1. Fisiologi Pendengaran Gelombang bunyi dari sumber bunyi ditangkap oleh aurikula dan diteruskan melalui canalis akustikus eksternus dan mengalami proses resonansi karena adanya bangunan berbentuk tabung dengan hubungan kepada udara luar secara langsung. Gelombang suara yang telah mengalami proses resonansi ini akan menggetarkan membarana timpani. Membarana Timpani (ear drum) dan tulang-tulang pendengaran pada telinga bagian tengah akan meneruskan gelombang suara menuju cochlea atau telinga dalam. Membrana timpani berbentuk conus (corong) secara tiga dimensi dengan bagian tengah yang meruncing adalah perlekatan membarn timpani dengan malleus. Sementara itu malleus juga berartikulasi dengan tulang-tulang pendengaran yang lain yaitu incus dan stapes. Setelah tahap resonansi gelombang pada telinga bagian luar maka gelombang tersebut menghasilkan getaran membran timpani yang juga akan mengakibatkan daya ungkit tulang-tulang pendengaran yang pada akhirnya akan menggerakan cairan pada cochlea melalui foramen ovale dengan gerakan menyerupai piston oleh basis stapes. Pada tahapan ini terjadi mekanisasi tulang pendengaran yang mengakibatkan amplifikasi suara oleh karena adanya daya ungkit tulang pendengaran (ossiculla auditiva) yang berhubungan oleh penggetaran membarana timpani yaitu sebesar 1,3 kali lebih kuat. Sementara itu perbandingan luas penampang membrane timpani sebagai penerima gelombang dan luas penampang foramen ovale juga memberikan penguatan kekuatan gelombang yang tinggi. Luas penampang membrane timpani adalah 55 mm2 sedangankan luas penampang foramen ovale pada cochlea adalah 3,2 mm2, keadaan tersebut secara fisika memberikan penguatan sebesar 17 kali. Sehingga pada telinga tengah secara umum didapatkan penguatan gelombang secara total sebanyak 22 kali lebih kuat. Hal ini terjadi karena cairan pada cochlea memiliki daya inert lebih besar daripada udara, sehingga untuk menggerakkan cairan dibutuhkan daya yang lebih kuat. Proses kerjasama antara membran timpani dan tulang pendengaran dalam menghasilkan amplifikasi getaran juga disebut sebagai
Impedance Matching atau penyesuaian impendansi sehingga tekanan yang dihasilkan oleh stapes ke cochlea dapat memberikan tekanan yang adekuat terhadap cairan dalam cochlea. Hasil amplifikasi sebesar 22 kali setara dengan peningkatan sekitar 15 dB hingga 20 dB. Dalam sebuah percobaan simulasi jika gelombang suara memasuki telinga tengah tanpa adanya membarana timpani dan tulang pendengaran, sehingga hanya akan melewati udara saja maka terjadi penurunan tingkat persepsi suara sebesar
15 dB hingga 20 dB. Tulang-tulang pendengaran juga memiliki sebuah system proteksi jika sumber
bunyi terlalu keras yang disebut dengan attenuation reflex. Mekanisme tersebut dihasilkan oleh adanya kerja oleh muscullus tensor timpani dan muscullus stapedius. Pada saat terjadi kontraksi m. tensor timpani maka akan terjadi penarikan malleus secara bersamaan m. stapedius akan menarik stapes kea rah luar terhadap foramen ovale. Kerja berlawanan arah kedua otot ini akan mengakibatkan rigiditas yang tinggi pada system tulang pendengaran, sehingga akan mengurangi konduksi tulang pendengaran. Reflek tersebut secara garis besar akan memberikan mekanisme : 1. Melindungi cochlea dari kerusakan akaibat vibrasi atau gerakan terlalu kuat stapes pada saat sumber suara terlalu keras. 2. Untuk melakukan masking pada suara dengan frekuensi rendah pada lingkungan yang gaduh, sehingga sesorang dapat memfokuskan pada suara rendah pada lingkungan yang riuh. Fungsi lain dari m. tensor timpani dan m. stapedius adalah untuk mengurangi kemampuan
pendengaran
sesorang
terhadap
suara
yang
dihasilkan
oleh
pembicaraanya sendiri. Setelah proses resonansi dan amplifikasi pada telinga bagian luar dan telinga bagian tengah, maka pada cochlea atau telinga bagian dalam akan terjadi perubahan getaran suara menjadi proses gerakan mekanik melalui gerakan piston oleh stapes dan pergerakan cairan cochlea. Cochlea merupakan system yang berbentuk tabung bergelung. Pada saat ada sumber suara dan terjadi proses pergerakan stapes pada foramen ovale maka akan
terjadi pergerakan cairan di dalam cochlea. Foramen ovale merupakan awal dati tabung cochlea dengan bagian akhir tabung adalah foramen rotundum atau round window. Pada foramen rotundum terdapat bangunan ligament yang dapat menggembung dan fleksibel sehingga dapat mengikuti perubahan tekanan akibat pergerakan cairan tanpa mengakibatkan keluarnya cairan dalam cochlea. Gerakan piston stapes akan mengakibatkan pergerakan cairan dan bulging (penggembungan) pada foramen rotundum. Sedangkan cochlea sendiri terdiri dari skala vesitibuli, skala media, dan skala timpani. Pada skala vestibuli dan skala timpani diisi oleh cairan perilimphe sedangkan skala media berisi cairan endolimphe. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran Reissner yang tipis dan mudah bergetar. Di dalam skala media terdapat organ corti yang akan merubah sistem mekanik menjadi impuls yang selanjutnya diteruskan oleh saraf pendengaran menuju pusat pendengaran. Pada saat gerakan cairan pada skala vestibuli terjadi dikarenakan adanya gelombang suara, maka akan terjadi gerakan pada membrane basilar, hal ini menyebabkan pergerakan relatif pada cairan endolimphe di skala media, pergerakan relative tersebut menggetarkan membrane tektorium pada organon corti. Sementara pada organon corti terdapat sel-sel rambut (stereocillia) yang akan mengalami defleksi
dikaibatkan
oleh
adanya
getaran
membrane
tektorium.
Hal
ini
mengakibatkan adanya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada arah defleksi yang berlawanan. Perubahan polarisasi oleh stereocillia akan mengeksitasi serabut saraf yang berhubungan dengan stereocillia tersebut. Eksitasi pada serabut saraf tersebut diteruskan impulsnya melalui ganglion spiral untuk dibawa menuju medulla. Selanjutnya oleh system saraf otak, impuls tersebut diteruskan menuju nucleus olivarius superior dan bersinaps dengan serabut saraf yang menghubungkan impuls kepada leminiscus lateralis. Selanjutnya impuls tersebut disampaikan kepada cortex auditorik di area 41 dan 42 oleh serabut geniculokortikal, sehingga terjadilah persepsi suara.
Tidak semua frekuensi suara dapat didengar oleh manusia, hanya suara dengan frekuensi antara 20 Hz hingga 20 KHz yang dapat didengar.
Patomekanisme tinnitus 1. Tinnitus Subyektif Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya. Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis
dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran. Meniere’s syndrome
dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus
membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus suara bergemuruh. Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada saraf tersebut. Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara cochlea dengan system nervosa central. Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena hal ini belum jelas. Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan sikap dan
gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus subyektif dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikologis. 2. Tinnitus Obyektif Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah. Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya. 2.a. Pulsatile Tinnitus Tinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang
berhubungan dengan arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis. Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan, padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus obyektif. Pasien dengan thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga dapat menderita tinnitus pulsatill. Non-pulsatile Tinnitus Tinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi kerja tuba auditiva.