PROSES FERMENTASI (BATCH, FED BATTCH DAN CONTINUES PROCESS) Oleh : Anto Susanto P2AA11054
Proses fermentasi jika ditinjau berdasarkan cara operasinya, maka dapat dibedakan menjadi 2 (Iman, 2008), diantaranya : A. Fermentasi cara cair Contoh produk : etanol , protein sel tunggal, antibiotic, antibiotic, pelarut organic, organic, kultur starter , dekomposisi selulosa dekomposisi selulosa,, pengolahan limbah cair, beer , glukosa isomerase, isomerase, dan lain sebagainya. B. Fermentasi padat ( solid solid state fermentation) fermentation) Contoh produk : tape, oncom, koji dan lain sebagainya. Pada proses fermentasi cair dapat dibedakan menjadi 2 (Bambang, 2010), diantaranya : 1. Fermentasi bawah permukaan ( submerged submerged fermentation) fermentation) Contoh produk : etanol, dan lain sebagainya. 2. Fermentasi Fermentasi permukaan ( surface surface fermentation) fermentation) Contoh produk : nata de coco, coco, dan lain sebagainya. Pada s ystem fermentasi bawah permukaan ( submerged submerged fermentation) fermentation) dapat digolongkan lagi menjadi beberapa cara, diantaranya : 1. Batch Process a). Pengertian Batch Process
Menurut Iman, 2008 (2008) Batch (2008) Batch Process merupakan fermentasi dengan cara memasukan media dan inokulum secara bersamaan ke dalam bioreactor dan pengambilan produk dilakukan pada akhir fermentasi. Pada system Pada system batch, batch, bahan media dan inokulum
dalam waktu yang hampir bersamaan di masukan ke dalam bioreactor, dan pada saat proses berlangsung akan terjadi terjadi perubahan kondisi di dalam bioreactor (nutrient akan berkurang dan produk serta limbah). b). Contoh produk Sistem Batch Process
Adapun contoh produk yang dapat menggunakan system Batch Process, diantaranya : yang mungkin dilakukan untuk skala kecil adalah fermentasi batch. untuk pembuatan Bioetanol : Food Grade dan Industrial ( Kosmetika , kesehatan dsb). Tidak direkomendasikan menambahkan UREA,NPK dan Bahan Kimia lainya kecuali : Ragi ( Mikroba etanol ) (Bambang, 2010). Pada penelitian yang dilakukan Tri Supriyanto (2010), tentang “ Fermentasi Etanol dari Molases dengan Zymomonas mobilis A3 yang Diamobilisasi pada K-Karagenan” juga dapat dilakukan dengan cara Batch. Ragi yang dapat digunakan dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerivisiae, Saccharomyces uvarum (tadinya Saccharomyces carlsbergensis), Candida utilis, Saccharomyces anamensis, Schizosccharomyces pombe. Hasil penelitian lainnya juga dilakukan oleh Caylak dan Vardar (1998), dalam Widjaja (2010), Penelitian ini membandingkan produksi etanol dengan berbagai proses fermentasi yaitu, batch, kontinyu, fed-batch, dan semi-kontinyu menggunakan glukosa sebagai substrat dengan konsentrasi substrat 220 g/L dan bakteri Saccharomyces cerevisiae baik yang freecells maupun immobilisasi sel . c). Alasan menggunakan System Batch Process
Pada system fermentasi Batch, pada pasarnya prinsipnya merupakan sistem tertutup, tidak ada penambahan media baru, ada penambahan oksigen (-O2) danaerasi, antifoam dan asam/basa dengan cara kontrol pH (Iman, 2008). Batch Fermentation banyak diterapkan dalam dunia industri, karena kemudahan dalam proses sterilisasi dan pengontrolan alat (Minier and Goma, 1982) dalam Setiyo Gunawan (2010). Selain itu juga, pada cara batch menurut penelitian yang dilakukan Hana Silviana (2010), mengatakan bahwa cara batch banyak diaplikasikan di industri etanol karena dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi. Kendala menggunakan System Batch Process:
Pada fermentasi secara batch untuk fermentasi etanol terjadi kendala yaitu produktivitas etanol rendah. Rendahnya produktivitas etanol karena pada kondisi tertentu etanol yang dihasilkan akan menjadi inhibitor , yang akan meracuni mikroorganisme sehingga mengurangi aktivitas enzim, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Reksowardojo (2007) tentang produksi etanol menggunakan cara batch. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Minier dan Goma (1982) dalam Hakim (2010), bahwa fermentasi cara ini mempunyai kendala bahwa konsentrasi etanol yang
dihasilkan sangat rendah karena produksi etanol yang terakumulasi akan meracuni mikroorganisme pada proses fermentasi. Akumulasi dari produk terlarut yang bersifat racun akan menurunkan secara perlahan-lahan dan bahkan dapat menghentikan pertumbuhan serta produksi dari mikroorganisme. Kendala lain yang terjadi pada cara batch adalah pada proses batch hanya satu siklus dimana pertumbuhan bakteri dan produksi gas metan semakin lama semakin menurun karena tidak ada substrat baru yang diumpankan dalam reactor (Aprilianto, 2010). Hal ini juga diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Natalia Hariani (2010), proses batch mempunyai kendala, membutuhkan waktu fermentasi yang lama, konsentrasi etanol yang dihasilkan rendah akibat akumulasi produk etanol yang dapat meracuni mikroorganisme pada proses fermentasi. Akumulasi dari produk terlarut yang bersifat racun akan menurunkan secara perlahan-lahan dan selanjutnya menghentikan pertumbuhan mikroorganisme serta produksi etanol. Pada system batch, jumlah bakteri akan terus bertambah sedangkan tidak ada substrat yang ditambahkan dalam reaktor sehingga glukosa yang terkonversi menjadi etanol akan semakin besar (Hana, 2010). Keuntungan menggunakan System Batch Process :
Menurut Rommy (2010), Bioreaktor tipe batch Tipe batch memiliki keuntungan lain yaitu dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu – waktu tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25%). Bila bahan berserat/ sulit untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru. d). Prinsip (prosedur/SOP) System Batch Process
Sebagai contoh, merupakan cara batch yang digunakan adalah cara batch anaerob dari penelitian Soewondo (2010). Reaktor yang digunakan dalam dalam hal ini adalah reaktor batch anaerob dengan volume operasional sebesar 4 L. Pada penutup reaktor, terdapat 2 buah selang silikon untuk sampling gas dan penambahan substansi (penetralan pH dengan basa), termometer , serta pengaduk. Untuk reaktor cair, digunakan magnetic stirrer sebagai pengaduk. Substrat yang telah dicampurkan dengan inokulum dimasukkan ke dalam reaktor . Setelah reaktor ditutup dengan rapat, nitrogen dialirkan untuk mengusir oksigen yang berada dalam reaktor supaya tercipta suasana anaerob. Reaktor dioperasikan selama 65 hari. 2. Proses sinambung (Continues Process) a). Pengertian Sinambung (Continues Process)
Pada cara Sinambung (Continues Process), pengaliran subtrat dan pengambilan produk dilakukan secara terus menerus (sinambung) setiap saat setelah diperoleh konsentrasi
produk maksimal atau subtract pembatasnya mencapai konsentrasi yang hampir tetap (Rusmana, 2008). Dalam hal ini subtrat dan inokulum dapat ditambahkan bersama-sama secara terus menerus sehingga fase eksponensial dapat diperpanjang. Ada 2 tipe siste, yaitu : homogenously mixed bioreactor dan Plug flow reactor. Pada tipe Homogenously mixed bioreactor dapat dibagi menjadi 2 macam diantaranya Chemostat dan Turbidostat (Rusmana, 2008). b). Contoh produk System Sinambung (Continues Process)
Adapun contoh produk yang dapat menggunakan system sinambung (Continues Process) diantaranya : protein sel tunggal, antibiotic, pelarut organic, kultur starter, dekomposisi selulosa, pengolahan limbah cair, beer, glukosa isomerase, etanol (Rusmana, 2008). Selain itu juga pembuatan etanol dapat digunakan cara System Sinambung (Continues Process), hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Soehadi Reksowardojo (2010) Produksi etanol dari molases secara fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cereviceae dalam fermentor kontinyu. Proses fermentasi secara kontinyu menggunakan yeast Saccharomyces cereviceae dengan Immobilized Cell dalam Ca-Alginate di dalam Bioreactor Packed-bed . Peneliti Katherin (2010), juga telah melakukan fermentasi dengan bioreactor System Sinambung (Continues Process) pada fermentasi limbah cair tahu, bioreaktor ini digunakan untuk mengolah limbah cair tahu yang dikondisikan terlebih dahulu derajat keasamannya dan dicampur dengan bakteri starter EM4 dengan rasio 0.02%. c). Alasan menggunakan System Sinambung (Continues Process)
Pada System Sinambung (Continues Process), pada pasarnya prinsipnya merupakan fermentasi kontinyu dimana pada fermentor sistem terbuka, ada penambahan media baru, ada kultur yg keluar, volume tetap dan fase fisiologi sel konstan (Iman, 2008). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Reksowardojo (2007), bahwa pada sistem kontinyu dengan dilution rate yang lebih kecil (waktu tinggal yang lebih besar) memberikan hasil konsentrasi etanol yang lebih mendekati sistem batch sehingga apabila waktu tinggal dalam reaktor diperpanjang, memungkinkan konsentrasi etanol yang dihasilkan lebih mendekati sistem batch. Dalam hasil penelitian yang sama, menurut Reksowardjo (2007), dikatakan bahwa proses fermentasi kontinyu dengan mmobilisasi sel akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan fermentasi batch. Pada fermentasi secara batch untuk fermentasi etanol terjadi kendala yaitu produktivitas etanol rendah. Rendahnya produktivitas etanol karena pada kondisi tertentu etanol yang dihasilkan akan menjadi inhibitor, yang akan meracuni mikroorganisme sehingga mengurangi aktivitas enzim. Untuk mencari solusi terhadap kelemahan tersebut dari hasil penelitian Abdul Hakim (2010), maka pada produksi etanol dari molases ini dilakukan proses fermentasi secara kontinyu dalam
bioreaktor packed bed menggunakan teknik immobilized cell dengan K-Karaginan sebagai supporting matrice. Hal ini juga dapat kita lihat secara jelas dalam penelitian yang dilakukan Darmawan (2010), yaitu dengan melakukan proses fermentasi secara kontinyu dalam bioreaktor packed bed secara immobilisasi sel dengan Zymomonas mobilis termutasi menggunakan Ca-Alginat yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan konsentrasi glukosa terhadap konsentrasi, yield , dan produktivitas etanol. Hasil penelitian Hana Silviana (2010), juga memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan, fermentasi dengan sistem kontinyu memberikan konsentrasi etanol yang lebih kecil dari pada sistem batch yaitu 58,82 g/L untuk sistem kontinyu pada dilution rate 0,18/jam dan 59,44 g/L untuk sistem batch. Hal ini dapat terjadi karena waktu tinggal pada sistem kontinyu lebih pendek yaitu 5,55 jam dan 3,33 jam dari pada sistem batch yaitu 48 jam. Hal ini dapat terjadi karena pada sistem batch, jumlah bakteri akan terus bertambah sedangkan tidak ada substrat yang ditambahkan dalam reaktor sehingga glukosa yang terkonversi menjadi etanol akan semakin besar. Pada sistem kontinyu dengan dilution rate yang lebih kecil (waktu tinggal yang lebih besar) memberikan hasil konsentrasi etanol yang lebih mendekati sistem batch sehingga apabila waktu tinggal dalam reaktor diperpanjang, memungkinkan konsentrasi etanol yang dihasilkan lebih mendekati sistem batch. d). Prinsip (prosedur/SOP) System Sinambung (Continues Process)
Bioreaktor yang dibuat adalah jenis one stage kontinyu, yang terdiri dari tiga komponen utama (penampung sementara, reaktor dan gas kolektor ) (Katherin, 2010). Pada tipe aliran kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui jarak tertentu, keluar di ujung yang lain. Tipe ini mengatasi masalah pada proses pemasukan dan pengosongan pada tipe batch. Menurut Aprilianto (2010), terdapat dua jenis dari tipe aliran kontinyu: Vertikal, dikembangkan oleh Gobar Gas Institute, India Horisontal, dikembangkan oleh Fry di Afrika Selatan dan California, selain itu dikembangkan oleh Biogas Plant Ltd. dengan bioreaktor yang terbuat dari karet Butyl (butyl ruber bag). Dalam penelitian Tontowi (2010), yang telah terapkan pada proses fermentasi kontinyu dilakukan dalam mixed flow reactor yang bervolume 1 L dengan kecepatan putar 100 rpm. Proses fermentasi ini diawali dengan melakukan fermentasi semibatch selama 16 jam. Sebelum fermentasi dimulai, reaktor terlebih dahulu diisi dengan bead sampai volume mencapai 1/5 volume reaktor . Setelah 16 jam, proses fermentasi kontinyu mulai dilakukan dengan mengalirkan feed dalam fermentor menggunakan pompa peristaltik. Laju alir feed (media molasses) disesuaikan dengan variabel dilution rate yang dipakai. 3. Gabungan system batch dan kontinyu (Fed-Batch Process) a). Pengertian Fed-Batch Process
Sistem fed-batch adalah suatu sistem yang rnenambahkan media baru secara teratur pada kultur tertutup, tanpa mengetuarkan cairan kultur yang ada di dalam fermentor sehingga volume kultur makin lama makin bertambah Tri Widjaja (2010. Menurut Rusmana (2008), pada cara fed-batch yaitu memasukan sebagian sumber nutrisi (sumber C, N dan lain-lain) ke dalam bioreactor dengan volume tertentu hingga diperoleh produk yang mendekati maksimal, akan tetapi konsentrasi sumber nutrisi dibuat konstan. Pada system fermentasi Fed-Batch Process, menurut Bambang (2010), merupakan pengembangan sistem batch, adanya penambahan media baru, tidak ada kultur yg keluar dan yield lebih tinggi dari batch. b). Contoh produk System Fed-Batch Process
Contoh produk yang dapat diperoleh pada system Fed-Batch Process adalah Dekstranase, hal ini juga telah dilakukan penelitian oleh Satia Wihardja (2010) yang berjudul “ Proses Fermentasi Fed-Batch untuk Produksi Dekstranase dengan Streptococcus sp. B7 Fed Batch Fermentation Processes to Produce Dextranase from of Streptococcus sp. B7 ” Penelitian yang serupa tentang etanol menggunakan Fed-Batch Process juga dilakukan oleh Caylak dan Vardar (1998) dalam Tri Widjaja (2010), penelitian ini membandingkan produksi etanol dengan berbagai proses fermentasi yaitu, batch, kontinyu, fed-batch, dan semi-kontinyu menggunakan glukosa sebagai substrat dengan konsentrasi substrat 220 g/L dan bakteri Saccharomyces cerevisiae baik yang freecells maupun immobilisasi sel. c). Alasan menggunakan System Fed-Batch Process
Proses fed-batch telah diterapkan secara luas dalam berbagai industni fermentasi dan relatif lebih mudah digunakan untuk perbaikan proses batch dibandingkan dengan proses kontinyu. Apabila pada fermentasi kontinyu dihasilkan keluaran secara terus-menerus maka pada fed-batch diperoleh keluaran tunggal pada akhir inkubasi sehingga dapat ditangani dengan cara yang sama seperti pada proses batch Sinclair & Kristiansen (1987) dalam Budiatman (2009). Kendala menggunakan System Fed-Batch Process :
Pada fermentasi sistem batch Winarni (1995), profit produksi dekstranase sebanding dengan biomassa. Tetapi pada proses batch produksi dektranase yang dicapai lebih tinggi. Pada penelitian yang dilakukan Budiatman (2009) menggunakan sistem fed-batch ini produksi dekstnanase yang tinggh sebanding dengan nilai biomassa yang rendah dan sebaliknya. Pada sistem fed-batch sulit untuk meiihat fase eksponensial dan fase stasionei kecuali fase eksponensial pertama. Keuntungan menggunakan System Fed-Batch Process :
Keuntungan sistem fed-batch ini menurut penelitian yang dilakukan Rachman (1989) dalam Budiatman (2009), ialah konsentrasi sisa substrat terbatas dan dapat dipertahankan
pada tingkat yang sangat rendah sehingga dapat mencegah fenomena represi katabolit atau inhibisi substrat. d). Prinsip (prosedur/SOP) System Fed-Batch Process
System Fed-Batch Process merupakan penelitian yang dilakukan oleh Budiatman (2009). Proses Fermentasi. Kultur inokulum yang digunakan untuk proses utama sejumlah 100 ml. Kultun inokulum tersebut diinokulasikan ke dalam 700 ml media fermentasi dalam fermentor . Fermentasi berlangsung selama tiga kali 24 jam, dengan tiga kali pengambilan contoh setiap hari. Pada 24 jam pertama fermentasi berlangsung secara batch sedangkan 2 kali 24 jam berikutnya benlangsung secara fed-batch. Awal penambahan substrat dilakukan pada jam ke-24. Volume substrat yang ditambahkan selama proses fed-batch sekitar 900 ml dengan laju penambahan 19 mL/jam. Pada penelitian mi fermentasi berlangsung dalam fermentor kapasitas dua liter dengan pengaturan pH pada pH 7 dan 8 serta kecepatan putaran 300 dan 500 rpm. Secara keseluruhan hasil penelitian produksi enzim dengan fermentasi sistem fed-batch pada penlakuan kecepatan putaran 500 rpm mempunyai kecenderungan yang sama dengan fermentasi sistem batch. REFERENSI :
Rusmana, Iman., 2008. Sistem Operasi Fermentasi, Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor Jawa Barat. Purnomo, Bambang., 2010. Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia. Widaja, Tri., dan Budhikarjo, Kusno., 2007. Pengaruh Recycle Rate dan Konsentrasi Alginat Terhdapat Produktifitas Etanol dengan Proses Fermentasi –Ekstraksi, Laboratorium Perpindahan Masa dan Panas Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri-Institut Teknologi Surabaya Jawa Timur. Seminar Teknik Kimia Soehadi Reksowardojo ISSN 0854-7769 2007 Mulyanto., Widjaja, Tri., Hakim, Abdul., dan Frastiawan, Eko., 2010. Produktifitas Etanol dari Molases dengan Proses Fermentasi Kontinyu Menggunakan Zymomonas mobilis dengan Teknik Immobilisasi Sel K-Karaginan dalam Bioreaktor Paccked-Bed , Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Kampus ITS Suko lilo, Surabaya Jawa Timur. Wahyudin., 2009. Proses Produksi Etanol Oleh Saccharomyces Cerevisiae Dengan Operasi Kontinyu Pada Kondisi Vacum, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah. Sharifani, Shinta., 2010. Degradasi Biowaste Fase Cair, Slurry dan Padat dalam Reaktor Batch Anaerob Sebagai Bagian dari Mechanical Biological Treatment (Degradation of Biowaste in Liquid, Slurry, and S olid Phase in Anaerob Batch Reactor
As Part of Mechanical Biological Treatmen)t , Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Sipil dan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung Jawa Barat. Indriawati., dan Aprilianto, Rommy., 2009. Identifikasi Proses Pada Bioreaktor Anaerob Untuk Pengolahan Limbah Cair Tahu, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur. Widjaja, Tri., Hariani, Natalia., Gunawan, Setio., dan Darmawan, R., 2010. Teknologi Immobilisasi Sel Ca-Alginat Untuk Memproduksi Etanol Secara Fermentasi Kontinyu Dengan Zymomonas Mobilis Termutasi, Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur. Puspita, Elok., Silviana, Hana., 2010. Fermentasi Etanol Dari Molasses Pada K Karaginan, Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur. Satiwihardja, Budiatman., Wibisono, Beni., Murdiyatmo, Untung., 2010. Proses Fermentasi Fed-Batch untuk Produksi Dekstranase dengan Streptococcus sp. B7 (Fed Batch Fermentation Processes to Produce Dextranase from of Streptococcus sp. B7), Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Foleta, Institur Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor Jawa Barat.
Jenis raw material yang cocok untuk industri fermentasi (bagian 1) Posted on August 24, 2008 by yalun Teknologi fermentasi oleh mikroorganisme memegang peranan vital dalam industri kimia dunia yang bernilai lebih dari dua trillion USD. Salah satu faktor utama di industri fermentasi adalah jenis bahan pokok atau raw material. Berdasarkan kemurnian, raw material dibedakan menjadi dua yaitu material murni dan campuran. Material murni digunakan sebagai bahan baku pembuatan media fermentasi jenis mineral media sehingga bisa juga dikatakan sebagai media sintetik. Sedangkan material campuran dipakai sebagai media fermentasi jenis complex media. Mineral media merupakan campuran dari garam-garam (misalnya sodium atau potassium phosphate atau sulphate), trace metal ions, ammonium sebagai sumber nitrogen, vitamin, dan gula sebagai sumber karbon dan energi. Media kompleks sendiri merupakan campuran dari beratus-ratus bahkan bisa ribuan senyawa dalam satu larutan atau suspensi, umumnya berasal dari sisa proses kimia. Media kompleks bisa berupa molasses, limbah industri susu, bahan-bahan selulosa (batang padi, jerami), bagasse, dan lain-lain. Lalu, jenis raw material apa yang baik untuk industri fermentasi? Untuk menentukan raw material apa yang cocok sama saja dengan menentukan mana yang lebih baik, mineral media atau complex media. Kita bisa menganalisis beberapa aspek mulai dari teknis, ekonomis, dan lingkungan. Penggunaan limbah sebagai bahan baku industri fermentasi menunjang prinsip recycle untuk menunjang kelestarian lingkungan hidup. Secara ekonomis, medium kompleks kelihatan lebih menguntungkan karena berasal dari limbah industri atau pertanian. Namun keuntungan ekonomis ini sirna ketika dihadapkan pada fakta tingginya biaya pemurnian produk. Pemurnian produk di downstream processing menjadi amat mahal jika bahan yang digunakan terdiri dari campuran ratusan senyawa yang sering tidak jelas jenis, susunan, dan komposisinya. Apalagi jika ingin memproduksi senyawa bernilai tinggi dengan kemurnian yang tinggi pula. Biaya pemurnian produk berkisar 50-90 % dari total biaya produksi, tergantung dari jenis bah an baku fermentasi dan jenis dan kemurnian produk. Ditambah dengan adanya kemungkinan karena begitu kompleksnya media, secara teknis tidak tercapai kualitas produk yang diinginkan. Kerugian teknis lainnya adalah komposisi medium kompleks cenderung bervariasi sehingga kondisi fermentasi bisa berubah-ubah. Ini bisa menyebabkan perilaku metabolisme mikroorganisme yang juga berubah-ubah dan menyebabkan produktivitas yang tidak stabil. Di sisi lain, mineral media pada awalnya kelihatan mahal karena harus diolah dari garamgaram phosphate, vitamin, amonium, gula (glucose, sucrose) harus relatif murni, minimal technical grade dan dilarutkan dalam air. Namun karena komposisinya sudah tertentu dan stabil, kondisi produksi dan produktivitas juga cenderung lebih stabil dan mudah diprediksi. Produk lebih mudah dimurnikan, menyebabkan biaya lebih murah.
Keuntungan di aspek lingkungan hidup adalah pengolahan limbah lebih mudah dibanding jika harus mengolah limbah media kompleks. Berdasarkan perbandingan di atas, media kompleks lebih cocok untuk industri fermentasi seperti produksi ethanol di mana produknya murah dan massal, tingkat kesulitan teknologi fermentasinya rendah, dan proses pemurniannya sederhana. Namun untuk produksi high value chemicals (organic acids, vitamins, antibiotics, amino acids, biodegradable plastics, etc) yang bernilai global sekitar 40-50 milyar USD, mineral media lebih menguntungkan. Di tulisan selanjutnya, akan dibahas jenis mineral media apa yang terbaik. Bagi yang tertarik mempelajari komposisi mineral atau minimal media, silakan k lik: 1. http://yalun.wordpress.com/2008/10/05/m9-medium-composition/ 2. http://yalun.wordpress.com/2008/10/05/fermentation-media-for-yeast/
\
fermentasi alcohol
http://www.scribd.com/doc/69826063/Makalah-Biologi-Fermentasi-Alkohol menunjukkan bahwa pada proses fermentasi alkohol akan terjadi pengurangan berat, hal ini dikarenakan pada fermentasi alkohol akan dihasilkan gas sehingga hal ini menyebabkan beratnya berkurang. Pada fermentasi alkohol kita menggunakan fermipan yang didalamnya terdapat khamir/ragi. Ragi dapat menghasilkan gas asam arang atau karbon dioksida dan sedikit alkohol. Kombinasi karbon dioksida dengan sedikit alkohol itulah yang menciptakan rasa alkohol dan soda dari minuman yang akan kita buat nantinya. Banyak sedikitnya alkohol pada minuman hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh bahan baku, jenis mikroba starter, dan lama fermentasi. Ragi dapat merombak pati menjadi glukosa yang pada akhirnya menghasilkan alcohol Mikroorganisme dapat dipandang sebagai suatu pabrik kimia yang mempunyai kemampuan yang sangat beragam dalam menciptakan perubahan-perubahan kimiawi. Telah diterima secara umum bahwa setiap substansi alamiah dapat diubah oleh beberapa spesies mikroorganisme. Apabila dijumpai bahwa suatu proses mikrobial ternyata menghasilkan suatu produk yang diperlukan dan mempunyai nilai ekonomis, maka proses ini dapat dikembangkan untuk produksi industri. Dalam hal ini kita mencoba menggunakan mikroorganisme untukkeuntungan ekonomi dan sosial (Handayani, 2000). Mikroorganisme mampu merombak banyak sekali bahan karena kemampuan biokimiawinya yang beragam. Industri, yang senantiasa menyadari hal ini, mencoba mengembangkan produk-produk yang resisten terhadap perusakan untuk menghindari k erugian ekonomis dan kerugian-kerugian lainnya. Tidak perlu diragukan lagi, akan ditemukan banyak cara baru untuk memamfaatkan mikroorganisme untuk dikembangkan di dalam proses-proses industri. Bidang-bidang penerapannya meliputi usaha mendapatkan logam dari bijih, pengubahan tumbuh-tumbuhan menjadi sumber energi untuk kepentingan domestik, produksi masal protein sel tunggal sebagai sumber makanan bagi manusia dan hewan ( Lindquist,1998). Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat
definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik .Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya (Tripetchkul, Tonokawa dan Ishizaki,1992). Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan (Anonimous B, 2009) Persamaan Reaksi Kimia C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol) Dijabarkan sebagai Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP) Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan (Anonimous B, 2009). Fermentasi dibedakan atas 3 macam, yaitu fermentasi asam laktat, fermentasi alkohol, dan fermentasi asam cuka. Beberapa organisme seperti Saccharomyces dapat hidup, baik dalam kondisi lingkungan cukup oksigen maupun kurang oksigen. Organisme yang demikian disebut aerob fakultatif. Dalam keadaan cukup oksigen, Saccharomyces akan melakukan respirasi biasa. Akan tetapi, jika dalam keadaan lingkungan kurang oksigen Saccharomyces akan melakukan fermentasi. Dalam keadaan anaerob, asam piruvat yang dihasilkan oleh proses glikolisis akan diubah menjadi asam asetat dan CO2. Selanjutnya, asam asetat diubah m enjadi alkohol. Proses perubahan asam asetat menjadi alkohol tersebut diikuti pula dengan perubahan NADH menjadi NAD+. Dengan terbentuknya NAD+, peristiwa glikolisis dapat terjadi lagi. Dalam fermentasi alkohol ini, dari satu mol glukosa hanya dapat dihasilkan 2 molekul ATP. Sebagaimana halnya fermentasi asam laktat, reaksi ini merupakan suatu pemborosan. Sebagian besar dari energi yang terkandung di dalam glukosa masih terdapat di dalam etanol, karena itu etanol sering dipakai sebagai bahan bakar mesin. Reaksi ini, seperti fermentasi asam laktat, juga berbahaya. Ragi dapat meracuni dirinya sendiri jika konsentrasi etanol mencapai 13% (Hal ini menjelaskan kadar maksimum alkohol pada minuman hasil fermentasi seperti anggur) (Iida, Izumida, Akagi dan Sakamoto,1993). Pada beberapa mikroba peristiwa pembebasan energi terlaksana karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat + CO2 selanjutaya asam asetat diabah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, bandingkan dengan respirasi aerob, satu molekul glukosa mampu menghasilkan 38 molekul ATP (Bourbonnais and Paice,1990). Reaksinya: 1. Gula (C6H12O6) ————> asam piruvat (glikolisis) →
→
2. Dekarbeksilasi asam piruvat. Asampiruvat ————————————————————> asetaldehid + CO2. piruvat dekarboksilase (CH3CHO) 3.Asetaldehid oleh alkohol dihidrogenase diubah menjadi alkohol (etanol). 2 CH3CHO + 2 NADH2 2 C2HsOH + 2 NAD. alkohol dehidrogenase enzim Ringkasan reaksi : C6H12O6 —————> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi CO2 NADH NAD+ Asam piruvat …………….. asetaldehid ………………. Etil alcohol Alkohol diperoleh melalui proses fermentasi. Dahulu diduga bahwa proses fermentasi alkohol adalah perubahan satu molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2, sehingga dike tahui bahwa proses situ cukup kompleks. Merupakan suatu rangkaian enzimatik dan hasil dari fermentasinya terdiri atas bermacam – macam senyawa dengan etanol dan CO2 terbanyak. Alkohol terkandung dalam minuman keras seperti etanol (CH3CH2-OH) yang diperleh dari prose fermentasi (Brock,& Madigan, 1991). Kadar alkohol hasil fermentasi lebih dari 15 %, Untuk mendapatkan lebih inggi dibuat melalui
penyulingan. Reaksi yang terjadi pada fermentasi alkohol secara anaerob adalah: C6H12O6--2C2H5OH + 2CO2 + 56 kkal (Prakasham, dan Ramakrishna,998). Senyawa alkohol sering ditemukan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari – hari seperti dalam industri, kosmetik, minuman. Fermentasi khamir digunakan untuk menghasilkan alkohol. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan disesuaikan menjadi antara 10 sampai 13 persen dan kemudian diberikan pada bakteri asam asetat (Palmqvist, 1998). Setelah air, alkohol merupakan zat pelarut dan bahan dasar paling umum yang digunakan di laboratorium dan di dalam industri kimia. Aspek-aspek mikrobiologis dalam proses pembuatan etil alkohol dapat dirangkumkan sebagai berikut : Substrat : etil alkohol dapat dibuat dari karbohidrat apa saja yang dapat di fermentasi oleh khamir. Apabila pati-patian seperti jagung dan karbohidrat kompleks yang lain dipergunakan sebagai bahan mentah, maka pertama-tama bahan dasar tersebut perlu dihidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat difermentasikan. Hidrolisis tersebut dapat dilakukan dengan bantuan enzim dari kapang atau jenis pensuplai karbohidrat yang digunakan seperti : jagung, bit gula, kentang, beras dan buah anggur (Lee, Ha, Kang, McAllister and Cheng, 1997). Mikroorganisme yang berperan adalah dari galur-galur terpelih Saccharomyces cereviceae. Kultur yang dipilih harus dapat tumbuh dengan baik dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap alkohol serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah banyak (Lee, Ha, Kang, McAllister and Cheng, 1997).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Selama fermentasi berat masing – masing sampel berkurang karenaadanya gas CO2 yang dihasilkan. 2. essence yang menghasilkan aroma terbaik adalah essence yang diberi perlakuan dengan fermipan. 3. proses fermentasi ini dilakukan oleh yeast. 4. yeast merubah karbohidrat menjadi alkohol dan asam asetat. DAFTAR PUSTAKA
Anonimous A, 2009. Sambal Tempoyak Durian Yang Telah Difermentasikan. http://www.vivaborneo.com/sambal-tempoyak-durian-yang-telah-difermentasi.htm. 20 Januari 2010 Anonimous B, 2009. Bioteknologi Fe rmentasi. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/bioteknologi-fermentasi/. 20 Januari 2010 Bourbonnais R, and Paice M. 1990. Oxidation of non-phenolic substrates. An expanded role of laccases in lignin biodegration. FEBS lett. 267, pp. 99-102 Brock, TD & MT Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixth edition. “Prentice Hall’ Englewood Cliffs, New Jersey Ekowati, ChN. 1998. Suksesi Mikroba dan Pembentukan Asam Organik pada Fermentasi Buah Durian (Durio Zibethinus Murr.). Thesis Program Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Handayani, M. 2000. Uji Aktivitas I solat Bakteri Asam Laktat dari Fermentasi Ekstrak Buah Durian (Durio zibethinus Murr.). Skripsi FMIPA. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hadioetomo, R. S. (1983), “Mikrobiologi dalam Praktek; Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium”, Bagian Mikrobiologi,FMIPA, IPB. Iida, T., Izumida, H., Akagi, Y. dan Sakamoto, M. (1993), ”Continuous Ethanol Fermentation in Molasses medium Using Z. mobilis Immobilized in Photo-crosslinkable Resin Gels”, Journal of Fermentation and Bioengineering, Vol. 75, No. 1, 32-35. Lee, S. S., J. K. Ha, H. S. Kang, T. McAllister, and K.-J. Cheng. 1997. Overview of energy metabolism, substrate utilization and fermentation characteristics of ruminal anaerobic fungi. Korean J. Anim. Nutr. Fee dstuffs 21:295–314. Lindquist, J. 1998. General Overview of The Lactic Acid Bacteria. Departement of Bacteriology, University of Wisconsin. Madison. Food Science (324), 102. Palmqvist, E. 1998. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates: inhibation and detoxification. Doctoral thesis, Lund University, Lund, Sweden. Prakasham, R.S. dan Ramakrishna, S. V. (1998), Microbial fermentations with immobilized cells,
Lecture Handouts, Biochemical and Environmental Engineering, Indian Institute of Chemical Technology, India. Priani, Nunuk. 2003. Metabolisme Bakteri. http://www.iptek.net.id/ind/pd tanobat/view.php? mnu=2&id=251. 20 JAnuari 2010-01-27 Schlegel, HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tamime, A.Y. and R.K. Robinson. 1999. Yoghurt: Science and technology. 2nd Tripetchkul, S., Tonokawa, M., dan Ishizaki, A. (1992), “ Ethanol Production by Zymomonas mobilis Using Natural Rubber Waste as a Nutritional Source”, Journal Fermentation and Bioengineering, Vol. 74, No.6, 384-388.