A. RHEUMATIC HEART DISEASE 1. Definisi
Penyakit jantung reumatik merupakan proses imun sistemik sebagai reaksi terhadap infeksi streptokokus hemolitikus di faring (Brunner & Suddarth, 2001). Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengansatu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Koreaminor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002). Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis rematik akut yang berulang kali (Arif Mansjoer, 2002). Penyakit jantung rematik (RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme streptococcus hemolitic-β hemolitic-β grup A grup A (Sunoto Pratanu, 2000). Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya rheumatic heart disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam rematik.
2. Klasifikasi
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium yaitu sebagai berikut:
Stadium I
Stadium II Periode Laten
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat Masa antara infeksi streptococcus streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu. Merupakan saat dimana timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Stadium III Fase Akut
Stadium IV Fase Inaktif
Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifestasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, anoreksia, lekas tersinggung, berat badan menurun, kelihatan pucat, epistaksis, athralgia, rasa sakit disekitar sendi, sakit perut. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul timb ul sesuai dengan jenis serta beratnya beratn ya kelainan. Pada
fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya. Jenis-Jenis Kerusakan Katup Penyakit Jantung Rematik a.
Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)
Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anakanak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan, karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung. b.
Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat. c.
Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)
PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada seb agian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta, yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung. d.
Stenosis Aorta
Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat. e.
Kelainan Katup Trikuspid
Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut. Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik yang meningkat selama inspirasi. f.
Kelainan Katup Pulmonal
Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta Doppler.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorokan selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan ulang. Faktor yang penting untuk manifestasi penyakit ini meliputi sifat organisme, tempat infeksi, serta predisposisi genetik. Streptococcus grup A sp pyogenes merupakan salah satu dari 20 serogrup. Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis pada agar plat darah kambing. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang dikelilingi oleh tiga lapisan membrane, yang disusun terutama dari lipoprotein. Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain : a.
Faktor Internal 1) Faktor Genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus. 2) Jenis Kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3) Etnik dan Ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. 4) Usia
Usia merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 26 tahun. 5) Reaksi Autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever. 6) Serangan Demam Rematik Sebelumnya
Serangan
ulang
demam
rematik
sesudah
adanya
reinfeksi
dengan
Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat demam rematik.
b.
Faktor Eksternal
1) Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumahrumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya dem am reumatik. 2) Iklim dan Geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah. 3) Cuaca Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis berdasarkan stadium RHD adalah sebagai berikut: Stadium I Stadium II Periode Laten Stadium III Fase Akut
Stadium IV Fase Inaktif
Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat Masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu. Demam yang tinggi, lesu, anoreksia, lekas tersinggung, berat badan menurun, kelihatan pucat, epistaksis, athralgia, rasa sakit disekitar sendi, sakit perut. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
Manifestasi Klinis RHD a.
Kriteria Mayor 1. Murmur Baru Atau Berubahnya Bunyi Murmur
Terdengarnya murmur pada demam rematik akut berhubungan dengan insufisiensi katup 2. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung dapat terjadi sekunder karena insufisiensi katup yang berat atau myocarditis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung seperti takipnoe, orthopnea, peningkatan JVP, ronchi basah karena edema paru, gallop, edema pada ekstremitas. 3. Pericarditis
Terdengarnya pericardial friction rub menandakan terdapatnya pericarditis. Meningkatnya bunyi dull pada perkusi jantung, ictus cordis yang tidak terlihat, dan terdengarnya bunyi jantung yang lebih teredam dapat menunjukkan terdapatnya
pericarditis. Pada keadaan darurat, jika terdapat efusi pericardial dilakukan pericardiocentesis. 4. Polyarthritis
Gejala yang sering dan gejala awal yang didapatkan pada demam rematik akut (pada 70-75% pasien). Karakteristik dari arthritis adalah biasanya dimulai dari sendi-sendi besar di ekstremitas bagian bawah (lutut dan pergelangan kaki), yang kemudian menjalar ke sendi-sendi besar lainnya di ekstremitas atas (siku dan pergelangan tangan). Terdapat nyeri pada sendi yang terkena, bengkak, hangat, kemerahan pada kulit karena proses inflamasi dan didapatkan keterbatasan gerak pada sendi yang terkena. Arthritis ini mencapai nyeri maksimal pada 12-24 jam, yang menetap selama 2-6 hari (sangat jarang nyeri bertahan lebih dari 3 minggu), nyeri akan berkurang dengan pemberian aspirin. 5. Sydenham Chorea
Terjadi pada 10-30% pasien dengan demam rematik. secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul. Keluhan pasien adalah kesulitan dalam menulis, gerakan-gerakan wajah, tangan dan kaki tanpa tujuan, kelemahan yang menyeluruh, dan emosional yang labil. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hyperextended joints, hipotonia, fasikulasi lidah, dan gerakan tidak bertujuan. Gejala ini akan mengalami resolusi dalam 1-2 minggu dan akan sembuh sempurna dalam 2-3 bulan. 6. Erythema Marginatum
Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat
dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.5 ditemukan pada kira-kira 5% pasien demam rematik, berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal. Lesi eritematous dengan warna pucat pada bagian tengah dan disekelilingnya, dengan tepi yang bergelombang.
Gambar 2.2 Erythema marginatum (diambil dari Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .200 2. Rheumatic Fever . .http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511) 7. Subcutaneous Nodules
Terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik. Jika terdapat nodul, maka nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan pergelangan tangan, prosesus spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran 1-2 cm, tidak melekat pada jaringan sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami resolusi dalam satu bulan. Nodul ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada pasien tidak didapatkan gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan kemungkinan lain.
Gambar 2.3 Subcutaneous nodules (di ambil dari Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever . .http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511) b.
Kriteria Minor
1)
Riwayat Demam Rematik
Sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah
diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis. 2)
Artralgia
Rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Biasanya melibatkan sendi-sendi besar. Kadang nyerinya sangat berat sehingga tidak mampu bergerak. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor. 3)
Demam
Pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39ºC, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna. Demam biasa terjadi pada serangan poliartritis reumatik, sering pada karditis reumatik murni, namun tidak ada pada korea syndenham murni. 4)
Peningkatan Kadar Reaktan Fase Akut
Berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Ketiga uji ini juga abnormal pada beberapa infeksi bakteri dan penyakit kolagen. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan. 5)
Interval P-R yang Memanjang
Biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik. Adapun keadaan- keadaan yang merupakan pengecualian pemakaian kriteria jones antara lain : a)
Korea yang terjadi sebagai satu- satunya manifestasi klinis demam rematik.
b)
” Indolent carditis” yang menjadi satu- satunya manifestasi klinis pada pasien yang datang beberapa bulan setelah onset demam rematik.
c)
Seringkali pasien yang mengalami kekambuhan (recurrens) tidak memenuhi kriteria jones.
5. Pathway
Terlampir.
6. Pemeriksaan Diagnostik a.
Kultur Tenggorok
Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur Streptococcus Grup A negatif pada fase akut. Bila positif belum pasti membantu dalam menegakkan diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau infeksi Streptococcus dengan strain yang lain. b.
Rapid Antigen Test
Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 60-90%, sehingga pemeriksaan kultur tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis. c.
Antistreptococcal Antibody
Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman tersebut, dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas 80-85%. Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%). Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut demam rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan. d.
Protein Fase Akut
Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive protein positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat antirematik. e.
Pemeriksaan Imaging
1) Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema paru yang merupakan gejala gagal jantung. 2) Doppler-echocardiogram
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan.
Pasien dengan carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau
aorta regurgitasi yang menetap. Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan dilakukan intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi dari commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi.
f.
EKG
Pada panyakit jantung rematik akut, sinus takikardia dapat diperoleh.
Gambar 2.5 Sinus Takikardia (www.cardionetics.com) 7. Penatalaksanaan a.
Tirah Baring
Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah sakit. Penderita dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat (dengan gagal jantung kongestif), penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu, yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat. Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam rematik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal.
b.
Eradikasi Kuman Streptokokus
Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral 250 mg 4 kali sehari diberikan selama 10hari. Bagi yang alergi terhadap penisilin, eritromisin 50 mg/kg/ hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan sebagai obat eradikasi pengganti. c.
Obat Antiradang
Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisi1at. Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 15-25 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya; dosis untuk orang dewasa dapat mencapai 0,6-0,9 g setiap 4 jam. Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini bermanfaat meredakan proses peradangan akut, meskipun tidak mempengaruhi insiden dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik.
c.
Pengobatan Korea Sydenham
Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering digunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg tiap 8 jam, bergantung kepada respon klinis . Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam.Korea pada umumnya akan sembuh sendiri, meskipun dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai 3 bulan. Obat-obat sedatif, seperti klorpromazin, diazepam, fenobarbital atau haloperidol dilaporkan memberikan hasil yang memuaskan. Perlu diingat, halopenidol sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun. d.
Penggunan Obat Inotropik
Inotropik adalah zat yang dapat memengaruhi daya kontraksi otot. Faktor yang meningkatkan kontraktilitas disebut sebagai aksi inotropik positif dan faktor yang menurunkan kontraktilitas memiliki aksi inotropik negatif. Agen inotropik positif
biasanya menstimulasi masuknya Ca2+ ke dalam sel otot jantung, kemudian akan meningkatkan tekanan dan durasi dari kontraksi ventrikular. Sementara itu, agen inotropik negatif akan memblok pergerakan Ca2+ atau mendepresi metabolisme otot jantung. Faktor inotropik positif dan negatif termasuk pada aktivitas sistem saraf otonom, hormon, dan perubahan konsentrasi ion ekstraselular. Obat-obat inotropik yang meningkatkan kemampuan kekuatan kontraksi otot jantung. Obat-obat simpatomimetik adalah obat inotropik kuat yang terutama digunakan untuk terapi gagal jantung berat pada suasana akut. Contoh obat ini adalah dopamine dan dobutamin. Efek-efek merugikan yang terpenting berkaitan dengan sifat alami obat ini yang aritmogenik dan potensi obat untuk menimbulkan iskemia otot jantung, takikardi, dan iritabilitas ventrikular dapat dikurangi dengan memperkecil dosis
ANTIBIOTIK
A. DEFINISI Dalam penggunaan umum, antibiotik merupakan substansi atau gabungan (juga disebut obat chemotherapeutic) yang membunuh atau menghalangi pertumbuhan bakteri. Antibiotik tergolong ke dalam kelompok antimicrobial yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme, termasuk jamur dan protozoa. Istilah “antibiotik” diciptakan oleh Selman Waksman pada 1942 untuk menjelaskan suatu zat yang dihasilkan oleh mikro-organisme yang menahan perkembangan mikro-organisme lainnya dalam suatu cairan yang sangat encer. definisi asli ini dikecualikan terhadap substansi alami dalam tubuh seperti getah perut dan hidrogen peroksida (mereka membunuh bakteri tetapi tidak diproduksi oleh mikro-organisme), dan juga dikecualikan terhadap senyawa sintetis seperti sulfonamida (obat antimicrobial). Banyak antibiotik yang memiliki molekul yang relatif kecil dengan berat molekul kurang dari 2000 Da. Dengan kemajuan perkembangan obat-obat kimia, sebagian besar antibiotik telah dimodifikasi secara kimia dari ramuan aslinya di alam, seperti halnya dengan beta-lactam (termasuk penicillin, yang dihasilkan oleh jamur dalam genus Penicillium, cephalosporins, dan carbapenem). Beberapa antibiotik masih diproduksi dengan mengisolasi organisme hidup, seperti aminoglycosida; di samping itu, masih banyak lagi antibiotik yang dibuat melalui sintetis murni, seperti quinolone. B. Pharmacodinamika antimikrobial Kemampuan setiap antibiotik bervariasi, tergantung kepada lokasi infeksi, lokasi infeksi, dan kemampuan mikroba menonaktifkan atau memecah antibiotik. Pada tingkat tertinggi, antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai salah satu baktericidal atau bakteriostatic. Bactericidal membunuh bakteri secara langsung sedangan bacteriostatic-nya menjaga divisi sel. Namun demikian, klasifikasi ini didasarkan pada perilakunya di laboratorium, dalam praktiknya, keduanya memang (kebanyakan) mampu mengakhiri infeksi bakteri. Kegiatan antibiotik bactericidal mungkin tergantung tahap pertumbuhan sel dan pada kebanyakan kasus, tindakan antibiotik bactericidal banyak membutuhkan aktifitas sel tanpa henti un tuk
melancarkan aktivitas membunuhnya. Kegiatan antibiotik mungkin tergantung tingkat konsentrasi dan aktivitas karakteristik antimicrobial. C. Tata laksana Antibiotik oral secara sedehana dimasukkan dalam infus, sementara antibiotik suntik digunakan dalam kasus yang lebih serius, seperti pada infeksi sistemik. Antibiotik kadang-kadang dilakukan secara topikal (topically) seperti dengan meneteskan pada mata atau ointment. D. Kelas antibiotik Tidak seperti pengobatan sebelumnya, yang pengobatan untuk infeksi-nya seringkali terdiri dari campuran kimia seperti strychnine dan Arsenic (dengan racun tinggi terhadap mamalia), kebanyakan antibiotika dari mikroba memiliki efek samping yang lebih sedikit dan memiliki efektifitaS tinggi untuk mencapai sasaran kegiatan. Antibiotik anti bakteri tidak memiliki aktivitas terhadap virus, jamur, atau mikroba lainnya. Antibiotik anti-bakteri dapat dikategorikan berdasarkan target ketegasan: “spektrum sempit” untuk target antibiotik jenis bakteri tertentu (seperti Gram-negatif atau positif). Sedangkan dalam spektrum luas, antibiotik bisa mempengaruhi bakteri. Antibiotik dengan target dinding sel bakteri (penicillins, cephalosporins), atau selaput sel (polymixins), atau dengan mengganggu enzimenzim penting bakteri (quinolones, sulfonamides) biasanya adalah bactericidal yang berasal dari alam. Sedangkan antibiotik yang menargetkan sintesis protein mikroba contohnya aminoglycosida, macrolida dan tetracycline.
E. Efek samping Meskipun antibiotik umumnya dianggap aman dan ditoleransi dengan baik, mereka juga telah dikaitkan dengan berbagai efek-efek yang merugikan. Efek sampingnya banyak, bervariasi dan bisa jadi sangat serius tergantung pada antibiotik yang digunakan dan target organisme microbial. Efek -efek yang merugikan dapat dimulai dengan demam dan mual, termasuk reaksi alergi pada kulit (photodermatitis). Salah satu efek samping yang lebih umum adalah diare, kadangkadang disebabkan oleh bakteri anaerob Clostridium difficile, kasus ini diakibatkan karena antibiotik telah mengganggu keseimbangan flora di usus. Efek samping lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dengan obat lainnya, seperti resiko kerusakan otot dari penggunaan antibiotik quino lone dengan corticosteroid sistemik.
F. Pencegahan
Pencegahan
demam
rematik
meliputi
pencegahan
primer
(primary
prevention) untuk mencegah terjadinya serangan awal demam rematik dan pencegahan sekunder ( secondary prevention) nuntuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik. a.
Primary
Prevention.
Eradikasi
Streptococcus
dari
pharynx
dengan
menggunakan benzathine peniciline single dose IM. b.
Secondary Prevention. AHA menyarankan pemberian 1,2 juta unit benzathine peniciline setiap 4 minggu, atau setiap 3 minggu untuk pasien berisiko tinggi (pasien dengan penyakit jantung atau berisiko mengalami infeksi ulangan).
c.
Pemberian profilaksis secara oral dapat berupa penisilin V, namun efek terapinya tidak sebaik benzathine penisilin.
d.
AHA merekomendasikan pengobatan profilaksis selama minimal 10 tahun. Penghentian pemberian obat profilaksis bila penderita berusia di sekitar dekade ke 3 dan melewati 5 tahun terakhir tanpa serangan demam rematik akut.Namun
pada
penderita
dengan
risiko
kontak
tinggi
dengan
Sterptococcus maka pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan untuk seumur hidup (Meador, 2009; Abdulah Siregar, 2008).
H. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel jantung). a.
Dekompensasi Cordis Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan
digitalis
dan
obat-obat
diuretika.
Tujuan
pengobatan
ialah
menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.
b.
Pericarditis Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.
B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas Klien b. Timbul pada umur 5-15 th, wanita dan pria = 1 : 1. Sering ditemukan pada lebih dari
satu anggota keluarga yang terkena, lingkungan sosial juga ikut berpengaruh. c. Keluhan utama : Sakit persendian dan demam. d. Riwayat penyakit sekarang : Demam, sakit persendian, kardits, nodu noktan timbul
minggu, minggu pertama, entena marginatun timbul pada awal penyakit, chorea, timbul gerakan yang tiba-tiba. e. Riwayat penyakit dahulu : Fonsilitis, faringitis, autitis media. f. Riwayat penyakit keluarga : Ada keluarga yang menderita penyakit jantung g. Activity Dialy Living
Aktifitas
Keletihan, malaise, keterbatasan kontraktur/kelainan pada sendi otot.
rentang
gerak
atropi
otot,
Cardiovaskuler Fenomena reynoud jari tangan/ kaki misalnya pusat intermitten sianosis, kemerahan pada jari Integritas ego
Faktor stres akut/ kronis seperti finansial,pekerjaan, ketidakmampuan, ancaman pada konsep diri.
Nutrisi
Penurunan berat badan kekeringan pada membran mukosa, dehidrasi, kesulitan mengunyah, mual, anoreksia.
Higiene
Ketergantungan pada orang lain, berbagai kesulitn untuk melaksanakan aktifitas perawatan pribadi.
Interaksi sosial h.
Perubahan peran, isolasi.
Pemeriksaan -
Pemeriksaan Umum Keadaan umum lemah. Suhu : 38 – 390. Nadi cepat dan lemah. BB: turun. TD: sistol, diastole
-
Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher meliputi keadaan kepala, rambut, mata. Nada perkusi redup, suara nafas, ruang interiostae dari nosostae takipnos serta takhikardi
i.
Abdomen pembesaran hati, mual, muntah.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah, Astopiter, LED, Hb, Leukosit, Pemeriksaan EKG, Pemeriksaan hapus tenggorokan.
2. Diagnosa Keperawatan
1)
Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan pada penutupan katup mitral (stenosiskatup)
2) Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan/proses inflamasi, destruksi sendi. 3)
Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis
3. Rencana Asuhan Keperawatan No Dx
1
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam penurunan curah jantung dapat diminimalkan. Kriteria hasil: -
Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang). - Bebas gejala gagal jantung (mis : parameter hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat). - Melaporkan penurunan episode dispnea,angina. Ikut serta dalam akyivitas yang mengurangi beban kerja jantung. 2
Tujuan : Nyeri dapat berkurang/hilang Kriteria hasil: -
3
Menunjukkan nyeri berkurang/hilang - Terlihat rileks, dapat tidur/istirahat - Berpartisipasi dalam aktifitas sesuai kemampuan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat teratasi. Kriteria hasil : -
Klien mengatakan mual dan anoreksia berkuarang / hilang - Masukan makanan adekuat dan kelemahan
Intervensi
1. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam. 2. Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat. 3. Batasi aktifitas secara adekuat. 4. Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. 5. Kolaborasi untuk pemberian oksigen 6. Kolaborasi untuk pemberian digitalis
1. Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas ( skala 0-10).Catat faktor yang memcepat dan tanda sakit non verbal. 2. Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman. 3. Beri obat sebelum aktifitas/latihan yang direncanakan. 4. Observasi gejala kardinal. 1. Kaji status nutrisi( perubahan BB< pengukuran antropometrik dan nilai HB serta protein 2. Kaji pola diet nutrisi klien( riwayat diet, makanan kesukaan) 3. Kaji faktor yang berperan untuk menghambat asupan nutrisi ( anoreksia, mual) 4. Anjurkan makan dengan porsi sedikit
hilang - BB dalam rentang normal.
tetapi sering dan tidak makan makanan yang merangsang pembentukan Hcl seperti terlalu panas, dingin, pedas 5. Kolaborasi untuk pemberian obat penetral asam lambung seperti antasida 6. Kolaborasi untuk penyediaan makanan kesukaan yang sesuai dengan diet klien
Daftar Pustaka
Dorland, W. A. Newman (2011). Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC. p. 571. ISBN 978-979044-070-8. Martini, Nath, Bartholomew (2012). Fundamental of anatomy and physiology Ninth Edition. San Francisco: Pearson. p. 701. ISBN 0-321-73553-6. Paramita Hapsari (2010). "Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008" (PDF). Diakses tanggal april 1 2014. Ronny, Setiawan, Sari Fatimah (2008). Fisiologi Kardiovaskular Berbasis Masalah Keperawatan. jakarta: Buku Kedokteran EGC. p. 38. ISBN 978-979-044-020-3. Katzung, B.G. (2001), Adrenoceptor-Activating & Other Sympathomimetic Drugs, in:. Katzung, B.G., editor. Basic & Clinical Pharmacology. 8th Ed. United States Of America: The McGraw-Hill Companies, Inc. Morgan, Jr.G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. (2006), Adrenergic Agonists & Antagonists, in: Morgan, Jr.G.E., Mikhail, M.S. & Murray, M.J., editors. Clinical Anesthesiology. 4th Ed. United States of America: the McGraw-Hill Companies. Stoelting, R.K., Hillier, S.C. (2006), Sympathomimetics, in: Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins.