 3. Lumbantobing
S.
Kejang
Demam.
Jakarta:
Balai
Penerbit
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 4. Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112. 5. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2006. 6. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan
RSUPN
Dr.
Cipto
Mangunkusomo.
Pediatric
Neurology
and
Neuroemergency in Daily Practice. .Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006. 7. Baumann R. Febrile Seizures [Online]. [Diunduh tanggal 24 April 2012]. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/ 8. Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012; 79(3):10-13. 9. Mayhar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk Factors of the First Febrile Seizures in Iranian Children. International Journal of Pediatrics 2010; 2010:13. 10. O’Leary M, Chappell J, Stratton C, Cronin R, Taylor M, Tang Y. Complex Febrile Seizures Followed by Complete Recovery in an Infant with High-Titer 2009 Pandemic Influenza A (H1N1) Virus Infection. Journal of Clinical Microbiology 2010; 48(10): 3803-3805.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
32
Kejang Demam
11. Kimia A, Ben-Joseph E, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D, Johnston P, dan Harper M. Yield of Lumbar Puncture Among Children Who Present With Their First Complex Febrile Seizure. Pediatrics 2010; 126; 62-69. 12. Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010. 13. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershson A.
Rudolph’s
Pediatrics.Edisi ke-22. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011. 14. Ojha A, Aryal U. Leucocytosis in Febrile Seizure. Journal of Nepal Pediatric Society 2011; 31(3): 188-191. 15. Farrell Kevin, Goldman R. The Management of Febrile Seizures. British Columbia Medical Journal 2011; 53(6): 268-273. 16. Subcommitee on febrile seizures. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2011; 127: 389-394. 17. Steering committee on quality improvement and management, subcommittee on febrile seizures. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Longterm Management of the Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2008; 121: 1281-1286. 18. Ojha A, Shakya K, Aryal U. Recurrence Risk of Febrile Seizure in Children. Journal of Nepal Pediatric Society 2012; 32(1): 33-36.
Faustine B. Rahardja (07120070069) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
33